UMAH GODANG BAANJUANGAN DI PADANG SARAI
Laporan Zamzami Katik Sulaiman
Umah Godang Baanjungan di Jorong Dang Soghai, Kenagarian Aia Manggih, Lubuk Sikaping, Pasaman. Foto dok
BAGIAN dalam rumah gadang itu sudah terlihat ringkih. Dinding
pembatas bilik sudah lapuk kendati dari luar terlihat kokoh dan kuat. Usianya sudah mencapai 1 abad lebih.
Keluarga
besar pemilik rumah ini, menyebutnya dengan Umah Godang Baanjungan, merupakan
warisan niniak keluarga besar bersuku Mandahiliang di Jorong Dang Soghai
(Padang Sarai) Kenagarian Aia Manggih, Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten
Pasaman.
Rumah
gadang bagonjoang dua ini dibangun karena “rengekan” seorang gadis remaja
bernama Rapiah kepada Angguaiknya (kakek), yang mereka panggil Tuanku Syeikh.
Rapiah merupakan cucu tertua dari lima cucu Tuanku Syeikh lainnya waktu itu,
Piak Kociak, Rabaina, Sari Rajo Alam,
dan Mantari Lahadi.
Tuanku
Syeikh salah seorang ulama suluak dan sufi yang termasyhur di Jorong Dang
Soghai (Padang Sarai) Pasaman. Tuanku Syeikh pernah berguru kepada Tuanku
Syeikh Padang Bubuih di Bonjol. Di Padang Sarai hanya ada ada tiga suku, yaitu
Piliang, Chaniago dan Mandahiliang (ketiganya Minangkabau).
Setelah
berguru, maka Tuanku Syeikh membangun sebuah Surau Suluk yang lumayan besar di
Padang Sarai. Surau itu hingga 1972 merupakan satu-satunya tempat masyarakat
Padang Sarai melaksanakan ibadah dan syiar Islam. Dalam perjalanan masa, kini
surau suluk itu sudah tidak ada lagi.
Tergerus zaman.
Permintaan
sang cucu tersayang berat untuk ditolak. Permintaan dibangunnya rumah gadang
itu berawal karena sering diceritakan Angguik tentang budaya dan adat
negeri-negeri yang pernah ia kunjungi. Di dalam cerita itu termasuklah cerita
tentang seorang Puti Bungsu yang tinggal di “anjungan umah godang yang baukia
bamego-mego”. Tak ayal sang cucu pun terus merengek minta dibuatkan pula rumah
persis seperti di dalam cerita Puti Bungsu itu.
Sayang
sang angguik yang sudah tercurah kepada cucu, didukung belum adanya rumah
gadang dengan yang berciri khas Minangkabau di Padang Sarai, maka dikabulkanlah
permintaan cucunya. Tak lama, dicarilah tukang kayu dari Luhak Limapuluah Koto
yang terkenal terampil bertukang kayu. Dengan biaya Tuanku Syeikh sendiri,
dicari kayu pilihan dan dimulailah pembangunan rumah gadang. Hati cucunya riang
gembira melihat tukang mulai bekerja. Rumah gadang didirikan tak jauh dari
bangunan Surau Suluk Tuanku Syaikh.
“Umah
Godang Baanjungan” ini termasuk unik dari aspekl arsitektur dan bentuk
bangunannya. Belum ada informasi yang bisa menjelaskan, apakah Tuanku Syaikh
meniru bentuk bangunan Kelarasan Bodi Caniago atau Koto piliang.
Rumah
gadang ini tidak memiliki lantai yang ditinggikan seperti kelarasan Koto
Piliang, lantainya rata saja. Tetapi bukan pula mengikut kelarasan Bodi Caniago
karena rumah ini diperuntukkan untuk cucunya yang bersuku Mandahiliang di
Kanagarian Aia Manggih.
Keunikan
lainnya, "Umah Godang Baanjungan" ini adalah adanya ruangan lepas
dengan ukuran lebih kecil dibuat di lantai duanya. Ruangan inilah yang biasa
nenek sebut anjuangan. Fungsinya untuk berkumpul dan bercengkramanya kaum ibu
dan anak gadis di siang hari.
Keunikan
selanjutnya ialah kombinasi atap rumahnya, di mana di lantai dua dibuat
bergonjoang dua (bapaserek
istilahnya). Sementara atap di lantai satu dibuat dengan gaya atap bungkuih nasi. Karena kebutuhan keluarga, maka rumah pernah dipugar, sekarang rumah itu sudah ditambah dengan rumah
hunian baru di sebalah ke timur.
Kombinasi
dua jenis atap rumah ini mirip dengan milik keluarga sastrawan Nur Sutan
Iskandar, seorang sastrawan Angkatan Pujangga Baru di Tanjuang Raya Agam. Rumah
keluarga Nur Sutan Iskandar hingga kini masih dipelihara ahli
warisnya bernama
Romlah, adik bungsu Sutan Iskandar dari lain ibu.
Selanjutnya
kombinasi dua jenis atap rumah ini juga mirip dengan Istana Rokan, yang
merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Rokan. Ia merupakan salah satu
kerajaan Islam yang pernah berkuasa di daerah Rokan Hulu. Istana Rokan dibangun
dengan gaya arsitektur Melayu Rokan yang khas.
Di samping itu berdasarkan hasil penelusuran penulis, Umah Godang Baanjungan ini hanya ditemukan di beberapa daerah saja seperti
di Agam, Air Tiris, dan daerah Rokan, jumlahnyapun tidak seberapa.
Jadi,
jika ada yang berminat meneliti terkait ketiga rumah ini, maka penulis pikir
akan terungkap filosofi arsitektur rumah
tersebut dan akan sangat bagus untuk warisan sejarah budaya Minangkabau.
Umah Godang Baanjungan di Jorong Dang Soghai, Kenagarian Aia Manggih, Lubuk Sikaping, Pasaman. Foto dok
Kembali
kepada persoalan gonjoang rumah tadi, bahwa menurut keterangan para ahli, tipe
bangunan rumah gadang berdasarkan gonjoang dikelompokkan menjadi 8, yaitu
pertama, ‘Rumah Gadang Bagonjoang Dua’, biasanya merupakan milik satu keluarga
sebagai tempat tinggal. Kedua, ‘Rumah
Gadang Bagonjoang Empat’, merupakan milik kaum yang menjadi keturunan ninik
mamak penyandang gelar Sako Datuk Panghulu Andiko sebagai tempat melaksanakan
acara adat. Ketiga, ‘Rumah Gadang Bagonjoang Lima’, milik kaum penyandang gelar sako Datuak Panghulu
Kepala Paruik sebagai tempat tinggal dan acara adat. Keempat, ‘Rumah Gadang Bagonjoang Enam’, milik Datuak Penghulu
Kepala Suku, pegawai adat dan keturunan bangsawan sebagai rumah tinggal dan
acara adat. Kelima, ‘Rumah Gadang Bergonjoang Delapan’ milik keturunan bangsawan
setingkat menteri pembantu raja alam sebagai tempat tinggal dan rumah adat. Keenam, ‘Rumah Gadang
Panjang’, memiliki tangga lebih dari satu. Ketujuh, ‘Bangunan Istana’ berisi enam gonjoang dan dua tambahan gonjoang paranginan. Kedelapan, ‘Bangunan
Gadang’ di rantau yang memanjang ke arah belakang.
Jika
disimpulkan menurut keterangan ahli diatas, maka “Umah Godang
Baanjungan” kami yang memiliki dua
gonjoang itu, adalah benar rumah gadang
milik keluarga. Namun karena anak kemenakan adalah pemangku adat yang bergelar
Datuak Timbalan, maka “Umah Gadang Baanjuang” ini juga dipakai untuk kegiatan
upacara adat setiap tahunnya.
Alasan
diatas diperkuat dengan luasnya ruangan di dalam
rumah, yang dibangun empat per segi panjang dengan ukuran
lebar kurang lebih 9 meter dan panjang kurang lebih 12 meter. Maka ruangan itu
cukup representatif untuk pertemuan
ninik mamak dalam acara adat.
Sementara
kamar tidur rumah itu ada empat buah. Jumlah ini biasanya mengikuti jumlah anak
gadis yang dimiliki sebuah keluara Minangkabau yang matrilineal. Kamar sengaja dibuat kecil,
sekadar untuk melepas kepenatan anggota keluarga di malam
hari, terutama anak anak gadis. Maklum anak bujang lebih diajurkan tidur di surau.
Maka
teranglah sudah bahwa rumah ini dahulunya memiliki dua fungsi, yakni sebagai
rumah hunian tempat tinggal dan melakukan aktivitas sehari hari. Di samping itu
menurut keterangan anak cucu pemilik rumah, ia juga punya fungsi adat seperti
turun mandi, khitan, perkawinan, batagak
gala, dan kematian, serta acara acara penting lainnya bagi keluarga sesuku
pemilik rumah.
Adapun
ke empat adalah tentang posisi gonjoang “Umah Godang
Baanjungan” tersebut. Posisinya tidak
seperti Rumah Gadang umumnya yang menghadap ke utara
dan selatan. Tetapi ia memiliki gonjoang yang menghadap ke barat dan ke timur mengikuti arah anak sungai di belakang rumah.
Keunikan
kelima dari “Umah Godang Baanjungan” tersebut adalah dari ukiran di bagian
depannya, ukiran dibuat sekurangnya mirip dengan lima jenis ukiran Minang yang
termashur, yaitu Kaluak Paku Kacang Balimbiang, Lumuik Hanyuik, Aka Tangah Duo
Ganggang atau saluak laka, dan pucuak
ghobuang. Empat jendela yang terpajang di sisi depannya, membuat
rumah ini bertambah kokoh di pandang dari depan.
Rumah
sengaja dibuat dengan tipe rumah panggung dengan ketinggian sekitar lima buah
anak tangga, kalau dalam bahasa kampuang nyo disebut “bakhughuak/ berkolong
yang tinggi “, mungkin untuk menghindari banjir karena ia terletak di pinggir
sungai, atau menghindari bahaya binatang buas karena ia terletak tak jauh dari
rimba, perbukitan.
Keunikan
lain “Umah Godang Baanjungan” ini adalah karena dahulunya di sekitar rumah
terdapat banyak kolam ikan dan pohon kelapa sehingga rumah semakin asri
ditinggali. Namun kini karena anak kemanakan sudah bertambah banyak maka satu
persatu kolam ikan sudah dijadikan lahan perumahan baru.
Selanjutnya
adalah tentang bahan bangunan dan cara membuatnya yang tidak pakai paku,
melainkan hanya pakai pasak. Mencirikan ia punya arsitektur Tiongkok kuno.
Karena zaman dahulu bahan bangunan terbuat dari kayu yang masih belum dijamah
orang, maka lantai rumah terlihat hitam mengkilat menggambarkan kualitas
kayunya. Tukang ukir kayu spesial didatangkan dari Payakumbuh dan sekitarnya,
mereka bekerja berbulan bulan di sana. Tunggak tuo sebanyak
dua buah yang berfungsi sebagai tonggak utama berukuran cukup besar berdiri
dengan gagah di tengah rumah.
Karena
rumah ini sudah tidak ada yang menempati dan nenek nenek sudah meninggal semua,
maka “Umah Godang Baanjungan” ini sudah mulai lapuk, atapnya banyak
diterbangkan angin, sehingga kayu paran dan lantai sudah banyak copot. Sekarang
rumah itu tinggal menunggu roboh dan habis di makan
rayap.
Semoga
dinas kebudayaan atau dinas pariwisata atau pihak terkait lainnya mau
melayangkan pandangannya ke rumah ini sehingga ikon adat di kampuang kami tidak
hilang saja dimakan waktu. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar