OLEH YUSRIWAL
BERMULA ketika
melakukan penelitian tentang naskah-naskah kuno, tulisan tangan atau yang juga
dikenal dengan istilah manuskrip di Minangkabau karena naskah-naskah itu
ditulis dengan menggunakan aksara Jawi atau Arab Melayu atau juga yang dikenal
oleh masyarakat dengan Arab Gundul, mau tidak mau, penelitian mengenai
manuskrip ini akan terkait dengan sejarah surau, dan para pendirinya. Ternyata,
banyak aspek yang terkait dengan surau, masjid, dan perkembangan Islam di
Minangkabau.Aktivitas jamaah di salah satu surau
di Kabupaten Sijunjung (Foto Dok RKB)
Jika didalami lebih jauh, hal ini tidak
saja bermanfaat bagi kalangan masyarakat ilmiah, namun juga penting artinya
untuk masyarakat secara umum, terlebih-lebih untuk generasi muda. Paling tidak,
studi mengenai peninggalan-peninggalan sejarah yang menyangkut hal-hal
keagamaan ini dapat mengajak masyarakat untuk melihat, memahami, dan menghargai
peran para pengembang agama Islam khususnya.
Dalam pengembangan pariwisata misalnya, wisata religi
setidaknya dapat dimulai dari sini. Surau dan masjid-masjid kuno, beserta
elemennya, dengan bentuk arsitektur yang estetis, dengan atap yang unik,
ornamen yang khas, lokasi yang cenderung sama, tonggak-tonggak yang mistis,
serta aktivitas keagamaannya, kiranya pantas untuk dilihat banyak orang.
Peninggalan-peninggalan seperti di atas
dapat disebut sebagai situs religi. Sebenarnya, situs-situs religi pra-Islam
pun masih dapat dilihat di negri ini.
Selama ini, peninggalan-peninggalan Budha dan Hindu yang banyak diungkap hingga dikenal oleh masyarakat adalah yang berkaitan dengan masa kejayaan Adityawarman. Atau setidaknya yang dikaitkan dengan masa itu, baik yang terdapat di sekiar Batusangkar, candi di Padang Roco dan Pulau Sawah di Sijunjung. Padahal masih banyak situs lain yang juga tak kalah penting, seperti candi di Muara Takus, candi di Tanjung Medan, situs Kubu Sutan, Arca Padang Nunang di sekitar Rao, Pasaman. Dibandingkan dengan Muara Takus, candi di Tanjung Medan jika direnovasi kembali, jauh lebih besar.
Berdasarkan perkiraan arkeolog yang sedang
memugar candi Tanjung Medan, di komplek itu terdapat 11 bangunan. Namun yang
berhasil ekskavasi (penggalian yang dilakukan) ada 6 candi. Di dalam salah satu
candi ditemukan sebuah stupa sebagai simbol identitas agama Budha. Di dalam
candi yang sama juga ditemukan Lingga Yoni sebagai lambang kesuburan umat
Hindu.
Oleh sebab itu, candi tersebut diperkirakan
dulunya adalah pusat pengembangan Budha dan Hindu. Setidaknya, lokasi candi ini
oleh masyarakat setempat disebut dengan biaro.
Sebuah kata yang secara ilmu sejarah bahasa mempunyai kaitan erat dengan vihara dalam bahasa Sanskerta.
Nama
biaro tersebut bila diteliti lebih lanjut cukup menarik. Banyak daerah di
Minangkabau yang bernama Biaro. Biaro di dekat Bukittinggi misalnya, erat
kaitannya dengan Budha. Hal ini diperkuat dengan anggapan masyarakat bahwa
munggu atau bukit kecil yang ada di desa itu dulunya adalah sebuah candi.
Sayangnya, belum ada penelitian arkeologis yang serius ke arah itu.
Selain Biaro di dekat Bukittinggi ini,
masih ada Biaro lainnya yakni di Kanagarian Batang Tabik, Limo Puluh Koto, di
dekat Pariangan Padang Panjang, di Lintau dan di Limo Kaum (Tanah Data). Di
tempat-tempat ini memang tidak atau belum ditemukan candi atau tempat pemujaan.
Namun, baik di Tanjung Medan, Batang Tabik, di dekat Bukitinggi, dan di
Pariangan, semuanya berdekatan dengan tempat pembuatan gerabah secara
tradisional.
Dari segi grasir, katakanlah motif gerabah
yang ditemukan dalam candi di Tanjung Medan, sama persis dengan grasir gerabah
yang sampai detik ini masih dapat kita temukan Kuta Rajo, yaitu sebuah nagari yang
terletak di sebelah hulu dari sungai yang mengalir di Tanjung Medan. Biaro di
Batang Tabik dekat dengan pembuat gerabah di Galogandang, Lima Puluh Koto,
Biaro di Pariangan dekat dengan pembuat gerabah di Galogandang, Tanah Data, dan
Biaro di Agam, berada tidak jauh dari pembuat gerabah di Sungai Janiah.
Yang tidak kalah menarik, Biaro di Agam dulunya
termasuk Kanagarian Tanjung Medan, sebuah tempat yang juga digunakan sebagai
pusat peribadatan Budha/Hindu di Pasaman.
Penelitian yang dapat menjelaskan fenomena
ini belum pernah dilakukan. Namun setidaknya, di Minangkabau kesamaan nama
tempat, yang barangkali juga berkaitan dengan pusat-pusat kegiatan tertentu,
tidak hanya terjadi dengan Tanjung Medan. Seperti tadi, Galogandang di Lima
Puluh Koto, Galogandang di Tanah Data, dan Galogandang di Solok, merupakan
tempat-tempat pembuatan gerabah yang sampai saat ini masih dapat ditemukan.
Persamaan nama daerah tidak hanya terbatas
pada Biaro dan Galogandang. Banyak
daerah di Minangkabau memiliki nama sama. Persamaan ini kalau diteliti
lebih lebih lanjut memperlihatkan sebuah fenomena lain pula.
Dalam banyak naskah Cindua Mato, Tanjuang Bungo
merupakan tempat yang penting. Di dalam cerita kaba ini, lokasi Kerajaan Pagaruyung terletak di Ulak Tanjuang Bungo. Ulak,
seperti yang terdapat di Ulakan Pariaman, dalam bahasa Minangkabau berarti baruah atau hilir. Artinya, Ulak
Tanjuang Bungo maupun Ulakan mengacu ke arah hilir. Ulak Tanjuang Bungo berarti
tempat di hilir Tanjuang Bungo. Nama-nama ini, merupakan pusat kerajaan,
pemerintahan, dan mungkin juga kekuasaan.
Fenomena ini, setidaknya menunjukkan bahwa
di Minangkabau pusat-pusat tersebut tidak satu. Dapat juga berarti bahwa
persaingan antara pusat-pusat kekauasan itu merupakan hal yang biasa sejak
dahulu.
Koto Gadang di Suliki misalnya, pernah
menjadi pusat intelektual Islam pada masa kerajaan Minangkabau. Hal ini dapat
dilihat dari naskah kaba Cindua Mato.
Dalam bidang pernaskahan, Koto Gadang Suliki disebut-sebut sebagai skriptorium
atau pusat penyalinan dan pembuatan naskah kuno. Sekali lagi, tradisi
penyalinan ini pun tidak dapat dilepaskan dari fungsi surau sebagai the centre for excelent atau pusat api
tungku Minangkabau (pusat pencerdasan).
Koto Gadang di Agam, suatu masa pernah jaya
sebaga pusat intelektual pada masa Belanda.
Jadi, dapat dilihat bahwa Tanjung Medan di
Pasaman dan Tanjung Medan di Ulakan sama-sama merupakan the centre for excelent. Tanjung Medan Pasaman adalah the centre for excelent untuk agama
Budha dan Hindu, sedangkan Tanjung Medan di Pariaman adalah the centre for excelent untuk agama
Islam.
Dapat juga dilihat bahwa pusat-pusat
intelektual terkait dengan pusat agama dan kekuasaan. Dalam kasus ini Budha dan
Hindu dengan biara atau biaro dan kerajaan Budha dan Hindu, Islam dengan surau
dan kerajaan-kerajaan Islam.
Surau yang
Melapuk
Surau merupakan subsistem dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau di samping balai, labuah, dan tapian yang
terdapat di dusun atau jorong. Selain digunakan sebagai media untuk berbagai
hal yang berkaitan dengan kepentingan agama, seperti pengajian, wirid, dan
penulisan serta penyalinan naskah-naskah keagamaan, surau juga dijadikan
sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari, seperti tempat bermusyawarah,
tempat laki-laki tua Minangkabau
istirahat, pelatihan silat, dan tempat wanita-wanita tua yang ingin mengisi
waktunya dengan lebih banyak beramal.
Kehidupan surau di Minangkabau dipercayai hadir sebelum Islam, kemudian semakin
menguat setelah Islam masuk di daerah ini pada abad ke-16. Dengan demikian,
fungsi yang diemban oleh surau sebagai sebuah ruang publik sangat penting.
Surau menjadi sebuah lembaga untuk memproses usaha pencerdasan dan sekaligus
menyimpan nilai-nilai budaya masyarakatnya. Oleh sebab itu, surau juga dapat
dikatakan sebagai pusat Pencerdasan atau centre
for excellent.
Namun, beberapa dekade belakangan, surau
tidak lagi mengemban fungsi seperti yang diuraikan di atas. Dari pengamatan di
lapangan, ratusan sarau yang dulu pernah eksis di Sumatera Barat sekarang sudah
tinggal nama. Hanya segelintir surau yang masih menjalankan sebagian fungsinya,
misalnya, hanya dijadikan oleh masyarakat setempat sebagai tempat salat lima
waktu atau hanya dipakai sebagai tempat mengaji Alquran bagi anak-anak. Lebih
banyak lagi surau yang dibiarkan lapuk dimakan rayap, tidak terawat oleh masyarakat
pemiliknya, yang pada akhirnya akan roboh.
Keadaan tersebut, mungkin disebabkan oleh
perubahan pandangan masyarakat terhadap tujuan pendidikan. Dulu, masyarakat
memandang pendidikan sebagai usaha untuk mengembangkan kepribadian, memperbaiki
akhlak dan budi pekerti anak-anak mereka sesuai dengan ajaran agama Islam. Bagi
mereka pendidikan adalah untuk “mengisi dada”. Kini, masyarakat memandang
pendidikan untuk “mengisi kepala”. Artinya, dari pendidikan masyarakat
mengharapkan anak-anaknya menjadi orang yang cerdas. Oleh sebab itu, yang
diperlukan adalah sekolah umum. Walaupun ada sekolah agama, seperti MTsN, MAN,
dan lain sebagainya pada akhirnya juga menyesuaikan kurikulumnya dengan
kecenderungan masyarakat tersebut sehingga mata pelajaran umumnya lebih banyak
dibandingkan mata pelajaran agama.
Hal lain yang menyebabkan surau tidak
mendapat perhatian adalah banyaknya beban pelajaran yang diberikan guru kepada
murid. Kegiatan di surau biasanya dilakukan pada malam hari, yaitu setelah
salat Isya sampai saat tidur dan disambung setelah salat Subuh. Hal itu berarti
anak-anak harus tidur di surau,
sementara pada malam hari anak-anak sekolah harus mengerjakan “PR” yang akan
diperiksa oleh guru esoknya sehingga orang tua tak mengizinkan anaknya-anaknya
tidur di surau.
Untuk menyiasati hal tersebut, pernah
didirikan MDA, TPA, dan TPSA, namun hasilnya tidak seefektif pendidikan di
surau karena di TPA, MDA, dan TPSA waktu belajarnya sangat singkat dan tidak
dibarengi dengan praktik langsung seperti di surau.
Dengan adanya program Pemerintah Provinsi Sumatra
Barat untuk ‘kembali ke nagari’ sempat pula ada keinginan dari sebagian besar
masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau)
untuk kembali menghidupkan surau. Namun, sebelum hal tersebut dilaksanakan
rasanya perlu suatu rumusan yang jelas, apakah surau yang dimaksud tersebut
seperti surau yang dulu atau surau yang disesuaikan dengan realitas kebutuhan
masyarakat saat ini. Hal itu memerlukan diskusi dan pembicaraan yang cukup
mendalam dan melibatkan banyak unsur dan ahli.
Pemberdayaan
Surau
Sebagai bahan pertimbangan contoh berikut
mungkin menarik untuk dicermati. Di Tanjung Medan (Padang Pariaman) dan Lubuak
Tajun (Pakandangan, Padang Pariaman), sampai saat ini surau di sana masih
berfungsi sebagai lembaga sosial dan lembaga pencerdasan. Anak-anak masyarakat
sekitarnya tinggal di surau untuk belajar adat dan agama dari sore sampai
malam, sambil tetap sekolah di sekolah umum. Bahkan di Lubuak Tajun, anak-anak
yang belajar di surau tersebut harus mampu menamatkan sekolah umum minimal
SLTP. Untuk menunjang pendidikan di sekolah umum malah pengurus surau di Lubuak
Tajun mendatangkan guru Matematika, bahasa Inggris, Fisika, dan Biologi. Biaya
hidup mereka selama di surau Lubuak Tajun tidak dibebankan kepada anak-anak,
tetapi surau tersebut mempunyai lahan pertanian dan kolam-kolam ikan yang
diusahakan anak-anak dan guru-guru. Dengan hasil usaha tersebutlah surau dan
gaji guru dibayar.
Berbeda dengan Lubuak Tajun, di Tanjung
Medan anak-anak yang tinggal di surau dibiayai oleh orang tua masing-masing,
sedangkan guru tidak dibayar. Biaya operasional surau seperti biaya listrik,
perbaikan, dan peralatan surau lainnya dibantu oleh masyarakat sekitar dan
perantau.
Pada kedua contoh di atas, surau sebagai
pusat pencerdasan kembali difungsikan, tanpa menghilangkan fungsi sekolah
formal atau sekolah umum. Untuk merumuskan ‘kembali ke surau’ kiranya dapat
dipertimbangkan berdasarkan kepentingan dan kebutuhan suatu jorong atau dusun
dalam suatu nagari.
Kembali ke surau jangan diartikan secara
fisik. Tidak dalam pengertian meramaikan surau, tetapi melihat substansinya.
Bisa saja surau tersebut berada di gedung sekolah, tanah lapang, bahkan tidak
tertutup kemungkinannya surau ada ruang maya, dunia cyber, dan internet.
Dengan demikian, surau pada dasarnya merupakan pusat
intelektual yang sangat penting, baik sebagai pusat kegiatan keagamaan maupun
sebagai pusat kegiatan pembelajaran dan pendidikan nilai-nilai sosio budaya
Minangkabau. Dan hal ini kiranya penting untuk disosialisasikan kepada
masyarakat. *
Sumber: Majalah Analisis dan Pemikiran SAGA, Nomor 2 Juli 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar