OLEH Nurmatias (Peneliti)
Indonesia terkenal sebagai negara Bhineka Tunggal Ika dengan banyak variasi dan corak budayanya. Kemajemukan budaya tersebut tidak menjadikan kebudayaan sebagai produk unggulan dalam upaya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Deposit kebudayaan tidak digarap secara baik oleh parapemangku kepentingan.
Kebudayaan dipandang sebagai bidang yang tidak seksi karena bukan bidang yang padat anggaran.Pernyataan ini dapat diuji dan kita sandingkan dalam dua bidang berbeda dalam waktu dan tempat yang bersamaan seperti pariwisata dan kebudayaan. Sudah dapat dipastikan dan tidak perlu diragukan,pariwisata yang paling diminati dan didorong untuk maju oleh pemangku kepentingan kita.
Para birokrat akan berlomba-lomba menggiatkan pariwisata. Mereka berduyun-duyun hanya untuk menyaksikan dan mendengarkan alunan musik yang dicampur dengan suara dentuman-dentuman yang membuat hiruk suasana sehingga pesan moral dari lirik sebuah lagu hanya sayup-sayup terdengar karena tergila soleh suara dentuman tersebut. Bertolak belakang dengan gambaran itu, penampilan tradisi randai misalnya justru sepi penonton.
Sekalipun ada beberapa
orang penonton, itu pun didominasi oleh penonton dari kalangan orang tua-tua saja. Tidak berhenti di situ, acara tradisi itu pun hanya ditampilkan sebagaia cara pembukaan, tidak lebih dari sekedar pelengkap atau palama ksebuah acara. Bagi generasi muda, kegandrungan terhadap “budaya ala barat” tidak dapat disalahkan.
Kita tidak menutup mata bahwa kesenian tradisional seperti penampilan randai hanya membikin orang ngantuk. Randai sebagaimana ditampilkan justru hambar dengan kreasi.Persoalan ini jamak terjadi dinegeri yang konon mengagung-agungkan kebudayaan atau adat salingka nagari.
Pemberian pakem terhadap sebuah tradisi kedalam bentuk lokalitas ekstrim justru menjebak tradisi itu sendiri kedalam keterkungkungan sehingga miskin kreatifitas.Padahal jika direnungkan kembali, kesenian tradisional merupakan ekspresi sebuah kelompok masyarakat pada sebuah zaman. Dengan demikian, kesenian tidak bersifat statis dan (seharusnya) juga bergerak dinamis sehingga selalu up
to date dan mewakili zaman.
Presiden Joko
Widodo menyebutkan berdikari politik, ekonomi dan budaya. Budaya merupakan
kekuatan bangsa ini. Sumatera Barat dengan kekuatan adat dan budaya yang dimilikina memiliki basis utama pada nagari-nagari yang ada. Masing-masing nagari memiliki kekhasan budayanya.Dalam kaitannya dengan hal ini, umum disebut di Sumatera Barat sebagai“Adat salingka nagari” (adat salingka negeri).
Dengan banyaknya satuan pemerintahan adat di Sumatera Barat, maka antara satu nagari dengan nagari lainnya memiliki kekhasan dalam praktek budaya. Hal itu tercermin dalam bentuk seperti prilaku masyarakat,kebiasaan kolektif dalam keseharian, upacara adat (pakaian, alue pasambahan,
manjapuik marapulai, dll),
adanya waktu-waktu tertentu untuk menampilkan kesenian dan hal-hal lainnya.
Apa yang dicontohkan di atas merupakan modal pembangunan yang
maha dahsyat bila dikelola dan dilestarikan dengan baik karena mengandung nilaike gotong royongan. Artinya sikap-sikap kebersamaan yang dimiliki oleh masing-masing nagari tinggal dipupuk untuk terus berkembang positif. Namun sampai sekarang ini perihal pengelolaan dan pelestarian kebudayaan dalam berbagai segi masih jauh dari harapan.
Harapan kita bersama,
kebudayaan tidak semata diartikan sebagai kontes-kontes musiman yang diharapkan mendulang penonton sebagaimana di media. Bagaimana pun bentuknya, kebudayaan tetap harus berlangsung di ruang publik dan member nilai positif, membentuk sikap gotong royong. Esensi kebudayaan adalam menjadi cerminan jati diri sebuah kaum, bangsa dan
negara. Hilang kebudayaan berarti hilang
pula sebuah negara atau peradaban umat manusia.
Kita tidak dapat menafikan jika selama ini,instansi kebudayaan dianggap sebagai pelengkap penderita saja. Bagi pihak Pemerintah Daerah, upaya pengelolaan dan pelestarian budaya kalah bersaing dengan program di bidang pariwisata. Sanggar-sanggar kesenian dikelola apabila ada kebutuhan untuk dikirim keacara-acara rutin kesenian atau pengiriman delegasi kedaerah lain atau keluar negeri. Setelah itu dibiarkan saja.
Kondisi ini menjadikan sanggar-sanggar kesenian tumbuh bakkarakok
diateh batu,hidup segan matipun tak mau. Walaupun ada beberapa daerah yang serius member perhatian terhadap kebudayaan untuk tumbuh dan berkembang,namun rasanya tidak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat untuk memiliki dan melestarikannya.
Perihal tersebut tidak berhenti disitu saja, begitu banyak produk-produk kebudayaan salingka nagari tidak diketahui dengan baik dan
dilestarikan oleh pendukung kesenian itu sendiri. Kadang kala sudah terkikis
bahkan punah. Padahal itu merupakan budaya khas yang ada pada daerah tersebut.
Berbagai alasan muncul sebaga ipenyebab terkikis dan punahnya produk kebudayaan tersebut. Mulai dari persoalan arus global yang tak terbendung
sampai kepada perihal dukungan pendanaan yang minim bahkan tidak ada sama
sekali dari pemerintah.
Meskipun hal tersebut merupakan persoalan klasik, namun itulah fakta yang terjadi dilapangan. Sebagai konsekuensi logis dari semua itu
adalah produk-produk kebudayaan yang ada akhirnya menjadi “patung” yang tak punya makna
apa-apa bagi masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri.
Dengan demikian, tidak mengherankan apabila produk-produk kebudayaan tersebut mencari masyarakatnya sendiri karena tidak mendapat tempat di daerah asalnya.Beberapa produk kebudayaan yang seharusnya berkembang di daerah kita malah hidup,
lestari dan berkembang pesat di negara tetangga.
Kondisi ini telah sampai di tahap memprihatinkan. Sulit untuk menjawab siapa dan apa yang salah dalam pengelolaan kebudayaan selama ini. Barangkali kita tetap menjadi bagian dari kesalahan tersebut karena ketidak pedulian kita terhadap produk kebudayaan yang dihasilkan oleh nenek moyang.
Jika produk kebudayaan itu berupa kesenian tradisional, maka strategi untuk mempertahankannya adalah melalui pewarisan dalam bentuk belajar.Dalam tahapan ini, para tetua yang memiliki keterampilan seni adakalanya tidak memiliki kesadaran untuk mewariskannya kepada generasi muda.Setali tiga uang dengan persoalan itu, hal sebaliknya juga terjadi dikelompok generasi muda.
Generasi muda cenderung abai dan gengsi untuk mempelajari sebuah bentuk kesenian tradisional sekalipun mulut tetua berbuih-buih untuk mengajarkannya.Generasi muda terjebak dalam arus pop sehingga tidak lagi menganggap mempelajari sebuah produk budaya sendiri seperti kesenian tradisional sebagai sebuah kesadaran.
Persoalan lain yang juga muncul dalam upaya pengelolaan dan pelestarian budaya di salingka nagari adalah tidak adanya kesadaran untuk membuat catatan secara tertulis tentang produk kebudayaan sebuah nagari.
Semua perihal
masalah budaya hanya berbentuk lisan-dituturkan dari mulut ke mulut. Kebiasaan
kita menuturkan secara lisan atau ota lapau punya andil dalam hal ini.
Jarang sekali penulis menemukan database secara tertulis tentang produk budaya berupa kesenian tradisional yang ada dinagarinya. Ingatan kolektif tentang sebuah produk kebudayaan berupa kesenian secara umum disimpan oleh orang tua-tua yang hampir pula akhir hidupnya.
Itupun banyak yang lupa
bila ditanyakan lebih rinci tentang kesenian yang ada di daerahnya. Tidakdapat
dibayangkan kalau si
tua tersebut meninggal, kepada siapa lagi kita akan bertanya?
Ibarat penyakit, kita ini kronis dalam berbagaisegi pengelolaan kesenian tradisional sebagai produk kebudayaan kita sendiri.
Tidak dapat disalahkan apabila sebuah kesenian yang berkembang di negara tetanggaakan mereka caplok sebagaikesenian yang dihasilkan oleh nenek moyang mereka. Sebab mereka yang giat-giat melestarikannya sedangkan
kita tidur pulas dengan kibasan budaya orang lain (luar).
Ke
depan,
semua elemen masyarakat harus berperan serta dalam mengelola dan melestarikan produk kebudayaan.
Pemerintah harus lebih giat lagi dalam melakukan pengelolaan dan pelestarian kebudayaan yang
berbasis kepada adat salingka nagari.
Hal tersebut dapat dijadikan modal pembangunan bagi daerah. Bagi generasi tua, setiap pengetahuan yang dimiliki tentang sebuah produk kebudayaan, perlu mewariskannya kepada generasi muda.
Begitu pula dengan generasi muda, mari membuka pikiran untuk terliba taktif dengan pelestarian hasil kebudayaan sendiri, paling tidak dengan bergiat dalam memperdalam pengetahuan dari para sesepuh yang masih hidup. Secara keseluruhan, mari meningkatkan kesadaran berbudaya. Salam Budaya! Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar