Aam, teman Uwan di Kimbangwil Pusat, menceritakan bahwa implikasi penerapan UU No 22/1999 adalah sekitar 3.000 lebih sumber daya manusia eks pegawai PU akan disebarkan ke daerah. Jumlah ini akan mencapai lebih 50.000 orang bila digabung dengan PNS dari departemen lainnya. Baik dari departemen yang mengalami likuidasi maupun yang berubah menjadi Kantor Menteri Negara.
Lebih lanjut diinformasikan, bahwa mereka yang berkualifikasi tinggi—sekurangnya S2 dari luar negyang tentulah berwawasan global dan bervisi kompetitif. Salah satu dampak reformasi nyatanya membuahkan kebijakan berupa arus balik, yakni brain drain dari pusat ke daerah. Dampak strategis yang perlu didukung karena dapat mengatasi kelangkaan SDM berkualitas di daerah.
Sejalan dengan kebijakan otonomi itu, tentu berbagai proyek
teknis dan perencanaan harus didelegasikan ke daerah. Akibatnya banyak SDM di
Jakarta tidak mangkus dan akan kehilangan pekerjaan serta posisi struktural.
Untuk itu, konon kabarnya, pihak departemen telah melobi berbagai pemerintah
daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten-kota.
Ada yang merespons dengan positif dan segera mempersiapkan
infrastruktur baru, seperti Jawa Timur. Namun tak sedikit pula yang resisten
dan menolak tegas kedatangan makhluk lain ke daerahnya. Mereka percaya diri dan
ingin mengandalkan potensinya sendiri.
Bila aksi penolakan berlangsung serius dari daerah-daerah,
tentu rumit akibatnya. Struktur pemerintahan baru telah menghendaki pemindahan
sebagian besar PNS ke daerah-daerah yang paralel dengan pendelegasian sebagian
besar wewenang birokrasi. Penolakan itu akan ada konsekuensi bagi percepatan
penerapan otonomi.
Bagi daerah tertentu mungkin penolakan itu merupakan cerminan
eksistensi daerahnya terhadap perlakukan pusat. Atau mungkin ada kesulitan
karena ada kader potensial yang perlu diberi posisi, sementara posisi
struktural terbatas jumlahnya.
Malah mungkin juga, pemerintah daerah tidak paham betul
kira-kira apa yang akan terjadi bila arus globalisasi benar-benar datang
melanda sehingga percaya diri dengan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki.
Kemungkinan lainnya lagi ada daerah yang tidak tahu bahwa sebenarnya mereka
memang belum tahu.
Bagi pegawai eks Jakarta ini, dari diskusi dengan rekan-rekan
di Kimbangwil, kalau ditolak mereka menyatakan tidak ada masalah. Banyak tempat
lain untuk berkiprah. Bahkan ada yang sudah ambil ancang-ancang dengan
mengontak bekas almamaternya untuk peluang bekerja di sana.
Beberapa di antaranya malah sudah lebih jauh lagi, yakni
melamar menjadi penduduk sementara negara lain, seperti di beberapa negara
ASEAN, Australia, Kanada, dan Amerika. Sumber daya jenis ini sudah berwawasan
kosmopolit, tak penting betul bekerja di negara mana saja. Tentunya
bagaimanapun lebih baik mengabdi di negara sendiri. Tapi kalau tak laku, apa
boleh buat. Bila ini yang terjadi, tentu sayang sekali. Brain drain justru
sentripetal (bergerak menuju pusat atau sumbu) ke negara lain.
Padahal, mereka SDM terbaik yang mendapatkan pendidikan
tambahan S2 sampai S3 atas biaya negara. Keahlian yang dikuasai jelas beragam,
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional. Dengan kapasitas dan
kapabilitasnya, tentu banyak gunanya untuk membangun republik.
Di Sumatera Barat, gubernurnya baru dan masih berkutat
menyusun kabinetnya. Demikian juga setidaknya ada 8 kabupaten/kota yang berada
pada fase serupa. Hematnya, fenomena Jakarta itu adalah peluang untuk mengambil
sumber daya berkualitas yang diperlukan.
Tantangan berat ke depan tentu harus diantisipasi dengan
menempatkan kepala dinas/kepala biro yang tepat dan andal. Tantangan itu tentu
tidak mungkin diantisipasi dengan mengandalkan para kepala sekadar ber-NIP dan
golongan kepangkatan yang cukup saja.
Saatnya untuk mengembangkan merit system dengan
menawarkan posisi-posisi strategis secara terbuka kepada siapapun yang
berminat. Bersama calon-calon dari daerah sendiri, undang mereka dan lakukan fit
and proper test, lalu tentukan pilihan. Pilihan yang terbaik tentu akan
dapat pula menghasilkan pekerjaan yang prima.
Kriteria penentuan kelayakan dan kepatutan dapat pula berupa;
kapasitas dan kapabilitas, menyangkut keahlian tertentu yang relevan dengan
kebutuhan pembangunan wilayah Sumatera Barat; visi yang bersangkutan terhadap
tantangan dan peluang daerah menghadapi globlisasi dan pasar bebas; skenario
antisipatif Sumatera Barat masa depan; minat yang mendalam untuk mengabdi di
daerah (di samping wawancara tentu asal/kelahiran Sumatera Barat bisa dijadikan
ukuran).
Mengingat beratnya pengelolaan birokrasi/pelayanan publik
dalam menapaki tahun-tahun mendatang, kita harus jujur dengan diri sendiri.
Kalau hanya mengandalkan mayoritas SDM yang ada sekarang, niscaya provinsi ini
akan menjadi pecundang. Digilas oleh roda-roda globalisasi dan terimalah nasib
sebagai daerah kelas dua. Patut dipertimbangkan secara obyektif pilihan-pilihan
yang diambil demi masa depan gemilang ranah Minang. (ZS)
Mimbar
Minang,
7 Agustus 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar