Sabtu, 09 Maret 2024

Menyimak Pengalaman Oita


Beberapa tahun yang lalu, Uwan hadir dalam acara penyerahan Magsaysay Award di Manila—Uwan diundang Dr. Umali, salah seorang teman baik dari ANGOC—kepada Gubernur Prefektur Oita, Jepang, Morihito Hiramatsu (sekarang berusia 77 tahun).

Hiramatsu yang menjadi Gubernur Oita 4 kali ini mendapatkan penghargaan untuk kategori pelayanan pemerintah karena mampu mengubah provinsi tertinggal menjadi kota sibuk dan masyarakatnya meraih keberhasilan ekonomi.

Hiramatsu memulai keberhasilannya dengan mendorong masyarakat Oita di Jepang Selatan yang luasnya 6300 kilometer persegi dan berpenduduk 1.240.000 orang ini, memakai pendekatan revitalisasi regional melalui konsep One village One product: Satu desa satu produk unggulan.

Ketika dipilih menjadi gubernur pada 1979, Hiramatsu membuat kebijakan pengembangan regional di bawah otoritasnya dengan konsep merangsang komunitas lokal untuk memproduksi komoditas unggulan yang spesifik. Di samping itu, secara simultan pemerintah memberikan masukan pelayanan teknologi dan peningkatan kemampuan teknis dalam mengubah pola pertanian tradisional, yang berdampak pada reformasi struktur ekonomi masyarakat lokal perdesaan.

Proyek strategis lainnya yang digarap adalah mengem­­­­bangkan potensi kelautan secara terintegrasi dengan pembinaan kenelayanan rakyat lokal, antara lain pengelolaan perikanan yang terkontrol (sustainable yields), pengembangan industri pengolahan hasil laut, membangun  berbagai fasilitas wisata laut berikut industri pariwisatanya, serta paling penting mengoordinasikan pemasarannya. Seluruh pendekatan pembangunan bertumpu pada potensi masyarakat lokal sebagai aktor utamanya (community based coastal and marine resouces management approached) atau pendekatan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut berbasis masyarakat.

Hasilnya, dalam 10 tahun memimpin Oita, Hiramatsu mampu menaikkan peringkat dan posisi prefektur Oita di tingkat Negara Jepang dari nomor 39 pada 1979 menjadi posisi 30 pada 1989 dan menaikkan pula  pendapatan per kapita  masyarakat menjadi 2.300.000 yen. Menurut perhitungan, pendapatan masyarakat ini akan terus  meningkat secara stabil eksponensial sehingga tahun ini  diperkirakan mendekati 3,4 juta yen. Sebuah pertumbuhan yang sangat menggembirakan.

Prefektur ialah sebuah istilah untuk menyatakan suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tersendiri atau wilayah sejak zaman Diokletianus yang membagi Kerajaan Romawi menjadi empat wilayah. Prefektur mirip seperti negara bagian atau provinsi yang dipimpin oleh pemimpin tunggal.

Teori yang mendasari kebijakan provinsi ini adalah menggeser pola perhitungan kondisi ekonomi yang tradisional berbentuk Gross National Product (GNP) kepada Gross National Satisfaction (GNS).

Pendekatan GNS ini lebih berorientasi pada kepuasan hidup masyarakat untuk berproduksi, menikmati lingkungan yang nyaman, kebebasan menerapkan kebiasaan/budaya tanpa intervensi pemerintah, keseharian yang stabil dan berkecukupan serta regulasi pemerintah yang prorakyat. Kenyamanan hidup ini ditunjukkan dalam publikasi resmi Pemerintah Jepang bahwa Provinsi Oita menduduki peringkat ke-12 tingkat negara dan 1 untuk tingkat Pulau Kyushu. Fakta yang menunjukkan kenyamanan hidup akan berimplikasi logis pada peningkatan kualitas hidup dan pada gilirannya memacu produktivitas.

Ada 3 prinsip yang mendasari gerakan satu desa satu produk ini, yakni: (a) Mengutamakan potensi lokal namun berencana untuk global (going local yet global). Artinya mempersiapkan sumber daya lokal berikut seluruh implikasinya. Setelah itu barulah tampil dan bersaing di tingkat global. Sebagai contoh untuk mendukung petani jamur di perdesaan Oita agar mampu go global, Hiramatsu mendirikan Oita Prefectural Center for Mushroom Research and Guidance guna meningkatkan kualitas produksi. Center juga berperan menanamkan pemahaman akan mekanisme mengekspor produk dan memfasilitasi perhitungan skala ekonomi produksi agar mampu berkompetisi di tingkat internasional; (b) Kebebasan berproduksi dengan merangsang kreativitas masyarakat. Artinya ada proses musyawarah membahas tantangan masa datang Oita yang dilakukan secara metodologis partisipatif (mirip pendekatan yang dianut LSM Indonesia dalam memfasilitasi masyarakat). Memberikan kebebasan untuk memilih yang terbaik bagi masyarakat  dengan mengombinasikan berbagai perspektif masa depan, khususnya tentang pendayagunaan sumber daya alam dan manusianya; (c) Satu desa satu produk hakikatnya adalah peningkatan sumber daya lokal. Meningkatkan keterampilan dalam berproduksi (technological know-how), memberikan pemahaman akan tantangan masa datang Oita (future perspective), mengakumulasi pengalaman masyarakat desa dalam berproduksi dan merencanakan secara bebas tanpa tekanan berbagai aktivitas peningkatan kualitas produksi bersama yang disepakati sebagai produk unggulan desa berikut infrastruktur pengelolanya (economic infrastructure development).

Dalam buku yang dikarang Hiramatsu berjudul Think Globally and Act Locally ditekankan bahwa pemberdayaan tenaga produktif kaum muda di desa adalah kunci keberhasilan revitalisasi perdesaan di masa depan.

Pada tahun 1989, dengan pendekatan revitalisasi regional yang diterapkan,  273 produk spesifik (hasil hutan, pertanian, dan hasil laut) telah diekspor ke seluruh dunia dan telah dihasilkan 120 miliar yen. Hasilnya cukup baik dan mencerminkan pemerataan. Sejumlah produk Oita dengan mudah ditemukan di pasaran Eropa dan Amerika, seperti jeruk kabosu, udang himeshima atau buah plum oyama.

Sebuah prefektur masa depan yang berbasis kota-kota (mungkin tingkat kecamatan?) yang dijuluki kota hijau, kota marina, dan kota teknologi telah hadir dan berkembang di Jepang Selatan.

“Berpikir mendunia, bertindak kedaerahan” telah menjadikan prefektur Oita sebagai pusat industri hasil pertanian, hutan, laut dan produk teknologi. 15 tahun kerja keras Hiramatsu telah menunjukkan hasilnya yang terukur. Mampu menekan pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mengmangkuskan potensi kaum muda. Sehingga tak pelak lagi sahabat Uwan—Ontayaki muda—dengan yakin menyatakan bahwa masa depan gemilangnya ada di halaman rumahnya sendiri. Ia tak perlu kemana-mana.

Beberapa kunjungan Uwan ke Oita berikutnya telah menumbuhkan pemahaman, bahkan berkembang ke tingkat obsesi, bahwa pola Oita relevan dengan Sumatera Barat. Otonomi luas untuk provinsi-provinsi Indonesia yang diberlakukan mulai tahun ini membuka peluang untuk kita menyusun secara bebas rencana sendiri, mengembangkan pola implementasinya tanpa harus ada petunjuk pelaksanaan dan teknis dari pusat dan membangun relasi internasional sedikitnya tingkat ASEAN.

“Sister province” Sumatera Barat—Oita sudah dijalin semasa Gubernur Hasan Basri Durin, One Village One Product berdengung ke pelosok nagari, pikiran-pikiran strategis tinggal diakumulasi dan rasanya tinggal membangun jaringan sinergis antara para pihak yang memiliki komitmen terhadap pembangunan negeri ini.

Uwan berharap dalam waktu tidak terlalu lama, kita sudah bisa membeli limau kacang di Amsterdam, sawo sumpu di Sydney dan menyeruput juice markisa dari Alahan Panjang dalam suatu jamuan cocktail di San Fransisco sambil tersenyum simpul mendengar tuan rumah “melagakkan” baju sutera bermotif tradisional Minangkabau asal kerajinan Pandai Sikek yang dibelinya tahun lalu di Bukittinggi.

Di berbagai belahan dunia kita mudah mendapatkan aneka jenis sayuran dataran tinggi yang diekspor oleh Koperasi Petani Bebas Pestisida Sumatera Barat (Kobasida), membaca kelahiran seorang keponakan di Payakumbuh melalui koran Mimbar Minang ketika kepedasan habis makan siang di restoran khas Padang di down-town Kuala Lumpur. Uwan berharap... (ZS)

Mimbar Minang, 19 April 1999

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...