Minggu, 05 Februari 2023

Rumah Gadang, Benteng Terakhir Minangkabau Menunggu Pupus

Laporan Nasrul Azwar, Eko Yanche Edrie, Rahmat Alfi Denas

Rumah gadang basa batuah// Tiang banamo kato hakikat// Pintunyo banamo dalil kiasan//Banduanyo sambah-manyambah//Bajanjang naik batanggo turun//Dindiangnyo panutuik malu//Biliak­nyo aluang bunian

mantagisme.comTamsil atau ungkapan di atas mengemban filosofis yang dalam dan sarat makna. Paling tidak, dalam pengertian denotasi rumah gadang bukan semata karena bentuk fisiknya yang besar (gadang) tetapi lebih jauh pada fungsinya yang besar atau gadang dalam tatanan kebudayaan Minangkabau.

Rumah gadang merupakan karya fisik masyarakat Minangkabau paling agung. Rumah tersebut dibangun dengan ukuran dan bentuk tersendiri yang mengandung nilai filosofis dan nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau. Para budayawan mengatakan, rumah gadang merupakan benteng terakhir Minangkabau. Jika lenyap, maka eksistensi Minangkabau berpotensi hilang pula.

Rumah gadang Minangkabau memang unik dan penuh nilai filosofis dengan analogi yang sarat makna. Sebagai misal, jumlah ruangnya selalu ganjil, mulai dari tiga ruang sampai belasan, ukurannya dikatakan dengan salanja kudo balari, saletak kuciang malompek, sapakiak budak maimbau, sajauh si kubin tabang.

Bentuknya ada yang disebut dengan gajah maharam dan surambi aceh. Bagian rumah itu juga memiliki nama dan makna tersendiri, gojongnya disebut pucuak rabuang,singoknya labah mangirok.

Lukisan pada rumah gadang memiliki tema dan motif alam yang melambangkan bahwa masyarakat minang berguru kepada alam, alam takambang jadi guru. Ada motif kaluak paku, saik kalamai, bada mudiak, itiak pulang patang, serak jalo dan motif lainnya.

Material pembuat rumah gadang tediri dari kayu berkualitas yang diawetkan terlebih dahulu dengan cara merendamnya dalam kolam ikan sampai bertahun-tahun, kemudian  ijuk, bambu dan batu untuk sandinya.

Pada zaman saisuak, bangunan rumah gadang tidak menggunakan logam, seperti paku maupun seng, juga tidak menggunakan beton.

Di halamannya dibangun rangkiang sibayau-bayau, sitanggang lapa dan sitinjau lauik yang merupakan bagian dari komponen  sistem ekonomi masyarakat Minang.

Rumah gadang disebut juga dengan rumah adat karena di rumah itulah dilakukan berbagai prosesi adat semisal alek kawin dan batagak pangulu.

Kondisi rumah gadang, seperti besar kecil, megah tidaknya, sesuai dengan kondisi ekonomi pemiliknya. Namun sebuah paruik dalam sebuah suku akan memiliki kebanggaan dan gengsi  tersendiri jika memiliki rumah gadang, sehingga mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk membangunya.

Gambaran padatnya perkampungan tempo doeloe dengan rumah gadang dapat dibaca melalui pepatah mengenai rumah gadang, singok bagisia, halaman salalu.

Namun sekarang rumah gadang asli seperti itu semakin banyak yang roboh dan  bertumbangan akibat dimakan usia, sebagai penggantinya anak kemanakan orang Minangkabau cenderung membangunan rumah baru bergaya baru dengan material baru.

Bahkan ada yang masih terawat dengan baik dan berdiri dengan megahnya. Deretan rumah gadang tersebut dapat kita jumpai misalnya di Kabupaten Solok Selatan yang dijuluki dengan seribu rumah gadang, jejeran rumah gadang di Kota Solok dan Kabupaten Solok, Kabupaten Dharmasraya, Agam, Limapuluh Kota dan beberapa daerah lainnya di Provinsi Sumatera Barat.

Undri, salah seorang peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang, yang menaruh perhatian terhadap budaya Minangkabau mengatakan, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama dalam sebuah suku, kaum maupun nagari dan sebagainya.

“Fungsi utama rumah gadang menyelingkupi bagian keseluruhan kehidupan orang Minangkabau itu sendiri. Sekarang pertanyaan kita adalah apakah fungsi rumah gadang tersebut memang seperti itu adanya sekarang?” tanyanya dikutip dari artikel yang ditulis Undri.

Menurut Undri, berbagai persoalan yang muncul, mulai dari tingkat suku, kaum dan nagari kadang kala tak mengindahkan fungsi rumah gadang tersebut.

“Contoh kecil saja persoalan tanah yang sampai ke tingkat pengadilan marupakan ganbaran ketidakmampuan kita memahami fungsi rumah gadang itu sendiri,” katanya.

Sementara itu, menurut budayawan Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto, yang akrab disapa Mak Katik, kehancuran rumah-rumah gadang, terutama di nagari-nagari di Minangkabau, tersebab pemahaman terhadap adat Minangkabau yang terus menjauh dari nilai ideal Minangkabau, terutama ninik mamak kaum dalam kaum tertentu.

“Saya melihat, masifnya rumah-rumah hancur dan roboh bukan semata fisiknya yang sudah menua, tetapi karena pemahaman ninik mamak, kepala kaum atau suku, yang terus kian jauh dari makna adat Minangkabau. Salah satu buktinya ialah dalam satu rumah gadang ada tiga pangulu di dalamnya. Munculna tiga pangulu karena konflik internal. Hal seperti ini mempercepata hancurnya rumah gadang atau rumah asa,” kata Musra Dahrizal, yang pernah jadi dosen tamu di University of Hawaii, Manoa, Amerika Serikat, saat bincang-bincang dengan mantagisme, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, kehancuran rumah gadang bisa dimaknai sebagai salah satu indikator tergerusnya adat dan budaya Minangkabau karena sistem yang menopang negeri ranah bundo ini ialah dialektika yang berlangsung secara dinamis dalam rumah gadang.

“Di rumah gadang itu sebenarnya Minangkabau diberi napas, dihidupi, dan digerakkan. Kini, fungsi rumah gadang tidak demikian lagi. Rumah gadang sudah dipecah-pecah kaum pemiliknya. Menurut saya, lenyapnya rumah gadang itu tanggung jawab pasukuan. Dan sekaligus jika ingin dibangun kembali, juga tanggung jawab mereka,” terang Mak Katik yang juga salah seorang seniman tradisi ini.  

Menjaga Rumah Gadang Ala Suku Koto Dalimo

Kaum suku Koto Dalimo di Nagari Supayang, Kecamatan Salimpaung, Tanah Datar sedang merayakan kegembiraannya karena sebuah rumah gadang atau rumah asa baru tuntas dibangun.


Rumah gadang Datuk Sati Koto dari suku Koto Dalimo, Nagari Supayang, Kecamatan Salimpaung, Tanah Datar.

 

Puluhan rumah gadang yang bernasib malang dan menanti nasib roboh, masif di nagari-nagari di Minangkabau, termasuk di Nagari Supayang. Tapi tentu kecuali rumah gadang milik kaum Datuk Sati dari suku Koto Dalimo. Satu dari dua rumah gadang milik kaum ini selesai dibangun kembali dengan memanfaatkan dana program revitalisasi desa adat 2018 dari Dirjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Rumah yang diberi nama Rumah Gadang Kaum Datuak Sati memiliki 5 ruang di dalamnya.

Rumah gadang itu, awalnya dibangun pada 1910 dan selesai 1014 oleh tukang bernama Khatib dari Tungkar, waktu itu masih masuk Luhak Nan Tuo.

KH. A Datuak Sati bercerita, pembangun rumah gadang limo ruang tersebut memakan waktu selama enam bulan dengan luas bangunan 7 x 15 meter per segi.

"Alhamdulillah sudah hampir selesai, tinggal perbaikan. Selama pembangunan sering terjadi hujan sehingga tukang hanya bekerja setengah hari. Untuk membuat gonjong dan memasang atap saja satu orang tukang dibayar hingga Rp200 ribu sehari karena berbahaya dan tak semua berani. Kita berharap rumah gadang ini akan menjadi tempat dilaksanakannya berbagai kegiatan suku," kata Datuak Sati.

Rumah gadang lima ruang tersebut memiliki satu pintu masuk, delapan jendela, empat kamar yang masing-masing satu jedela. Sementar untuk tiang dibagian dalam ada 4 pula dengan total keseluruhan tiang 20 buah.

"Akan diresmikan sebentar lagi, setelah pembangun ini selesai akan dibangun pula rumah gadang tigo ruang di lokasi berbeda, semoga ini akan memberikan manfaat dan mempersatukan anak kemenakan kami," terangnya..

Khairul Jasmi, salah seorang anak kamanakan dalam kaum suku Koto Dalimo mengatakan, pembangunan rumah gadang itu merupakan hasil musyawarah semua kaum anak kamanak bagaimana memperbaiki rumah gadang yang sudah lapuk.

Kaum Koto Dalimo ini bersepakat membuat dulu sebuah yayasan yang ditugaskan membangun rumah gadang.

“Kami ajukan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Ditjen Kebudayaan. Alhamdulillah ada bantuan berupa dana hibah revitalisasi desa adat bisa terealisasi,” Khairul Jasmi yang akrab disapa KJ ini.

KJ menyebut, untuk membangun sebuah rumah gadang yang sederhana cukup syarat secara adatnya tak mahal-mahal amat. Ia mengaku hanya membutuhkan Rp400 juta saja untuk membangun rumah gadang lima ruang itu.

Menurutnya, rumah gadang yang makin lama makin habis jejaknya, menurut Khairul Jasmi adalah karena faktor pergeseran nilai dari komunal ke individualisme.

“Dulu satu ‘perut dalam satu kaum’ berdiam di sebuah rumah gadang yang terdiri dari beberapa kamar. Tapi kemudian nilai-nilai komunal berubah menjadi individual, masing-masing keluarga dalam ‘satu perut’ tadi memilih untuk membangun rumah sendiri di luar rumah gadang. Maka rumah gadang ditinggal, sepi lalu dimakan ngengat dan runtuh,” kata KJ.

Tapi menurut Komisaris PT Semen Padang ini, bagawa kalau membiarkan rumah gadang melapuk apalagi kemudian hilang ditelan masa.

“Rumah gadang itu mesti tetap ada. Memang berat, tetapi apabila dipersamakan tentu tak ada yang berat. Bahkan pemerintah pun membantu menegakkan kembali rumah gadang yang sudah lapuk,” kata KJ.

Menurut Ketua KAN Supayang Surtaveri Datuak Rajo Penghulu, sepakat mengatakan, revitalisasi rumah gadang di nagarinya sangat mendesak.  

“Ini penting, agar sendi budaya Minangkabau jangan hilang begitu saja. Hal senada dikemukakan. Ia yakin, rumah gadang jika difungsikan dengan benar, akan bermanfaat sekali bagi pembangunan ABS-SBK,” kata Surtaveri.

Rumah Gadang Ada dalam Batin

Enggannya masyarakat Minangakabau membangun kembali rumah gadang kaumna salah satunya karena mahalnya material bangunan. Oleh karena itu, saat ini yang mampu membangun rumah bagonjong mirip rumah gadang kebanyakan hanyalah pemerintah untuk keperluan berbagai kantor, sehingga kantor wali nagari sampai ke kantor gubernur memiliki atap bagonjong. Selain itu orang kaya-kaya terutama orang kaya di perantauan juga banyak yang membangun rumah bagonjong di kampung halamannya.

Kendati begitu, Ketua Bundo Kanduang Sumatera Barat Prof Dr Ir Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib, M.Si membantah kalau rumah gadang di Minangkabau sudah sepi dan mulai tergerus ditelan zaman.

“Tidak, rumah gadang itu jangan lihat dari fisik bangunan. Ia adalah simbol. Simbol perkauman orang Minangkabau. Maka rumah gadang  senantiasa ada dalam batin orang Minangkabau. Ia tidak hilang atau sekurang tidak ditinggal sepi,” kata Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib kepada Khazanah.

Ia mengakui secara fisik memang banyak rumah gadang yang tidak dihuni, lalu lapuk dimakan usia dan runtuh namun jangan kira fungsi rumah gadang lalu hilang.

Kata Raudha, ia ‘pindah’ ke rumah biasa yang bisa saja tidak bergonjong, tidak lima ruang atau sembilan ruang yang selanja kuda berlari itu.

“Fungsi rumah gadang sebagai tempat beriya-iya dalam kaum pindah ke rumah salah satu anggota kaum,” terangnya.

Pada pelbagai nagari, ada rumah gadang tuo yang sudah runtuh tapi ada pula anak kemenakan yang berlebih rezekinya, lalu dibangun kembali rumah gadang itu. Hal ini menurut Raudha bukan rumah kaum, itu adalah rumah pribadi yang berbentuk rumah gadang.

“Jadi rumah gadang itu adalah bangunan yang dibuat atas dasar kesepakatan anggota kaum. Apabila yang empunya uang tadi membangun rumah gadang lalu dihibahkan ke kaumnya dan kaumnya bersepakat, maka jadilah itu rumah gadang kaum,” papar Bundi Kanduang ini.

Keluarga Yang Dipertuan Pagaruyung ini menyebutkan, dari sisi arsitektur rumah gadang memang unik. Ia tidak sama untuk semua wilayah di Minangkabau.

“Tapi itu tidak perlu diseragamkan apalagi dipertentangkan. Rumah gadang Bodi Chaniago berbeda dengan rumah gadang Koto Piliang. Biarlah begitu, itu sebagai penanda sistem. Anak cucu yang diberi pemahaman tentu itu kelak akan tahu membedakan sebuah rumah gadang apakah pemiliknya kaum Bodi Chaniago atau kaum Koto Piliang, keduanya sama-sama sebagai sebuah sistem kekerabatan dan kemasyarakatan yang tumbuh berakar di Minangkabau,” katanya.

Ia pun berharap tiap kaum yang memiliki kemampuan membanghun kembali rumah gadang kaum agar membangunnya, kaum yang bisa merehab yang hampir roboh, rehablah agar rumah gadang tetap tegak di tengah kaum.

Kajang Padati Padang yang Tergerus

Bentuk fisik rumah gadang atau rumah asal di wilayah Minangkabau tidak sama. Wilayah luhak atau darek berbeda bangunan fisiknya dengan wilayah rantau. 

Selama ini, rumah gadang yang kita kenal selalu identik dengan bangunan dengan atap gonjong. Gonjong merupakan ciri khas yang tidak terpisahkan dari rumah gadang. Tetapi kajang padati, demikian nama untuk rumah asa yang tak bergonjong di Kota Padang, masih ditemukan beberapa unit di daerah Kuranji, Pauh, dan Koto Tangah.


Rumah ini merupakan rumah panggung. Atapnya memang tidak berbentuk gonjong. Disebut kajang pedati karena bentuk atapnya mengadopsi bentuk atap pedati, alat transportasi tradisional yang ditarik kerbau, yakni atap rumah tetapi melancip di ujung-ujungnya.

Rumah begini sudah mulai langka pula walau belum bisa dikatakan habis. Rumah asal dengan model kajang padati  masih terlihat di Jalan Anduring Padang. Sekitar 200 sampai 50 meter sebelum Simpang By Pass, terdapat tiga rumah kajang padati, masing-masing dua di sebalah kiri dan kanan. Ukuran panjangnya 10 meter.

Yang unik dari ketiga rumah yang Khazanah jumpai, selain atapnya tidak bergonjong,

adalah ukiran yang terdapat pada kayu-kayunya. Kalau lazimnya ukiran rumah gadang dipahat dan dicat berwarna, ukiran pada rumah kajang padati terbentuk dari hasil pelubangan, seperti pada pagar pegangan tangga, pagar langkan, ventilasi, listplank, singkok atapnya. Perbedaan lainnya pada rumah kajang padati yakni terdapat beranda atau serambi.

Menurut Nasbahry Couto, peneliti dan pemerhati budaya Minangkanbau dan juga pengajar FBS UNP, mengatakan, tidak banyak perhatian orang-orang mengenai kajang padati ini. Barangkali karena bentuk fisik, arsitekturnya, berbeda dengan rumah-rumah gadang di daerah dataran tinggi Minangkabau atau darek.

Kajang padati merupakan rumah gadang yang mendapat pengaruh dari Aceh. Ceritanya, Padang pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh pada abad ke-17.

“Semasa itu, Raja Aceh adalah Sultan Iskandar Muda yang mencapai puncak kekuasaannya di pesisir barat Sumatera pada 1607. Di Padang, Aceh memonopoli perdagangan dan mendirikan pos perdagangan. Dalam mempertahankan kekuasaannya, Aceh tidak hanya bertindak sebagai pemonopoli perdagangan tetapi ikut campur mengatur dalam hal adat dan kebudayaan dengan mengeluarkan peraturan. Termasuk salah satu aturannya berbunyi, bahwa rumah gadang tidak boleh meniru rumah gadang di darek, tetapi paduan Aceh dengan Minangkabau,” kata Nasbahry Couto,

Tapi sayangnya, jelasnya, rumah-rumah kajang padati di Kota Padang kini menunggu kepunahan. Kini, baik masyarakat atau pemerintah terkesan agak abai akan keberadaan bangunan tersebut.

“Perhatian akan warisan budaya ini baru tampak saat Pemerintah Kota Padang membangun Balai Kota Padang yang baru di Aia Pacah. Balai kota tersebut mengadopsi bentuk kajang padati,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...