Foto: Kompasiana |
Pemeluk Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, tidak ada upaya kristenisasi yang dilakukan oleh gereja terhadap penduduk pribumi, kecuali terhadap penduduk Kepulauan Mentawai yang masih menganut animisme.
Pemerintah Belanda melarang keras aktivitas kriste-nisasi
terhadap pribumi. Dan itu ditaati. Tapi, kemudian, ada empat orang pemuda
Minang yang memeluk agama Kristen tahun 1951. Inilah (mungkin) “kecelakaan
pertama” yang terjadi di ranah Minang. Setelah itu sepi.
Tapi, tahun 1999 ranah Minang tersentak, ketika kasus Wawah,
siswa MAN 2 Gunung Pangilun terbongkar. Kristenisasi rupanya telah berlangsung
lambat namun pasti.
Belakangan diketahui bahwa seorang pemuda Lubuk Basung,
Kabupaten Agam, telah menjadi pendeta. Sendi adat Minang goyah dibuatnya.
Adat di sini menyatakan, orang Minang pastilah beragama Islam.
Kalau ia Minang, kemudian pindah agama?
“Ia bukan orang Minangkabau lagi,” kata Ketua Kerapatan Adat
Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat, Haji Kamardi Rais Datuk P Simulie. Tak
soal, Minang lagi atau bukan, yang penting pindah agama dulu.
Hantu yang
Menakutkan
Apa hendak dikata,
kristenisasi memang jalan terus, yang bagi orang Minang telah jadi hantu yang
menakutkan. Setidaknya hal itu, terjadi sejak Wawah, yang dipaksa memeluk
Kristen, pada tahun 1999 silam. Inilah sebuah ketakutan yang datang dalam
kelam. Sewaktu-waktu, anak, adik, kakak, famili dekat atau dirinya sendiri bisa
pindah agama, entah karena sebab apa. Kasus Wawah, dinilai oleh “sahabat” kita
dari pemeluk Kristen sebagai sebuah kasus yang didramatisir dengan dahsyat.
Jauh cerita dari fakta yang sesungguhnya. Mereka lewat internet membantah semua
peristiwa itu. Harian Republika dituduh sebagai media yang berandil
besar mendramatisasi kejadian tersebut.
Sebenarnya, Muhamadiyah Sumatera Barat telah mendeteksi bahwa
gerakan kristenisasi memang ada di daerah itu. Dewan Dakwah Islam Indonesia
(DDII) setempat juga telah mencatatnya. Sosiolog Dr Mochtar Naim juga sudah
membeberkan sejumlah kejadian, bahwa kristenisasi di ranah Minang sedang giat
dilaksanakan. Malah Mochtar menulis di koran lokal bahwa upaya itu dilakukan
lewat berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berkedok kerukunan umat
beragama.
DDII juga sudah mendeteksinya. “Ada sejumlah modus operandi
yang dipakai untuk mengambil pemeluk Islam,” kata Buya Mas’oed Abidin dari DDII
Sumatera Barat kepada Republika. Pertama, dengan cara menjinakkan umat
Islam yang miskin dengan materi. “Ini cara yang sudah kuno, tapi tetap
dipakai,” katanya. Kedua, dengan cara pernikahan. Pernikahan bisa dilangsungkan
dengan cara sejak awal masing-masing pihak sudah menyadari posisinya. Tapi
banyak yang terjebak.
“Malah ada dengan cara hipnotis segala,” kata Buya. Ketiga,
dengan bujuk-rayu. Korban terbanyak adalah anak-anak sekolah. Wawah adalah
salah satu buktinya.
Karena itu, kata Buya Mas’oed, yang perlu dilakukan adalah
memperkuat institusi keluarga. “Kemudian perkembangan intelektual, emosional
harus diselaraskan dengan pemahaman spritual, jika tidak, maka orang sering
tergelincir di sana,” katanya lagi.
Kristenisasi memang menjadi sesuatu yang membuat cemas banyak
orang di Sumatera Barat. Sasarannya adalah desa-desa miskin, kampus dan lembaga
pendidikan menengah. Kondisi inilah yang dipotret oleh sebuah yayasan bernama
Yayasan Paga Nagari (YPN). YPN sejak lama terus memantau geliat gerakan
salibiyah di Sumatera Barat. “Saya punya bukti,” kata ketua YPN Hamdi Elgumanti
menjawab Republika.
Ia kemudian menyodorkan apa yang ia sebut sebagai bukti itu.
Paling tidak ada tiga kelompok besar yang masuk ke Sumatera Barat. Pertama,
kelompok pendeta Akmal Sani. Orang ini adalah anak Pangkalan Koto Baru,
Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. Memeluk Kristen sejak beberapa tahun silam.
Kini ia sudah menjadi tokoh di agama itu. Ia masuk lewat gerakan Kristen
Kharismatik.
Masih menurut Hamdi, kelompok pertama ini merekrut anak-anak
Minang untuk dididik selama tiga bulan sebagai penginjil.
“Daerah operasinya di Sawahlunto Sijunjung, Pasaman, Solok dan
Bukittinggi,” katanya.
Kemudian kedua kelompok Kristen Nehemiah Kristen Centre (NKC)
dengan tokohnya Suradi dan Winangun. Kelompok ini suka membuat kamuflase
ayat-ayat suci Qur’an. Sasarannya penduduk di desa-desa pinggiran provinsi.
Menurut Hamdi, orang asing dari Amerika Serikat bernama Antony
Adams yang diusir dari Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat beberapa waktu
lalu, merupakan salah seorang dari mereka.
“Paga Nagari menemukan kegiatan Adams dan melaporkannya ke
pihak berwenang,” kata Hamdi.
Ketiga, kelompok Sekolah Pendidikan Theologi Apostolos dengan
tokohnya Yusuf Roni. Murid-murid sekolah ini memakai jilbab, belajar agama
Islam sebanyak 40 satuan kredit smester (SKS). “Jadi pemahaman Islamnya lebih
dalam dari kita,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPW-Muhammadiyah Sumatera Barat, Syofwan
Karim Elha menyebutkan, gerakan kristenisasi itu merupakan kewajiban bagi orang
Kristen. “Secara laten dan tersistematis hal itu memang terjadi, persoalannya
kita hanya reaktif sesaat, tidak sistematis pula menghadapinya,” katanya.
Yang penting, kata Syofwan, umat Islam secara bersama-sama
melakukan dakwah bermanfaat bagi umat. Dakwah harus menyentuh persoalan
pendidikan, ekonomi dan ketahanan iman, tak masanya hanya berkutat soal surga
dan neraka saja.
Perubahan materi dakwah ini penting, karena umat Islam sedang
bertarung dengan mereka.
“Bagi mereka kewajiban melakukan kristenisasi, bagi kita jihad
untuk menghentikannya,” katanya.
Muhammadiyah Sumatera Barat dan ormas Islam lainnya telah
mengantisipasinya. “Kita tidak pernah berhenti, sebab kalau berhenti kita
kalah,” katanya.
“Jadi harus berkelanjutan, sebab sasarannya daerah miskin,
daerah transmigrasi dan anak-anak kita yang terlibat narkoba,” katanya.
Tak hanya itu, tapi juga masuk lewat cinta gombal, sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan. Meng-ingat gerakan salibiyah yang terus-menerus itu, maka Syofwan Karim Elha melihat, umat Islam di Sumatera Barat memang harus bahu-membahu memagar keluarga dan agamanya.
Kasus Politani Unand
Kampus Politeknik Pertanian (Politani) Universitas Andalas
(Unand) yang terletak di Tanjung Pati, Kabupaten 50 Kota—sekitar 140 km dari
Padang ke arah perbatasan Riau—merupakan kampus yang sejuk, namun belakangan
kampus itu bagai bara. Api menyala di setiap mata mahasiswa, juga di mata
pemuka masyarakat sekitar kampus. Masalahnya, telah terjadi kristenisasi dengan
cara hipnotis terhadap sejumlah mahasiswa di sana.
Adalah MUI Kabupaten 50 Kota, lewat suratnya tertanggal 20
September 2003 yang ditujukan kepada Rektor Unand Marlis Rahman
menyatakan, bahwa telah terjadi
(kembali) upaya kristenisasi di Kampus Politani Unand, Tanjung Pati. Hal ini
dilakukan oleh beberapa orang dosen dan mahasiswa di sana. Karena itu, MUI
Kabupaten 50 Kota membuat pernyataan bersama, agar rektor memberikan perhatian
yang serius atas kasus tersebut.
“Masyarakat tidak main-main lagi. Kami sudah berusaha untuk
meredamnya, namun jika tidak ditanggapi segera, kami tidak menjamin bahwa
masyarakat kami bisa tahan, apalagi tindakan-tindakan meresahkan tersebut terus
berlangsung di tengah masyarakat,” tulis MUI 50 Kota.
Surat yang ditandatangani ketua dan sekretaris MUI 50 Kota H
RA Dt Paduko Alam dan Z Dt Rajo Mangkuto
itu, menyatakan bahwa upaya kristenisasi telah dilakukan oleh dua orang dosen
dan dua orang mahasiswa Politani. Mereka terdiri dari dua orang dosen dan dua
orang mahasiswa
Lalu apa yang dilakukan insan kampus ini?
Masih menurut MUI 50 Kota, tindakannya meliputi kristenisasi
dengan kekuatan mistik. Banyak korban kesurupan. Malah hampir tiap malam sejak
21 Juni 2003 dan terakhir 22 Agustus 2003. Sampai sekarang, menurut Ketua MUI
50 Kota, Datuk Paduko Alam, keadaan korban belum pulih.
“Pengakuan saudara Demi Hotmawat tanggal 26 Juni 2003 pukuk
07.25 WIB yang menyatakan bahwa ia telah melakukan upaya kristenisasi melalui
sihir kepada pemeluk Islam di 50 Kota. Hal itu dilakukan karena dipaksa oleh
dosennya,” tulis MUI 50 Kota pula.
Masih menurut hasil investigasi MUI 50 Kota, masyarakat menangkap basah Novelinda Silaban meletakkan jejamu sihir di halaman rumah penduduk pada 21 Juni 2003 sekitar pukul 19.00 WIB.
Jatuh 23 korban
Menurut informasi yang dihimpun oleh Forum Bersama Umat Islam
Payakumbuh (ibu kota Kabupaten 50 Kota—3 km dari Tanjung Pati lokasi Kampus
Politani Unand), upaya kristenisasi oleh dosen dan mahasiswa Kristen Politani
itu, telah memakan korban sebanyak 23 orang. Mahasiswa korban upaya
kristenisasi lewat hiptonis itu adalah: Desi Afriani, berasal dari Bengkalis,
Riau, Lisma Zalianti berasal dari Taluak Kuantan, Riau, Nana Apriana juga dari
Bengkalis. Berikut Sumini dari Palembang, Febrianti, Palembang, Yusnimar, dari
Pangan, Jambi, Merianti, dari Bukittinggi. Lalu, Yuliana Veronika Ambia dari
Pelembang, Nora Carolina, Palembang, Maya Sari Siregar, Padang Sidempuan,
Sumatera Utara. Selanjutnya, Devi Afriani, Padang Panjang Sumatera Barat, Liana
Melati, Padang Sidempuan, Kurnia dari Air Molek, Riau, Santi, Padang, dan Nova
dari Medan.
Korban berikutnya, Desi Armianti, dari Solok Sumatera Barat, Sovia, Medan, Helmi dan Ridha juga dari Medan. Dua terakhir yang jadi korban menurut versi Forum Bersama Umat Islam Payakumbuh ini adalah Robiatul Adabiah dan Yesrida Rahman keduanya dari Pasaman, Sumatera Barat. Masih menurut forum ini, yang 23 orang itu, merupakan korban hipnotis yang dilakukan oleh 10 orang mahasiswa Kristen di Politani. Mahasiswi yang jadi korban, semuanya memakai jilbab.
Meluas ke MAN II Payakumbuh
Apa yang disebut sebagai hasil investigasi yang dilakukan LSM
Paga Nagari yang dirilis 6 Oktober 2003 lalu, membeberkan bahwa upaya
kristenisasi telah meluas melampaui dinding kampus Politani. Menurut Ketua Tim
Investigasi Kristenisasi Paga Nagari, Drs Ibnu Aqil D Ghani, sebanyak 11 orang
siswa MAN II Payakumbuh telah jadi korban upaya kristenisasi lewat santet dan
bantuan jin.
Korban berjatuhan pada 24 September 2003. Mereka adalah Yeni
Meia Putri, Maryetio Auliana, Yesi Usman, Efni Ceria, dan Efrina Sastera.
Berikutnya, Eka Novianti, Wahyu Kurniawan, Eva Yusra, Dewi Yusra dan Tuti
Fitria Susanti serta Lili Suryani.
Paga Nagari juga membeberkan bahwa upaya serupa sebelum juga
telah terjadi di Politani pada Agustus 2002 dan Juli 2003. Selanjutnya terjadi
pula Juli 2003 yang menimpa 10 orang santri putri pesantren Khairu Ummah,
Tunggul Hitam, Padang. Menurut Paga Nagari dalam kasus Tunggul Hitam, pelaku
utamanya adalah seorang dosen dari Universitas Negeri Padang (UNP). Kasus
serupa menimpa sejumlah siswi di sebuah pesantren di Tungkar, Kabupaten 50
Kota, pada Agustus 2003.
Karena telah mencatat sejumlah temuan, maka kemudian perantau
dan sejumlah organisasi masyarakat Sumatera Barat pada 6 Oktober 2003
mengeluarkan pernyataan bersama. Inti pernyataan itu mendesak rektor Unand,
gubernur, Kapolda, pihak terkait lainnya untuk cepat bertindak, sehingga upaya
kristenisasi tersebut bisa dihentikan secara optimal. Malah mereka mendesak
pelaku kristenisasi diusir dari Sumatera Barat.
Investigasi Unand
Pembantu Rektor II
Universitas Andalas (Unand) Musliar Kasim kepada Republika di Padang,
Rabu, 15 Oktober, menyatakan, pihaknya baru kembali dari Politani di Tanjung
Pati.
“Saya dan sejumlah dosen yang ditunjuk rektor baru dari
lapangan,” katanya. Musliar sudah mewawancarai para korban dan Direktur
Politani.
“Menurut korban, memang ada upaya untuk mengkristenkan
mereka,” kata Musliar.
Siapa pelakunya? “Ada seseorang yang tinggal di dekat kampus
yang menyamar sebagai pedagang. Dialah yang melakukan hal itu,” kata Musliar.
Orang tersebut telah diusir oleh warga setempat.
Orang tersebut melakukan aktivitas salibiyah ke kampus
Politani. “Ada 23 korban, para korban belum berhasil dikristenkan,” katanya.
Korban sering mengigau dan menyebut-nyebut nama Yesus. “Jangan kristenkan kami,
jangan bawa kami ke gereja,” begitu antara lain igauan mereka.
Soal keterlibatan dosen?
“Menurut Direktur Politani, dosen tidak mungkin terlibat,”
sebut Musliar. Namun, ia tidak bisa
menerima begitu saja pengakuan tersebut. “Saya dan tim akan kembali lagi ke
Politani guna menemui dosen dan mahasiswa yang diduga melakukan gerakan
salibiyah itu,” katanya. Ia belum berani mengambil kesimpulan apakah dosen
terlibat atau tidak. “Kalau terlibat kita akan bilang terlibat, kalau tidak
kita akan bilang tidak,” katanya lagi.
Yang jelas, Unand tidak akan memberi toleransi terhadap pihak manapun yang menjadikan kampusnya sebagai ajang kristenisasi. “Kita tidak akan tolerir hal itu,” katanya.
Proyek Rp100 triliun
Sebuah pertemuan pada 17 September 2003 yang dilangsungkan di
Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) Padang. Dalam pertemuan itu hadir
Ketua MUI Sumatera Barat Prof Nasrun Harun, Sekjen PPIM Najmuddin Muhamad
Rasul, Ketua Forum Penegak Syariat Islam, Irfianda Abidin, Pimpinan Pesantren
Ashaabul Kahfi, Afiif Abdul Hadi, dan dari Komite Peduli Umat Islam Bandung
(KPUB), Jawa Barat, yaitu A Rifki dan Hari Nugraha. Selain mereka juga hadir
30-an peserta lainnya. Dalam acara itu dibicarakan upaya menghambat
kristenisasi di ranah Minang, sebuah suku bangsa yang erat memegang postulat, adat
basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Menurut KPUB, kristenisasi di Indonesia saat ini didanai
dengan uang sebesar Rp 100 triliun. Tidak dijelaskan dari mana asal uang
sebanyak itu dan siapa sumber informasinya. Yang dijelaskan, dana sebanyak itu
dibagi untuk mengkristenkan masyarakat di tiga wilayah penting, yaitu Jawa
Barat Rp 29 triliun dan masing-masingnya Rp 10 triliun untuk Sumatera Barat dan
Sulawesi Selatan. Sisa dana lainnya tidak dijelaskan.
Angka-angka ini memang sulit dilacak. Meski begitu, menurut
Irfianda Abidin, kenyataan hari ini, bahwa Sumatera Barat menjadi prioritas
kedua setelah Jawa Barat. Apapun, kata Ketua MUI Sumatera Barat Nasrun Harun,
kasus kristenisasi di manapun tidaklah berdiri sendiri.
“Ini terkait dengan kerusakan moral seperti narkoba, perjualan
manusia, pornografi dan pornoaksi,” katanya.
MUI ranperda Penyebaran Agama
Karena derasnya upaya kristenisasi itu, Nasrun Harun
menyatakan, MUI akan mendukung mati-matian DPRD Sumatera Barat dalam membuat
ranperda penyebaran agama di daerah itu. ranperda ini dimaksudkan untuk
mengantisipasi kuatnya gerakan salibiyah di Provinsi Sumatera Barat.
“Kita akan mendukung habis-habisan pembuatan ranperda itu,”
kata Ketua MUI Sumatera Barat Prof Nasrun Harun, kepada Republika.
Menurut dia, ranperda itu sangat penting artinya bagi Sumatera
Barat, karena daerah ini merupakan salah satu sasaran penting kaum salibiyah.
Pendapat ini dikemukakan Nasrun menyusul adanya pernyataan
dari DPRD Sumatera Barat yang menyebutkan, lembaga itu segera akan membuat
ranperda insiatif penyebaran agama. Ketua Komisi E DPRD Sumatera Barat, Abdul
Manaf Taher kepada pers menyebutkan, ranperda itu sebenarnya sudah ada, tapi
terkubur cukup lama di tangan eksekutif. Karena tidak jelas kabarnya, maka DPRD
akan membuat ranperda tersebut.
Menurut Abdul Manaf Taher, ranperda tersebut hanya untuk memperkuat SK tiga menteri tentang penyebaran agama. Di situ disebutkan, tidak dibenarkan menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama.
Sejarah
Panjang di Minangkabau
Menurut literatur di zaman penjajahan tidak pernah ada upaya
kristenisasi dilakukan oleh penginjil. Menurut buku berjudul Sumatera Tengah,
sebuah buku paling lengkap tentang Sumatera Tengah sampai detik ini. “Di
daratan Sumatera Tengah ini boleh dikatakan tidak pernah diusahakan pengajaran
Injil kepada rakyat Minangkabau karena larangan dari pemerintah kolonial
Belanda dulu. Oleh karena itu, agama Kristen hanya terdapat di kalangan
beberapa suku penduduk saja yang berada di Padang.”
Masih menurut buku yang sama di Sumatera Tengah (Sumatera
Barat, Riau dan Jambi ) rakyat asli tidak mau masuk agama Kristen, kecuali
orang Mentawai. Ke Mentawai masuk Kristen Protestan pada permulaan abad-20.
Pendeta didatangkan dari kongsi Rheinisce Mission Gesellschaft dengan
pendeta pertama bernama Let yang datang tahun 1910, disusul kemudian pendeta F
Borger dan Finke.
Agama Kristen juga sudah masuk ke Kabupaten Padang Pariaman
Sumatera Barat pada permulaan abad 20 lewat orang Nias, Sumatera Utara.
Penginjil pertamanya adalah seorang Jerman bernama Dorsaf. Orang Nias yang
tinggal di Pariaman yang dikristenkan pertama kali terjadi tahun 1907. Tapi,
sampai sekarang, tidak seorang pun warga asli Pariaman yang masuk agama
Kristen. Dekat Bandara Internasional Ketaping, yang sekarang sedang dibangun
akan ditemukan sejumlah gereja. Di sana mula-mula didirikan sekolah Kristen tahun
1919. Sekarang wilayah yang masuk daerah Padang Pariaman itu, didiami oleh
warga asli beragama Islam dan warga Nias beragama Kristen.
Di Kota Padang telah dibangun gereja tahun 1936 oleh pemeluk
Kristen pribumi dari suku lain (bukan Minang). Mereka adalah ”Belanda Hitam”
yang bertugas di Padang waktu itu. Masih di Padang pemeluk Katholik Roma pada
tahun 1912 berjumlah sekitar 750 orang dan di seluruh Sumatera Barat sekitar
1300 orang, tersebar di Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, dan Sawahlunto.
Sebanyak 95% dari mereka adalah orang Eropa.
Pada tahun 1929 pemeluk Kristen di Padang giat mendirikan
sejumlah lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan mereka maju pesat dengan siswa
anak-anak Tionghoa dan Belanda. Sementara di Bukittinggi telah berdiri
(kembali) geraja sekitar tahun 1916-1917 dengan pendeta Grammer.
Namun gereja Masehi Advent Hari ke Tujuh untuk yang pertama
kalinya didirikan di Indonesia ialah di Padang, yaitu pada tahun 1900.
Pendirinya keluarga R.W. Manson. Orang yang pertama kali berhasil
“dipermandikan” kemudian memeluk agama ini adalah seorang pemuda Batak bernama
Immanuel Siregar, disusul kemudian oleh beberapa orang pemuda Tionghoa.
Orang Minang yang pertama memeluk agama Kristen adalah Kristen
Advent Hari ke Tujuh. Mereka lama bermukim di Singapura. Pada tahun 1950 mereka
pulang kampung. Setahun kemudian perantau ini berhasil mengkristenkan orang
kampungnya sebanyak empat orang dan “dipermandikan” oleh M Siregar yang khusus
didatangkan dari Palembang.
Hari ini, seperti juga abad lalu, pemeluk Islam (mayoritas)
dan pemeluk Kristen di Minangkabau hidup berdampingan. Tidak ada cekcok dan
pertengkaran. Dalam suasana damai itulah kemudian proyek kristenisasi
diluncurkan. Sulit membuktikannya, namun terasa adanya. (KJ)
Harian Republika, Padang, 11 Oktober 2003
Sumber: Buku Khairul Jasmi Minangkabau dalam Reportase (Kumpulan Feature), Penerbit Kabarita Padang, Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar