OLEH Sheiful Y
Tk Mangkudun (Akademisi dan Budayawan)
Sebuah sentilan "Gayuang Angin" telah ditebarkan dalam salam, melalui ujung jari Pandeka Koko, sang Sumando. Berdetaklah rangkai hati, berkucak rantai jantuang, berderik limpo jo rabu para pandeka se antero Ranah nan menerima salam.
Itu sekelumit peristiwa silek abstrak, di sebuah grup WA dalam bentuk konkret. Sangat kompleks dampak Gayuang Angin yang telah menyerang hati-jantuang-limpo-rabu. Sebagai salah satu yang terkena gayuang, penulis sampai tidak bisa tidur sampai azan Subuh berkumandang. Karena itulah maka penulis merasa harus menjawab agak selangkah, sebelum jurus berikutnya bersarang di pangkal telinga.
Ada permasalahan krusial dalam gagasan
besar yang sedang diusung Mas Koko, setidaknya dari kacamata penulis yang
beberapa waktu terakhir bergelut dengan Tambo Minangkabau. Permasalahan
tersebut mungkin akan menjadi salah satu indikator keterterimaan wujud akhir yang
dicita-citakan: Ensiklopedia Silek Minangkabau, ESM.
Permasalahan tersebut adalah:
bagaimana mendudukkan posisi dua rujukan yang masih belum "bersahabat"
dalam dunia ilmiah: Tambo Minangkabau dan Sejarah Minangkabau. Jujur harus
diakui bahwa belum ada benang merah yang dapat mempertemukan cara pandang Tambo
Minangkabau dan cara pandang Ilmu Sejarah. Masing-masing berdiri di atas
"kebenarannya" secara sepihak, dan terjadi perebutan-perebutan klaim
kebenaran terhadap data, nama, atau bahkan situs, dan artefak.
Menurut tambo, tambolah yang memiliki
kisah sahih dari niniak muyang tentang Mnangkabau. Menurut (ilmu) sejarah,
sejarahlah yang berhak menyatakan klaim kebenaran, karena disusun berdasarkan
metode ilmiah. Manakala keduanya berebut menjelaskan sebuah data, maka salah
satu akan mengalami kehilangan legitimasi. Khususnya ketika data yang
diperdebatkan tersebut ditarik ke dalam ranah metodologi masing-masing.
Sekedar contoh, dapat diajukan sebuah
tuturan Tambo Minangkabau tentang asal-usul Silek Minangkabau. Menurut tambo, adalah
niniak kito Datuak Suri Dirajo sebagai peletak dasar Silek Minangkabau. Semua
tuo silek akan menganggukkan kepala terhadap pernyataan tersebut. Karena
sejatinya, seluruh falsafah bahkan ranji per-silek-an di Minangkabau diwariskan melalui metodologi pewarisan
tambo: melalui tuturan lisan, sastra lisan.
Ranji silek, misalnya, akan berujung
pada empat tokoh perdana yang melahir aliran-aliran Silek Minangkabau: Anjieng
Mualim, Kambieng Hutan, Harimau Campo, Kucieng Siam. Siapakah keempat tokoh
perdana ini? Akankah sejarah memberi penjelasan dan menyatakan mereka sebagai
tokoh sejarah? Tambo akan menepuk dada, bahwa itu semua adalah nama-nama dari
khazanah Tambo Minangkabau.
Sebagian besar terminologi Silek
Minangkabau sulit (kalau tidak mustahil) ditelusuri asal-usulnya, jika
menggunakan metode (ilmu) sejarah semata.
Terminologi silek seperti: Langkah Tigo, Langkah Ampek, Langkah
Sembilan, Gayuang Lahia, Sajangka Duo Jari, Gayuang Angin, Juhuang, Parmayo,
Sewai, atau nama-nama aliran terkenal: Silek
Tuo, Silek Lintau, Starlak, Silek Harimau, Silek Kumango, dan banyak lagi. Semuanya punya rujukan kepada
tokoh-tokoh sentral dalam tuturan Tambo Minangkabau. Adalah lucu, jika hanya
menjelaskan arti semua kata tersebut secara etimologi, tanpa memberi penjelasan
terminologisnya. Ensiklopedia bukan sekedar kamus toh.
Ada rangkaian nama properti silek yang
sangat terkait dengan Langgam Nan Tigo dalam
adat, yaitu Pakaian Adat, Bungo Adat dan Pamenan Adat. beberapa contoh properti
silek berikut dijelaskan dalam tuturan Tambo Minangkabau, yaitu: sambah, deta, karih, siriah, timbakau.
Wujud dan maknanya sangat berkaitan (kalau tidak dapat dinyatakan persis sama) dengan
wujud dan makna pakaian dan properti seorang penghulu menurut tuturan tambo.
Masih ada lagi terminologi Tagak Alif, Dal, Mim, Pitunggue Adam,
Langkah Muhammad, Tagak Allah, Kudo-kudo bagi Adam, Kilik di Muhammad, Tangkok dek
Ali, dan sipak Malaikat, Alif, Lam, Lam, Hu, Illa Hu, Mim Tasydid, dan banyak lagi terminologi yang merujuk
kepada istilah-istilah dalam Tarekat dan Tasawuf.
Bagaimana Tarekat dan Tasawuf masuk
dan memberi khazanah dalam Silek Minangkabau? Ini permasalahan baru. Sejarah
(mungkin) belum menggalinya. Tuturan tambo sudah punya rangkaian penjelasan
tentang itu, secara mendalam, mendetail, di samping juga melebar.
Sebagian besar nama dan istilah dalam
Silek Minangkabau hanya punya rujukan berdasarkan warisan tuturan lisan dari
para Tuo Silek. Pewarisan secara lisan sebagaimana umumnya tuturan tambo. Semua
istilah itu dapat ditelusuri "rujukan" tuturan, bahkan
ranji-silsilahnya.
Perlu kerja keras para pendekar
sejarah agar calon Ensiklopedia Silek Minangkabau, ESM, yang sedang digagas,
nantinya tidak didominasi oleh entri yang hanya punya rujukan tambo, khususnya
Tambo Minangkabau. Kalau sebagian besar entri ESM berasal dari belantara tambo,
ada peluang akan menuai cap sebagai karya yang "kurang" atau
"tidak" ilmiah.
Mungkin ada cara kedua, dengan
mengabaikan semua tuturan tambo, ESM cukup hanya menjelaskan nama dan istilah,
tanpa menjelaskan bahwa sumbernya tambo, tuturan lisan, dan semacamnya. Dapat
saja dipakai pendapat, atau penyataan narasumber tuo silek tertentu sebagai
pengganti tuturan tambo.
Cara kedua tersebut berpeluang
memancing para pemerhati dan pelaku silek mempertanyakan kredibilitas sumber
rujukan, akhirnya mempertanyakan kredibilitas ESM. Bagaimanapun juga, pelaku
silek tidak akan menghapus tambo sebagai rujukan.
Cara ketiga adalah sikap legowo pendekar sejarah untuk menerima
tambo sebagai sebuah rujukan ilmiah, karena sebagaimana sejarah, tambo juga
memiliki sendiri metode pembuktian kebenarannya. Bahkan tambo punya bukti-bukti
artefak hidup, yang belum dijadikan kajian oleh para sejarawan.
Pendekar sejarah perlu berlapang dada
menerima dan memperlakukan tambo sebagai salah satu sumber sah, sumber yang dihormati
masyarakat per-silek-an. Tentu dengan
penjelasan a la metode tambo, dengan landasan tutur seperti bunyi pantun para
tukang kaba:
Banda urang kito bandakan
Banda urang Koto Tuo
Nak tajun aia ka baruah
Kaba urang kito kabakan
Duto urang kito ndak sato
Badoso kito tak namuah
Semoga langkah Pandeka Koko makin
kokoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar