Pulau Sangalaki |
Matanya
berkaca-kaca saat menceritakan hasil pengamatannya di pulau berluas hanya 14
hektare itu. Ia mencatat, tahun 1990 rata-rata 250 ekor penyu bertelur tiap
malam. Bayangkan, banyaknya penyu bertelur dan saking terbatasnya area yang
cocok telah menyebabkan liang menyimpan telur berhimpitan. Tumpang tindih
seakan telurnya berasal dari satu induk.
Bila produksi
penyu minimal 100 butir saja per ekor, tiap malam ada 25 ribu butir. Sebulan
tentu 750 ribu butir. Bila puncak musim bertelur 4 kali setahun, produksi
Sangalaki sedikitnya 3 juta butir per tahun. Bila dirupiahkan, nilainya jelas
miliaran.
Dalam rangka
PAD untuk Kabupaten Berau, pemda memberikan konsesi kepada swasta untuk memanen
dan menjualnya. Nah, sebagaimana layaknya swasta, tentulah panen total, walau
ada kesepakatan 10persen harus ditinggalkan. Pendekatan eksploitatif yang
diterapkan ini tentulah tentu berdampak luas.
Tahun lalu
Wayan mengamati hanya tinggal 27 ekor rata-rata penyu yang bertelur ke
Sangalaki per malam di bulan puncak. Artinya, sekitar 10persen dibanding 10
tahun lalu. Kesimpulannya, bila menilik kecenderungan ini, 5-10 tahun mendatang
tentu tak ada lagi penyu ke Sangalaki. Punah tuntas.
Kepunahan ini
harus dicegah, berbagai upaya mesti dilakukan. Salah satunya, Wayan dan timnya
melakukan dialog dengan responden berusia tua yang masih hidup di sana tentang
pengelolaan dan pengolahan penyu di masa lalu. Diperoleh cerita bahwa pada
zaman Belanda dahulu diterapkan pola lelang bergantian tahun. Satu tahun
produksi boleh dipanen dan dilelang, satu tahunnya istirahat. Dalam terminologi
lingkungan hidup, boleh disebut pola pengolahan berkelanjutan (sustainable
yield approach).
Bila pada masa
istirahat masih ada yang memanen penyu, maka dikenakan sanksi adat, yakni
membersihkan pantai. Belanda memperlakukan inlander (sebutan ejekan bagi
penduduk asli di Indonesia oleh orang Belanda pada masa penjajahan Belanda;
pribumi) yang nekad itu dengan beach clean-up agar penyu-penyu leluasa
berdatangan untuk bertelur. Pola lelang ini kemudian tak beraturan lagi setelah
Indonesia merdeka. Malah, mulai tahun 1976, atas nama PAD, atas nama
pembangunan, lelang dilakukan tiap tahun. Kalau tak salah lengkap didukung
dengan perda. Masyaallah.
Sebenarnya,
dari 100 telur, minimal 85 berhasil menetas menjadi anak penyu yang disebut
tukik. Namun hanya 1-2 per seribu tukik yang akan berhasil mendewasa karena
beragamnya predator sejenis biawak, kepiting, ikan-ikan besar dan lain-lain.
Tukik muda bergerak ke laut, berkelana menuju dewasa. Penyu dikenal sebagai migrant species sehingga ia
bisa melanglang buana ribuan mil sampai ke Mexico, Costa Rica, Brazil, Afrika
Selatan, Madagaskar, dan lain-lainnya.
Namun ia akan
tetap kembali ke Sangalaki karena sewaktu menghirup udara pertama kali keluar
liangnya, terjadi perekaman otomatis suasana lokasinya menetas. Fenomena ini
disebut finger-printing, semacam sistem memori untuk navigasi alami
penyu bila kelak kembali ke ranah kelahirannya. Mulai umur 15 tahun sampai 80
tahun, ia akan selalu pulang ke Sangalaki. Rutin untuk bertelur, setidaknya
sekali dalam 3 tahun.
Melihat
kecenderungan di Sangalaki sekarang, yang berkunjung rutin saat ini tentulah
penyu “nenek-nenek” yang lahir sebelum kemerdekaan. Karena setelah kemerdekaan
tidak ada upaya pelestarian penyu yang serius. Wayan memprediksi terjadi lost
of generation atau malah selamanya tak ada lagi penyu ke Sangalaki.
Itulah, Wayan
dan WWF Kaltim berkampanye serius mempengaruhi kebijakan kabupaten, yang
berbuah dengan ditetapkannya proteksi penuh di Sangalaki. Mudah-mudahan
berhasil dan kesimpulannya baru akan diketahui 15-20 tahun mendatang.
Sebenarnya
Indonesia meratifikasi konvensi internasional pelestarian penyu dan sekitar
tahun 1999 sudah ada PP yang mengaturnya. Namun, tanpa enforcement,
eksploitasi bebas berlenggang kangkung. Malah cenderung lebih beringas, hyper-exploitation.
Kita ketinggalan dari Brazil yang menerapkan pola pengolahan berkelanjutan yang
bertumpu kepada masyarakat (community based and sustainable yield).
Brazil memang negara terbaik dalam pelestarian penyu di dunia. Namun Wayan masih masygul karena tahun lalu
itu juga ia menemukan kapal bugis membawa puluhan penyu hijau dengan tujuan
Bali. Di Bali penyu hijau memang makanan kesukaan masyarakat.
Dengan
maraknya bisnis telur penyu di Pantai Padang asal perairan di Sumatera Barat
yang ditambah oleh order partai besar dari Batam, kita perlu mewaspadai
kemungkinan kepunahan yang sama. Perlu segera studi intensif menghitung
populasi, pola sebaran, di pulau mana saja lokasi penyu bertelur, penyadaran
masyarakat, dan tentu strategi pengolahan berkelanjutan. Intinya, perlu aksi
pelestarian sedini mungkin. ZS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar