Sabtu, 09 Maret 2024

Kredit kepada Tuhan


Di Bandung, awal 1978, situasi kampus dan ke­­ma­­­­­­ha­­siswaan di perguruan tinggi di Indonesia tidak menentu. Diawali dengan ikrar Dewan Mahasiswa (DM) atau Senat Mahasiswa (SM) se-Indonesia yang menyikapi perkembangan situasi nasional pada 28 Oktober 1977. Puncaknya, pada 16 Januari 1978, DM ITB mengeluarkan pernyataan yang intinya tidak lagi mempercayai kepemim­pinan nasional.

Kejadian itu telah membuat pemerintah berang dan memerintahkan tentara untuk menduduki kampus-kampus. Proses belajar mengajar praktis berhenti. Ratusan tokoh mahasiswa ditangkap, diadili, dan dipenjara. Beberapa di antaranya kini menjadi tokoh nasional, baik di kabinet ataupun di parlemen.

Dalam suasana sulit dan terputusnya komunikasi para mahasiswa dengan keluarga, berakibat banyak di antaranya yang kehabisan sangu. Biasanya mendapat kiriman wesel bulanan, kini banyak yang terlambat, bahkan ada yang terhenti sama sekali. Tiga di antaranya adalah rekan-rekan Uwan asal ranah Minang: Azwar dari Bukittinggi, Edison dari Tanah Datar, dan Rizal asal Sijunjung kelahiran Sungai Penuh. Ketiganya bukan nama sebenarnya.

Maaf kata, untuk menyambung hidup mereka sudah meminjam ke sana ke mari. Kiri-kanan yang mau meminjami lama-lama terbatas juga. Akhirnya mereka kehabisan relasi tempat berhutang. Uwan sendiri juga dalam kesulitan serupa namun relatif masih aman. Di Bandung banyak keluarga Banuhampu yang bisa dimohonkan pinjaman. Sekurangnya tidak berkeberatan untuk dipergilirkan menumpang makan. Lumayan.

Kami berempat berdiskusi membahas bagaimana jalan keluar dari situasi yang cukup pelik ini. Pandang jauh sama dilayangkan, pandang dekat coba ditukikkan. Tapi tak ditemukan argumen yang meyakinkan kami bersama. Maklumlah, pilihan yang ada hanya sekitar pinjam dan pinjam.

Malam harinya, setelah mengisi perut dengan roti bakar dan teh hangat yang murah meriah di Pasar Simpang Dago, kami terus saja menerawang. Semua berpikir keras, mengerahkan seluruh imajinasi untuk keluar dari kesulitan bersama itu.

Akhirnya Rizal menemukan usul cukup spektakuler. Katanya, jika sudah berupaya maksimal, dibatasnya tentu boleh pasrah kepada Yang Satu: Pinjam kepada Tuhan. Mohon kredit dengan janji akan dilunasi kelak setelah selesai kuliah, plus bunganya sepanjang umur.

Sebuah risiko yang cukup berat tapi menantang untuk ditaklukkan. Semua partisipan rapat bernapas lega karena ada solusi. Setelah salat Istikharah, semua sama-sama merasa mantap.

Kami bersepakat untuk tidak membocorkan rencana ini kepada siapapun karena kalau ketahuan pasti akan malu muka. Namun sekarang, setelah duapuluh tahun lebih, rasanya tidak apa-apa juga diceritakan. Setidaknya untuk diambil hikmahnya.

Idenya membuat kotak sumbangan masjid yang akan diletakkan di restoran padang yang tersebar seantero Kota Bandung. Agar atraktif, dindingnya dibuat dari bahan kaca sehingga tembus pandang yang ditopang dengan batangan aluminium tipe L. Kotak dilengkapi dengan nama masjid yang terbengkalai pembangunannya dari kampung masing-masing lengkap dengan alamat nagarinya, dipajang untuk menarik perhatian.

Kotak derma versi tahun 78 itu diletakkan di meja kasir sehingga kalau ada kembalian uang kecil tentu mudah mengalir ke kotak itu. Kalau tak silap dan boleh mengklaim, inilah pionir kotak derma berbahan kaca yang kelak berkembang menjadi mode meraih simpati kaum dermawan. Sampai kini kotak derma jenis itu masih Uwan lihat beroperasi di berbagai restoran padang di Bandung.

Waktu itu, dengan pinjaman sepeda motor tetangga mahasiswa asal Malang, kami membagi diri dalam 2 tim. Bergerak keliling Bandung untuk melobi pemilik restoran padang agar diperbolehkan menitip kotak derma.

Setelah berkeliling Kota Bandung, diperoleh komitmen 17 restoran di Kota Bandung bersedia bekerja sama tapi kota tersedia ada 15, maka dua restoran dicadangkan. Masing-masing bertanggung jawab untuk 5 kotak amal. Bertanggung jawab kepada pemilik restoran, masyarakat di kampung, dan tentu kepada Tuhan.

Sekali sebulan pengutipan dilakukan. Hasilnya dihitung di rumah kontrakan secara pleno. Aspek akuntabilitas dan transparansi dalan hal ini diterapkan penuh. Perolehan dicatat rapi lalu dibagi dua. 50 persen untuk dikirim ke kampung dan sisanya, ya itu tadi, untuk belanja bulanan.

Nominalnya lumayan banyak. Bisa mengembalikan pinjaman sebelumnya: bayar kontrakan; biaya makan bulanan; keperluan SPP dan fotokopi serta sekali seminggu boleh pula nonton ke Bioskop Braga. Azwar akhirnya mengendarai sepeda motor pribadi berkat kredit Tuhan tersebut. Meskipun cuma bekas, tapi sudah layak dibawa melagak ke rumah pacarnya, gadis Tasikmalaya yang kelak jadi istrinya.

Akhirnya semua sukses menyelesaikan kuliah. Azwar sekarang berhasil menjadi pimpinan puncak PLTU di Jawa Barat. Edison menjadi direksi Bank Islam di Kualalumpur dan Rizal kini warga negara Australia, menetap di Sidney.

Kredit mereka ke Tuhan? Oh tentu saja di bulan-bulan pertama bekerja itu sudah dilunasi. Bunganya, seperti sudah disepakati, akan dibayarkan sepanjang umur. Pada 1995 lalu, Azwar bikin masjid senilai Rp300 juta di kampungnya. Transfer Rizal dari Sidney 2 kali setahun untuk kampung dan pengelolaan yatim piatu yang diurus kakak perempuannya.  Edison bekerja untuk fasilitas bank yang niatnya memberdayakan umat. Alhamdulillah. ZS

 

Mimbar Minang, 8 Januari 2001     

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...