OLEH Yusriwal
Istilah "nazam" dapat dirujuk pada beberapa keterangan.
Dalam Kamoes Bahasa Minangkabau-Bahasa Melayoe Riau, terbitan Batavia
(Jakarta) 1935, tidak dijumpai kata 'nazam', namun dapat disamakan dengan
"nalam", yaitu nazam: banalam-bernazam,
bertjerita dengan lagoe teroetama tentang agama atau jang berisi pengadjaran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka 1988,
ditemukan kata "nalam" dan "nazam". “Nalam” adalah gubahan
sajak (syair, karangan); bernalam, membaca puisi atau bercerita dengan lagu;
bersajak (bersyair).Foto Dok RKB
"Nazam" adalah puisi yang berasal dari Parsi terdiri
atas dua belas larik, berirama dua-dua atau empat-empat, isinya perihal hamba
sahaya istana yang budiman. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta,
1984) mengatakan "nalam": gubahan sajak (syair-karangan); "bernalam":
bersajak (bersyair); bercerita dengan lagu; "menalamkan":
menyajakkan; menceritakan dengan lagu; menggubah, "nazam": sb sajak
(syair); karangan; "menazamkan": menyajakkan; mengarang; menggubah;
nalam. Kemudian dalam Kamus Dewan Edisi Baru, Kuala Lumpur, Malaysia
nazam: (arab) sejenis gubahan puisi (seperti sajak, syair); "bernazam":
bercerita dengan lagu, bersajak, bersyair; "menazamkan": menceritakan
dengan lagu, mengubah, mengajakkan nalam; "banalam": membaca puisi
sambil berlagu.
Oleh sebab itu, para sarjana dan peneliti belum ada yang sepakat
untuk menggunakan salah satu istilah: "nadzam" (Agus Deaman, 1984),
"najam" (Dada Meuraxa, 1974), "nazham" (Hj. Wan Mohd.
Shaghir Abdullah, 1993), "nizam" (Emral Djamal dalam "Nizam
Mancinto Did", 1999). Namun, kebanyakan, penulis, lebih suka menggunakan
istilah "nazam", misalnya Labai Sidi Rajo (1899), Tuan Haji Ahmad bin
Haji Abdul Rauf dan Tuan Haji Omarbin Haji Othman sebelum tahun (1928), Harun
Mat Piah; (1989), Baharudin Ahmad;
(1992), Umar Junus; (1997), dan lainnya. Selanjutnya dalam Glosari
Istilah Kesusastraan, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dikatakan:
Nazam: Sejenis puisi lama yang setiap rangkapnya
terdiri daripada dua baris. Kaedah yang digunakan adalah mengikut gaya
timbangan syair Arab. Setiap dua baris itu mempunyai persamaan bunyi dıhujungnya.
Umumnya, bentuk puisi ini tidak begitu popular di kalangan orang-orang Melayu ,tetapi
leblh biasa di kalangan alim ulama yang mencıpta nazam dengan melagukannya
sebagai puji-pujian khususnya terhadap nabi-nabi.
Dalam glosari tersebut, juga diberikan beberapa contoh
sebagai berikut:
Muhammad yang dibangkit akan dia
Dengan suruh tauhid Tuhan yang
sedia
Pada masa sangat umum shirkinya
Dengan sebab sangat banyak
jahilnya
Maka menunjuklah ia akan kita
Dengan bujuk lagi nasihat yang
nyata
Tunjuk pula hingga perang
dengan pedang
Maka nyatalah agama putih
terang
Mudah-mudahan membalas
akan dia
Dengan baik bagi pihak yang
mulia ....
Dalam Ensiklopedia Sejarah
dan Kebudayaan Melayu, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka tahun 1998, arti
"nazam" diterangkan dengan jelas seperti kutipan berikut:
Nazam, sejenis gubahan puisi. Nazam terdiri daripada dua larik
serangkap dengan jumlah perkataan empat hingga enam dalam selarik, dengan
jumlah antara lapan hingga 14 suku kata; menggunakan skema rima a-a, a-b, c-b
atau serima (monorhyme), dengan sedikit variasi dan kekecualian
(misalnya dengan jumlah perkataan lebih daripada. 10). Seuntai nazam mungkin
selesai dengan satu rangkap, tetapi biasanya memerlukan beberapa rangkap atau
link untuk kenyataan suatu keseluruhan.
Istilah 'nazam' kemungkinan besar berasal dari bahasa Arab, bermakna
puisi secara keseluruhan. Dalam tradisi puisi Melayu atau Minangkabau
khususnya, nazam didapati sebagai ragam tersendiri karena terikat dengan jumlah
larik dalam satu bait, jumlah kata dalam satu larik dan pemakaian rima yang
konsisten.
Tema nazam terbatas, umumnya mengisahkan kehidupan nabi Muhammad SAW,
semenjak dilahirkan, semasa kecil, sampai menerima wahyu. Selain itu, nazam
merupakan paparan asas dalam ibadah, misalnya tentang rukun Islam, sifat 20,
sifat-sifat Rasulullah, tentang sembahyang, puasa, zakat, ibadah haji, dan
lain-lain.
Dari segi ragam sastra, nazam tergolong sastra tulis, karena
merupakan penulisan kembali tentang ajaran Islam. Nazam yang terkenal di
Minangkabau adalah Syair Sunur yang
ditulis oleh Syekh Sunur berupa surat kepada anak di Sunur; Pariaman. Selain
itu juga ditemukan Nazam Rasul Yang Dua
Puluh Lima, Nazam Nabi Bercukur.
Ketiga karya tersebut pada judulnya ditulis "syair' tapi di dalam selalu
dikatakan nazam, karena selalu dimulai dengan larik "inilah nazam...".
Nazam dan Perkembangan Islam
Nazam sangat erat kaitan dengan sastra yang berbasis Islam.
Perkembangan nazam tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan perkembangan Islam.
Sidi Gazalba yang banyak mengupas masalah hubungan seni dengan Islam. Dalam
kupasannya mengenai seni di masa Abbasiyah, dia mengatakan bahwa seni Islam
berkembang pada masa Abbasiyah dan meningkat pertumbuhannya di masa Ummaiyah.
Pada zaman itu puisi telah tumbuh dan membuka diri pada pengaruh sastra Arab
dan prosa yang sebelumnya tidak berkembang di masa Abbasiyah, di masa Ummaiyah
ia berkembang dengan pesat. Dalam perkembangan tersebut, ditemui juga roman,
novel, riwayat, dan nazam. Dalam Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu lebih
lanjut terdapat keterangan tentang fungsi nazam dalam konteks masyarakat Islam,
yaitu:
Dari segi fungsi, nazam adalah sejenis dikir (zikir) yang dilagukan,
iaitu hampir sama dengan berzanji dan marhaban. Oleh sebab irama dan rentaknya
yang begitu rupa, lirik nazam dapat dilagukan dalam irama dan rentak yang
berlainan. Kumpulan nazam di Trengganu dikatakan pernah dapat melagukan 16
irama yang berlainan. Dengan yang demikian, ia sangat sesuai dalam menyampaikan
pengajaran agama secara formal, nazam juga sesuai dipersembahkan dalam majlis
yang berhubungan dengan keagamaan; misalnya sambutan Maulidur Rasul, khatam Alquran,
naik buaian (berendoi), dan lain-lain.
Selain puisi dan prosa, pada bahagian lain Gazalba mengatakan
seperti yang ditulis oleh Aziz Deraman, bahwa: drama tidak mendapat perhatian
dalam seni Islam di masa Abbasiyah, kerena drama memerlukan artis wanita dalam
pementasan yang diizinkan aturan Islam. Alasan lain menurut Gazalba disebabkan
drama berlawanan dengan tradisi Arab dan tidak sesuai dengan semangat Islam.
Sebaliknya, kaum Syi'ah menyimpang dari tradisi seni Islam itu. Bahkan mereka
mementaskan "Perang Karbala" sebagai drama di atas panggung. Di sisi
lain, termasuk juga mempersembahkan muzik oleh bangsa Arab sendiri. Oleh itu,
perhatian kepada pendidikan muzik disuarakan di masa akhir Abbasiyah. Meski pun
seni tari menari ada pula bercanggah dalam pendapat oleh sesetengah sarjana.
Dalam melihat perkembangan kesenian pada kebudayaan Islam, lebih
lanjut Sidi Gazalba menerangkan bahawa seni masih berperanan dalam kehidupan
umat Islam di dalam sejarahnya. Maju mundurnya kehidupan seni tergantung pada
keadaan dan susunan kebudayaan. Dari perkembangan nazam yang lebih terfokus
pada tema-tema Islam seperti disebutkan di atas, tampak pengaruh Hamzah Fansuri
pada penulisan teks nazam Melayu Nusantara. Tetapi sebaliknya, Aziz Deraman
berpendapat bahwa puisi-puisi Arab adalah yang mendorong proses asimilasi
tersebut. Misalnya tradisi drama Alam Melayu, sudah sampai ke tingkat tradisi
istana. Ini dapat dilihat semenjak Kerajaan Langkasuka dan Kerajaan Melaka yang
pada saat itu telah menerima Islam. Seterusnya, Aziz Deraman menulis perihal
laporan Tome Pires tentang pemain musik, penari, dan pelakon dalam pertunjukan
kesenian serta penciptaan nazam itu sendiri sebagai berikut:
Tome Pires menulis dalam sebuah catatan, “bahawa ada seorang orang
besar Melaka yang pada masa itu mempunyai 6000 orang abdi yang dilatih bagi
pertunjukkan kebudayaan" pada masa itu. "Orang-orang besar Melaka
bukan sahaja mendirikan masjid dikawasannya, tetapi membina rumah-rumah besar
di luar bandar yang lengkap dengan taman bunga dan pohon buah-buah.
"Mereka juga mempunyai pemain muzik, penari-penari, dan pelakon yang
menghiburkan ahli-ahli mereka dan para jemputan. Seorang pakar agama Islam di
Nusantara iaitu Sheikh Abdul Rauf (lebih popular dipanggilkan Syeikh Kuala, di
Aceh). Di samping itu, beliau juga menaburkan benih-benih kesenian. Dan beliau
turut mengajarkan seniman dan sastrawan dalam cara-cara permainan Rapa'i
(sejenis rebana kecil) dan Dabus, serta mencipta nadzam (nazam) dan sebagainya.”
Berdasarkan uraian di alas, kita dapat mengatakan bahwa inilah
awal dari nazam sebagai tradisi lisan yang benafaskan Islam yang dikembangkan
oleh Syekh Abdul Rauf. Contoh nazam yang lain, dari segi teks sastra sebagian
dapat dilihat antara lain dalam pertunjukan indang, saman, debus, ulu ambek,
rodat, dan hadrah.
Nazam di Minangkabau
Seperti yang telah diuraikan pada bagian awal tulisan ini, bahwa di
Minangkabau sastra nazam pernah berkembang, baik berbetuk sastra tulis maupun
berbentuk sastra lisan.
Dalam bentuk sastra tulis (biasanya dalan aksara Jawi) misalnya Syair Sunur, Syair Nabi yang Dua Puluh Lima, dan Syair Nabi Bercukur. Dalam bentuk lisan ditemukan di Payakumbuh
yang disebut dengan nalam. Pada tahun 1938 nalam ini penah direkam (dalam
bentuk piringan hitam, merek Cap Angsa) di Medan dengan pendendang Miss Rukiyah
asal Padang Jopang. Pada saat ini, Miss Rukiyah masih hidup dan masih dapat
dikonfirmasi kepada beliau. Sayangnya, dokumentasi rekaman tersebut tidak
dimiliki oleh pendendang sendiri. Dulu dia mempunyai satu kopi dari tiga
piringan hitam tersebut tetapi hilang pada zaman PRRI. Barangkali, rekaman
tersebut masih dapat ditelulusri melalui RRI Bukittinggi dan RRI Medan yang pernah
menyiarkan kesenian nazam pada masa itu.
Pada masa yang agak ke belakang, pada akhir tahun 60-an dan awal
70-an pernah ada seorang bernama Cakin yang berkeliling ke beberapa nagari
dengan mendendang syair-syair yang berisi nasihat. Cakin seorang cacat mata,
tetapi ia mempunyai banyak istri yang berganti-ganti, bersama istrinya selalu
membawa sebuah alat musik kecapi (jenis alat musik petik) dan mereka berjalan
keliling kampung di daerah Payakumbuh untuk menghibur orang banyak.
Pada daerah tertentu di Minangkabau orang seperti Cakin ini
dikenal sebagai "Pakiah Geleng" karena ia buta dan mereka selalu
menyanyi dengan rentak tertentu sambil menggelengkan kepalanya. Biasanya,
si-Pakiah Geleng ini bernyanyi dalam rentak nalam atau nazam dengan menggunakan
pantun-pantun yang mengandungi unsur-unsur nasihat dan agama Islam. Orang
seperti Cakin biasanya mencari istri yang mempunyai keterampilan menyanyi dan
berpantun. Pada umumnya, lagu-lagu bercorak pantun yang mengelitik hati dan langsung
mengena jiwa seseorang pendengar, akan lebih banyak dan menarik dipersembahkan
untuk mengambil perhatian orang.
Ketika Cakin memetik kecapinya, sang istri akan melagukan jenis
lagu-lagu nazam sebanyak dua atau tiga bait nyanyian. Di antaranya lagu-lagu
yang dipilih, mungkin berupa bait-bait kalimat agama, pendidikan, nasihat,
syarat sembahyang, kisah nabi-nabi, dan lainnya. Mungkin juga pantun-pantun
cinta dan jenaka. Penampilan nazam ini akan dibayar dengan sejumlah 50 rupiah
(jika dibandingkan dengan sekarang mungkin sama dengan 500 rupiah) atau boleh
jadi dibayar dengan segantang atau secupak beras.
Pertunjukan dapat dilakukan pada halaman atau beranda rumah,
biasanya lebih banyak dilakukan pada siang hari dibanding malam harinya.
Persembahan malam hari dilakukan jika ada orang-orang tertentu yang mempunyai
keinginan untuk menanggap secara khusus misalnya kalau ada acara syukuran atau
sunatan.
Untuk menbuktikan bahwa nazam sebagai ragam sastra yang pernah
hidup di Minangkabau, Harun Mat Piah dalam buku Puisi Melayu Tradisional menjelaskan
bahwa nazam sebagai satu bentuk sastra dalam konteks budaya sastra Minangkabau.
Lengkapnya dia mengemukakan:
... Di Minangkabau tradisi kaba dan nazam masih
diteruskan dan cerita-cerita kaba telah diberi nafas baru dengan mengubahnya
semula untuk pertunjukan seni dalam tari dan randai yang semakin popular. Lebih
daripada itu bentuk randai tidak sahaja dipersembahkan sebagai drama pentas,
tetapi diperluaskan pula dalam bentuk rakaman pita dan kaset, dijual dan
disebarkan di dalam dan di luar Minangkabau.
Sifat dan Ciri Nazam
Bila ditelusuri teks nazam yang ada, akan ditemukan ciri-ciri yang
berhubungan dengan hal berikut:
1) Bersifat teks sastra
yang menampilkan ciri-ciri sastra Melayu lama, ditulis dalam wujud pantun,
gurindam atau syair dalam jumlah dua-dua atau empat-empat pada teks tertentu;
2) Bersifat pembelajaran
agama Islam dalam konteks tradisi awal perkembangan Islam di Nusantara;
3) Bersifat menceritakan
hal berhubungan informasi, hukum, peradilan, dan penguatan adat;
4) Beberapa teks lain
bersifat nasihat-nasihat, pendidikan agama Islam, kisah nabi-nabi, tauhid,
fikih dan pengajaran budi pekerti yang indah;
5) Sifat lain mempunyai
kebaikan dan menghindari kejahatan dan/atau mengambil beberapa perumpamaan atas
fenomena alam;
6) Teks dalam bahasa
Melayu dan/ada teks tertentu yang memasukkan unsur istilah bahasa Arab,
sedangkan sebagian teks yang lain menggunakan dialek lokal seperti bahasa
Minangkabau, dan mungkin bahasa Aceh atau bahasa Melayu lainnya.
Untuk membedakan antara nazam dan syair, diterangkan dengan baik
oleh Harun Mat Piah. Menurutnya, nazam termasuk dalam jenis puisi Melayu
tradisi. Meskipun syair dan nazam dikatakan berasal dari khazanah sastra Arab
dan Parsi, tetapi tidak memperlihatkan persamaan yang menyeluruh dengan
genre-genre puisi Arab dan Parsi. Ada perbedaan antara pantun, syair dengan
nazam yang dapat dilihat dari jumlah baris, seperti kutipan berikut:
... puisi Melayu mengambil dasar empat perkataan
sebaris yang bukan sahaja terhadap kepada pantun dan syair, tetapi juga kepada
bentuk-bentuk yang lain. Memang terdapat keadaan-keadaan yang terkecuali atau
menyimpang daripada dasar tersebut; misalnya terdapat nazam yang terdiri lebih
daripada empat perkataan, ...
Selanjutnya, rima juga memainkan peranan penting dalam menentukan,
apakah sebuah teks sastra tradisi itu berbentuk pantun, syair atau nazam. Harun
sangat jelas membedakan antara ketiga puisi tersebut. Menurutnya rima merupakan
unsur yang amat luas pemakaiannya dan penting dalam puisi Melayu tradisional,
bukan saja dalam genre-genre yang terikat seperti pantun, syair dan nazam.
