Itulah jika kepala daerah berasal kalangan pengusaha. Umumnya kreatif dalam bermanuver mengelola keuangan publik yang menjadi kewenangannya. Tentu saja pendekatan sangkil-mangkus, cost benefit rasio, dan visi yang berpihak rakyat menjadi pengendalinya. Fenomena ini menghadirkan pemahaman kepada Uwan tentang bagaimana memimpin secara produktif-mangkus di era reformasi, di era otonomi daerah yang berkombinasi dengan naluri bisnis berbasis kewirausahaan sosial (public service entrepreneurship).
Hal ini
tercermin dari penampilan Bupati Bantul, Drs. H. M. Idham Samawi, 53 tahun.
“Anak pisang” Nagari Magek ini, sebelum menjabat bupati adalah pemilik dan
pengelola Harian Kedaulatan Rakyat, koran Yogyakarta paling besar
oplahnya. Sejak 1999 menduduki posisi bupati, menggantikan Bupati Bantul yang
dulu pernah heboh karena membunuh wartawan setempat.
Rencana
Strategis Kabupaten Bantul 2001-2005 menggariskan perlunya memacu percepatan
pembangunan daerah melalui kebijakan khusus untuk mendorong dan mewujudkan
percepatan peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Ada lima kebijakan
strategis, di antaranya bidang pendidikan/pengembangan sumber daya manusia yang
merupakan prioritas pertama. Pengembangan sektor pendidikan mengarah kepada
pemberdayaan masyarakat menggunakan
prinsip community based education dan school-based management.
Prinsip ini
diimplementasikan melalui peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan
dasar, menengah, dan kejuruan yang meliputi pembangunan dan revitalisasi SD;
penuntasan wajib belajar 9 tahun; pembentukan Dewan Sekolah dan Dewan
Pendidikan; peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru dan lain-lain. Untuk
peningkatan kualitas guru dan pelayanan pendidikan, tahun anggaran 2002, dengan
dana Rp2 miliar 124 guru disekolahkan ke Strata 2, mengambil bidang manajemen
berbasis sekolah. Ada pula dana Rp12 miliar dialokasikan untuk kesejahteraan
guru-guru. Khusus untuk peningkatan
kualitas gizi anak SD, bupati membuat kebijakan tertentu yang keluar dari pakem
pembangunan sentralistik umumnya.
Berbasis naluri
bisnis, sejak 2003 yang lalu, Kabupaten Bantul menerapkan kebijakan pengelolaan
program PMTAS (proyek makanan tambahan untuk anak sekolah). Bupati melihat,
pengelolaan PMTAS rawan korupsi atau paling tidak rawan penyunatan oleh
pelaksana. Ia menemukan, kongkalingkong dapat saja terjadi di tingkat
dinas, kecamatan, sampai aparat pengelola di sekolah-sekolah. Bisa saja sekadar
perubahan menu, pengurangan jenis sampai-sampai pengurangan harga. Intinya,
pengelolaan yang sudah menggunakan juklak dan juknis itu tetap saja terbuka
untuk dikorupsi. Untuk itu bupati memutuskan kebijakan pengalokasian dana
langsung kepada anak, tidak lagi melalui jalur birokrasi berjenjang seperti
sebelumnya. Bupati melakukan short-cut, kebijakan jalan pintas
pengalokasian dana sekaligus memperkecil peluang korupsi oleh pelaksana.
Di Kabupaten
Bantul tercatat lebih 93.000 anak yang tersebar pada 1.009 buah Sekolah Dasar
dan Madrasah Ibtidaiyah, baik negeri maupun swasta. Tiap anak mendapat jatah 3
ekor ayam petelur yang secara lokal disebut ayam babon. Dana pengadaan ayam
berasal dari dana PMTAS, Rp21 ribu per ekor. Bila tiap anak mendapat Rp63 ribu,
maka nilai proyek mencapai Rp5,4 miliar lebih.
Anak-anak yang
umumnya berbasis perdesaan ini, bertanggung jawab memelihara ayam babon yang
siap bertelur tersebut dan diharuskan mengkonsumsi telurnya tiap hari. Bila
satu hari bertelur maksimal 3 butir, semuanya boleh dimakan. Pola ini, di
samping meningkatkan gizi secara pasti, adalah untuk melatih si anak untuk
mulai bertanggung jawab.
Secara rutin,
ada rapat-rapat Dewan Sekolah mengevaluasi pelaksanaan program. Ada kegiatan
turun ke lapangan segala, lengkap dengan wawancara terhadap orang tua sekaligus
membahas berbagai kesulitan yang dihadapi orang tua sehari-hari. Memang,
ditemukan berbagai pelanggaran. Tapi itu manusiawi. Misalnya, akibat tekanan
ekonomi, telurnya harus dijual atau justru dimakan bersama sekeluarga. Malah
ada yang sudah menjual ayamnya sebelum sempat bertelur.
Apapun kendalanya, tentu ada saja jalan
keluarnya. Namun PMTAS versi Bantul ini setidaknya memberikan dampak samping
yang lain, seperti interaksi intensif orang tua melalui forum Dewan Sekolah.
Upaya ini diperhitungkan menghadirkan sinergi masyarakat dan sekolah secara
berkelanjutan. Bukan tak mungkin, masyarakat sendiri setelah merasakan
manfaatnya, akan mempersiapkan program sejenis bila fasilitas pemerintah itu
berakhir. (ZS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar