Sabtu, 16 Maret 2024

Soal Terminal Alahan Panjang, Berpulang kepada Komitmen


OLEH  
Gamawan Fauzi Datuak Rajo Nan Sati

 


MINGGU lalu, saat saya pulang kampung ke Alahan Panjang, Kabupaten Solok, masyarakat heboh soal pembongkaran bangunan liar di Terminal Alahan Panjang yang dikuasai Pemkab Solok. Seperti biasa, selalu saja ada pro kontra. Pemilik bangunan selalu punya alasan klasik yang kalau didengar sepotong sepotong, bisa membuat terenyuh.

"Orang mencari makan masak dirobohkan bangunannnya," begitu kira-kira ucapan yang terlontas. Bagi yang emosional mendengar alasan itu, kadang langsung bereaksi membela tanpa memahami persoalannya. Padahal bangunan itu didirikan tanpa izin dan kadang yang membangun juga punya beberapa bangun semacam itu untuk disewakan.

Persoalan roboh-merobohkan bangunan liar sebenarnya bukan hanya terjadi di Alahan Panjang saja. Kejadian serupa hampir terjadi di seluruh Indonesia. Kota Jakarta adalah salah satu contoh yang paling hebat, terutama di zaman Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) jadi Gubernur DKI Jakarta. Saat itu ributnya bukan hanya soal pembongkaran semata, tapi juga soal kata yang diucapkan Ahok dan tanggapan atas ucapannya itu membuat makin ramai.

Meskipun saya hanya beberapa hari di "rumah", banyak yang datang menemui saya untuk bercerita atau meminta pendapat dan nasihat. Saya tegaskan bahwa saya mendukung penuh langkah pemda untuk penertiban itu. Hal itu juga yang saya sapaikan kepada Wakil Bupati Kabupaten Solok saat bertemu.

Pengalaman mengajarkan, bahwa banyak kota dan desa/nagari yang sebenarnya secara natural memiliki potensi keindahan luar biasa. Ada yang mengatakan sekeping surga yang jatuh ke bumi. Ada yang menyebut Tuhan tersenyum ketika membuatnya. Semua itu untuk mengungkapkan betapa indahnya hampran bumi di sana.

Alahan Panjang adalah salah satu contoh sekeping hamparan bumi yang indah. Terletak di ketinggian 1.400 dpl, di kaki Gunung Talang yang menjulang, di bibir Danau Diatas yang sejuk, dengan relief yang bergelombang dan tanaman hortikultura yang terhampar hijau adalah perpaduan yang amat menawan.

Seorang teman saya yang lama tinggal di Eropa saat berkunjung ke sana, tak hentinya berdecak kagum. Katanya lebih cantik dari Swiss, Teatlis, atau Katmandu. Kalaulah alam ini ada di Eropa atau Amerika, pasti akan menjadi luar biasa: “Wonderful. Wonderful,” katanya berulang.

Tapi Alahan Panjang ditakdirkan ada di Solok, Sumtera Barat. Bukan di tangan orang Eropa, tapi tangan putra-putri Minangkabau, di bawah otoritas Indonesia, khususnya Kabupaten Solok, Sumatera Barat.

Kita belum kaya, belum punya kekuatan meng-create-nya menjadi lebih hebat, menjadi lebih " bernila ekonomis". Kita baru punya potensi, tapi belum memberdayakannya menjadi kekuatan nyata ekonomi secara maksimal. Faktornya tentu bermacam macam: ada politik lokal, ada kemampuan anggaran, kemampuan mempromosikan, kemampuan memprediksi ke depan, membangun mimpi untuk hari esok atau forcasting dan kita juga bukan featurolog dan lain sebagainya.

Mimpi kita mungkin baru mimpi dua pekan, bukan mimpi 30 tahun ke depan sehingga kita baru bisa berkata: "Nan jaleh, nan kini. Bukan nan isuak.” Soal visi? Masih jauhlah.

Tersebab keperluan sekarang itulah, kemudian muncul berbagai kegiatan. Bangunan rumah, tempat usaha dalam beragam bentuk tumbuh tak terkendali dan tak tertata dengan baik, persoalan rencana umum dan rencana detil tata ruang dan tata letak yang mungkin belum ada, atau sudah ada sekalipun ditabrak. Kadang di lokasi usaha ekonomi berdiri umah tinggal dan rumah rumah medesak ke jalan. Jalan menyempit, kemudian semua mengeluh mulai macet.

Bangunan tempel sana sini menjamur, dapur di depan kedai, bengkel di sebelah toko parfum, dan semua jadi campur aduk. Di sepanjang pasar sampah berserakan, belukar tumbuh di dekat pasar. Lengkaplah sudah, mirip daerah slum baru di tanah nan indah. Slum adalah sebuah kawasan kumuh dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin

Apa yang terjadi selanjutnya apa? Kelak kita menyesali masa lalu. Anak cucu kita yang makin maju mengumpat. Kita adalah sosok sesal masa depan.

Aktivitas usaha, terutama hasil hasil pertanian yang menjadi penyangga utama ekonomi Nagari Alahan Panjang dengan produk hortikultura yang terus meningkat, menyisakan sampah organik dalam jumlah besar, belum terpikirkan jalan keluarnya. Akibatnya sampah dibuang di sembarang tempat hingga kita menemukan sampah berserak di sepanjang jalan, di pinggir danau dan tanah tanah yang belum digarap. Akibatnya bukan hanya tak enak di pandang, tapi juga mengancam kesehatan warga untuk jangka panjang.

Dengan mimpi masa depan menjadi nagari wisata, tampaknya akan berat bila sejak awal masalah-masalah prinsip tersebut tidak dipecahkan karena lambat laun nagari akan menuju pada kerusakan mendasar.

Alhamdulillah saya berkesempatan mengunjungi banyak kota di 5 benua, baik di beberapa negara di Eropa dan Amerika, maupun Asia dan Australia. Saya melihat penataan awal, kedisiplinan warga, komitmen bersama pemerintah dan masyarakat, perencnaan yang matang dan konisten dalam menjalankannya adalah kunci menentukan sebuah kota menjadi tumbuh dan menarik untuk dikunjungi, yang kemudian mendatangkan rezeki bagi warganya.

Persoalan yang terjadi di Alahan Panjang. Saya kira juga menghinggapi banyak nagari di Sumatera Barat, dalam corak yang tentu beragam. Tapi persoalan dasarnya saya kira sama, yaitu perencanaan yang matang, konsisten dalam menjalankan konsep, ketegasan pemda, kepedulian warga, kedisiplinan, komitmen bersama untuk mau bersama dan sebagainya.

Singapura sebagai sebuah negara kecil dan hidup dari kunjungan tamu, warganya paham betul dengan kepentingn bersama. Jika kita ketinggalan sesuatu di taksi, maka sopir taksi akan segera mengingatkan kita. Apakah karena sopirnya jujur? Belum tentu. Tapi yang pasti karena si sopir taksi dan penduduknya paham betul bahwa mereka hidup dari tamu yang datang, karena itu mereka tidak akan mau merugikan tamunya.

Spirit itu dibangun bersama pmerintah dan rakyat Singapura. Tapi tentu kita tak boleh menilai Singapara hanya saat ini. Mereka juga melewati fase seperti kita sekarang ini hingga akhirnya secara konsisten/istikamah menjalankan visi misi dan programnya hingga mereka meraih hasilnya yang gemilang.

Saya bukanlah siapa-siapa? Saya bukan pejabat, bukan juga konglomerat, hanya seorang marbot Masjid Ummi di bibir Danau Diatas bersama sejumlah pengurus lainnya yang sangat aktif. Saya tak punya wewenang mengatur dan juga tak berdaya berinvestasi tapi saya selalu berharap bagi kemajuan nagari nagari di Minangkabau.

Kini..., saya dan pengurus serta warga sekitarnya, diamanahi mengurus areal sekitar Masjid Ummi. Tak lebih dari 2 hektare.

Kami secara bertahap selalu menjaga kebersihannya, menatanya, mempercantik dan membuat semakin teratur. Meskipun masih banyak orang yang mampir untuk salat atau sekadar buang air di situ masih membuang puntung rokok sembarangan, atau bungkus kue, kulit kacang dan sampah lainnya di parkiran atau halaman masjid, besok paginya semua kami bersihkan dengan senang hati. Hingga tumbuh kesadaran hidup bersih. Biarlah dimulai dari yang kecil, small is beautiful.

Sekecil apapun kita lakukan adalah amaliah, sepanjang niat karena Allah. Saya ingat suatu ungkapan: Dont talk just act, dont say just show, dont promise just prove.

Jangan Nato. No action talk only.

Saya juga sering mengingat ungkapan Bung Hatta, seorang Proklmator bangsa ini, yang mengutip ungkapan Ernes Renant, dalam sidang Konferensi Meja Bundar: "Hanya ada satu negeri yang menjadi negeriku, negeri itu tumbuh dengan kekuatan, kekuatan itu ada di tanganku."

Selamat bermimpi anak nagari di Minangkabau. Semoga Sumatera Barat makin maju.

Wassalam. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...