Senin, 11 Maret 2024

Dua Alternatif

Suryo Wardhoyo Prawiroatmodjo, 45 tahun, sejawat Uwan yang memang konsisten. Pionir sistem pendidikan lingkungan hidup ini terus mengembanglanjutkan ide-idenya dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ia sukses mendirikan, mengelola, dan memimpin Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) di Trawas, Mojokerto, Jawa Timur.

Untuk kerja kerasnya selama 15 tahun lebih itu, ia mendapatkan berbagai anugerah internasional seperti Rolex Awards For Enterprise (1990); Global 500 dari UNEP, PBB (1992) dan Satya Lencana Pembangunan (1996). Tahun 1990 memperoleh beasiswa dari Ashoka Internasional yang bermarkas di Washington DC sebagai Public Service Enterpreneur atau Wirausahawan Sosial.

Dokter Hewan alumni Universitas Airlangga ini merupakan salah satu dari sekitar 80-an warga negara Indonesia yang setelah melalui proses seleksi superketat terpilih sebagai wirausahawan sosial. Ia dinilai memiliki rencana besar yang akan berkontribusi kepada pembaharuan sosial. Karena memiliki gagasan orisinil dan tekun menurut penilaian sebuah panel ahli, ia memperoleh beasiswa selama 4 tahun. Beasiswa mana melepaskannya dari kebutuhan domestik agar bisa fokus berkiprah merealisasi ide-idenya tentang pendidikan lingkungan hidup. Hasilnya, kampus PPLH menjadi terkenal sampai ke mancanegara. 

Sejak pensiun dari PPLH pada 1998 lalu, di samping terus mengurus pengembangan PPLH ke Bali dan Sulawesi, ia punya ide untuk menyediakan sebuah terminal bagi para praktisi lingkungan hidup yang umumnya bekerja di sektor LSM.

Menurutnya, setelah lebih sepuluh tahun mengembangkan berbagai program, individu aktivis perlu diberi sarana untuk memformulasi pengalaman-pengalamannya selama berkarir di masyarakat. Ada jeda untuk merekonstruksi pengalaman itu, menyusunnya secara sistematis, diberi waktu untuk kontemplasi kemudian didokumentasi.

Berpatok pada pengalamannya sebagai wirausahawan sosial dan luasnya tantangan Indonesia ke depan, Suryo menilai perlu dilakukan semacam kaderisasi. Walau ia sangsi sosok seperti dia dapat dikloning, namun itu perlu diuji secara akademis. Mungkin saja pengalamannya dan pengalaman Associates Ashoka Fellow yang lain bisa dikaji lebih intensif oleh perguruan tinggi, diformulasi, dan kelak dikembangkan ke dalam sebuah silabus pengajaran.

Ia mengontak kawannya Katherine dari Caretaker Education International (CET) yang berbasis di Toronto, Canada, yang berpengalaman luas di Amerika Latin. CET merupakan lembaga resmi pemerintah Kanada yang bekerja untuk pengembangan pendidikan di negara Dunia Ketiga. Kawan lain yang dikontak adalah Helen Lock dari Ashoka. Korespondensi berlangsung cukup seru untuk memulai sebuah ide khusus, mengembangkan studi setingkat strata 2 di perguruan tinggi.

Almamaternya tidak berminat, ia pergi ke Unesa (Universitas Negeri Surabaya). Mendapat tanggapan serius dari Bapak Sugimin dan Sumiarno pengelola Lembaga Penelitian Unesa. Dua kali workshop diadakan, lahirlah program khusus itu, S2 melalui rekonstruksi pengalaman lapangan yang sudah dan sedang dilakukan oleh aktivis masyarakat. Jadi semacam program master by research.

Pada Januari 2000 lalu, semester I dimulai dengan 15 mahasiswa yang tiap mahasiswa membayar Rp550.000 per semester. Mayoritas mahasiswa ini aktivis LSM berasal dari 7 provinsi, rata-rata berpengalaman kerja di atas 10 tahun. Semester ini berlangsung ketat penuh selama 14 hari, diisi dengan kuliah metodologi, sistematika, filsafat ilmu, dan teknik penelitian.

Katherine adalah ahli metodologi pendidikan, Hidayat Rahz dan Dani Wahyu Munggoro mulai dengan substansi serta Budhsi dari LSM Kanada memberikan kuliah bagaimana melakukan self assesment. Pengalaman masing-masing yang spesifik dicoba diberi bingkai akademis, konsepnya ditata secara sistimatis dan lengkap dengan hitungan kuantitatif kalau perlu. 

Mereka lalu pulang ke daerah masing-masing dan mulai memformulasi. Semester II membahas draf yang dikembangkan oleh para mahasiswa secara spesifik untuk mendapatkan masukan dan penyempurnaan. Pulang lagi ke wilayahnya dan melakukan uji coba implementasi. Semester III penyempurnaan draf hasil penerapan lapangan dan implementasi penuh. Hasil akhir draf boleh disebut tesis S2. Semester IV ikut kuliah internasional ke Kanada dan Amerika selama satu bulan. Di sana mereka akan difasilitasi oleh berbagai ahli. Kalau ada yang istimewa kualitasnya, segera diberi beasiswa S3.

Pulangnya sidang sarjana di Unesa, lalu lulus sebagai Magister Sains. Sertifikatnya tentu bertaraf internasional karena ikut ditandatangani oleh CET dari Kanada dan Ashoka Internasional dari Amerika. 

Melihat ada sekitar 20.000 LSM se-Indonesia, Uwan menilai program ini layak pula dikembangkan di Sumatera Barat, khususnya melayani kebutuhan Sumatera. Otonomi kampus sudah dicanangkan, perguruan tinggi mana yang mau kreatif dan duluan meraih peluang ini. (zukri saad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...