Laporan Nasrul Azwar, Eko Yanche Edrie, Rahmat Alfi Denas
Rumah gadang basa batuah// Tiang banamo kato hakikat// Pintunyo banamo dalil kiasan//Banduanyo sambah-manyambah//Bajanjang naik batanggo turun//Dindiangnyo panutuik malu//Biliaknyo aluang bunian
Rumah gadang merupakan karya fisik masyarakat Minangkabau paling agung. Rumah tersebut dibangun dengan ukuran dan bentuk tersendiri yang mengandung nilai filosofis dan nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau. Para budayawan mengatakan, rumah gadang merupakan benteng terakhir Minangkabau. Jika lenyap, maka eksistensi Minangkabau berpotensi hilang pula.
Rumah gadang Minangkabau memang
unik dan penuh nilai filosofis dengan analogi yang sarat makna. Sebagai
misal, jumlah ruangnya selalu ganjil, mulai dari tiga ruang sampai belasan,
ukurannya dikatakan dengan salanja kudo balari, saletak kuciang
malompek, sapakiak budak maimbau, sajauh si kubin tabang.
Bentuknya
ada yang disebut dengan gajah maharam dan surambi aceh. Bagian rumah itu juga
memiliki nama dan makna tersendiri, gojongnya disebut pucuak rabuang,singoknya
labah mangirok.
Lukisan pada
rumah gadang memiliki tema dan motif alam yang melambangkan bahwa masyarakat
minang berguru kepada alam, alam takambang jadi guru. Ada motif
kaluak paku, saik kalamai, bada mudiak, itiak pulang patang, serak jalo dan
motif lainnya.
Material
pembuat rumah gadang tediri dari kayu berkualitas yang diawetkan terlebih
dahulu dengan cara merendamnya dalam kolam ikan sampai bertahun-tahun, kemudian
ijuk, bambu dan batu untuk sandinya.
Pada
zaman saisuak, bangunan rumah gadang tidak menggunakan logam,
seperti paku maupun seng, juga tidak menggunakan beton.
Di
halamannya dibangun rangkiang
sibayau-bayau, sitanggang lapa
dan sitinjau lauik yang merupakan
bagian dari komponen sistem ekonomi masyarakat Minang.
Rumah gadang
disebut juga dengan rumah adat karena di rumah itulah dilakukan berbagai
prosesi adat semisal alek kawin dan batagak pangulu.
Kondisi
rumah gadang, seperti besar kecil, megah tidaknya, sesuai dengan kondisi
ekonomi pemiliknya. Namun sebuah paruik
dalam sebuah suku akan memiliki kebanggaan dan gengsi tersendiri jika
memiliki rumah gadang, sehingga mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk
membangunya.
Gambaran
padatnya perkampungan tempo doeloe dengan rumah gadang dapat
dibaca melalui pepatah mengenai rumah gadang, singok bagisia, halaman
salalu.
Namun
sekarang rumah gadang asli seperti itu semakin banyak yang roboh dan
bertumbangan akibat dimakan usia, sebagai penggantinya anak kemanakan
orang Minangkabau cenderung
membangunan rumah baru bergaya baru dengan material baru.
Bahkan ada yang masih terawat dengan baik dan berdiri dengan
megahnya. Deretan rumah gadang tersebut dapat kita jumpai misalnya di Kabupaten
Solok Selatan yang dijuluki dengan seribu rumah gadang, jejeran rumah gadang di
Kota Solok dan Kabupaten Solok, Kabupaten Dharmasraya, Agam, Limapuluh Kota dan
beberapa daerah lainnya di Provinsi Sumatera Barat.
Undri, salah seorang peneliti dari Balai Pelestarian Nilai
Budaya Padang, yang menaruh perhatian terhadap budaya Minangkabau mengatakan,
rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam
membicarakan masalah mereka bersama dalam sebuah suku, kaum maupun nagari dan
sebagainya.
“Fungsi utama rumah gadang menyelingkupi bagian keseluruhan
kehidupan orang Minangkabau itu sendiri. Sekarang pertanyaan kita adalah apakah fungsi
rumah gadang tersebut memang seperti itu adanya sekarang?” tanyanya dikutip dari artikel yang ditulis Undri.
Menurut Undri, berbagai persoalan yang muncul, mulai dari
tingkat suku, kaum dan nagari kadang kala tak mengindahkan fungsi rumah gadang
tersebut.
“Contoh kecil saja persoalan tanah yang sampai ke tingkat
pengadilan marupakan ganbaran ketidakmampuan kita memahami fungsi rumah gadang
itu sendiri,” katanya.
Sementara itu, menurut budayawan Musra Dahrizal Katik Rajo
Mangkuto, yang akrab disapa Mak Katik, kehancuran rumah-rumah gadang, terutama
di nagari-nagari di Minangkabau, tersebab pemahaman terhadap adat Minangkabau
yang terus menjauh dari nilai ideal Minangkabau, terutama ninik mamak kaum
dalam kaum tertentu.
“Saya melihat, masifnya rumah-rumah hancur dan roboh bukan
semata fisiknya yang sudah menua, tetapi karena pemahaman ninik mamak, kepala
kaum atau suku, yang terus kian jauh dari makna adat Minangkabau. Salah satu
buktinya ialah dalam satu rumah gadang ada tiga pangulu di dalamnya. Munculna
tiga pangulu karena konflik internal. Hal seperti ini mempercepata hancurnya
rumah gadang atau rumah asa,” kata Musra Dahrizal, yang pernah jadi dosen tamu
di University of Hawaii, Manoa, Amerika Serikat, saat bincang-bincang dengan mantagisme, beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan, kehancuran rumah gadang bisa dimaknai sebagai
salah satu indikator tergerusnya adat dan budaya Minangkabau karena sistem yang
menopang negeri ranah bundo ini ialah dialektika yang berlangsung secara
dinamis dalam rumah gadang.
“Di rumah gadang itu sebenarnya Minangkabau diberi napas,
dihidupi, dan digerakkan. Kini, fungsi rumah gadang tidak demikian lagi. Rumah
gadang sudah dipecah-pecah kaum pemiliknya. Menurut saya, lenyapnya rumah
gadang itu tanggung jawab pasukuan. Dan sekaligus jika ingin dibangun kembali,
juga tanggung jawab mereka,” terang Mak Katik yang juga salah seorang seniman
tradisi ini.
Menjaga Rumah Gadang Ala Suku Koto Dalimo
Kaum suku Koto Dalimo di Nagari Supayang, Kecamatan Salimpaung, Tanah Datar sedang merayakan kegembiraannya karena sebuah rumah gadang atau rumah asa baru tuntas dibangun.
Rumah gadang Datuk Sati Koto dari suku Koto Dalimo, Nagari Supayang, Kecamatan Salimpaung, Tanah Datar.
Puluhan rumah gadang yang bernasib malang
dan menanti nasib roboh, masif di nagari-nagari di Minangkabau, termasuk di
Nagari Supayang. Tapi tentu kecuali rumah gadang milik kaum Datuk Sati dari
suku Koto Dalimo. Satu dari dua rumah gadang milik kaum ini selesai dibangun
kembali dengan memanfaatkan dana program revitalisasi desa adat 2018 dari
Dirjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Rumah yang diberi
nama Rumah Gadang Kaum Datuak Sati memiliki 5 ruang di dalamnya.
Rumah gadang itu, awalnya dibangun pada
1910 dan selesai 1014 oleh tukang bernama Khatib dari Tungkar, waktu itu masih
masuk Luhak Nan Tuo.
KH. A Datuak Sati bercerita, pembangun
rumah gadang limo ruang tersebut memakan waktu selama enam bulan dengan luas
bangunan 7 x 15 meter per segi.
"Alhamdulillah sudah hampir selesai,
tinggal perbaikan. Selama pembangunan sering terjadi hujan sehingga tukang
hanya bekerja setengah hari. Untuk membuat gonjong dan memasang atap saja satu
orang tukang dibayar hingga Rp200 ribu sehari karena berbahaya dan tak semua
berani. Kita berharap rumah gadang ini akan menjadi tempat dilaksanakannya
berbagai kegiatan suku," kata Datuak Sati.
Rumah gadang lima ruang tersebut memiliki
satu pintu masuk, delapan jendela, empat kamar yang masing-masing satu jedela.
Sementar untuk tiang dibagian dalam ada 4 pula dengan total keseluruhan tiang
20 buah.
"Akan diresmikan sebentar lagi,
setelah pembangun ini selesai akan dibangun pula rumah gadang tigo ruang di
lokasi berbeda, semoga ini akan memberikan manfaat dan mempersatukan anak
kemenakan kami," terangnya..
Khairul Jasmi, salah seorang anak
kamanakan dalam kaum suku Koto Dalimo mengatakan, pembangunan rumah gadang itu
merupakan hasil musyawarah semua kaum anak kamanak bagaimana memperbaiki rumah
gadang yang sudah lapuk.
Kaum Koto Dalimo ini bersepakat membuat
dulu sebuah yayasan yang ditugaskan membangun rumah gadang.
“Kami ajukan ke Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan melalui Ditjen Kebudayaan. Alhamdulillah ada bantuan berupa dana
hibah revitalisasi desa adat bisa terealisasi,” Khairul Jasmi yang akrab disapa
KJ ini.
KJ menyebut, untuk membangun sebuah rumah
gadang yang sederhana cukup syarat secara adatnya tak mahal-mahal amat. Ia
mengaku hanya membutuhkan Rp400 juta saja untuk membangun rumah gadang lima
ruang itu.
Menurutnya, rumah gadang yang makin lama
makin habis jejaknya, menurut Khairul Jasmi adalah karena faktor pergeseran
nilai dari komunal ke individualisme.
“Dulu satu ‘perut dalam satu kaum’
berdiam di sebuah rumah gadang yang terdiri dari beberapa kamar. Tapi kemudian
nilai-nilai komunal berubah menjadi individual, masing-masing keluarga dalam
‘satu perut’ tadi memilih untuk membangun rumah sendiri di luar rumah gadang.
Maka rumah gadang ditinggal, sepi lalu dimakan ngengat dan runtuh,” kata KJ.
Tapi menurut Komisaris PT Semen Padang
ini, bagawa kalau membiarkan rumah
gadang melapuk apalagi kemudian hilang ditelan masa.
“Rumah gadang itu mesti tetap ada. Memang
berat, tetapi apabila dipersamakan tentu tak ada yang berat. Bahkan pemerintah
pun membantu menegakkan kembali rumah gadang yang sudah lapuk,” kata KJ.
Menurut Ketua KAN Supayang Surtaveri Datuak
Rajo Penghulu, sepakat mengatakan, revitalisasi rumah gadang di nagarinya
sangat mendesak.
“Ini penting, agar sendi budaya Minangkabau
jangan hilang begitu saja. Hal senada dikemukakan. Ia yakin, rumah gadang jika
difungsikan dengan benar, akan bermanfaat sekali bagi pembangunan ABS-SBK,”
kata Surtaveri.
Rumah Gadang Ada dalam Batin
Enggannya
masyarakat Minangakabau membangun kembali rumah gadang
kaumna salah satunya karena
mahalnya material bangunan. Oleh karena itu, saat ini
yang mampu membangun rumah bagonjong mirip rumah gadang kebanyakan hanyalah
pemerintah untuk keperluan berbagai kantor, sehingga kantor wali nagari sampai
ke kantor gubernur memiliki atap bagonjong. Selain itu orang kaya-kaya terutama
orang kaya di perantauan juga banyak yang membangun rumah bagonjong di kampung
halamannya.
Kendati begitu, Ketua Bundo Kanduang
Sumatera Barat Prof Dr Ir Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib, M.Si membantah
kalau rumah gadang di Minangkabau sudah sepi dan mulai tergerus ditelan zaman.
“Tidak, rumah gadang itu jangan lihat
dari fisik bangunan. Ia adalah simbol. Simbol perkauman orang Minangkabau. Maka
rumah gadang senantiasa ada dalam batin
orang Minangkabau. Ia tidak hilang atau sekurang tidak ditinggal sepi,” kata Puti
Reno Raudhatul Jannah Thaib kepada Khazanah.
Ia mengakui secara fisik memang banyak
rumah gadang yang tidak dihuni, lalu lapuk dimakan usia dan runtuh namun jangan
kira fungsi rumah gadang lalu hilang.
Kata Raudha, ia ‘pindah’ ke rumah biasa
yang bisa saja tidak bergonjong, tidak lima ruang atau sembilan ruang yang
selanja kuda berlari itu.
“Fungsi rumah gadang sebagai tempat
beriya-iya dalam kaum pindah ke rumah salah satu anggota kaum,” terangnya.
Pada pelbagai nagari, ada rumah gadang
tuo yang sudah runtuh tapi ada pula anak kemenakan yang berlebih rezekinya,
lalu dibangun kembali rumah gadang itu. Hal ini menurut Raudha bukan rumah
kaum, itu adalah rumah pribadi yang berbentuk rumah gadang.
“Jadi rumah gadang itu adalah bangunan
yang dibuat atas dasar kesepakatan anggota kaum. Apabila yang empunya uang tadi
membangun rumah gadang lalu dihibahkan ke kaumnya dan kaumnya bersepakat, maka
jadilah itu rumah gadang kaum,” papar Bundi Kanduang ini.
Keluarga Yang Dipertuan Pagaruyung ini menyebutkan,
dari sisi arsitektur rumah gadang memang unik. Ia tidak sama untuk semua
wilayah di Minangkabau.
“Tapi itu tidak perlu diseragamkan
apalagi dipertentangkan. Rumah gadang Bodi Chaniago berbeda dengan rumah gadang
Koto Piliang. Biarlah begitu, itu sebagai penanda sistem. Anak cucu yang diberi
pemahaman tentu itu kelak akan tahu membedakan sebuah rumah gadang apakah
pemiliknya kaum Bodi Chaniago atau kaum Koto Piliang, keduanya sama-sama
sebagai sebuah sistem kekerabatan dan kemasyarakatan yang tumbuh berakar di
Minangkabau,” katanya.
Ia pun berharap tiap kaum yang memiliki
kemampuan membanghun kembali rumah gadang kaum agar membangunnya, kaum yang
bisa merehab yang hampir roboh, rehablah agar rumah gadang tetap tegak di
tengah kaum.
Kajang Padati Padang yang Tergerus
Bentuk fisik rumah gadang atau rumah asal di wilayah
Minangkabau tidak sama. Wilayah luhak atau darek berbeda bangunan fisiknya
dengan wilayah rantau.
Selama ini, rumah gadang yang kita kenal selalu identik dengan bangunan dengan atap gonjong. Gonjong merupakan ciri khas yang tidak terpisahkan dari rumah gadang. Tetapi kajang padati, demikian nama untuk rumah asa yang tak bergonjong di Kota Padang, masih ditemukan beberapa unit di daerah Kuranji, Pauh, dan Koto Tangah.
Rumah ini merupakan rumah panggung. Atapnya memang tidak berbentuk gonjong. Disebut kajang pedati karena bentuk atapnya mengadopsi bentuk atap pedati, alat transportasi tradisional yang ditarik kerbau, yakni atap rumah tetapi melancip di ujung-ujungnya.
Rumah begini sudah mulai langka pula walau belum
bisa dikatakan habis. Rumah asal dengan model kajang padati masih terlihat di Jalan Anduring Padang.
Sekitar 200 sampai 50 meter sebelum Simpang By Pass, terdapat tiga rumah kajang
padati, masing-masing dua di sebalah kiri dan kanan. Ukuran panjangnya 10
meter.
Yang unik dari ketiga rumah yang Khazanah jumpai, selain atapnya tidak
bergonjong,
adalah ukiran yang terdapat pada kayu-kayunya. Kalau
lazimnya ukiran rumah gadang dipahat dan dicat berwarna, ukiran pada rumah
kajang padati terbentuk dari hasil pelubangan, seperti pada pagar pegangan
tangga, pagar langkan, ventilasi, listplank, singkok atapnya. Perbedaan
lainnya pada rumah kajang padati yakni terdapat beranda atau serambi.
Menurut Nasbahry Couto, peneliti dan pemerhati
budaya Minangkanbau dan juga pengajar FBS UNP, mengatakan, tidak banyak
perhatian orang-orang mengenai kajang padati ini. Barangkali karena bentuk
fisik, arsitekturnya, berbeda dengan rumah-rumah gadang di daerah dataran
tinggi Minangkabau atau darek.
Kajang padati merupakan rumah gadang yang mendapat
pengaruh dari Aceh. Ceritanya, Padang pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan
Aceh pada abad ke-17.
“Semasa itu, Raja Aceh adalah Sultan Iskandar Muda
yang mencapai puncak kekuasaannya di pesisir barat Sumatera pada 1607. Di
Padang, Aceh memonopoli perdagangan dan mendirikan pos perdagangan. Dalam
mempertahankan kekuasaannya, Aceh tidak hanya bertindak sebagai pemonopoli
perdagangan tetapi ikut campur mengatur dalam hal adat dan kebudayaan dengan mengeluarkan
peraturan. Termasuk salah satu aturannya berbunyi, bahwa rumah gadang
tidak boleh meniru rumah gadang di darek, tetapi paduan Aceh dengan Minangkabau,”
kata Nasbahry Couto,
Tapi sayangnya, jelasnya, rumah-rumah kajang padati di
Kota Padang kini menunggu kepunahan. Kini, baik masyarakat atau pemerintah
terkesan agak abai akan keberadaan bangunan tersebut.
“Perhatian akan warisan budaya ini baru tampak saat Pemerintah Kota Padang membangun Balai Kota Padang yang baru di Aia Pacah. Balai kota tersebut mengadopsi bentuk kajang padati,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar