Jumat, 15 Maret 2024

Kenang-kenangan Luitenant Boelhouwer: Kenapa Pak Bupati dan Camat Enggan Menulis?

OLEH Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie

Seorang tabib (dokter) bangsa Belanda, yang datang dari Batavia (sekarang Jakarta), pada suatu hari pergi berburu di hutan sekitar Kota Padang kira-kira setengah jam dari pusat kota. Demikian sebuah catatan penting dan menarik yang ditulis oleh Letnan I Infanterie J.C. Boelhouwer, seorang komandan pasukan Belanda yang bertugas di Padang, Pariaman, Air Bangis, dan lain-lain pada tahun 1831-1834. Ia menulis kenangan-kenangannya itu di bawah judul Sumatra’s Westkust,”Gedurende de jaren 1831-1834.

Sayangnya tidak dijelaskannya di kawasan mana hutan tempat dokter Belanda itu berburu. Letnan infanteri itu hanya menyebutkan sekitar setengah jam dari pusat kota. Saya memperkirakan tempat itu di sekitar Alai Gunung Pangilun. Paling jauh sekitar Marapalam-Lubuk Lintah. Pada waktu itu mobil belum ada. Sedangkan Letnan Kolonel Elout hanya naik kuda.

Lalu, apa yang menarik dari catatan Boelhouwer itu? Yang menarik adalah betapa bencinya penduduk pribumi atau orang Minangkabau kepada orang kulit putih, penjajah. Ketika akan pulang, ia merasa haus. Sedangkan persediaan air minum di veldples sudah habis. Boelhouwer minta kelapa muda pada seorang pribumi. Pohon kelapa memang banyak tumbuh dekat rumahnya.Boelhouwer minta dikasihani dengan air minum setempurung (batok kelapa) sembari menyerahkan uang kepada pribumi atas balas jasanya.

Apa jawab si pribumi?

“Kalau tuan mau, panjat sendiri batang kelapa itu. Saya tak punya air dan tak punya waktu untuk orang kulit putih,” jawabnya sambil meninggalkan Belanda itu terhenyak di rumput.

Kisah itu sangat menarik dan penting bagi catatan sejarah. Kalau tidak, dari mana kita tahu bahwa bangsa kita memang benar-benar anti dan benci pada penjajah. Ini salah satu bukti tertulis dari orang yang mengalaminya sendiri. Dapat juga kita sebut bahwa sejarah Perang Paderi ada yang berasal dari sumber asing. Banyak pengalaman Boelhouwer selama tiga tahun di Sumatera Barat. Semuanya menarik untuk kita simak.

“Ketika baru sampai di Padang, banyak hal yang tak memuas-kannya. Beberapa daerah yang dulunya telah diduduki oleh militer Belanda, tidak berapa lagi yang setia kepada Nederland. Pemimpinnya sudah banyak yang belot. Prajurit Kerajaan Belanda ternyata tidak cukup untuk mempertahankan suatu benteng. Sementara itu,  keberanian pihak pribumi untuk menyerang kubu-kubu pertahanan militer Belanda makin meningkat.

Pasukan kami (baca: Belanda) pada suatu kali mencoba untuk menyerang kampung Naras di Pariaman. Semangat juang pribumi di Naras memang sedang meningkat naik, yakni semangat antiorang kulit putih, semangat antipenjajah. Dua kali pasukan Belanda beroperasi ke Naras tetapi tak membawa hasil. “Malah kami yang mundur karena banyak di antara anggota pasukan kami yang tewas dan terluka,” kata Bloelhouwer dalam catatan kenangannya itu.

“Jalan-jalan tidak aman. Harus dikawal dengan pasukan bersenjata yang kuat jika kembali ke Tanah Tinggi atau kembali ke Pariaman lewat pantai,” kata Boelhouwer melanjutkan.

Letnan I Infanteri Boelhouwer bersama anggota pasukannya bertolak dari Tanjung Periuk 5 Februari 1831. Mulai berlayar dengan kapal Yessy mengarungi Samudera Hindia amatlah menyenangkan. Orkes militer menghibur ketika lagi santai di atas kapal dan sambil mendengarkan lagunya yang seronok ketika makan. Tapi setelah dua pekan kapal terguncang-guncang dipermainkan oleh gelombang Lautan Hindia, tiba-tiba berjangkitlah penyakit kolera di kapal. Keadaan itu sungguh tidak diharapkan dan amat mengerikan. Tak terhitung matros-matros yang meninggal. Pada suatu pagi ada 11 jenazah yang diluncurkan ke laut.

Di kapal itu ada 200 orang prajurit Belanda. Di samping itu banyak pula penumpang yang terdiri dari orang-orang sipil dan awak kapal. Kami takut wabah penyakit itu menyerang masuk kamar kami,”  tulis  Boelhouwer.

Berapa orang yang mati akibat kolera itu?

Boelhouwer menghitung ada 25 orang serdadu Belanda dan 12 matros kapal. Penumpang lainnya tidak disebutkannya.

Pada tanggal  4  Maret 1831 barulah kapal merapat di pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Tapi baru keesokan harinya kami dapat menjejakkan kaki di ranah Minang atau Sumatera’s Westkust. Jadi tepat sebulan lamanya pelayaran dari Batavia ke Padang. Kemudian terdengar dentuman meriam berapa kali menyambut kedatangan rombogan. Lagu Wilhelmus va Nassau diperdengarkan.

Demikianlah beberapa penggal kisah dari kenang-kenangan Letnan  l Infanteri Boelhouwer, seorang Komandan Kompie pasukan Belanda yang bertugas di Sumatera Barta selama 1831–1834.

Ia berada di daerah Sumatera Barat dalam salah satu episode Perang Padri, pada titik yang paling panas. Ketika ia kembali ke negerinya, ia tak melihat lagi pantai Muara dengan gunung monyetnya, pantai Tiku dan Pariaman, pantai Air Bangis sampai ke Natal, perkampungan dengan nyiurnya yang melambai dan pinang yang linggayuran di sela Merapi, Singgalang, dan Sago.

Kejadian yang dialaminya selama di Sumatera Barat taklah putus begitu saja. Semuanya ia nukilkan dalam sebuah kenang-kenangan berbentuk buku yang ternyata bukan saja berguna baginya sebagai serdadu kolonial tapi juga bermanfaat bagi siapa yang mau membacanya.

Kalau Boelhouwer tidak menuliskan catatannya, kita yang hidup sekarang tidak akan bakal tahu 25 serdadu Belanda yang tewas akibat diserang penyakit kolera dan berkubur di Samudera Hindia. Tidak bakal tahu betapa bencinya orang pribumi kepada penjajah, dan tidak bakal tahu betapa sengitnya pertempuran di Naras.

Yang menjadi pertanyaan saya sekarang, kenapa Pak Bupati atau Pak Camat kita enggan menuliskan pengalamannya setelah bertugas beberapa tahun di suatu daerah? Padahal pengalaman itu penting untuk dibaca dan dipelajari orang di belakang hari.”Pengalaman adalah guru,” kata ahli hikmat. Sebagai seorang pejabat di daerah, mereka mengalami berbagai masalah, berbagai kasus, kemajuan yang dicapai atau kendalanya. Tentang adat istiadat, seni dan budayanya sebagai peninggalan purbakala.

Mungkin juga pengalaman ketika membangun jalan lintas Sumatera di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung pada tahun 70-an dulu, pemindahan ibu kota Kabupaten Agam ke Lubuk Basung, pembangunan jalan Padang By Pass, pemindahan penduduk Tanjung Pauh dan Tanjung Balit di Kecamatan Pangkalan Koto Baru, pembangunan GOR H. Agus Salim yang dulunya bernama Rimbo Kaluang, pembangunan Istana Pagaruyung, Si Lindung Bulan, dan banyak lagi yang lain yang harus ditulis untuk dibaca dan dipelajari orang di belakang hari kelak.

Kalau kita sadar betapa tingginya nilai suatu memori, kenapa kita enggan untuk menulisnya.*

 

 

Ditulis dalam buletin “Tuah Sakato”, terbitan Humas Pemerintah Daerah Sumatera Barat tahun 1992.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...