Romo Dijkstra berpulang di Pastoran Girisonta, Ungaran. Kota kecil di pinggir Semarang, awal minggu kedua Mei 2003, diselimuti mendung syahdu waktu Uwan ikut melayat dan mengikuti prosesi penguburannya.
Pastoran yang luas dan teduh merupakan semacam panti jompo, terminal bagi para pastor yang uzur menunggu panggilan menghadap Bapa di surga. Makanya, kata Sabastian Saragih belakangan, istilah Girisonta menurut keyakinan umat Katolik Jawa diartikan semacam jembatan menuju surga.
Romo yang wafat di usia sangat senja, 92 tahun, adalah salah satu mentor Uwan dalam hal pengembangan perdesaan, khususnya membangun sikap kemandirian masyarakat. Romo memperkenalkan kepada kami metodologi partisipatoris dalam mengembangkan sikap berdikari, yang kemudian dikenal sebagai pendidikan pelancar musyawarah.
Banyak
hal yang dicontohkan oleh almarhum, khususnya bagaimana hidup bersahaja, mau
lebih banyak mendengar dan bersimpati terhadap perjalanan nasib sekelompok
orang, bersedia tinggal berbulan-bulan di pelosok desa yang jauh serta
bagaimana teknik-teknik membangkitkan semangat mereka yang termarjinalisasi
oleh pembangunan.
Bincang-bincang
kami dengan beberapa sejawat Romo dari keuskupan Semarang menghadirkan
keprihatinan lain. Dalam suasana belasungkawa yang mendalam, kami sempat
mendiskusikan tentang suasana Jawa Tengah. Katanya lebih 2,6 juta penganggur
tercatat tahun lalu, 12,5 persen di antaranya sarjana. Itu artinya penganggur
terdidik berjumlah 325 ribu lebih. Memang, mau ke mana di saat tingkat
pertumbuhan ekonomi di bawah 4persen per tahun. Kami sepakat, fenomena itu akan
menahun dan tidak ada yang merasa pasti kapan mimpi buruk pembangunan akan
berlalu.
Sudah saja,
kita perlu mengantisipasi dengan langkah-langkah taktis, di antaranya, tentunya
mempersiapkan para lulusan pendidikan untuk mengembangkan masa depan sendiri
melalui lapangan kerja yang diciptakan secara mandiri. Dengan kata lain,
menjadi wiraswasata penuh. Tak perlu menjajakan ijazah ke mana-mana. Tak perlu
melamar pekerjaan untuk sekadar penyambung hidup atau sekadar status sosial.
Dalam konteks ini, hadirin sepakat bahwa pikiran-pikiran Romo Dijkstra mendapat
tempat yang terhormat. Kemandirian individual yang didengung-dengungkan
almarhum kembali terasa relevansinya dalam suasana krisis ekonomi yang tengah
kita jalani.
Pembicaraan di
pekuburan Girisonta menganggu Uwan sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta. Mau
kemana angkatan kerja terdidik yang membanjir tahun ke tahun? Kalaupun ada
sektor lain, apa mereka siap? Kalau tidak siap, tentu dapat menimbulkan
kerusuhan sosial?
Makanya, untuk
skala modelling Uwan segera memotivasi kemenakan, Renal Iskandar, 20
tahun, yang sedang berkuliah agribisnis di UIN Jakarta. Atas persetujuan dan
sokongan pembiayaan dari bapaknya, Uda Azmi Saad, kami merancang kemungkinan
menanam pepaya di lahan yang disewa. Lama peluang itu kami bahas, sampai minggu
lalu diperoleh lahan seluas 5.000 meter persegi yang sewanya Rp2 juta per
tahun.
Renal
merancang, bila ditanam pepaya sejarak 2 x 2,5 meter, maka akan diperoleh
maksimum 1.000 batang. Dengan memperkirakan tiap batang akan menghasilkan 1
buah matang per minggu diumur produktifnya, maka ada 1.000 pepaya per minggu.
Bila tiap buah beratnya rata-rata 2 kilogram minimal, maka tiap minggu akan
dihasilkan sedikitnya 2 ton pepaya dari kebon itu. Menghitung umur produktif
pepaya 2 tahun atau 100 minggu, maka total kebun itu akan menghasilkan 200 ton
pepaya segar.
Kios pepaya
paling laris di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Timur, tiap hari menjual 6-8 ton
pepaya. Tampaknya etnis Cina yang mayoritas di kawasan itu selalu mengkonsumsi
pepaya. Di samping murah, Rp3 ribu per kilo, tentu dalam rangka melancarkan
pencernaan mereka. Lewat pukul 20.00, katanya sudah sulit memperoleh pepaya
yang baik.
Tertegun juga kami waktu melihat perhitungannya.
200 ton kali Rp2000 saja per kilo, itu artinya sudah Rp400 juta. Ada pendapatan
bersih Rp4 juta per minggu. Bila investasi diperkirakan Rp50 juta, termasuk
sewa lahan, titik impas (break-even point) akan diperoleh pada minggu
ke-13. Minggu ke-14 seterusnya dipungut Rp4 juta per minggu. Artinya, ada
penghasilan Rp4 juta per minggu selama 87 minggu. Itu artinya diakhir proyek,
Renal akan mengantongi, katakanlah Rp300 juta bersih. Jelas bisa memodali
usahanya beragribisnis dengan mantap kelak seselesainya kuliah. Berpengalaman
langsung, sudah sarjana, percaya diri karena sudah berpengalaman dan ada modal
dasar Rp300 juta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar