Kamis, 14 Maret 2024

Pola Pikir Anak Bangsa

Konflik kepentingan melalui penetapan perluasan wilayah antara Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi memasuki babak baru yang mulai rawan, mencemaskan, dan telah bernuansa konflik horizontal. Bila selama ini konflik berlangsung hanya pada tingkat elit dan itupun sebatas wacana pro dan kontra, maka kini mulai berwujud aksi fisik. Media memberitakan bahwa ada beberapa jorong di Kapau yang telah menyatakan masuk kota, serta berita lanjut tentang konsistensi masyarakat Banuhampu untuk tetap bertahan sebagai nagari yang berada di bawah administrasi kabupaten.

Kepala berita di Harian Mimbar Minang, Sabtu 16 Maret 2002 yang lalu, mengabarkan bahwa ratusan masyarakat dari nagari-nagari se- Banuhampu berdemo ke Kantor Gubernur Sumatera Barat menuntut pembatalan PP 84/99 dan menyatakan tidak akan pernah bergabung dengan Kota Bukittinggi melalui proses apapun. Demo-berdemo adalah soal biasa saja di era reformasi ini. Namun kalau di baliknya disinyalir ada urusan bayar-membayar oleh pihak-pihak berkepentingan dengan latar belakang tertentu, tentu sudah membuat kita perlu menghidupkan “lampu merah” kewaspadaan. Sekejap lagi jelas akan memicu hadirnya konflik horizontal yang biaya sosialnya akan sangat mahal. 

Memang suasana sudah berkembang emosional sejak awal isu pemekaran kota ini digelindingkan, jika tak salah di tahun 1986. Dinamika di bawah penguasaan rejim Orde Baru waktu itu tidak membuka peluang penolakan oleh masyarakat. Kalaupun ada penentangan, itu hanya sebatas petisi dan mohon klarifikasi. Uwan masih ingat, proyek pemekaran ini ditolak masyarakat kampung Uwan di Banuhampu kalau sebagian wilayahnya tetap di kabupaten, atau sekadar klarifikasi bila penamaan Banuhampu ditukar dengan Bukittinggi Timur. Namun di era reformasi kini, terbuka luas kebebasan untuk menyuarakan aspirasi, masyarakat kampung Uwan itu berdemo ramai-ramai menolak total, seiring perlakukan intimidasi oleh oknum pemerintah kota.

Wakil Gubernur Fachri Ahmad selaku Ketua Tim Mediator dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat akhir-akhir ini telah mengadakan dialog dan koordinasi dengan pimpinan daerah kedua wilayah yang berkonflik. Namun hemat Uwan, tim itu pasti menemukan suasana dilematis. Kedua kepala daerah tentu punya argumentasi dan titik pijak yang kuat, didukung oleh massa kalau diperlukan. Pihak kabupaten menilai PP 84/99 merupakan perjalanan panjang produksi kebijakan publik berparadigma Orde Baru, yang sentralistik dan top-down, sehingga perlu dikoreksi. Begitu pula pihak kota, merasa berakal sehat dengan argumentasi pemekaran kota akan memberikan dampak kemudahan pelayanan publik.

Tapi, bila penggabungan beberapa wilayah Agam ke Bukittinggi ini tidak memperhatikan aspek partisipasi, aspirasi, dan dampak kultural yang ditakutkan masyarakat, maka tentu akan ada penolakan keras dari rakyat. Wagub Fachri pastilah akan mengalami kesulitan mencari formulasi yang memuaskan kedua belah pihak yang bertikai. Rasanya tak akan ditemukan solusi optimal, apalagi suasana kadung emosional yang menyelimuti kedua belah pihak.

Untuk keluar dari kemelut itu, kedua belah pihak perlu mengubah pola pikir yang sempit, dangkal, mementingkan diri sendiri dan golongan, serta lemah daya jangkaunya menuju pola pikir sebagai anak bangsa. Artinya harus ditumbuhkan mind set berbeda dalam pengembangan wilayah, khususnya setelah terjadi perubahan peta politik pasca-Orde Baru. Pola pikir anak bangsa dimaksud antara lain diperlukannya penghargaan terhadap hak-hak kultural rakyat di atas kepentingan birokrasi, pelayanan publik yang prima dan menguntungkan rakyat, sangkil-mangkus, hemat, dan tidak memboroskan uang rakyat.

Di samping tata pemerintahan yang bersih dan transparan serta akuntabilitas, paradigma dimaksud perlu dilengkapi dengan jenis kepala daerah yang energik, visioner, konseptual, jujur, penuh pengabdian dan taat beragama serta antikorupsi-kolusi-nepotisme. Tentu banyak lagi yang bisa didefinisikan seperti legislatif yang berwawasan luas, intelek, tidak rakus, aspiratif, tidak mementingkan partai sepihak serta mampu mengarahkan eksekutif dalam melaksanakan pembangunan sesuai skenario yang dirancang secara kolektif dalam forum perwakilan rakyat.

Dengan paradigma baru ini, solusi konflik adalah menggabungkan kedua daerah otonom (re-grouping) yang disusul oleh revitalisasi nagari-nagari (social re-engineering). Konkretnya kelak menjadi Kabupaten Agam beribukota Bukititnggi dengan basis nagari-nagari berdaulat penuh secara kultural. Pasti sangat hemat pembelanjaan daerah karena hanya membiayai satu perangkat eksekutif dan satu perangkat legislatif. Kelebihan akibat sangkilsi dialokasikan untuk program apa saja bagi kesejahteraan rakyat.

Dengan penggabungan, rakyat berpeluang memperoleh kepala daerah bermutu, anggota dewan berkualitas, dan cukup banyak sumber daya untuk membiayai pembangunan. Penghormatan terhadap hak-hak kultural rakyat di nagari-nagari akan menghadirkan partisipasi dan prakarsa masyarakat secara luas, termasuk dari anak nagari yang berdomisili di perantauan. Makanya, penggabungan adalah win-win solutionZS

Sumber Ilustrasi: ybkb.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...