Selasa, 12 Maret 2024

Sengketa Publik

Sepekan ini penduduk Kota Padang terasa kembali ke suasana kota tahun 1958. Saat mana Uwan baru berumur 2 tahun, diboyong orang tua meningalkan Nagari Kubang Putiah pergi merantau ke Kota Padang. Kota kecil Padang waktu itu mengalami pemadaman listrik bergantian mirip sekarang karena pasokan belum imbang dengan kebutuhan. 

Pemadaman listrik saat ini bukan disebabkan pasokan terbatas tapi ada masalah dengan pengelolaan unit pembangkit listrik yang berbasis tenaga air. Ada krisis pasokan air untuk PLTA Maninjau, Singkarak, Koto Panjang, dan Batang Agam. Masalah kepentingan terhadap air ini telah menghadirikan sengketa publik yang melibatkan banyak pihak.

Akibat debit air terbatas yang terjadi tahun-tahun lalu telah membuat petambak jala apung di Maninjau mengalami kerugian besar. Kemarau telah membawa perubahan ekosistem air karena peningkatan konsentrasi bahan organik, sehingga membuat ikan-ikan yang dipelihara mati berapungan. Mati kolektif, berpulang serentak ke Rahmatullah.

Masyarakat selingkar danau, pelaku pariwisata, petani, perantau, kalangan akademis, pencinta lingkungan dan Pemkab Agam mempersoalkan penurunan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Tapi sampai saat ini belum terdengar jalan keluar yang memuaskan seluruh pihak. 

Sengketa juga akan marak di Danau Singkarak. Petani menjerit karena tak bisa menanam padi akibat kekeringan. Muka air danau telah turun drastis karena tersedotnya air danau untuk memutar turbin PLTA Singkarak. Perebutan air ini telah berakibat pula pada DAS (daerah airan sungai) Batang Ombilin. Masyarakat sepanjang DAS tentu tak lama lagi akan protes pula, termasuk PLTU Sijantang dan PLTU Salak yang memerlukan cukup pasokan air untuk pendingin unit pembangkitnya. 

Semua pihak boleh saja berargumentasi dari sisi kepentingannya. PLTA jelas perlu untuk memasok energi bagi pembangunan Sumatera Barat. Masyarakat perlu sumber daya alir untuk mengolah lahan, jala apung, dan hajat hidupnya. Pelaku pariwisata berkepentingan dengan keindahan dan kelestarian danau. Pemerintah kabupaten juga berambisi pula untuk meningkatan pendapatan asli daerag (PAD) sebagai cerminan prestasinya sehingga perlu pula memberlakukan pajak air.

Menyimak berbagai konflik kepentingan ini, Uwan melihat kita  hanya sibuk adu argumentasi dan berwacana saja. Polemik di media, berkilah di seminar-seminar membela kepentingan tertentu dan ironisnya masalah lingkungan itu masih bercokol di sana.  Tahun ke tahun, air Danau Maninjau selalu berubah warna hijau kehitaman, berbau busuk dan membuat petambak rugi miliaran rupiah.

Kita perlu keluar dari kemelut kepentingan ini dengan suatu pendekatan sistemik yang cerdas serta melibatkan partisipasi berbagai pihak. Pengolahan potensi Danau Maninjau menghendaki pengendalian jumlah petambak dan luasan jala apungnya. Penggiat pariwisata perlu mengontrol limbahnya. Demikian pula rumah tangga dan petani. Intinya untuk mengatasi masalah peningkatan bahan organik, perlu pengendalian pasokan limbah oleh berbagai pihak. Langkah awal, hentikan fungsi danau sebagai lokasi pembuangan sampah akhir (LPA).

Harus ada kesadaran baru bahwa untuk kepentingan publik, semua pihak harus mengendalikan diri dan ego kelompoknya. Kita harus mengOrde Barunkan sebagian kepentingan untuk penyelamatan sumber daya air.

Bila kondisi ini tercapai, semua pihak termotivasi untuk merelakan kepentingannya atas nama penyelamatan danau yang berdampak pelestarian pasokan air dan pemulihan daya dukung lingkungan. Kompromi seluruh pihak ini akan membuat kita lega untuk memulai suatu kerja maha besar lainnya.

Pekerjaan mahabesar itu adalah rehabilitasi daerah tangkapan air (catchment area) seputar danau yang luasnya puluhan ribu hektaree serta daya dukung DAS, baik yang masuk ke danau maupun ke luar danau. Untuk Danau Singkarak, misalnya, reboisasi produktif seluruh lahan kritis seputar danau maupun kawasan terbuka di Bukit Kanduang, Padang Licin sebelah timur sampai-sampai kawasan perbukitan di atas Saniang Baka dan Malalo.

Reboisasi tidak melulu  tumbuhan konservasi tapi melalui pendekatan hutan kemasyarakatan yang tercermin ada peluang ekonomi produktif bagi masyarakat sekitarnya. Begitu pula untuk kawasan tangkapan air Danau Maninjau, mungkin perlu diperhitungkan rehabilitasi sampai ke Kabupaten Padang Pariaman di samping daerah Matur sampai Palembayan serta daerah Leter W arah barat Samudera Indonesia.

Dengan naluri dan logika seorang pencinta lingkungan, Uwan sangat yakin, bahkan haqqul yaqin, bahwa pelestarian daerah tangkapan air akan berbuah pelestarian pasokan air danau yang akan menguntungkan semua pihak. (zukri saad)   

Sumber ilustrasi: https://jogja-training.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...