Penggunaan rima yang paling umum ialah dalam pantun, syair, nazam, dan pada
sebahagian, kerana rima merupakan acuan yang menentukan genre puisi. Namun rima
pantun berbeda dengan rima syair dan nazam: rima pantun adalah a-b-a-b, rima
syair dalah a-a-a-;a, dan nazam mempunyai rima yang berbeda dari keduanya yaitu
a-a-a-b atau a-a, b-b.
Rima nazam a-a-a-b dapat dilihat pada “Nazam Syair Sufi” yang
diterjemahkan oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah, sebagai berikut:
Banyak
mengalir air mata atas pipi
Menyesal
takut akan terkapung api
Syaan
orang wara' shahih taqi shufi
Walau
ia sebesar-besa 'Arifin.
Bahkan
halal diupat-upat akan kamu
Dan
terkadang jadi wajib ceraca kamu
Apabila
sangat nyata fasik kamu
Jadi
rata pada kebanyakkan Mu'minin.
Ambil
di Makkah bawa ke Jawi, sangka orang
Yaqui
intan permata yang dikarang
Tiba-tiba
yang sebenar Iiabut liarang
Yang mengkotor akan segala yang thahirin.
Rima akhir dari tiga bait pertama sama sedangkan akhir pada bait
keempat berbeda dari rima sebelumnya. Dan ini tampak menyeluruh pada naskah
teks Nazham Syair Shufi itu. Dari kenyataan di atas terlihat pula bahwa kata
yang digunakan pada kata terakhir pada bait terakhir tersebut selalu berasal
dari bahasa Arab.
Teks di atas memperlihatkan satu corak yang lain dalam penulisan
nazam yang menggunakan rima dan kata-kata yang khas, yakni, seperti kata
'arifin', 'Mu'minin' atau 'thahirin'. Kata seperti itu terbukti dalam banyak
contoh-cbntoh naskah nazam bertulisan Jawi yang ditemui, meskipun tidak selalu
pada larik ke dua atau larik keempat.
Selanjutnya, dalam pandangan Umar Junus berkaitan dengan
persoalan nazam dan bukan nazam, dijelaskannya dalam kajian terhadap Undang-Undang
Minangkabau (ditulis awal abad ke 19 di Balai Gurah Bukittinggi, koleksi
Perpustakaan Negara Malaysia, Kuala Lumpur, dengan nomor kodeMSS.1589), Bab
Enam dan Tujuh, yaitu teks B dan C. Umar Junus mengelompokannya sebagai
"Dua Teks Nazam". Kedua teks tersebut disebut Junus sebagai teks
nazam dan teks bukan nazam. Dikatakan dua teks nazam, teks C yang nazam dan
yang bukan nazam. Contoh teks nazam di dalam teks tersebut adalah:
Maklum saqhir hamba yang hina, menazamkan hukum
supaya nyata, mudah mengliafaz. supaya rata, masuk ke liati ke dalam dado....
Hukum tuan qadi manang-kala jatuh, silangpun habis khasumat pun taduh, barang
yang manang menerima sungguh, surat kemenangan hendak ditaruh. Nazam ini
sudahlah tamat, orang menyurat aqalnya singkat, di rumah Siti Zahuri tempat
menyurat.
Kutipan berikut dapat memberikan ciri lain, yaitu kuatnya pengaruh
Islam dalam nazam, sebagai berikut:
Suatu lagi nazam ditambah, kepada
dalil dijadikan Allah, inilah pengajar terlalu indah, barang yang menilik boleh
faidah. Tilik olehmu kayu yang gadang, uratnya banyak jalinnya panjang,
sekalian bumi tempat berpagang, ke ampla qiamat tiada terjengkang.... Inilah dalil
hendak dipagang, selama hidup janganlah hilang, mudah2an Allah beroleh manang,
inilah cermin sempurna terang. Syair ini setelah tama barang yang mudah setelah
lakat, barang ang melihat ambil manfa'at, ambil pengajar jadikan obat.
Satu lagi perbedaan yang jelas antara nazam dengan syair adalah
seperti yang diuraikan Umar Junus yaitu nazam lebih bersifat “mengajar
perhubungan kasih” sedangkan syair adalah seni yang tidak wajar dibuka dengan “basmalah”.
*
Sumber: Tabloid Bonsu,
Minggu II/9-15 Mei 2001 dan Tabloid Bonsu, Minggu IV/22-29 Mei 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar