Konflik kepentingan melalui penetapan perluasan wilayah antara Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi memasuki babak baru yang mulai rawan, mencemaskan, dan telah bernuansa konflik horizontal. Bila selama ini konflik berlangsung hanya pada tingkat elit dan itupun sebatas wacana pro dan kontra, maka kini mulai berwujud aksi fisik. Media memberitakan bahwa ada beberapa jorong di Kapau yang telah menyatakan masuk kota, serta berita lanjut tentang konsistensi masyarakat Banuhampu untuk tetap bertahan sebagai nagari yang berada di bawah administrasi kabupaten.
Kepala berita di Harian Mimbar Minang, Sabtu
16 Maret 2002 yang lalu, mengabarkan bahwa ratusan masyarakat dari
nagari-nagari se- Banuhampu berdemo ke Kantor Gubernur Sumatera Barat menuntut
pembatalan PP 84/99 dan menyatakan tidak akan pernah bergabung dengan Kota
Bukittinggi melalui proses apapun. Demo-berdemo adalah soal biasa saja di era
reformasi ini. Namun kalau di baliknya disinyalir ada urusan bayar-membayar
oleh pihak-pihak berkepentingan dengan latar belakang tertentu, tentu sudah
membuat kita perlu menghidupkan “lampu merah” kewaspadaan. Sekejap lagi jelas
akan memicu hadirnya konflik horizontal yang biaya sosialnya akan sangat
mahal.
Memang suasana sudah berkembang emosional
sejak awal isu pemekaran kota ini digelindingkan, jika tak salah di tahun 1986.
Dinamika di bawah penguasaan rejim Orde Baru waktu itu tidak membuka peluang
penolakan oleh masyarakat. Kalaupun ada penentangan, itu hanya sebatas petisi
dan mohon klarifikasi. Uwan masih ingat, proyek pemekaran ini ditolak
masyarakat kampung Uwan di Banuhampu kalau sebagian wilayahnya tetap di
kabupaten, atau sekadar klarifikasi bila penamaan Banuhampu ditukar dengan
Bukittinggi Timur. Namun di era reformasi kini, terbuka luas kebebasan untuk
menyuarakan aspirasi, masyarakat kampung Uwan itu berdemo ramai-ramai menolak
total, seiring perlakukan intimidasi oleh oknum pemerintah kota.
Wakil Gubernur Fachri Ahmad selaku Ketua
Tim Mediator dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat akhir-akhir ini telah
mengadakan dialog dan koordinasi dengan pimpinan daerah kedua wilayah yang
berkonflik. Namun hemat Uwan, tim itu pasti menemukan suasana dilematis. Kedua
kepala daerah tentu punya argumentasi dan titik pijak yang kuat, didukung oleh
massa kalau diperlukan. Pihak kabupaten menilai PP 84/99 merupakan perjalanan
panjang produksi kebijakan publik berparadigma Orde Baru, yang sentralistik dan
top-down, sehingga perlu dikoreksi. Begitu pula pihak kota, merasa
berakal sehat dengan argumentasi pemekaran kota akan memberikan dampak
kemudahan pelayanan publik.
Tapi, bila penggabungan beberapa wilayah
Agam ke Bukittinggi ini tidak memperhatikan aspek partisipasi, aspirasi, dan
dampak kultural yang ditakutkan masyarakat, maka tentu akan ada penolakan keras
dari rakyat. Wagub Fachri pastilah akan mengalami kesulitan mencari formulasi
yang memuaskan kedua belah pihak yang bertikai. Rasanya tak akan ditemukan
solusi optimal, apalagi suasana kadung emosional yang menyelimuti kedua belah
pihak.
Untuk keluar dari kemelut itu, kedua belah
pihak perlu mengubah pola pikir yang sempit, dangkal, mementingkan diri sendiri
dan golongan, serta lemah daya jangkaunya menuju pola pikir sebagai anak
bangsa. Artinya harus ditumbuhkan mind set berbeda dalam pengembangan
wilayah, khususnya setelah terjadi perubahan peta politik pasca-Orde Baru. Pola
pikir anak bangsa dimaksud antara lain diperlukannya penghargaan terhadap
hak-hak kultural rakyat di atas kepentingan birokrasi, pelayanan publik yang
prima dan menguntungkan rakyat, sangkil-mangkus, hemat, dan tidak memboroskan
uang rakyat.
Di samping tata pemerintahan yang bersih
dan transparan serta akuntabilitas, paradigma dimaksud perlu dilengkapi dengan
jenis kepala daerah yang energik, visioner, konseptual, jujur, penuh pengabdian
dan taat beragama serta antikorupsi-kolusi-nepotisme. Tentu banyak lagi yang
bisa didefinisikan seperti legislatif yang berwawasan luas, intelek, tidak
rakus, aspiratif, tidak mementingkan partai sepihak serta mampu mengarahkan
eksekutif dalam melaksanakan pembangunan sesuai skenario yang dirancang secara
kolektif dalam forum perwakilan rakyat.
Dengan paradigma baru ini, solusi konflik
adalah menggabungkan kedua daerah otonom (re-grouping) yang disusul oleh
revitalisasi nagari-nagari (social re-engineering). Konkretnya kelak
menjadi Kabupaten Agam beribukota Bukititnggi dengan basis nagari-nagari
berdaulat penuh secara kultural. Pasti sangat hemat pembelanjaan daerah karena
hanya membiayai satu perangkat eksekutif dan satu perangkat legislatif.
Kelebihan akibat sangkilsi dialokasikan untuk program apa saja bagi
kesejahteraan rakyat.
Dengan penggabungan, rakyat berpeluang
memperoleh kepala daerah bermutu, anggota dewan berkualitas, dan cukup banyak
sumber daya untuk membiayai pembangunan. Penghormatan terhadap hak-hak kultural
rakyat di nagari-nagari akan menghadirkan partisipasi dan prakarsa masyarakat
secara luas, termasuk dari anak nagari yang berdomisili di perantauan. Makanya,
penggabungan adalah win-win solution.
ZS
Sumber Ilustrasi: ybkb.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar