Suryo Wardhoyo Prawiroatmodjo, 45 tahun, sejawat Uwan yang memang konsisten. Pionir sistem pendidikan lingkungan hidup ini terus mengembanglanjutkan ide-idenya dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ia sukses mendirikan, mengelola, dan memimpin Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) di Trawas, Mojokerto, Jawa Timur.
Untuk kerja kerasnya selama 15 tahun lebih itu, ia mendapatkan berbagai anugerah internasional seperti Rolex Awards For Enterprise (1990); Global 500 dari UNEP, PBB (1992) dan Satya Lencana Pembangunan (1996). Tahun 1990 memperoleh beasiswa dari Ashoka Internasional yang bermarkas di Washington DC sebagai Public Service Enterpreneur atau Wirausahawan Sosial.
Dokter Hewan alumni Universitas Airlangga ini merupakan salah
satu dari sekitar 80-an warga negara Indonesia yang setelah melalui proses
seleksi superketat terpilih sebagai wirausahawan sosial. Ia dinilai memiliki
rencana besar yang akan berkontribusi kepada pembaharuan sosial. Karena
memiliki gagasan orisinil dan tekun menurut penilaian sebuah panel ahli, ia
memperoleh beasiswa selama 4 tahun. Beasiswa mana melepaskannya dari kebutuhan
domestik agar bisa fokus berkiprah merealisasi ide-idenya tentang pendidikan
lingkungan hidup. Hasilnya, kampus PPLH menjadi terkenal sampai ke
mancanegara.
Sejak pensiun dari PPLH pada 1998 lalu, di samping terus
mengurus pengembangan PPLH ke Bali dan Sulawesi, ia punya ide untuk menyediakan
sebuah terminal bagi para praktisi lingkungan hidup yang umumnya bekerja di
sektor LSM.
Menurutnya, setelah lebih sepuluh tahun mengembangkan berbagai
program, individu aktivis perlu diberi sarana untuk memformulasi
pengalaman-pengalamannya selama berkarir di masyarakat. Ada jeda untuk
merekonstruksi pengalaman itu, menyusunnya secara sistematis, diberi waktu
untuk kontemplasi kemudian didokumentasi.
Berpatok pada pengalamannya sebagai wirausahawan sosial dan
luasnya tantangan Indonesia ke depan, Suryo menilai perlu dilakukan semacam
kaderisasi. Walau ia sangsi sosok seperti dia dapat dikloning, namun itu perlu
diuji secara akademis. Mungkin saja pengalamannya dan pengalaman Associates
Ashoka Fellow yang lain bisa dikaji lebih intensif oleh perguruan tinggi,
diformulasi, dan kelak dikembangkan ke dalam sebuah silabus pengajaran.
Ia mengontak kawannya Katherine dari Caretaker Education
International (CET) yang berbasis di Toronto, Canada, yang berpengalaman luas
di Amerika Latin. CET merupakan lembaga resmi pemerintah Kanada yang bekerja
untuk pengembangan pendidikan di negara Dunia Ketiga. Kawan lain yang dikontak
adalah Helen Lock dari Ashoka. Korespondensi berlangsung cukup seru untuk
memulai sebuah ide khusus, mengembangkan studi setingkat strata 2 di perguruan
tinggi.
Almamaternya tidak berminat, ia pergi ke Unesa (Universitas
Negeri Surabaya). Mendapat tanggapan serius dari Bapak Sugimin dan Sumiarno
pengelola Lembaga Penelitian Unesa. Dua kali workshop diadakan, lahirlah
program khusus itu, S2 melalui rekonstruksi pengalaman lapangan yang sudah dan
sedang dilakukan oleh aktivis masyarakat. Jadi semacam program master by
research.
Pada Januari 2000 lalu, semester I dimulai dengan 15 mahasiswa
yang tiap mahasiswa membayar Rp550.000 per semester. Mayoritas mahasiswa ini
aktivis LSM berasal dari 7 provinsi, rata-rata berpengalaman kerja di atas 10
tahun. Semester ini berlangsung ketat penuh selama 14 hari, diisi dengan kuliah
metodologi, sistematika, filsafat ilmu, dan teknik penelitian.
Katherine adalah ahli metodologi pendidikan, Hidayat Rahz dan
Dani Wahyu Munggoro mulai dengan substansi serta Budhsi dari LSM Kanada
memberikan kuliah bagaimana melakukan self assesment. Pengalaman
masing-masing yang spesifik dicoba diberi bingkai akademis, konsepnya ditata
secara sistimatis dan lengkap dengan hitungan kuantitatif kalau perlu.
Mereka lalu pulang ke daerah masing-masing dan mulai
memformulasi. Semester II membahas draf yang dikembangkan oleh para mahasiswa
secara spesifik untuk mendapatkan masukan dan penyempurnaan. Pulang lagi ke
wilayahnya dan melakukan uji coba implementasi. Semester III penyempurnaan draf
hasil penerapan lapangan dan implementasi penuh. Hasil akhir draf boleh disebut
tesis S2. Semester IV ikut kuliah internasional ke Kanada dan Amerika selama
satu bulan. Di sana mereka akan difasilitasi oleh berbagai ahli. Kalau ada yang
istimewa kualitasnya, segera diberi beasiswa S3.
Pulangnya sidang sarjana di Unesa, lalu lulus sebagai Magister
Sains. Sertifikatnya tentu bertaraf internasional karena ikut ditandatangani
oleh CET dari Kanada dan Ashoka Internasional dari Amerika.
Melihat ada sekitar 20.000 LSM se-Indonesia, Uwan
menilai program ini layak pula dikembangkan di Sumatera Barat, khususnya
melayani kebutuhan Sumatera. Otonomi kampus sudah dicanangkan, perguruan tinggi
mana yang mau kreatif dan duluan meraih peluang ini. (zukri saad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar