Saldi isra
Saldi Isra, SH, MPA, anak muda yang energik. Dosen
pascasarjana program studi hukum Universitas Andalas, Padang, adalah ahli hukum
tata negara yang melaju bagai meteor. Paling tidak di kampusnya. Sejak kuliah
sudah kelihatan kepintarannya. Ia lulus dari Universitas Andalas tahun 1994, ia
meraih predikat summa cumlaude.
Setelah menjadi dosen ia sangat disayang
mahasiswanya. Yang paling sayang padanya adalah mahasiswanya bernama Leslie
Annisa Taufik, yang kelak menjadi istrinya. Kini pasangan muda ini dikaruniai
satu orang anak: Wardah Awallin Ikhsaniah Saldi. “Sehari dua ini, saya Insya
Allah akan mendapat anak kedua,” katanya. Isrinya memang sedang hamil tua.
Dalam usia 34 tahun, Saldi merupakan dosen yang
namanya cepat melambung. Betapa tidak, ia merupakan satu-satunya dosen di
Sumatera Barat yang sangat produktif menulis artikel di banyak surat kabar
Padang dan Jakarta. Menurut catatannya, ia telah menulis di surat kabar dalam
dua tahun terakhir sebanyak 59 artikel di surat kabar Jakarta, 36 artikel di
surat kabar Padang.
Saldi juga
disibukkan oleh permintaan redaktur berbagai surat kabar Jakarta. “Saldi tolong
dong tulisannya,” katanya menirukan. Tak sia-sia ayahnya, Ismail, dan
ibunya, Ratina, menyekolahkan Saldi tinggi-tinggi.
Selain menulis artikel, Saldi juga sudah menulis dua buah buku dan belasan karya untuk jurnal. Saat ini Saldi sedang menyiapkan buku Pertarungan Politik di Balik Amandeman UUD 1945. Saldi Isra menerima wartawan Khairul Jasmi dari Republika untuk sebuah wawancara.
Tampaknya Anda
merupakan dosen Universitas Andalas yang sangat cepat menasional?
Mungkin karena faktor sering
menulis. Paling tidak dalam dua tahun terakhir saya sangat banyak menulis
persoalan-persoalan ketatanegaraan mutakhir. Tahun lalu, misalnya, banyak
sekali tulisan saya dipublikasikan Republika tentang sidang istimewa
MPR-RI. Setelah itu, saya banyak sekali menulis tentang proses amandemen di
berbagai media cetak. Saya sangat diuntungkan oleh kegiatan menulis itu. Hal
itu yang mendorong saya ke posisi sekarang.
Tapi dosen dan kolega
Anda di kampus juga bisa menulis?
Betul. Yang juga bisa menulis
banyak, tapi yang berani menulis ke tingkat nasional itu, sangat terbatas.
Kalau boleh saya katakan, orang Minang yang tinggal di Minang yang menulis di
koran nasional, tidak ada. Dulu ada Hendra Esmara, Mursal Esten, dan Mochtar
Naim, tapi kemudian kosong.
Di kampus ada pembicaraan ke arah
bagaimana menembus koran nasional. Tapi, selalu saja mereka dihantui rasa
takut, takut tidak dimuat, takut dikembalikan, dan sebagainya. Saya pikir,
kalau semuanya memulai dengan rasa takut, tidak akan ada penulis dari Padang,
meskipun banyak yang bergelar doktor atau profesor sekalipun.
Kalau publikasi lewat jurnal atau
media populer tidak ada, tentu orang lain akan susah mengenal kita. Saya sering
sampaikan pada kawan-kawan, bahwa kita perlu bicara, tapi yang lebih penting
menuliskan apa yang dibicarakan secara sistematik. Jika hanya puas dengan
diwawancarai wartawan kemudian turun di koran, itu ‘kan tidak orisinal hasil
pemikiran kita. Sebab bisa dicopot dari pikiran tertentu lalu disampaikan pada
wartawan.
Seberapa banyak
artikel yang sudah Anda tulis?
Sejak 2001 saya sudah menulis
pada sembilan surat kabar. Untuk edisi nasional sebanyak 59 tulisan, di surat
kabar lokal 36 tulisan. Saya sudah menulis tujuh artikel pada jurnal dan
menulis 18 makalah. Karena menulis saya bisa beli sebidang tanah, ha..ha..
Untuk mahasiswa Anda
memberikan saran apa?
Agar mereka terangsang menulis di
surat kabar. Saya memberikan perhatian khusus kepada mahasiswa yang punya
kemampuan menulis. Saya kira penulis di tingkat mahasiswa di Padang sekarang,
yang terbanyak justru dari Fakultas Hukum Universitas Andalas. Mereka saya
berikan sugesti dan penghargaan yang layak. Sebab, menurut saya, untuk menulis
paling tidak harus membaca beberapa buku. Nah, kalau mereka bisa
menuliskan sebuah persoalan, berarti mereka sudah bisa mempertanggungjawabkan
persoalan itu. Dan itu jauh lebih baik ketimbang mereka membaca, mencatat, dan
menjawabnya ketika ujian di kelas.
Saat memberikan
kuliah, apakah Anda sering menyerempet keluar silabus?
Karena saya mengajar hukum tata
negara, otomatis yang dibicarakan adalah persoalan aktual yang sedang
berkembang. Jadi, kalau menyangkut teori-teori dasar, saya lebih banyak
menyuruh mahasiswa membaca.
Saya malah lebih banyak
berdiskusi tentang dinamika ketatanegaraan yang terbaru, karena hal itu yang
paling aktual dan menarik. Malah, sekarang untuk belajar hukum tata negara,
menjadi tidak relevan memakai silabus. Sebab silabus telah ketinggalan zaman.
Makanya, yang paling objektif itu sekarang, bagaimana meng-gambarkan dan
menceritakan perubahan-perubahan yang terjadi kepada mahasiswa. Rasanya tidak
masuk akal, orang belajar hukum tata negara tidak mengetahui
perubahan-perubahan yang terjadi.
Bagaimana persepsi
politik teman-teman Anda di kampus?
Ada yang bagus, tapi mayoritas
kalangan universitas itu banyak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan rutin.
Kalau ada diskusi persoalan sensitif, yang hadir hanya segelintir. Sebetulnya
ada gejala baru di pendidikan tinggi yang mengkhawatirkan saya sekarang. Gejala
itu, orang–orang yang diharapkan atau diandalkan, malah berpikir bagaimana
menduduki jabatan-jabatan penting di universitas atau di birokrasi di luar.
Akibatnya, mereka terbius dan idealisme orang perguruan tinggi menjadi aus dan
terkikis. Ini gejala yang memprihatinkan.
Kalau pilihan sudah dijatuhkan
menjadi dosen, maka tetaplah menjadi dosen dan mengabdi dan meneliti. Jangan
terbius oleh jabatan-jabatan. Saya lihat belum ada dosen yang menolak ketika
ditawarkan posisi di birokrasi. Kalaupun ada, tak sampai sebilang jari kanan.
Kalau jadi birokrat
apa salahnya?
Justru bisa menjadi pukulan hebat
bagi perguruan tinggi. Banyak pengalaman menunjukkan, begitu masuk ke
birokrasi, orang perguruan tinggi diamputasi oleh orang-orang lama di
birokrasi. Akhirnya, mereka tak bisa bekerja maksimal.
Jujur saja, apa yang bisa
dilakukan Profesor Fachri Achmad mantan Rektor Universitas Andalas, ketika ia
menjadi Wakil Gubernur Sumatera Barat? Apa yang bisa dilakukan Profesor
Nurzaman Bachtiar dari Universitas Andalas atau Profesor Muchlis Muchtar, mantan
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Andalas, ketika ia duduk sebagai Ketua
Bappeda Sumatera Barat?
Kita tahu persis, sampai di dalam
itu berhadapan dengan kelompok-kelompok yang sudah permanen di birokrasi. Malah
dapat hanyut dalam kondisi yang sudah sistematis dan tertata itu. Kalau itu
dibiarkan terus menerus, kemudian akan timbul citra, ternyata orang-orang
perguruan tinggi pun tidak bisa berbuat apa-apa ketika diberi kursi empuk.
Soal menulis?
Kalau menurut saya begini, koran
lokal itu meski honornya kecil, tapi di situlah kita menguji kemampuan kita.
Saya pun memulai dari koran lokal. Tapi, ini bukan soal honor, melainkan
bagaimana kita menjual gagasan kita kepada orang banyak. Kita disebut sebagai
kelompok pemikir, karena setiap saat kita mengeluarkan pemikiran-pemikiran
terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Kalau tidak melakukan itu, kita tidak
berhak lagi menyandang predikat sebagai cendekiawan.
Apa dinamika paling
menarik pada hukum tata negara itu?
Perubahan Undang-Undang Dasar
(UUD 45). Amandemen UUD 45 itu paling menarik, karena sistem ketatanegaraan itu
akan bergerak dari apa yang dihasilkan amandemen itu sendiri, yang katanya,
akan selesai 2002 ini. Amandemen itu sendiri tidak terlepas dari salah satu
agenda reformasi.
Tidak mungkin melakukan reformasi
tanpa mereformasi konstitusi. Karena apa? Karena UUD 45 itu adalah
Undang-Undang Dasar yang punya banyak kelemahan. Misalnya, pertama
multi-tafsir. Bisa ditafsirkan oleh pemegang kekuasaan sesuai seleranya.
Soekarno dulu menafsirkan UUD
1945 bahwa demokrasi yang paling cocok itu demokrasi terpimpin. Sedang Soeharto
dengan demokrasi Pancasila. Hal itu menggambarkan bahwa UUD 1945 bisa
ditafsirkan semaunya oleh penguasa. Kelemahan yang kedua, UUD 1945 tidak punya
desain ketatanegaraan yang jelas.
Di bagian mana
ketidakjelasannya?
Karena UUD 1945 tidak jelas
apakah menganut sistem presidential atau parlementer. Pada bagian tertentu
berpola parlementer, seperti dalam praktik sidang istimewa MPR RI. Sedang pada
bagian-bagian lain menganut sistem presidential, seperti pengangkatan menteri-menteri.
Selain itu, UUD 1945 merupakan satu-satunya konstitusi yang punya penjelasan.
Padahal itu (penjelasan-red) dengan batang tubuh UUD 1945 berbeda orang
yang menyusunnya. Penjelasan disusun oleh Soepomo, sedang batang tubuh disusun
bersama-sama oleh PPKI. Sehingga tidak mungkin pemikiran bersama sejalan dengan
pemikiran Soepomo seorang. Jadi itu beberapa dasar mengapa perlu dilakukan
reformasi, bahkan kita berpikir untuk mengganti UUD 1945.
Menurut Anda
bagaimana proses amandemen yang sedang berlangsung saat ini?
Seperti diketahui pada tahun
1999, telah dilakukan amandemen pertama. Tapi hanya menyangkut bagaimana
membatasi kekuasaan presiden dan memberikan fungsi yang lebih kuat kepada DPR.
Amandemen kedua, tahun 2000, menyangkut hal yang lebih luas. Di situ sudah
diatur hubungan pusat dan daerah dan soal hak asasi manusia (HAM).
Paling rawan adalah amandemen
ketiga, ketika perubahan sudah mulai menyentuh posisi MPR dalam sistem
ketatanegaraan. Rawan, karena kalau memang reformasi konstitusi dilakukan, maka
salah satu lembaga negara yang harus dilikuidasi adalah MPR. Nah,
sekarang MPR itu sendiri yang mau likuidasi dirinya sendiri, sesuatu yang tidak
masuk akal.
Maka tidak mungkin kita berharap
perubahan konstitusi itu bisa dilakukan secara baik dan benar oleh MPR. Kita
harus tahu bahwa konstitusi dan partai politik adalah dua kutub yang berbeda.
Konstitusi pada pokoknya bertugas membatasi kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam
negara. Sedangkan kekuatan-kekuatan politik yang ada di MPR, tugasnya bagaimana
meraih kekuasaan sebesar-besarnya.
Karena itu, tidak mungkin
penyusunan konstitusi diberikan kepada orang yang mau meraih kekuasaan
sebesar-besarnya. Pada bagian itu, kita
berpikir sebetulnya agar konstitusi bisa lepas dari bias kepentingan politik jangka
pendek, sebaiknya amandemen itu ditarik keluar dari lembaga MPR, lalu diberikan
kepada sebuah badan yang tidak punya kepentingan politik. Itulah Komisi
Konstitusi. Komisi inilah yang nantinya bekerja melanjutkan amandemen
konstitusi. Selagi dengan MPR, kita tidak akan mendapatkan konstitusi yang bisa
dipertahankan untuk jangka panjang.
Saldi Isra bercita-cita membangun sebuah rumah yang nyaman. Ia telah membeli sebidang tanah di dalam Kota Padang, tempat ia selama ini menghabiskan hari-harinya.
“Uangnya dari honor artikel saya menulis di surat
kabar,” katanya sedikit membanggakan jerih-payahnya menulis artikel.
Sebagai seorang dosen muda yang sedang naik daun,
Saldi memiliki kesempatan mengikuti kecenderungan anak muda saat ini. Tapi, itu
tidak ia lakukan. Saldi memilih kemana-mana jalan kaki sembari menyandang tas
hitamnya. Ia tak peduli panas memanggang, meski rambutnya dicukur sangat
pendek.
Lelaki kelahiran Paninggahan, Kabapaten Solok,
Sumatera Barat, 20 Agustus 1968 itu, setamat dari Universitas Andalas
melanjutkan studinya ke Program Master pada Institute of Postgraduate Studies
and Research Universitas of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, pada tahun 2001.
Kini, Saldi dipercaya sebagai Direktur Eksekutif
Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat, Universitas Andalas, Padang. Ia juga menjadi
sekretaris bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum di Universitas Andalas.
Menjadi dosen sejak 1996 dan mengajar diberbagai perguruan tinggi di Padang,
tapi Saldi tak kehabisan waktu untuk membawa istri dan anaknya main-main sore.
Suatu hari, ia kelihatan sedang asyik di salah
satu pusat perbelanjaan yang ada di Kota Padang. Pada saat lain, ia tampak
menikmati sore di pantai. Menurut pengakuan istrinya, Saldi merupakan tipe
lelaki penyabar dan pengertian. “Saya mencintainya karena ia mengerti banyak
hal,” kata sang istri.
Lulusan terbaik Maret 1995 di Universitas Andalas
Padang itu, meraih IPK 3,86. Itulah sebabnya, ia menyandang predikat summa
cumlaude. Setahun sebelumnya, ia menjadi mahasiswa berprestasi tingkat
nasional. Prestasinya yang paling menonjol adalah kepandaiannya menulis dan
memberikan karakter pada tulisan yang ia buat. Karena itu, tak heran waktu
masih menjadi mahasiswa ia sering menjadi juara lomba menulis.
Di tengah kesibukannya mengajar dan menulis
artikel, ia masih sempat menulis makalah untuk berbagai seminar. Kini, Saldi
juga dipercaya pula menjadi Tim Ahli Koalisi untuk Konstitusi Baru, anggota tim
asistensi perumusan rancangan peraturan daerah (Perda) ketentuan pokok
pemerintahan nagari di Sumatera Barat. Ia juga dipercaya sebagai salah seorang
perumus pokok-pokok pikiran Universitas Andalas untuk amandemen UUD 1945. ***
Harian Republika, Padang,
7 Juli 2002
Sumber: Buku Khairul Jasmi Minangkabau
dalam Reportase (Kumpulan Feature), Penerbit Kabarita
Padang, Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar