REPORTASE Eko Yanche Edrie, Paul Hendri
mantagisme.com—Beberapa muslimah di saf perempuan Masjid Muhammadiyah Kompleks Kauman Padang Panjang bersama mengaji tafsir di Minggu siang yang agak redup. Mereka serius sekali mendiskusikan ayat per ayat yang mereka baca dengan dipimpin seorang guru.
Di luar suara kendaraan berlalu-lalang di jalan Lintas Sumatera terdengar agak bising karena masuk lewat jendela-jendela masjid yang memang dibuat tidak rapat. Tapi suara meriah di seberang jalan sebelah barat, di Jalan Urip Sumohardjo juga meningkah, menyeruak di antara pagar pembatas masjid.
Suara dari arah barat
itu adalah suara kanak-kanak yang bermain di halaman Gereja St.Petrus
Apostolus, sedang di dalamnya berlangsung peribadatan minggu. Sayup-sayup memang
terdengar suara koor himne pendek doksologi
yang disuarakan jemaat Gerja St Petrus Apostolus itu.
Jarak antara masjid
Muhammadiyah dengan Gereja St. Petrus hanya sepehimbauan,
hanya dibatasi jalan kecil saja.
Tidak ada komplain-mengomplain
antara kedua jemaah bertetangga dekat itu. Dari tahun ke tahun, antara keduanya
di Kota Serambi Makkah itu rukun-rukun saja. Anak-anak yang bersekolah di SD
Fransiskus—sekolah di bawah binaan Gereja St Petrus—di Padang Panjang dari dulu
biasa saja bergaul dengan teman sesama bocahnya di SD Muhammadiyah Kauman dan
SD Balai-Balai yang terletak di sebelah tenggara gereja.
Harmonisasi kehidupan
beragama di Serambi Makkah memang sudah tercipta sejak sebelum kemerdekaan.
Kota itu menjadi kota multikultural dan multietnis bahkan multiagama sejak
dulu. Dan pastinya, kultur orang Padang Panjang adalah masyarakat yang suka
bersahabat serta akrab dengan heterogenitas. Sebaliknya mereka yang menjadi
pendatang, mampu berasimilasi dan hidup saling hormat menghormati di kota
tempat jalur kereta api bersimpang tiga itu.
"Saya sudah 70
tahun hidup di kota ini, rasanya saya seperti di negeri sendiri. Semua sahabat
saya orang Padang Panjang adalah sahabat-sahabat yang ikut membawa kami bermain
ke sawah, bermain layang-layang serta menyatu dengan cara-cara orang Padang Panjang,"
ujar Thomas, warga Tionghoa saat ditemui di Kampung Nias—tempat sebagian besar
warga Tionghoa bermukim.
Thomas, seperti juga
warga Tionghoa lainnya, sepintas dari caranya berbicara, tidak akan ketahuan
bahwa dia keturunan Tionghoa. Bahasa dan lafaz tuturnya sudah seperti orang
Padang Panjang biasa.
Bagi Eng Marina, 60
tahun, sikap kekeluargaan dan toleransi yang tinggi dari warga Padang Panjang
tidak hanya pada warga pribumi, tetapi juga warga pendatang. Eng adalah mualaf
sejak mudanya. Ketika ia mualaf, ayah dan ibunya memahami akan keyakinan anaknya.
"Maka di rumah,
apabila Subuh tiba, ayah saya membangunan untuk salat Subuh. Ketika puasa, ibu
membangunkan untuk sahur. Tapi kami memang tidak memasak dalam satu tempat
masak. Kedua orang tua saya tidak mau memberikan makanan yang tidak dibolehkan dimakan
oleh umat Islam ketika ia memberi makanan buat cucu-cucunya," kisah Eng
Marina yang kini menetap di Jakarta.
Eng justru paham pula
tentang petatah-petitih Minang. Lidahnya juga tidak canggung mengucapkan
bidal-bidat adat Minangkabau. Dia tidak belajar khusus, tetapi karena suaminya
adalah seorang ninik mamak, Fauzi Dt. Sutan Mudo ia belajar dari sang suami.
Ketika muda, Eng
terkenal sebagai pemain basket putri dan perenang yang menjadi atlet Padang
Panjang serta jadi pelatih renang. Banyak yang mengira Eng adalah asli orang
Padang Panjang.
Cerita kerukunan
seperti dituturkan Eng itu adalah keseharian interaksi warga keturunan dan
warga pribumi di Padang Panjang. Belum pernah terdengar ada pergesekan antara
kedua pihak.
Johan, 55 tahun, memilih
tetap dengan keyakinan sebagai penganut katolik. Tapi ia menceritakan, ketika
remaja malah menghabiskan waktu bauru-uru
dengan temannya di sekitar masjid saat bulan puasa. Ia ikut bermain dengan
teman-temannya tanpa harus canggung ketika di rumah temannya ia ikut juga makan
sahur kalau bulan puasa.
"Padang Panjang
itu indah, tempat bergaul yang menyenangkan. Sesama warganya saling
menghargai," kata Johan yang kini menetap di Payakumbuh.
Tiap sebulan sekali,
ia sempatkan juga 'pulang kampung' ke Padang Panjang menikmati keindahan masa
lalu yang masih terpelihara di sana.
Padang Panjang memang
memberikan nuasa sejuk tak hanya udaranya tapi kebersahabatan warga kotanya.
"Sejak dulu seperti ini,” katanya.
Gereja di dalam Serambi
Makkah
Di sejumlah tempat di
Indonesia, sering terjadi bahwa perbedaan keagamaan dan
keimanan dijadikan sebagai pemicu atau alasan pertentangan dan perpecahan.
Bahkan sering terjadi konflik berdarah dan berapi yang menelan banyak korban
manusia dan harta benda. Namun tidak di Kota Serambi Makkah Padang Panjang.
Serambi Makkah yang jadi kota transit itu memang mayoritas penduduknya menganut
Islam. Tetapi dengan harmonis, umat Katolik, Protestan, Budha dan Hindu dapat
hidup berdampingan dengan rukun.
Menurut Pastor Yohanes saat dijumpai di Gereja St Petrus Apostolus
usai peribadatan Minggu, 24 Februari 2019 menyatakan bahwa ia dan jemaatnya
tidak merasa terganggu dengan gema azan Zuhur dari Masjid Muhammadiyah tetangga
mereka.
"Biasa saja, saudara-saudara
Muslim menjalankan ibadah salat Zuhur, kami selesai melaksanakan ibadah minggu. Kerukunan ini sudah terjadi lama, sebelum saya jadi pengurus lima
tahun terakhir,” kata Yohanes.
Epi, salah seorang jemaat gereja itu bahkan mengatakan bahwa bangunan Gereja
St Petrus Apostolus sebenarnya sudah lama mestinya direhabilitasi.
"Tetapi kami tidak mau pula
mendesak-desak agar pemerintah kota memberi izin buat pemugarannya.
Permohonannya sudah kami ajukan," ujar Epi dan dibenarkan oleh Pastor
Yohanes.
Keharmonisan kehidupan beragama di Kota Serambi Makkah ini menurut
Thomas yang menjadi Sekretaris Himbunan Bersatu Teguh Padang Panjang, adalah
lantaran satu sama lain saling memahami posisinya. Saling menghargai keyakinan
dan saling menghormati keturunan.
"Kami warga keturunan Tionghoa di sini tidak pernah merasa tertekan
dan merasa tidak ada yang menekan. Semua hidup saling tolong menolong antara
warga keturunan dengan warga pribumi," ujarnya.
Ia bahkan mengaku hidup di Serambi
Makkah jauh lebih nyaman dan aman dibandingkan daerah provinsi-provinsi lain. Ini harus dijadikan contoh
kerukunan yang dibangun dengan baik.
"Makanya saya selalu katakan di luar
Padang Panjang, kalau mau lihat kerukunan di sini, datang dan lihat kerukunan
yang terjalin, kami baik-baik saja," tegasnya.
Hal senada juga diakui oleh Epi Cino, 58 tahun, salah seorang
komunitas Tionghoa anggota HBT (Himpunan Bersatu Teguh) Kota Padang
Panjang.
Menurutnya, bicara toleransi dan tatanan
kehidupan sosial etnis Tionghoa di Padang Panjang berjalan mulus.
"Tidak ada rintangan kami dalam
melaksanakan ritual ibadah kami, tidak ada gangguan," imbuh Epi Cino pangilan
akrabnya yang memang kental dalam kesehariannya bergaul dengan pribumi Serambi Makkah Padang Panjang.
Indonesia Mini Bernama Padang Panjang
Padang Panjang
hanyalah kota kecil, luasnya 23 Km2, tetapi karena letaknya di persimpangan,
membuat banyak pemukim dari luar yang datang ke sini. Sejak permulaan abad
lalu, arus pendatang ke Padang Panjang lebih banyak disebabkan karena banyaknya
lembaga pendidikan keagamaan di situ. Selain itu juga di sinilah persimpangan
tiga jalur kereta api.
Menurut Erizal, Kadis BPBD dan Kesbangpol Padang Panjang, kerukunan itu justru dimulai saaat terjadinya asimilasi
pendatang-pribumi seabad lalu tersebut.
"Ini kita rawat
terus dari waktu ke waktu. Keharmonisan dan kerukunan hidup
beragama di Padang Panjang
dikoordinasikan dengan baik oleh
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Memelihara kerukunan sebagaimana
diamanatkan Peraturan Bersama Menag-Mendagri No 9 dan 8 Tahun 2006 adalah
bagian dari kewajiban pemerintah di daerah.
Ketua
FKUB Padang Panjang H. Sahbudin menuturkan, bahwa
salah satu keunikan Serambi Makkah Padang Panjang ini adalah harmonisasi itu.
Kerukunan umat beragama menurutnya adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi,
saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan
ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara didalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD tahun 1945.
Terkait peranan Kemenag, Gusmal Piliang selaku Kakan Kemenag Padang
Panjang mengatakan Padang Panjang
adalah Indonesia mini sebenarnya karena ada berbagai suku dan agama yang hidup
di sini.
Secara berkala memang ada pertemuan antarumat beragama terutama tokoh-tokohnya yang difasilitasi oleh Kementerian Agama dan FKUB serta Kabang Kesbangpol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar