Minggu, 10 Maret 2024

Nazam, Seni Islam Pakiah Geleng

OLEH Yusriwal

 

Foto Dok RKB
Istilah "nazam" dapat dirujuk pada beberapa keterangan. Dalam Kamoes Bahasa Minangkabau-Bahasa Melayoe Riau, terbitan Batavia (Jakarta) 1935, tidak dijumpai kata 'nazam', namun dapat disamakan dengan "nalam", yaitu nazam: banalam-bernazam, bertjerita dengan lagoe teroetama tentang agama atau jang berisi pengadjaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indo­nesia, terbitan Balai Pustaka 1988, ditemukan kata "nalam" dan "nazam". “Nalam” adalah gubahan sajak (syair, karangan); bernalam, membaca puisi atau bercerita dengan lagu; bersajak (bersyair).

"Nazam" adalah puisi yang berasal dari Parsi terdiri atas dua belas larik, berirama dua-dua atau empat-empat, isinya perihal hamba sahaya istana yang budiman. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1984) mengatakan "nalam": gubahan sajak (syair-karangan); "bernalam": bersajak (bersyair); bercerita dengan lagu; "menalamkan": menyajakkan; menceritakan dengan lagu; menggubah, "nazam": sb sajak (syair); karangan; "menazamkan": menyajakkan; mengarang; menggubah; nalam. Kemudian dalam Kamus Dewan Edisi Baru, Kuala Lumpur, Malaysia nazam: (arab) sejenis gubahan puisi (seperti sajak, syair); "bernazam": bercerita dengan lagu, bersajak, bersyair; "menazamkan": menceritakan dengan lagu, mengubah, mengajakkan nalam; "banalam": membaca puisi sambil berlagu.

Oleh sebab itu, para sarjana dan peneliti belum ada yang sepakat untuk menggunakan salah satu istilah: "nadzam" (Agus Deaman, 1984), "najam" (Dada Meuraxa, 1974), "nazham" (Hj. Wan Mohd. Shaghir Abdullah, 1993), "nizam" (Emral Djamal dalam "Nizam Mancinto Did", 1999). Namun, kebanyakan, penulis, lebih suka menggunakan istilah "nazam", misalnya Labai Sidi Rajo (1899), Tuan Haji Ahmad bin Haji Abdul Rauf dan Tuan Haji Omarbin Haji Othman sebelum tahun (1928), Harun Mat Piah; (1989), Baharudin Ahmad;  (1992), Umar Junus; (1997), dan lainnya. Selanjutnya dalam Glosari Istilah Kesusastraan, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dikatakan:

Nazam: Sejenis puisi lama yang setiap rangkapnya terdiri daripada dua baris. Kaedah yang digunakan adalah mengikut gaya timbangan syair Arab. Setiap dua baris itu mempunyai persamaan bunyi dıhujungnya. Umumnya, bentuk puisi ini tidak begitu popular di kalangan orang-orang Melayu ,tetapi leblh biasa di kalangan alim ulama yang mencıpta nazam dengan melagukannya sebagai puji-pujian khususnya terhadap nabi-nabi.

 

Dalam glosari tersebut, juga diberikan beberapa contoh sebagai berikut:

 

Muhammad yang dibangkit akan dia

Dengan suruh tauhid Tuhan yang sedia

 

Pada masa sangat umum shirkinya

Dengan sebab sangat banyak jahilnya

 

Maka menunjuklah ia akan kita

Dengan bujuk lagi nasihat yang nyata

Tunjuk pula hingga perang dengan pedang

Maka nyatalah agama putih terang

 

Mudah-mudahan membalas akan dia

Dengan baik bagi pihak yang mulia ....

 

Dalam Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka tahun 1998, arti "nazam" diterangkan dengan jelas seperti kutipan berikut:

Nazam, sejenis gubahan puisi. Nazam terdiri daripada dua larik serangkap dengan jumlah perkataan empat hingga enam dalam selarik, dengan jumlah antara lapan hingga 14 suku kata; menggunakan skema rima a-a, a-b, c-b atau serima (monorhyme), dengan sedikit variasi dan kekecualian (misalnya dengan jumlah perkataan lebih daripada. 10). Seuntai nazam mungkin selesai dengan satu rangkap, tetapi biasanya memerlukan beberapa rangkap atau link untuk kenyataan suatu keseluruhan.

Istilah 'nazam' kemungkinan besar berasal dari bahasa Arab, bermakna puisi secara keseluruhan. Dalam tradisi puisi Melayu atau Minangkabau khususnya, nazam didapati sebagai ragam tersendiri karena terikat dengan jumlah larik dalam satu bait, jumlah kata dalam satu larik dan pemakaian rima yang konsisten.

Tema nazam terbatas, umumnya mengisahkan kehidupan nabi Muhammad SAW, semenjak dilahirkan, semasa kecil, sampai menerima wahyu. Selain itu, nazam merupakan paparan asas dalam ibadah, misalnya tentang rukun Islam, sifat 20, sifat-sifat Rasulullah, tentang sembahyang, puasa, zakat, ibadah haji, dan lain-lain.

Dari segi ragam sastra, nazam tergolong sastra tulis, karena merupakan penulisan kembali tentang ajaran Islam. Nazam yang terkenal di Minangkabau adalah Syair Sunur yang ditulis oleh Syekh Sunur berupa surat kepada anak di Sunur; Pariaman. Selain itu juga ditemukan Nazam Rasul Yang Dua Puluh Lima, Nazam Nabi Bercukur. Ketiga karya tersebut pada judulnya ditulis "syair' tapi di dalam selalu dikatakan nazam, karena selalu dimulai dengan larik "inilah nazam...".

Nazam dan Perkembangan Islam

Nazam sangat erat kaitan dengan sastra yang berbasis Islam. Perkembangan nazam tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan perkembangan Islam. Sidi Gazalba yang banyak mengupas masalah hubungan seni dengan Islam. Dalam kupasannya mengenai seni di masa Abbasiyah, dia mengatakan bahwa seni Islam berkembang pada masa Abbasiyah dan meningkat pertumbuhannya di masa Ummaiyah. Pada zaman itu puisi telah tumbuh dan membuka diri pada pengaruh sastra Arab dan prosa yang sebelumnya tidak berkembang di masa Abbasiyah, di masa Ummaiyah ia berkembang dengan pesat. Dalam perkembangan tersebut, ditemui juga roman, novel, riwayat, dan nazam. Dalam Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu lebih lanjut terdapat keterangan tentang fungsi nazam dalam konteks masyarakat Islam, yaitu:

Dari segi fungsi, nazam adalah sejenis dikir (zikir) yang dilagukan, iaitu hampir sama dengan berzanji dan marhaban. Oleh sebab irama dan rentaknya yang begitu rupa, lirik nazam dapat dilagukan dalam irama dan rentak yang berlainan. Kumpulan nazam di Trengganu dikatakan pernah dapat melagukan 16 irama yang berlainan. Dengan yang demikian, ia sangat sesuai dalam menyampaikan pengajaran agama secara formal, nazam juga sesuai dipersembahkan dalam majlis yang berhubungan dengan keagamaan; misalnya sambutan Maulidur Rasul, khatam Alquran, naik buaian (berendoi), dan lain-lain.

Selain puisi dan prosa, pada bahagian lain Gazalba mengatakan seperti yang ditulis oleh Aziz Deraman, bahwa: drama tidak mendapat perhatian dalam seni Islam di masa Abbasiyah, kerena drama memerlukan artis wanita dalam pementasan yang diizinkan aturan Islam. Alasan lain menurut Gazalba disebabkan drama berlawanan dengan tradisi Arab dan tidak sesuai dengan semangat Islam. Sebaliknya, kaum Syi'ah menyimpang dari tradisi seni Islam itu. Bahkan mereka mementaskan "Perang Karbala" sebagai drama di atas panggung. Di sisi lain, termasuk juga mempersembahkan muzik oleh bangsa Arab sendiri. Oleh itu, perhatian kepada pendidikan muzik disuarakan di masa akhir Abbasiyah. Meski pun seni tari menari ada pula bercanggah dalam pendapat oleh sesetengah sarjana.

Dalam melihat perkembangan kesenian pada kebudayaan Islam, lebih lanjut Sidi Gazalba menerangkan bahawa seni masih berperanan dalam kehidupan umat Is­lam di dalam sejarahnya. Maju mundurnya kehidupan seni tergantung pada keadaan dan susunan kebudayaan. Dari perkembangan nazam yang lebih terfokus pada tema-tema Islam seperti disebutkan di atas, tampak pengaruh Hamzah Fansuri pada penulisan teks nazam Melayu Nusantara. Tetapi sebaliknya, Aziz Deraman berpendapat bahwa puisi-puisi Arab adalah yang mendorong proses asimilasi tersebut. Misalnya tradisi drama Alam Melayu, sudah sampai ke tingkat tradisi istana. Ini dapat dilihat semenjak Kerajaan Langkasuka dan Kerajaan Melaka yang pada saat itu telah menerima Islam. Seterusnya, Aziz Deraman menulis perihal laporan Tome Pires tentang pemain musik, penari, dan pelakon dalam pertunjukan kesenian serta penciptaan nazam itu sendiri sebagai berikut:

Tome Pires menulis dalam sebuah catatan, “bahawa ada seorang orang besar Melaka yang pada masa itu mempunyai 6000 orang abdi yang dilatih bagi pertunjukkan kebudayaan" pada masa itu. "Orang-orang besar Melaka bukan sahaja mendirikan masjid dikawasannya, tetapi membina rumah-rumah besar di luar bandar yang lengkap dengan taman bunga dan pohon buah-buah. "Mereka juga mempunyai pemain muzik, penari-penari, dan pelakon yang menghiburkan ahli-ahli mereka dan para jemputan. Seorang pakar agama Islam di Nusantara iaitu Sheikh Abdul Rauf (lebih popu­lar dipanggilkan Syeikh Kuala, di Aceh). Di samping itu, beliau juga menaburkan benih-benih kesenian. Dan beliau turut mengajarkan seniman dan sastrawan dalam cara-cara permainan Rapa'i (sejenis rebana kecil) dan Dabus, serta mencipta nadzam (nazam) dan sebagainya.”

Berdasarkan uraian di alas, kita dapat mengatakan bahwa inilah awal dari nazam sebagai tradisi lisan yang benafaskan Islam yang dikembangkan oleh Syekh Abdul Rauf. Contoh nazam yang lain, dari segi teks sastra sebagian dapat dilihat antara lain dalam pertunjukan indang, saman, debus, ulu ambek, rodat, dan hadrah.

Nazam di Minangkabau

Seperti yang telah diuraikan pada bagian awal tulisan ini, bahwa di Minangkabau sastra nazam pernah berkembang, baik berbetuk sastra tulis maupun berbentuk sastra lisan.

Dalam bentuk sastra tulis (biasanya dalan aksara Jawi) misalnya Syair Sunur, Syair Nabi yang Dua Puluh Lima, dan Syair Nabi Bercukur. Dalam bentuk lisan ditemukan di Payakumbuh yang disebut dengan nalam. Pada tahun 1938 nalam ini penah direkam (dalam bentuk piringan hitam, merek Cap Angsa) di Medan dengan pendendang Miss Rukiyah asal Padang Jopang. Pada saat ini, Miss Rukiyah masih hidup dan masih dapat dikonfirmasi kepada beliau. Sayangnya, dokumentasi rekaman tersebut tidak dimiliki oleh pendendang sendiri. Dulu dia mempunyai satu kopi dari tiga piringan hitam tersebut tetapi hilang pada zaman PRRI. Barangkali, reka­man tersebut masih dapat ditelulusri melalui RRI Bukittinggi dan RRI Medan yang per­nah menyiarkan kesenian nazam pada masa itu.

Pada masa yang agak ke belakang, pada akhir tahun 60-an dan awal 70-an pernah ada seorang bernama Cakin yang berkeliling ke beberapa nagari dengan mendendang syair-syair yang berisi nasihat. Cakin seorang cacat mata, tetapi ia mempunyai banyak istri yang berganti-ganti, bersama istrinya selalu membawa sebuah alat musik kecapi (jenis alat musik petik) dan mereka berjalan keliling kampung di daerah Payakumbuh untuk menghibur orang banyak.

Pada daerah tertentu di Mi­nangkabau orang seperti Cakin ini dikenal sebagai "Pakiah Geleng" karena ia buta dan me­reka selalu menyanyi dengan rentak tertentu sambil menggelengkan kepalanya. Biasanya, si-Pakiah Geleng ini bernyanyi dalam rentak nalam atau nazam dengan menggunakan pantun-pantun yang mengandungi unsur-unsur nasihat dan agama Islam. Orang seperti Cakin biasanya mencari istri yang mempunyai keterampilan menyanyi dan berpantun. Pada umumnya, lagu-lagu bercorak pantun yang mengelitik hati dan langsung mengena jiwa seseorang pendengar, akan lebih banyak dan menarik dipersembahkan untuk mengambil perhatian orang.

Ketika Cakin memetik kecapinya, sang istri akan melagukan jenis lagu-lagu nazam sebanyak dua atau tiga bait nyanyian. Di antaranya lagu-lagu yang dipilih, mungkin berupa bait-bait kalimat agama, pendidikan, nasihat, syarat sembahyang, kisah nabi-nabi, dan lainnya. Mungkin juga pantun-pantun cinta dan jenaka. Penampilan nazam ini akan dibayar dengan sejumlah 50 rupiah (jika dibandingkan dengan sekarang mungkin sama dengan 500 rupiah) atau boleh jadi dibayar dengan segantang atau secupak beras.

Pertunjukan dapat dilakukan pada halaman atau beranda rumah, biasanya lebih banyak dilakukan pada siang hari dibanding malam harinya. Persembahan malam hari dila­kukan jika ada orang-orang tertentu yang mempunyai keinginan untuk menanggap secara khusus misalnya kalau ada acara syukuran atau sunatan.

Untuk menbuktikan bahwa nazam sebagai ragam sastra yang pernah hidup di Minangkabau, Harun Mat Piah dalam buku Puisi Melayu Tradisional menjelaskan bahwa nazam sebagai satu bentuk sastra dalam konteks budaya sastra Minangkabau. Lengkapnya dia mengemukakan:

... Di Minangkabau tradisi kaba dan nazam masih diteruskan dan cerita-cerita kaba telah diberi nafas baru dengan mengubahnya semula untuk pertunjukan seni dalam tari dan randai yang semakin popular. Lebih daripada itu bentuk randai tidak sahaja dipersembahkan sebagai drama pentas, tetapi diperluaskan pula dalam bentuk rakaman pita dan kaset, dijual dan disebarkan di dalam dan di luar Minangkabau.

 

Sifat dan Ciri Nazam

Bila ditelusuri teks nazam yang ada, akan ditemukan ciri-ciri yang berhubungan dengan hal berikut:

1)      Bersifat teks sastra yang menampilkan ciri-ciri sastra Melayu lama, ditulis dalam wujud pantun, gurindam atau syair dalam jumlah dua-dua atau empat-empat pada teks tertentu;

2)     Bersifat pembelajaran agama Islam dalam konteks tradisi awal perkembangan Islam di Nusantara;

3)     Bersifat menceritakan hal berhubungan informasi, hukum, peradilan, dan penguatan adat;

4)     Beberapa teks lain bersifat nasihat-nasihat, pendidikan agama Islam, kisah nabi-nabi, tauhid, fikih dan pengajaran budi pekerti yang indah;

5)     Sifat lain mempunyai kebaikan dan menghindari kejahatan dan/atau mengambil beberapa perumpamaan atas fenomena alam;

6)     Teks dalam bahasa Melayu dan/ada teks tertentu yang memasukkan unsur istilah ba­hasa Arab, sedangkan sebagian teks yang lain menggunakan dialek lokal seperti ba­hasa Minangkabau, dan mungkin bahasa Aceh atau bahasa Melayu lainnya.

Untuk membedakan antara nazam dan syair, diterangkan dengan baik oleh Harun Mat Piah. Menurutnya, nazam termasuk dalam jenis puisi Melayu tradisi. Meskipun syair dan nazam dikatakan berasal dari khazanah sastra Arab dan Parsi, tetapi tidak memperlihatkan persamaan yang menyeluruh dengan genre-genre puisi Arab dan Parsi. Ada perbedaan antara pantun, syair dengan nazam yang dapat dilihat dari jumlah baris, seperti kutipan be­rikut:

... puisi Melayu mengambil dasar empat perkataan sebaris yang bukan sahaja terhadap kepada pantun dan syair, tetapi juga kepada bentuk-bentuk yang lain. Memang terdapat keadaan-keadaan yang terkecuali atau menyimpang daripada dasar tersebut; misal­nya terdapat nazam yang terdiri lebih dari­pada empat perkataan, ...

Selanjutnya, rima juga memainkan peranan penting dalam menentukan, apakah sebuah teks sastra tradisi itu berbentuk pantun, syair atau nazam. Harun sangat jelas mem­bedakan antara ketiga puisi tersebut. Menurutnya rima merupakan unsur yang amat luas pemakaiannya dan penting dalam puisi Melayu tradisional, bukan saja dalam genre-genre yang terikat seperti pantun, syair dan nazam. Penggunaan rima yang paling umum ialah da­lam pantun, syair, nazam, dan pada sebahagian, kerana rima merupakan acuan yang menentukan genre puisi. Namun rima pantun berbeda dengan rima syair dan nazam: rima pantun adalah a-b-a-b, rima syair dalah a-a-a-;a, dan nazam mempunyai rima yang berbeda dari keduanya yaitu a-a-a-b atau a-a, b-b.

Rima nazam a-a-a-b dapat dilihat pada “Nazam Syair Sufi” yang diterjemahkan oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah, sebagai berikut:

Banyak mengalir air mata atas pipi

Menyesal takut akan terkapung api

Syaan orang wara' shahih taqi shufi

Walau ia sebesar-besa 'Arifin.

 

Bahkan halal diupat-upat akan kamu

Dan terkadang jadi wajib ceraca kamu

Apabila sangat nyata fasik kamu

Jadi rata pada kebanyakkan Mu'minin.

 

Ambil di Makkah bawa ke Jawi, sangka orang

Yaqui intan permata yang dikarang

Tiba-tiba yang sebenar Iiabut liarang

Yang  mengkotor akan segala yang thahirin.

Rima akhir dari tiga bait pertama sama sedangkan akhir pada bait keempat berbeda dari rima sebelumnya. Dan ini tampak menyeluruh pada naskah teks Nazham Syair Shufi itu. Dari kenyataan di atas terlihat pula bahwa kata yang digunakan pada kata terakhir pada bait terakhir tersebut selalu berasal dari bahasa Arab.

Teks di atas memperlihatkan satu corak yang lain dalam penulisan nazam yang menggunakan rima dan kata-kata yang khas, yakni, seperti kata 'arifin', 'Mu'minin' atau 'thahirin'. Kata seperti itu terbukti dalam banyak contoh-cbntoh naskah nazam bertulisan Jawi yang ditemui, meskipun tidak selalu pada larik ke dua atau larik keempat.

Selanjutnya, dalam pandangan Umar Ju­nus berkaitan dengan persoalan nazam dan bukan nazam, dijelaskannya dalam kajian terhadap Undang-Undang Minangkabau (ditulis awal abad ke 19 di Balai Gurah Bukittinggi, koleksi Perpustakaan Negara Malaysia, Kuala Lumpur, dengan nomor kodeMSS.1589), Bab Enam dan Tujuh, yaitu teks B dan C. Umar Junus mengelompokannya sebagai "Dua Teks Nazam". Kedua teks tersebut disebut Junus sebagai teks nazam dan teks bukan nazam. Dikatakan dua teks nazam, teks C yang nazam dan yang bukan nazam. Contoh teks nazam di dalam teks tersebut adalah:

Maklum saqhir hamba yang hina, menazamkan hukum supaya nyata, mudah mengliafaz. supaya rata, masuk ke liati ke dalam dado.... Hukum tuan qadi manang-kala jatuh, silangpun habis khasumat pun taduh, barang yang manang menerima sungguh, surat kemenangan hendak ditaruh. Nazam ini sudahlah tamat, orang menyurat aqalnya singkat, di rumah Siti Zahuri tempat menyurat.

Kutipan berikut dapat memberikan ciri lain, yaitu kuatnya pengaruh Islam dalam na­zam, sebagai berikut:

Suatu lagi nazam ditambah, kepada dalil dijadikan Allah, inilah pengajar terlalu indah, barang yang menilik boleh faidah. Tilik olehmu kayu yang gadang, uratnya banyak jalinnya panjang, sekalian bumi tempat berpagang, ke ampla qiamat tiada terjengkang.... Inilah dalil hendak dipagang, selama hidup janganlah hilang, mudah2an Allah beroleh manang, inilah cermin sempurna terang. Syair ini setelah tama barang yang mudah setelah lakat, barang ang melihat ambil manfa'at, ambil pengajar jadikan obat.

Satu lagi perbedaan yang jelas antara nazam dengan syair adalah seperti yang diuraikan Umar Junus yaitu nazam lebih bersifat “mengajar perhubungan kasih” sedangkan syair adalah seni yang tidak wajar dibuka dengan “basmalah”. *

 

Sumber: Tabloid Bonsu, Minggu II/9-15 Mei 2001 dan Tabloid Bonsu, Minggu IV/22-29 Mei 2001

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...