Sabtu, 16 Maret 2024

Bukti Sayang Tuanku Syeikh kepada Cucu

UMAH GODANG BAANJUANGAN DI PADANG SARAI


Laporan Zamzami Katik Sulaiman

 

Umah Godang Baanjungan di Jorong Dang Soghai, Kenagarian Aia Manggih, Lubuk Sikaping, Pasaman. Foto dok

BAGIAN
dalam rumah gadang itu sudah terlihat ringkih. Dinding pembatas bilik sudah lapuk kendati dari luar terlihat kokoh dan kuat. Usianya sudah mencapai 1 abad lebih.

Keluarga besar pemilik rumah ini, menyebutnya dengan Umah Godang Baanjungan, merupakan warisan niniak keluarga besar bersuku Mandahiliang di Jorong Dang Soghai (Padang Sarai) Kenagarian Aia Manggih, Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman.

Rumah gadang bagonjoang dua ini dibangun karena “rengekan” seorang gadis remaja bernama Rapiah kepada Angguaiknya (kakek), yang mereka panggil Tuanku Syeikh. Rapiah merupakan cucu tertua dari lima cucu Tuanku Syeikh lainnya waktu itu, Piak Kociak, Rabaina,  Sari Rajo Alam, dan Mantari Lahadi. 

Tuanku Syeikh salah seorang ulama suluak dan sufi yang termasyhur di Jorong Dang Soghai (Padang Sarai) Pasaman. Tuanku Syeikh pernah berguru kepada Tuanku Syeikh Padang Bubuih di Bonjol. Di Padang Sarai hanya ada ada tiga suku, yaitu Piliang, Chaniago dan Mandahiliang (ketiganya Minangkabau).

Setelah berguru, maka Tuanku Syeikh membangun sebuah Surau Suluk yang lumayan besar di Padang Sarai. Surau itu hingga 1972 merupakan satu-satunya tempat masyarakat Padang Sarai melaksanakan ibadah dan syiar Islam. Dalam perjalanan masa, kini surau suluk itu sudah tidak ada lagi.  Tergerus zaman.

Permintaan sang cucu tersayang berat untuk ditolak. Permintaan dibangunnya rumah gadang itu berawal karena sering diceritakan Angguik tentang budaya dan adat negeri-negeri yang pernah ia kunjungi. Di dalam cerita itu termasuklah cerita tentang seorang Puti Bungsu yang tinggal di “anjungan umah godang yang baukia bamego-mego”. Tak ayal sang cucu pun terus merengek minta dibuatkan pula rumah persis seperti di dalam cerita Puti Bungsu itu.

Sayang sang angguik yang sudah tercurah kepada cucu, didukung belum adanya rumah gadang dengan yang berciri khas Minangkabau di Padang Sarai, maka dikabulkanlah permintaan cucunya. Tak lama, dicarilah tukang kayu dari Luhak Limapuluah Koto yang terkenal terampil bertukang kayu. Dengan biaya Tuanku Syeikh sendiri, dicari kayu pilihan dan dimulailah pembangunan rumah gadang. Hati cucunya riang gembira melihat tukang mulai bekerja. Rumah gadang didirikan tak jauh dari bangunan Surau Suluk Tuanku Syaikh.

“Umah Godang Baanjungan” ini termasuk unik dari aspekl arsitektur dan bentuk bangunannya. Belum ada informasi yang bisa menjelaskan, apakah Tuanku Syaikh meniru bentuk bangunan Kelarasan Bodi Caniago atau Koto piliang.

Rumah gadang ini tidak memiliki lantai yang ditinggikan seperti kelarasan Koto Piliang, lantainya rata saja. Tetapi bukan pula mengikut kelarasan Bodi Caniago karena rumah ini diperuntukkan untuk cucunya yang bersuku Mandahiliang di Kanagarian Aia Manggih.

Keunikan lainnya, "Umah Godang Baanjungan" ini adalah adanya ruangan lepas dengan ukuran lebih kecil dibuat di lantai duanya. Ruangan inilah yang biasa nenek sebut anjuangan. Fungsinya untuk berkumpul dan bercengkramanya kaum ibu dan anak gadis di siang hari.

Keunikan selanjutnya ialah kombinasi atap rumahnya, di mana di lantai dua dibuat bergonjoang dua (bapaserek istilahnya). Sementara atap di lantai satu dibuat dengan gaya atap bungkuih nasi. Karena kebutuhan keluarga, maka rumah pernah dipugar, sekarang rumah itu sudah ditambah dengan rumah hunian baru di sebalah ke timur.

Kombinasi dua jenis atap rumah ini mirip dengan milik keluarga sastrawan Nur Sutan Iskandar, seorang sastrawan Angkatan Pujangga Baru di Tanjuang Raya Agam. Rumah keluarga Nur Sutan Iskandar hingga kini masih dipelihara ahli warisnya bernama Romlah, adik bungsu Sutan Iskandar dari lain ibu.

Selanjutnya kombinasi dua jenis atap rumah ini juga mirip dengan Istana Rokan, yang merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Rokan. Ia merupakan salah satu kerajaan Islam yang pernah berkuasa di daerah Rokan Hulu. Istana Rokan dibangun dengan gaya arsitektur Melayu Rokan yang khas.

Di samping itu berdasarkan hasil penelusuran penulis, Umah Godang Baanjungan ini hanya ditemukan di beberapa daerah saja seperti di Agam, Air Tiris, dan daerah Rokan, jumlahnyapun tidak seberapa. 

Jadi, jika ada yang berminat meneliti terkait ketiga rumah ini, maka penulis pikir akan terungkap filosofi  arsitektur rumah tersebut dan akan sangat bagus untuk warisan sejarah budaya Minangkabau.

Umah Godang Baanjungan di Jorong Dang Soghai, Kenagarian Aia Manggih, Lubuk Sikaping, Pasaman. Foto dok

Kembali kepada persoalan gonjoang rumah tadi, bahwa menurut keterangan para ahli, tipe bangunan rumah gadang berdasarkan gonjoang dikelompokkan menjadi 8, yaitu pertama, ‘Rumah Gadang Bagonjoang Dua’, biasanya merupakan milik satu keluarga sebagai tempat tinggal. Kedua, ‘Rumah Gadang Bagonjoang Empat’, merupakan milik kaum yang menjadi keturunan ninik mamak penyandang gelar Sako Datuk Panghulu Andiko sebagai tempat melaksanakan acara adat. Ketiga, ‘Rumah Gadang Bagonjoang Lima’, milik kaum penyandang gelar sako Datuak Panghulu Kepala Paruik sebagai tempat tinggal dan acara adat. Keempat, ‘Rumah Gadang Bagonjoang Enam’, milik Datuak Penghulu Kepala Suku, pegawai adat dan keturunan bangsawan sebagai rumah tinggal dan acara adat. Kelima, ‘Rumah Gadang Bergonjoang Delapan’ milik keturunan bangsawan setingkat menteri pembantu raja alam sebagai tempat tinggal dan rumah adat. Keenam, ‘Rumah Gadang Panjang’, memiliki tangga lebih dari satu. Ketujuh, ‘Bangunan Istana’ berisi enam gonjoang dan dua tambahan gonjoang paranginan. Kedelapan, ‘Bangunan Gadang’ di rantau yang memanjang ke arah belakang.

Jika disimpulkan menurut keterangan ahli diatas, maka “Umah Godang Baanjungan”  kami yang memiliki dua gonjoang itu,  adalah benar rumah gadang milik keluarga. Namun karena anak kemenakan adalah pemangku adat yang bergelar Datuak Timbalan, maka “Umah Gadang Baanjuang” ini juga dipakai untuk kegiatan upacara adat setiap tahunnya.

Alasan diatas diperkuat dengan luasnya ruangan di dalam rumah, yang dibangun empat per segi panjang dengan ukuran lebar kurang lebih 9 meter dan panjang kurang lebih 12 meter. Maka ruangan itu cukup representatif  untuk pertemuan ninik mamak dalam acara adat.

Sementara kamar tidur rumah itu ada empat buah. Jumlah ini biasanya mengikuti jumlah anak gadis yang dimiliki sebuah keluara Minangkabau yang matrilineal. Kamar  sengaja dibuat kecil, sekadar untuk melepas kepenatan anggota keluarga di malam hari, terutama anak anak gadis. Maklum anak bujang lebih diajurkan tidur di surau.

Maka teranglah sudah bahwa rumah ini dahulunya memiliki dua fungsi, yakni sebagai rumah hunian tempat tinggal dan melakukan aktivitas sehari hari. Di samping itu menurut keterangan anak cucu pemilik rumah, ia juga punya fungsi adat seperti turun mandi, khitan, perkawinan, batagak gala, dan kematian, serta acara acara penting lainnya bagi keluarga sesuku pemilik rumah.

Adapun ke empat adalah tentang posisi gonjoang “Umah Godang Baanjungan”  tersebut. Posisinya tidak seperti Rumah Gadang umumnya yang menghadap ke utara dan selatan. Tetapi ia memiliki gonjoang yang menghadap ke barat dan ke timur mengikuti arah anak sungai di belakang rumah.

Keunikan kelima dari “Umah Godang Baanjungan” tersebut adalah dari ukiran di bagian depannya, ukiran dibuat sekurangnya mirip dengan lima jenis ukiran Minang yang termashur, yaitu Kaluak Paku Kacang Balimbiang, Lumuik Hanyuik, Aka Tangah Duo Ganggang atau saluak laka,  dan pucuak ghobuang. Empat jendela yang terpajang di sisi depannya, membuat rumah ini bertambah kokoh di pandang dari depan.

Rumah sengaja dibuat dengan tipe rumah panggung dengan ketinggian sekitar lima buah anak tangga, kalau dalam bahasa kampuang nyo disebut “bakhughuak/ berkolong yang tinggi “, mungkin untuk menghindari banjir karena ia terletak di pinggir sungai, atau menghindari bahaya binatang buas karena ia terletak tak jauh dari rimba, perbukitan.

Keunikan lain “Umah Godang Baanjungan” ini adalah karena dahulunya di sekitar rumah terdapat banyak kolam ikan dan pohon kelapa sehingga rumah semakin asri ditinggali. Namun kini karena anak kemanakan sudah bertambah banyak maka satu persatu kolam ikan sudah dijadikan lahan perumahan baru.

Selanjutnya adalah tentang bahan bangunan dan cara membuatnya yang tidak pakai paku, melainkan hanya pakai pasak. Mencirikan ia punya arsitektur Tiongkok kuno. Karena zaman dahulu bahan bangunan terbuat dari kayu yang masih belum dijamah orang, maka lantai rumah terlihat hitam mengkilat menggambarkan kualitas kayunya. Tukang ukir kayu spesial didatangkan dari Payakumbuh dan sekitarnya, mereka bekerja berbulan bulan di sana. Tunggak tuo sebanyak dua buah yang berfungsi sebagai tonggak utama berukuran cukup besar berdiri dengan gagah di tengah rumah.

Karena rumah ini sudah tidak ada yang menempati dan nenek nenek sudah meninggal semua, maka “Umah Godang Baanjungan” ini sudah mulai lapuk, atapnya banyak diterbangkan angin, sehingga kayu paran dan lantai sudah banyak copot. Sekarang rumah itu tinggal menunggu roboh dan habis di makan rayap.

Semoga dinas kebudayaan atau dinas pariwisata atau pihak terkait lainnya mau melayangkan pandangannya ke rumah ini sehingga ikon adat di kampuang kami tidak hilang saja dimakan waktu. n

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...