eDY uTAMA
Edy Utama, 43 tahun, adalah sosok pekerja seni. Seluruh
waktunya nyaris ia habiskan untuk pengembangan seni dan budaya. Sebagian besar
kehidupannya dicurahkan untuk pengembangan kebudayaan, terutama seni tradisi
Minangkabau. Kini pria yang menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat
ini semakin intens menggeluti dunia seni dan budaya.
Tak henti-hentinya ia berusaha untuk meyakinkan
banyak orang untuk mendapatkan dukungan bagi agenda-agenda kebudayaan yang
dikembangkan. Edy adalah penggagas sekaligus pelaksana Festival Pesisir. Sebuah
aktivitas kebudayaan yang mengangkat martabat budaya pesisir. Edy pula yang
memprakarsai Alek Nagari, kegiatan kebudayaan untuk menyambut kembalinya sistem
pemerintahan nagari di Sumatera Barat.
Bersama kelompok seni Talago Buni, Edy
mengusung budaya Minangkabau yang dikemas secara kontemporer berkelana ke
sejumlah Negara. Tak sekadar pentas, Edy ingin menunjukkan bahwa seni tradisi
Minangkabau memiliki kesetaraan dengan budaya di belahan dunia lain.
“Minangkabau memiliki sesuatu yang layak ditawarkan sebagai bagian tatanan
pergaulan dunia,” ujarnya.
Berbicara tentang kebudayaan dengan Edy bagai
membangkitkan semangat hidupnya. Meski tak tampak intonasi maupun tekanan
suara, namun Edy begitu kaya akan wacana. Sesekali ia mengajukan pertanyaan
kepada lawan bicara untuk mengajak diskusi.
Kepada wartawan Republika, Khairul Jasmi, ia mengungkapkan pandangannya tentang kebudayaan dan seni. Tak terkecuali perjalanannya mempro-mosikan budaya Minangkabau ke luar negeri. Berikut petikannya.
Benarkah Anda
“menjual” budaya Minang ke luar negeri?
Tidak juga. Tapi, zaman saat ini
memang membuka peluang bagus munculnya local cultural (budaya lokal-red)
yang punya keunikan dan spesifik. Dalam artian, berbeda dengan bidang
kebudayaan yang dikembangkan dan diekspor oleh industri kapitalisme.
Nah, Minangkabau
memanfaatkan peluang itu. Kelihatannya malah bisa menjadi salah satu kebudayaan
dunia. Kelihatannya diterima secara luas, oleh kalangan peminat kebudayaan di
dunia. University of Hawaii misal-nya. Di perguruan tinggi ini, telah
ditetapkan sekali empat tahun diadakan kelas randai dari Minangkabau.
Siapa yang menjadi
pengajarnya?
Guru-gurunya didatangkan dari
Minangkabau. Kegiatan ini akan dilakukan secara terus-menerus. Untuk tahun 2001
kita sudah mengirim seniman randai Musra Dahrizal dan seniman saluang, Hasan
Nawi. Keduanya mengajar selama satu semester.
Masuk dalam kategori
bidang studi apa?
Di universitas tersebut, randai
Minangkabau menjadi salah satu bidang studi dari drama-drama Asia. Dengan
demikian, kini di sana telah diajarkan drama dari empat kebudayaan; Jepang,
Cina, India, dan Minangkabau. Jadi dari Indonesia hanya randai.
Malah tahun 2004 ini, saya sudah
bicarakan dengan pihak universitas itu, randai akan dijadikan bidang studi
khusus. Ini merupakan satu loncatan yang luar biasa. Sebab, merupakan satu
pengakuan terhadap kekuatan-kekuatan seni dan tradisi yang kita miliki. Dengan
demikian, perjalanan ke luar negeri grup-grup kesenian dari Sumatera Barat dan
Jakarta, semakin mendapatkan tempat.
Artinya, Minangkabau memiliki
sesuatu yang spesifik untuk ditawarkan sebagai bagian dari tatanan pergaulan
dunia. Jika hal itu menjadi strategi kita dalam memper-kenalkan kebudayaan,
tanpa mengabaikan harga diri, Minangkabau akan menjadi salah satu budaya yang
punya pasar di luar.
Bagaimana cara Anda
menembus Hawaii of University?
Pada tahun 1995 dan 1996 saya
melakukan diskusi panjang dengan Kristian Pauka dari Hawaii of University. Ia
datang dari Honolulu. Saya membantunya melakukan penelitian tentang randai di
Sumatera Barat selama delapan bulan.
Memang dari awal ia sudah
berminat tentang itu. Realisasinya baru tahun 2000/2001 dan pada tahun-tahun
selanjutnya. Dampaknya bagi kita ke dalam, jelas akan menjadi sumber untuk bisa
menumbuhkan keper-cayaan diri orang Minangkabau. Bahwa kebudayaan tradisi yang
dianggap ketinggalan zaman dan diremehkan, ternyata menjadi bagian penting bagi
proses interaksi global.
Ini tergantung pada kita.
Tergantung, bagaimana menyikapinya secara bersama. Harus disadari bahwa
panggung kebudayaan tidak hanya terbatas pada wilayah-wilayah yang sifatnya
lokal, tapi telah meng-global. Kalau seniman-seniman kita mau memberi-kan
respons yang positif terhadap itu, tinggal bagaimana jaringan-jaringan baru.
Di Minangkabau
sendiri bagaimana pembinaan randai dilakukan?
Sebenarnya, pembinaan randai
boleh dikatakan tidak ada. Untuk kesenian hal itu tidak berlaku. Jika mau
memakai kata “pembinaan” juga, maka itu, lebih bersifat menciptakan iven-iven
bagi seniman randai. Gunanya, untuk menumbuhkan kreativitas.
Jadi tidak dalam pengertian
membina dan meng-arahkan seniman randai. Kita melihat, masyarakat punya
kemampuan untuk mengembangkan dirinya sendiri. Kemampuan merespons perkembangan
dan menangkap idiom-idiom baru. Ini semua, otomatis bisa mempertahan-kan komunikasi
mereka dengan lingkungan yang berubah.
Jadi bagaimana proses
tumbuhnya kebudayaan lokal ini?
Pengelolaan randai betul-betul
lahir dari kecintaan mereka untuk meneruskan warisan budaya. Dewan kesenian
sendiri juga tidak melakukan pembinaan. Tapi dewan sekadar memberikan
alasan-alasan yang bersifat kultural saja.
Kecintaan mereka pada randai
memang cukup dalam. Sebab secara material mereka tidak mendapatkan apa-apa.
Bahkan mereka mensubsidi sendiri kegiatannya. Ini suatu spirit budaya yang
sebenarnya menjadi modal utama. Sekaligus menjadi status sosial kelompok itu.
Bagaimana dengan
keterlibatan Anda dalam sinetron “Duo Datuk Maringgih”?
Ya saya terlibat sejak awal. Saya
menjadi konsultan produksi dalam pembuatan sinetron itu. Produsernya Multi
Vision. Sinetron itu sebenarnya menangkap persoalan-persoalan yang aktual dalam
masyarakat Minang.
“Dua Datuk Maringgih” sebenarnya hanyalah
merupakan sebuah simbol dari suatu penyimpangan perilaku yang selama ini
ditutup-tutupi. Dalam sinetron itu, “Duo Datuak Maringgih” bukanlah tokoh
sentral tapi sekadar sebutan plesetan dari seorang datuk bernama Datuk Rajo
Dihati.
Datuk ini, menafsirkan adat
sesuai seleranya sendiri. Ia arogan dan sombong. Yang ingin dijelaskan ialah
bagaimana menangkap sikap-sikap baru yang muncul dalam masyarakat; kemunafikan,
kerakusan. Tapi juga menggambarkan hal-hal yang positif; bagaimana suatu
mekanisme hukum ada diberlakukan di kalangan penghulu yang masih punya
komitmen, punya kesetiaan pada nilai-nilai adat. Dalam sinetron itu, ada
kelihatan bahwa Datuk Rajo Dihati akhirnya dibuang sepanjang adat.
Bagaimana Anda
melihat posisi masyarakat kesenian saat ini?
Sebenarnya, selama ini masyarakat
seni, merupakan komunitas yang termajinalkan. Kurang mendapatkan perhatian dari
kalangan menengah ke atas dan pemerintah. Saya melihat, untuk memberikan
perhatian ke komunitas itu (masyarakat kesenian-red), menjadi pilihan
yang sulit bagi mereka. Maka, jangan disesali, kalau hingga saat ini tidak
jelas strategi pengembangan kesenian di Indonesia.
Jika begitu, apa yang
harus dilakukan?
Pemerintah harus lebih serius
lagi, jangan hanya sibuk berkutat di dunia politik. Oleh sebab itu, secara
pribadi saya merasa perlu mengambil tempat di dunia kesenian. Ini dimaksudkan
untuk mempengaruhi perhatian berba-gai pihak untuk lebih mau memperhatikan
dunia yang satu ini. Syukur untuk Sumatera Barat, kelihatannya ada perbaikan.
Bagaimana perhatian
untuk seni tradisi?
Ya, kini terjadi pemahaman yang
salah. Ada kalangan dalam masyarakat Minangkabau yang menyebutkan, seni tradisi
tak lagi mampu menghadapi tantangan zaman. Ada pula yang menganggap budaya
tradisi sudah ditinggalkan masyarakat pendukungnya.
Ini bisa betul dan bisa salah.
Dari perspektif kota, misalnya, memang tak terlihat dan tak terasa dinamika
seni tradisi itu. Tapi di sisi lain, banyak sekali muncul bentuk-bentuk seni
alternatif dalam mengembangkan seni tradisi di Minangkabau. Randai, misalnya,
mencoba memperbaharui diri dengan bermacam-macam idiom. Saluang dendang juga
menjadi pertunjukan yang menarik.
Artinya terjadi revitalisasi dari
seni pertunjukan tradisi, untuk tetap bertahan dan melakukan komunikasi yang
baik dengan masyarakat pendukungnya. Sejauh yang saya amati, cukup sehat dan
menggembirakan, walaupun banyak pihak menyatakan budaya tradisi sudah
ditinggalkan, tapi saya tidak melihat hal itu.
Apa dasar penilaian
Anda?
Sebenarnya, komunitas kesenian
tradisional tetap tumbuh dan berkembang sesuai karakternya, yaitu punya
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perkem-bangan baru. Tapi seni tradisi
saja, tidak memberikan pengaruh yang kuat terhadap suasana kehidupan budaya
umumnya dan kesenian khususnya. Apalagi dalam masyarakat heterogen.
Masyarakat Minangkabau sendiri
tidak lagi disebut homogen. Ini dicerminkan oleh masyarakat perkotaan, semisal
Padang. Juga oleh masyarakat Minangkabau yang tumbuh dan besar di rantau.
Mereka sangat memerlukan apresiasi terhadap kesenian dan budayanya sendiri.
Kalau begitu apa
perlu ada sebuah komunitas kesenian modern?
Ya. Tapi, komunitas kesenian
modern yang tumbuh di kota-kota juga termarjinalkan. Ini akibat tumbuh dan
berkembangnya industri budaya yang digerakkan modal, oleh kapitalisme.
Nah, sebenarnya, ini
menjadi soal yang cukup diplomatik. Sebab bagaimanapun perkembangan sebuah
kebudayaan juga memerlukan tempat bagi suatu ide baru itu, juga berada dalam
posisi yang termajinalkan.
Apa yang mendasari
Anda menggelar “Festival Pesisir”?
Saya melihat kawan-kawan
memberikan perhatian pada acara itu. Festival ini merupakan reaksi/respons
terhadap peminggiran budaya kecil yang ada di daerah pesisir Sumatera Barat.
Selama ini dianggap sejarah dan latar belakangnya sama dengan budaya Minangkabau
pedalaman. Padahal pesisir punya ciri sendiri.
Dewan Kesenian Sumatera Barat
(DKSB) kemudian memberikan respons atas kondisi itu. Lalu mencoba menegaskan
batas-batas wilayah keduanya. DKSB hendak menegaskan bahwa perlu ada pengakuan
yang jelas atas perbedaan itu.
Bagaiman dengan “Alek
Nagari”?
“Alek Nagari” merupakan pesta
rakyat dalam menyambut perubahan desa menjadi nagari. Sumatera Barat dulu
memiliki basis kultural yang sangat kuat bernama nagari. Tapi kemudian dengan
diberlakukannya Undang-Undang No 5 Tahun 1979, nagari diubah menjadi desa yang
berbau Jawa. Akibatnya, kreativitas penduduk menjadi mati.
Kini, dengan diberlakukannya UU
No 22 Tahun 1999 (kini direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2005-Editor)
dengan Sumatera Barat kembali ke nagari.
Desa mereka tinggalkan. Untuk menyambut hal itu diadakan alek nagari. DKSB
memilih tempat di Batipuh, dekat Padang Panjang. Ribuan orang hadir, memberikan
apresiasi. Ini yang membesarkan hati.
Pesta itu sangat pantas diadakan,
sebab nagari merupakan basis kultural. Tapi karena terjadi intervensi yang
sangat jauh dari negara, institusi pendukung di nagari tidak lagi berfungsi.
Dengan mengangkat “Alek Nagari” akan muncul kegiatan baru untuk mengembangkan
lagi institusi budayanya sebagai ekspresi bersama.
Untuk tahun-tahun mendatang, kita
akan memberikan satu bentuk yang lebih jelas. Sebab “Alek Nagari” tidak bisa
diseragamkan. Pendekatannya membangkitkan potensi masyarakat untuk membangun
budayanya sendiri. Di samping ingin mengembalikan hak-hak budaya mereka. Sebuah
hak, yang selama ini ada pada masyarakat nagari, tapi terkooptasi oleh sistem
yang sangat sentralistis.
Dunia Edy Utama barangkali ditakdirkan memang
dalam lingkungan pemikiran dan kerja kebudayaan. Tak terkecuali dengan
keluarganya. Sang istri, Noni Sukmawati (38), kini tengah bergulat merampungkan
Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Antropologi,
UGM-Yogyakarta. Pasangan Edy-Noni dikaruniai anak kembar, Amasukma Utama dan
Amisukma Utami.
Rumah tangga Edy-Noni tampak berjalan dengan penuh
santai dan apa adanya. Bagi yang belum
mengenalnya, pasangan Edy dan Noni nyaris bukan seperti suami istri. Mereka
laiknya adik-kakak. Apalagi Edy sendiri disapa sang istri dengan “Bung”. Sebuah
panggilan yang lidah pasangan suami istri lain berat mengucapkannya.
Edy memang tumbuh dalam lingkungan adat
Minangkabau yang terkenal memegang erat tradisi. Namun, pria kelahiran Lubuk
Sikaping 1 Agustus 1959 ini tak hendak terkungkung dalam tempurung adat tanah
kelahirannya. Itu sebabnya, ia memilih Departemen Sinematografi Institut
Kesenian Jakarta (IKJ) untuk membuka lebih luas perspektif kebudayaan yang
digeluti.
Sedang untuk mengasah kepekaan dan jiwa
kreatifnya, ia bergabung dengan “Teater SAE” selama tahun 1979-1981. Modal
mendalami ilmu di IKJ serta pengalaman berkesenian di Jakarta ia teruskan saat
kembali ke tanah Minang. Dimulai dengan mendirikan “Teater KITA” di Padang
tahun 1982, Edy menapaki jalan berkesenian di Sumatera Barat.
Debut kerja seni Edy dimulai dengan menyutradarai
pementasan Caligula karya Albert Camus. Kemudian dilanjutkan pementasan Macbeth
karya William Shakespeare. Berkolaborasi dengan Healing Theatre,
Jerman, Edy menggelar pementasan di Padang Panjang dan Padang. Sedang kelompok
musik kontemporer Minangkabau Talago Buni ia bentuk tahun 1999.
Kerja kreatif Edy tak hanya di panggung
pementasan. Edy juga memilih dunia kewartawanan sebagai ajang untuk menyalurkan
ekspresi dan kreativitasnya. Tahun 1982-1984, Edy dipercaya sebagai redaktur
budaya di Harian Umum Singgalang. Tahun 1984-1986 mengelana ke Kuala
Lumpur sebagai penulis lepas (freelance). Balik ke Padang, tahun 1987 ia
menjadi redaktur budaya di Harian Umum Semangat.
Perhatian yang ia curahkan di bidang kebudayan
membuat ia didaulat sebagai Sekretaris Eksekutif Yayasan Genta Budaya, Sumatera
Barat, penyunting Jurnal Kebudayaan Genta Budaya, ketua Lembaga Budaya
Sumatera Barat serta Dewan Redaksi Harian Mimbar Minang. Bahkan sejak
tahun 2000 Edy mendapat kepercayaan sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera
Barat.
Aktivitas budaya yang ia geluti telah mengantarkan
melakukan perjalanan budaya di sejumlah negara. Tahun 1996 atas undangan
Australia-Indonesia Institute, ia melakukan kunjungan kebudayaan ke lima kota
Australia. Atas undangan Ford Foundation, Edy juga pernah diminta
mengikuti pameran kebudayaan Minangkabau di Flower Museum, UCLA.
Perjalanan budaya ke luar negeri dilanjutkan
bersama Talago Buni mengikuti Festival World Music di Jerman, tahun
1999. Awal tahun 2001 memenuhi undangan Dance and Theatre, University of Hawaii
sebagai project officer guru randai. Di Hawaii pula, Edy menggelar
pameran foto seni Minangkabau. ***
Harian
Republika, Padang, 12 Mei 2002
Sumber: Buku Khairul Jasmi Minangkabau dalam
Reportase (Kumpulan Feature), Penerbit Kabarita
Padang, Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar