OLEH Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie
Seorang tabib (dokter) bangsa Belanda, yang datang dari Batavia (sekarang Jakarta), pada suatu hari pergi berburu di hutan sekitar Kota Padang kira-kira setengah jam dari pusat kota. Demikian sebuah catatan penting dan menarik yang ditulis oleh Letnan I Infanterie J.C. Boelhouwer, seorang komandan pasukan Belanda yang bertugas di Padang, Pariaman, Air Bangis, dan lain-lain pada tahun 1831-1834. Ia menulis kenangan-kenangannya itu di bawah judul Sumatra’s Westkust,”Gedurende de jaren 1831-1834.
Sayangnya
tidak dijelaskannya di kawasan mana hutan tempat dokter Belanda itu berburu.
Letnan infanteri itu hanya menyebutkan sekitar setengah jam dari pusat kota.
Saya memperkirakan tempat itu di sekitar Alai Gunung Pangilun. Paling jauh
sekitar Marapalam-Lubuk Lintah. Pada waktu itu mobil belum ada. Sedangkan
Letnan Kolonel Elout hanya naik kuda.
Lalu, apa
yang menarik dari catatan Boelhouwer itu? Yang menarik adalah betapa bencinya
penduduk pribumi atau orang Minangkabau kepada orang kulit putih, penjajah.
Ketika akan pulang, ia merasa haus. Sedangkan persediaan air minum di veldples
sudah habis. Boelhouwer minta kelapa muda pada seorang pribumi. Pohon
kelapa memang banyak tumbuh dekat rumahnya.Boelhouwer minta dikasihani dengan
air minum setempurung (batok kelapa) sembari menyerahkan uang kepada pribumi
atas balas jasanya.
Apa jawab si
pribumi?
“Kalau tuan
mau, panjat sendiri batang kelapa itu. Saya tak punya air dan tak punya waktu
untuk orang kulit putih,” jawabnya sambil meninggalkan Belanda itu terhenyak di
rumput.
Kisah itu
sangat menarik dan penting bagi catatan sejarah. Kalau tidak, dari mana kita
tahu bahwa bangsa kita memang benar-benar anti dan benci pada penjajah. Ini
salah satu bukti tertulis dari orang yang mengalaminya sendiri. Dapat juga kita
sebut bahwa sejarah Perang Paderi ada yang berasal dari sumber asing. Banyak
pengalaman Boelhouwer selama tiga tahun di Sumatera Barat. Semuanya menarik
untuk kita simak.
“Ketika baru
sampai di Padang, banyak hal yang tak memuas-kannya. Beberapa daerah yang
dulunya telah diduduki oleh militer Belanda, tidak berapa lagi yang setia
kepada Nederland. Pemimpinnya sudah banyak yang belot. Prajurit Kerajaan
Belanda ternyata tidak cukup untuk mempertahankan suatu benteng. Sementara
itu, keberanian pihak pribumi untuk
menyerang kubu-kubu pertahanan militer Belanda makin meningkat.
Pasukan kami
(baca: Belanda) pada suatu kali mencoba untuk menyerang kampung Naras di
Pariaman. Semangat juang pribumi di Naras memang sedang meningkat naik, yakni
semangat antiorang kulit putih, semangat antipenjajah. Dua kali pasukan Belanda
beroperasi ke Naras tetapi tak membawa hasil. “Malah kami yang mundur karena
banyak di antara anggota pasukan kami yang tewas dan terluka,” kata Bloelhouwer
dalam catatan kenangannya itu.
“Jalan-jalan
tidak aman. Harus dikawal dengan pasukan bersenjata yang kuat jika kembali ke
Tanah Tinggi atau kembali ke Pariaman lewat pantai,” kata Boelhouwer
melanjutkan.
Letnan I
Infanteri Boelhouwer bersama anggota pasukannya bertolak dari Tanjung Periuk 5
Februari 1831. Mulai berlayar dengan kapal Yessy mengarungi Samudera
Hindia amatlah menyenangkan. Orkes militer menghibur ketika lagi santai di atas
kapal dan sambil mendengarkan lagunya yang seronok ketika makan. Tapi setelah
dua pekan kapal terguncang-guncang dipermainkan oleh gelombang Lautan Hindia,
tiba-tiba berjangkitlah penyakit kolera di kapal. Keadaan itu sungguh tidak
diharapkan dan amat mengerikan. Tak terhitung matros-matros yang meninggal.
Pada suatu pagi ada 11 jenazah yang diluncurkan ke laut.
Di kapal itu
ada 200 orang prajurit Belanda. Di samping itu banyak pula penumpang yang
terdiri dari orang-orang sipil dan awak kapal. Kami takut wabah penyakit itu
menyerang masuk kamar kami,” tulis Boelhouwer.
Berapa orang
yang mati akibat kolera itu?
Boelhouwer
menghitung ada 25 orang serdadu Belanda dan 12 matros kapal. Penumpang lainnya
tidak disebutkannya.
Pada
tanggal 4 Maret 1831 barulah kapal merapat di pelabuhan
Teluk Bayur, Padang. Tapi baru keesokan harinya kami dapat menjejakkan kaki di
ranah Minang atau Sumatera’s Westkust. Jadi tepat sebulan lamanya
pelayaran dari Batavia ke Padang. Kemudian terdengar dentuman meriam berapa
kali menyambut kedatangan rombogan. Lagu Wilhelmus va Nassau diperdengarkan.
Demikianlah
beberapa penggal kisah dari kenang-kenangan Letnan l Infanteri Boelhouwer, seorang Komandan
Kompie pasukan Belanda yang bertugas di Sumatera Barta selama 1831–1834.
Ia berada di
daerah Sumatera Barat dalam salah satu episode Perang Padri, pada titik yang
paling panas. Ketika ia kembali ke negerinya, ia tak melihat lagi pantai Muara
dengan gunung monyetnya, pantai Tiku dan Pariaman, pantai Air Bangis sampai ke
Natal, perkampungan dengan nyiurnya yang melambai dan pinang yang linggayuran
di sela Merapi, Singgalang, dan Sago.
Kejadian
yang dialaminya selama di Sumatera Barat taklah putus begitu saja. Semuanya ia
nukilkan dalam sebuah kenang-kenangan berbentuk buku yang ternyata bukan saja
berguna baginya sebagai serdadu kolonial tapi juga bermanfaat bagi siapa yang
mau membacanya.
Kalau
Boelhouwer tidak menuliskan catatannya, kita yang hidup sekarang tidak akan
bakal tahu 25 serdadu Belanda yang tewas akibat diserang penyakit kolera dan
berkubur di Samudera Hindia. Tidak bakal tahu betapa bencinya orang pribumi
kepada penjajah, dan tidak bakal tahu betapa sengitnya pertempuran di Naras.
Yang menjadi
pertanyaan saya sekarang, kenapa Pak Bupati atau Pak Camat kita enggan
menuliskan pengalamannya setelah bertugas beberapa tahun di suatu daerah?
Padahal pengalaman itu penting untuk dibaca dan dipelajari orang di belakang
hari.”Pengalaman adalah guru,” kata ahli hikmat. Sebagai seorang pejabat di
daerah, mereka mengalami berbagai masalah, berbagai kasus, kemajuan yang
dicapai atau kendalanya. Tentang adat istiadat, seni dan budayanya sebagai
peninggalan purbakala.
Mungkin juga
pengalaman ketika membangun jalan lintas Sumatera di Kabupaten Sawahlunto
Sijunjung pada tahun 70-an dulu, pemindahan ibu kota Kabupaten Agam ke Lubuk
Basung, pembangunan jalan Padang By Pass, pemindahan penduduk Tanjung Pauh dan
Tanjung Balit di Kecamatan Pangkalan Koto Baru, pembangunan GOR H. Agus Salim
yang dulunya bernama Rimbo Kaluang, pembangunan Istana Pagaruyung, Si Lindung
Bulan, dan banyak lagi yang lain yang harus ditulis untuk dibaca dan dipelajari
orang di belakang hari kelak.
Kalau kita
sadar betapa tingginya nilai suatu memori, kenapa kita enggan untuk
menulisnya.*
Ditulis
dalam buletin “Tuah Sakato”, terbitan Humas Pemerintah Daerah Sumatera Barat
tahun 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar