Kamis, 14 Maret 2024

Menuju Punah di Sangalaki

Pulau Sangalaki
Bertemu lagi I Wayan Dirgayusa, setelah bulan Mei 1990 silam pernah bersama-sama Uwan menyelam di Sangalaki, Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Biolog idealis berusia 36 tahun itu kini banyak bermenung. Ia risau karena populasi penyu hijau (green turtle, Chelonia Mydas) yang bertelur ke Pulau Sangalaki menurun pesat.

Matanya berkaca-kaca saat menceritakan hasil pengamatannya di pulau berluas hanya 14 hektare itu. Ia mencatat, tahun 1990 rata-rata 250 ekor penyu bertelur tiap malam. Bayangkan, banyaknya penyu bertelur dan saking terbatasnya area yang cocok telah menyebabkan liang menyimpan telur berhimpitan. Tumpang tindih seakan telurnya berasal dari satu induk.

Bila produksi penyu minimal 100 butir saja per ekor, tiap malam ada 25 ribu butir. Sebulan tentu 750 ribu butir. Bila puncak musim bertelur 4 kali setahun, produksi Sangalaki sedikitnya 3 juta butir per tahun. Bila dirupiahkan, nilainya jelas miliaran.

Dalam rangka PAD untuk Kabupaten Berau, pemda memberikan konsesi kepada swasta untuk memanen dan menjualnya. Nah, sebagaimana layaknya swasta, tentulah panen total, walau ada kesepakatan 10persen harus ditinggalkan. Pendekatan eksploitatif yang diterapkan ini tentulah tentu berdampak luas.

Tahun lalu Wayan mengamati hanya tinggal 27 ekor rata-rata penyu yang bertelur ke Sangalaki per malam di bulan puncak. Artinya, sekitar 10persen dibanding 10 tahun lalu. Kesimpulannya, bila menilik kecenderungan ini, 5-10 tahun mendatang tentu tak ada lagi penyu ke Sangalaki. Punah tuntas.

Kepunahan ini harus dicegah, berbagai upaya mesti dilakukan. Salah satunya, Wayan dan timnya melakukan dialog dengan responden berusia tua yang masih hidup di sana tentang pengelolaan dan pengolahan penyu di masa lalu. Diperoleh cerita bahwa pada zaman Belanda dahulu diterapkan pola lelang bergantian tahun. Satu tahun produksi boleh dipanen dan dilelang, satu tahunnya istirahat. Dalam terminologi lingkungan hidup, boleh disebut pola pengolahan berkelanjutan (sustainable yield approach).

Bila pada masa istirahat masih ada yang memanen penyu, maka dikenakan sanksi adat, yakni membersihkan pantai. Belanda memperlakukan inlander (sebutan ejekan bagi penduduk asli di Indonesia oleh orang Belanda pada masa penjajahan Belanda; pribumi) yang nekad itu dengan beach clean-up agar penyu-penyu leluasa berdatangan untuk bertelur. Pola lelang ini kemudian tak beraturan lagi setelah Indonesia merdeka. Malah, mulai tahun 1976, atas nama PAD, atas nama pembangunan, lelang dilakukan tiap tahun. Kalau tak salah lengkap didukung dengan perda. Masyaallah.

Sebenarnya, dari 100 telur, minimal 85 berhasil menetas menjadi anak penyu yang disebut tukik. Namun hanya 1-2 per seribu tukik yang akan berhasil mendewasa karena beragamnya predator sejenis biawak, kepiting, ikan-ikan besar dan lain-lain. Tukik muda bergerak ke laut, berkelana menuju dewasa. Penyu dikenal sebagai migrant species sehingga ia bisa  melanglang buana ribuan mil sampai ke Mexico, Costa Rica, Brazil, Afrika Selatan, Madagaskar, dan lain-lainnya.

Namun ia akan tetap kembali ke Sangalaki karena sewaktu menghirup udara pertama kali keluar liangnya, terjadi perekaman otomatis suasana lokasinya menetas. Fenomena ini disebut finger-printing, semacam sistem memori untuk navigasi alami penyu bila kelak kembali ke ranah kelahirannya. Mulai umur 15 tahun sampai 80 tahun, ia akan selalu pulang ke Sangalaki. Rutin untuk bertelur, setidaknya sekali dalam 3 tahun.

Melihat kecenderungan di Sangalaki sekarang, yang berkunjung rutin saat ini tentulah penyu “nenek-nenek” yang lahir sebelum kemerdekaan. Karena setelah kemerdekaan tidak ada upaya pelestarian penyu yang serius. Wayan memprediksi terjadi lost of generation atau malah selamanya tak ada lagi penyu ke Sangalaki.

Itulah, Wayan dan WWF Kaltim berkampanye serius mempengaruhi kebijakan kabupaten, yang berbuah dengan ditetapkannya proteksi penuh di Sangalaki. Mudah-mudahan berhasil dan kesimpulannya baru akan diketahui 15-20 tahun mendatang.

Sebenarnya Indonesia meratifikasi konvensi internasional pelestarian penyu dan sekitar tahun 1999 sudah ada PP yang mengaturnya. Namun, tanpa enforcement, eksploitasi bebas berlenggang kangkung. Malah cenderung lebih beringas, hyper-exploitation. Kita ketinggalan dari Brazil yang menerapkan pola pengolahan berkelanjutan yang bertumpu kepada masyarakat (community based and sustainable yield). Brazil memang negara terbaik dalam pelestarian penyu di dunia.  Namun Wayan masih masygul karena tahun lalu itu juga ia menemukan kapal bugis membawa puluhan penyu hijau dengan tujuan Bali. Di Bali penyu hijau memang makanan kesukaan masyarakat.

Dengan maraknya bisnis telur penyu di Pantai Padang asal perairan di Sumatera Barat yang ditambah oleh order partai besar dari Batam, kita perlu mewaspadai kemungkinan kepunahan yang sama. Perlu segera studi intensif menghitung populasi, pola sebaran, di pulau mana saja lokasi penyu bertelur, penyadaran masyarakat, dan tentu strategi pengolahan berkelanjutan. Intinya, perlu aksi pelestarian sedini mungkin.  ZS



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...