Hiramatsu yang menjadi Gubernur Oita 4 kali ini mendapatkan
penghargaan untuk kategori pelayanan pemerintah karena mampu mengubah provinsi
tertinggal menjadi kota sibuk dan masyarakatnya meraih keberhasilan ekonomi.
Hiramatsu memulai keberhasilannya dengan mendorong masyarakat Oita di Jepang Selatan yang luasnya 6300 kilometer persegi dan berpenduduk 1.240.000 orang ini, memakai pendekatan revitalisasi regional melalui konsep One village One product: Satu desa satu produk unggulan.
Ketika dipilih menjadi gubernur pada 1979, Hiramatsu membuat
kebijakan pengembangan regional di bawah otoritasnya dengan konsep
merangsang komunitas lokal untuk memproduksi komoditas unggulan yang spesifik.
Di samping itu, secara simultan pemerintah memberikan masukan pelayanan
teknologi dan peningkatan kemampuan teknis dalam mengubah pola pertanian
tradisional, yang berdampak pada reformasi struktur ekonomi masyarakat lokal
perdesaan.
Proyek strategis lainnya yang digarap adalah mengembangkan
potensi kelautan secara terintegrasi dengan pembinaan kenelayanan rakyat lokal,
antara lain pengelolaan perikanan yang terkontrol (sustainable yields),
pengembangan industri pengolahan hasil laut, membangun berbagai fasilitas wisata laut berikut
industri pariwisatanya, serta paling penting mengoordinasikan pemasarannya.
Seluruh pendekatan pembangunan bertumpu pada potensi masyarakat lokal sebagai
aktor utamanya (community based coastal and marine resouces management
approached) atau pendekatan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut
berbasis masyarakat.
Hasilnya, dalam 10 tahun memimpin Oita, Hiramatsu mampu
menaikkan peringkat dan posisi prefektur Oita di tingkat Negara Jepang
dari nomor 39 pada 1979 menjadi posisi 30 pada 1989 dan menaikkan pula pendapatan per kapita masyarakat menjadi 2.300.000 yen. Menurut
perhitungan, pendapatan masyarakat ini akan terus meningkat secara stabil eksponensial sehingga
tahun ini diperkirakan mendekati 3,4
juta yen. Sebuah pertumbuhan yang sangat menggembirakan.
Prefektur ialah sebuah istilah untuk menyatakan suatu wilayah yang
memiliki kekuasaan tersendiri atau wilayah sejak zaman Diokletianus yang
membagi Kerajaan Romawi menjadi empat wilayah. Prefektur mirip seperti
negara bagian atau provinsi yang dipimpin oleh pemimpin tunggal.
Teori yang mendasari kebijakan provinsi ini adalah menggeser
pola perhitungan kondisi ekonomi yang tradisional berbentuk Gross National
Product (GNP) kepada Gross National Satisfaction (GNS).
Pendekatan GNS ini lebih berorientasi pada kepuasan hidup
masyarakat untuk berproduksi, menikmati lingkungan yang nyaman, kebebasan
menerapkan kebiasaan/budaya tanpa intervensi pemerintah, keseharian yang stabil
dan berkecukupan serta regulasi pemerintah yang prorakyat. Kenyamanan hidup ini
ditunjukkan dalam publikasi resmi Pemerintah Jepang bahwa Provinsi Oita
menduduki peringkat ke-12 tingkat negara dan 1 untuk tingkat Pulau Kyushu.
Fakta yang menunjukkan kenyamanan hidup akan berimplikasi logis pada peningkatan
kualitas hidup dan pada gilirannya memacu produktivitas.
Ada 3 prinsip yang mendasari gerakan satu desa satu produk
ini, yakni: (a) Mengutamakan potensi lokal namun berencana untuk global (going
local yet global). Artinya mempersiapkan sumber daya lokal berikut seluruh
implikasinya. Setelah itu barulah tampil dan bersaing di tingkat global.
Sebagai contoh untuk mendukung petani jamur di perdesaan Oita agar mampu go
global, Hiramatsu mendirikan Oita Prefectural Center for Mushroom
Research and Guidance guna meningkatkan kualitas produksi. Center juga
berperan menanamkan pemahaman akan mekanisme mengekspor produk dan
memfasilitasi perhitungan skala ekonomi produksi agar mampu berkompetisi di
tingkat internasional; (b) Kebebasan berproduksi dengan merangsang
kreativitas masyarakat. Artinya ada proses musyawarah membahas tantangan
masa datang Oita yang dilakukan secara metodologis partisipatif (mirip
pendekatan yang dianut LSM Indonesia dalam memfasilitasi masyarakat).
Memberikan kebebasan untuk memilih yang terbaik bagi masyarakat dengan mengombinasikan berbagai perspektif
masa depan, khususnya tentang pendayagunaan sumber daya alam dan manusianya;
(c) Satu desa satu produk hakikatnya adalah peningkatan sumber daya lokal.
Meningkatkan keterampilan dalam berproduksi (technological know-how),
memberikan pemahaman akan tantangan masa datang Oita (future perspective),
mengakumulasi pengalaman masyarakat desa dalam berproduksi dan merencanakan
secara bebas tanpa tekanan berbagai aktivitas peningkatan kualitas produksi
bersama yang disepakati sebagai produk unggulan desa berikut infrastruktur
pengelolanya (economic infrastructure development).
Dalam buku yang dikarang Hiramatsu berjudul Think Globally
and Act Locally ditekankan bahwa pemberdayaan tenaga produktif kaum muda di
desa adalah kunci keberhasilan revitalisasi perdesaan di masa depan.
Pada tahun 1989, dengan pendekatan revitalisasi regional yang
diterapkan, 273 produk spesifik (hasil
hutan, pertanian, dan hasil laut) telah diekspor ke seluruh dunia dan telah
dihasilkan 120 miliar yen. Hasilnya cukup baik dan mencerminkan pemerataan.
Sejumlah produk Oita dengan mudah ditemukan di pasaran Eropa dan Amerika,
seperti jeruk kabosu, udang himeshima atau buah plum oyama.
Sebuah prefektur masa depan yang berbasis kota-kota (mungkin
tingkat kecamatan?) yang dijuluki kota hijau, kota marina, dan kota teknologi
telah hadir dan berkembang di Jepang Selatan.
“Berpikir mendunia, bertindak kedaerahan” telah menjadikan
prefektur Oita sebagai pusat industri hasil pertanian, hutan, laut dan produk
teknologi. 15 tahun kerja keras Hiramatsu telah menunjukkan hasilnya yang
terukur. Mampu menekan pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta
mengmangkuskan potensi kaum muda. Sehingga tak pelak lagi sahabat Uwan—Ontayaki
muda—dengan yakin menyatakan bahwa masa depan gemilangnya ada di halaman
rumahnya sendiri. Ia tak perlu kemana-mana.
Beberapa kunjungan Uwan ke Oita berikutnya telah menumbuhkan
pemahaman, bahkan berkembang ke tingkat obsesi, bahwa pola Oita relevan dengan
Sumatera Barat. Otonomi luas untuk provinsi-provinsi Indonesia yang
diberlakukan mulai tahun ini membuka peluang untuk kita menyusun secara bebas
rencana sendiri, mengembangkan pola implementasinya tanpa harus ada petunjuk
pelaksanaan dan teknis dari pusat dan membangun relasi internasional sedikitnya
tingkat ASEAN.
“Sister province” Sumatera Barat—Oita sudah dijalin semasa
Gubernur Hasan Basri Durin, One Village One Product berdengung ke
pelosok nagari, pikiran-pikiran strategis tinggal diakumulasi dan rasanya
tinggal membangun jaringan sinergis antara para pihak yang memiliki komitmen
terhadap pembangunan negeri ini.
Uwan berharap dalam waktu tidak terlalu lama, kita sudah bisa
membeli limau kacang di Amsterdam, sawo sumpu di Sydney dan menyeruput
juice markisa dari Alahan Panjang dalam suatu jamuan cocktail di
San Fransisco sambil tersenyum simpul mendengar tuan rumah “melagakkan”
baju sutera bermotif tradisional Minangkabau asal kerajinan Pandai Sikek yang
dibelinya tahun lalu di Bukittinggi.
Di berbagai belahan dunia kita mudah mendapatkan aneka jenis
sayuran dataran tinggi yang diekspor oleh Koperasi Petani Bebas Pestisida
Sumatera Barat (Kobasida), membaca kelahiran seorang keponakan di Payakumbuh
melalui koran Mimbar Minang ketika kepedasan habis makan siang di
restoran khas Padang di down-town Kuala Lumpur. Uwan berharap... (ZS)
Mimbar
Minang, 19
April 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar