Kejadian itu telah membuat pemerintah berang dan memerintahkan tentara untuk menduduki kampus-kampus. Proses belajar mengajar praktis berhenti. Ratusan tokoh mahasiswa ditangkap, diadili, dan dipenjara. Beberapa di antaranya kini menjadi tokoh nasional, baik di kabinet ataupun di parlemen.
Dalam suasana sulit dan terputusnya komunikasi para mahasiswa
dengan keluarga, berakibat banyak di antaranya yang kehabisan sangu. Biasanya
mendapat kiriman wesel bulanan, kini banyak yang terlambat, bahkan ada yang
terhenti sama sekali. Tiga di antaranya adalah rekan-rekan Uwan asal ranah
Minang: Azwar dari Bukittinggi, Edison dari Tanah Datar, dan Rizal asal
Sijunjung kelahiran Sungai Penuh. Ketiganya bukan nama sebenarnya.
Maaf kata, untuk menyambung hidup mereka sudah meminjam ke
sana ke mari. Kiri-kanan yang mau meminjami lama-lama terbatas juga. Akhirnya
mereka kehabisan relasi tempat berhutang. Uwan sendiri juga dalam kesulitan
serupa namun relatif masih aman. Di Bandung banyak keluarga Banuhampu yang bisa
dimohonkan pinjaman. Sekurangnya tidak berkeberatan untuk dipergilirkan
menumpang makan. Lumayan.
Kami berempat berdiskusi membahas bagaimana jalan keluar dari
situasi yang cukup pelik ini. Pandang jauh sama dilayangkan, pandang dekat coba
ditukikkan. Tapi tak ditemukan argumen yang meyakinkan kami bersama. Maklumlah,
pilihan yang ada hanya sekitar pinjam dan pinjam.
Malam harinya, setelah mengisi perut dengan roti bakar dan teh
hangat yang murah meriah di Pasar Simpang Dago, kami terus saja menerawang.
Semua berpikir keras, mengerahkan seluruh imajinasi untuk keluar dari kesulitan
bersama itu.
Akhirnya Rizal menemukan usul cukup spektakuler. Katanya, jika
sudah berupaya maksimal, dibatasnya tentu boleh pasrah kepada Yang Satu: Pinjam
kepada Tuhan. Mohon kredit dengan janji akan dilunasi kelak setelah selesai
kuliah, plus bunganya sepanjang umur.
Sebuah risiko yang cukup berat tapi menantang untuk
ditaklukkan. Semua partisipan rapat bernapas lega karena ada solusi. Setelah
salat Istikharah, semua sama-sama merasa mantap.
Kami bersepakat untuk tidak membocorkan rencana ini kepada
siapapun karena kalau ketahuan pasti akan malu muka. Namun sekarang, setelah
duapuluh tahun lebih, rasanya tidak apa-apa juga diceritakan. Setidaknya untuk
diambil hikmahnya.
Idenya membuat kotak sumbangan masjid yang akan diletakkan di
restoran padang yang tersebar seantero Kota Bandung. Agar atraktif, dindingnya
dibuat dari bahan kaca sehingga tembus pandang yang ditopang dengan batangan
aluminium tipe L. Kotak dilengkapi dengan nama masjid yang terbengkalai
pembangunannya dari kampung masing-masing lengkap dengan alamat nagarinya,
dipajang untuk menarik perhatian.
Kotak derma versi tahun 78 itu diletakkan di meja kasir
sehingga kalau ada kembalian uang kecil tentu mudah mengalir ke kotak itu.
Kalau tak silap dan boleh mengklaim, inilah pionir kotak derma berbahan kaca
yang kelak berkembang menjadi mode meraih simpati kaum dermawan. Sampai kini
kotak derma jenis itu masih Uwan lihat beroperasi di berbagai restoran padang
di Bandung.
Waktu itu, dengan pinjaman sepeda motor tetangga mahasiswa
asal Malang, kami membagi diri dalam 2 tim. Bergerak keliling Bandung untuk
melobi pemilik restoran padang agar diperbolehkan menitip kotak derma.
Setelah berkeliling Kota Bandung, diperoleh komitmen 17
restoran di Kota Bandung bersedia bekerja sama tapi kota tersedia ada 15, maka
dua restoran dicadangkan. Masing-masing bertanggung jawab untuk 5 kotak amal.
Bertanggung jawab kepada pemilik restoran, masyarakat di kampung, dan tentu
kepada Tuhan.
Sekali sebulan pengutipan dilakukan. Hasilnya dihitung di
rumah kontrakan secara pleno. Aspek akuntabilitas dan transparansi dalan hal
ini diterapkan penuh. Perolehan dicatat rapi lalu dibagi dua. 50 persen untuk
dikirim ke kampung dan sisanya, ya itu tadi, untuk belanja bulanan.
Nominalnya lumayan banyak. Bisa mengembalikan pinjaman
sebelumnya: bayar kontrakan; biaya makan bulanan; keperluan SPP dan fotokopi
serta sekali seminggu boleh pula nonton ke Bioskop Braga. Azwar akhirnya
mengendarai sepeda motor pribadi berkat kredit Tuhan tersebut. Meskipun cuma
bekas, tapi sudah layak dibawa melagak ke rumah pacarnya, gadis Tasikmalaya
yang kelak jadi istrinya.
Akhirnya semua sukses menyelesaikan kuliah. Azwar sekarang
berhasil menjadi pimpinan puncak PLTU di Jawa Barat. Edison menjadi direksi
Bank Islam di Kualalumpur dan Rizal kini warga negara Australia, menetap di
Sidney.
Kredit mereka ke Tuhan? Oh tentu saja di bulan-bulan pertama bekerja itu sudah dilunasi. Bunganya, seperti sudah disepakati, akan dibayarkan sepanjang umur. Pada 1995 lalu, Azwar bikin masjid senilai Rp300 juta di kampungnya. Transfer Rizal dari Sidney 2 kali setahun untuk kampung dan pengelolaan yatim piatu yang diurus kakak perempuannya. Edison bekerja untuk fasilitas bank yang niatnya memberdayakan umat. Alhamdulillah. ZS
Mimbar Minang, 8
Januari 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar