Sabtu, 11 Februari 2023

Harmoni di Kota Padang Panjang, Masjid dan Gereja Berdampingan


REPORTASE
Eko Yanche Edrie, Paul Hendri

mantagisme.comBeberapa muslimah di saf perempuan Masjid Muhammadiyah Kompleks Kauman Padang Panjang bersama mengaji tafsir di Minggu siang yang agak redup. Mereka serius sekali mendiskusikan ayat per ayat yang mereka baca dengan dipimpin seorang guru.

Di luar suara kendaraan berlalu-lalang di jalan Lintas Sumatera terdengar agak bising karena masuk lewat jendela-jendela masjid yang memang dibuat tidak rapat. Tapi suara meriah di seberang jalan sebelah barat, di Jalan Urip Sumohardjo juga meningkah, menyeruak di antara pagar pembatas masjid.

Suara dari arah barat itu adalah suara kanak-kanak yang bermain di halaman Gereja St.Petrus Apostolus, sedang di dalamnya berlangsung peribadatan minggu. Sayup-sayup memang terdengar suara koor himne pendek doksologi yang disuarakan jemaat Gerja St Petrus Apostolus itu.

Jarak antara masjid Muhammadiyah dengan Gereja St. Petrus hanya sepehimbauan, hanya dibatasi jalan kecil saja.

Tidak ada komplain-mengomplain antara kedua jemaah bertetangga dekat itu. Dari tahun ke tahun, antara keduanya di Kota Serambi Makkah itu rukun-rukun saja. Anak-anak yang bersekolah di SD Fransiskus—sekolah di bawah binaan Gereja St Petrus—di Padang Panjang dari dulu biasa saja bergaul dengan teman sesama bocahnya di SD Muhammadiyah Kauman dan SD Balai-Balai yang terletak di sebelah tenggara gereja.

Harmonisasi kehidupan beragama di Serambi Makkah memang sudah tercipta sejak sebelum kemerdekaan. Kota itu menjadi kota multikultural dan multietnis bahkan multiagama sejak dulu. Dan pastinya, kultur orang Padang Panjang adalah masyarakat yang suka bersahabat serta akrab dengan heterogenitas. Sebaliknya mereka yang menjadi pendatang, mampu berasimilasi dan hidup saling hormat menghormati di kota tempat jalur kereta api bersimpang tiga itu.

"Saya sudah 70 tahun hidup di kota ini, rasanya saya seperti di negeri sendiri. Semua sahabat saya orang Padang Panjang adalah sahabat-sahabat yang ikut membawa kami bermain ke sawah, bermain layang-layang serta menyatu dengan cara-cara orang Padang Panjang," ujar Thomas, warga Tionghoa saat ditemui di Kampung Nias—tempat sebagian besar warga Tionghoa bermukim.

Thomas, seperti juga warga Tionghoa lainnya, sepintas dari caranya berbicara, tidak akan ketahuan bahwa dia keturunan Tionghoa. Bahasa dan lafaz tuturnya sudah seperti orang Padang Panjang biasa.

Bagi Eng Marina, 60 tahun, sikap kekeluargaan dan toleransi yang tinggi dari warga Padang Panjang tidak hanya pada warga pribumi, tetapi juga warga pendatang. Eng adalah mualaf sejak mudanya. Ketika ia mualaf, ayah dan ibunya memahami akan keyakinan anaknya.

"Maka di rumah, apabila Subuh tiba, ayah saya membangunan untuk salat Subuh. Ketika puasa, ibu membangunkan untuk sahur. Tapi kami memang tidak memasak dalam satu tempat masak. Kedua orang tua saya tidak mau memberikan makanan yang tidak dibolehkan dimakan oleh umat Islam ketika ia memberi makanan buat cucu-cucunya," kisah Eng Marina yang kini menetap di Jakarta.

Eng justru paham pula tentang petatah-petitih Minang. Lidahnya juga tidak canggung mengucapkan bidal-bidat adat Minangkabau. Dia tidak belajar khusus, tetapi karena suaminya adalah seorang ninik mamak, Fauzi Dt. Sutan Mudo ia belajar dari sang suami.

Ketika muda, Eng terkenal sebagai pemain basket putri dan perenang yang menjadi atlet Padang Panjang serta jadi pelatih renang. Banyak yang mengira Eng adalah asli orang Padang Panjang.

Cerita kerukunan seperti dituturkan Eng itu adalah keseharian interaksi warga keturunan dan warga pribumi di Padang Panjang. Belum pernah terdengar ada pergesekan antara kedua pihak.

Johan, 55 tahun, memilih tetap dengan keyakinan sebagai penganut katolik. Tapi ia menceritakan, ketika remaja malah menghabiskan waktu bauru-uru dengan temannya di sekitar masjid saat bulan puasa. Ia ikut bermain dengan teman-temannya tanpa harus canggung ketika di rumah temannya ia ikut juga makan sahur kalau bulan puasa.

"Padang Panjang itu indah, tempat bergaul yang menyenangkan. Sesama warganya saling menghargai," kata Johan yang kini menetap di Payakumbuh.

Tiap sebulan sekali, ia sempatkan juga 'pulang kampung' ke Padang Panjang menikmati keindahan masa lalu yang masih terpelihara di sana.

Padang Panjang memang memberikan nuasa sejuk tak hanya udaranya tapi kebersahabatan warga kotanya. "Sejak dulu seperti ini,” katanya.

Gereja di dalam Serambi Makkah

Di sejumlah tempat di Indonesia, sering terjadi bahwa perbedaan keagamaan dan keimanan dijadikan sebagai pemicu atau alasan pertentangan dan perpecahan. Bahkan sering terjadi konflik berdarah dan berapi yang menelan banyak korban manusia dan harta benda. Namun tidak di Kota Serambi Makkah Padang Panjang.

Serambi Makkah yang jadi kota transit itu memang mayoritas penduduknya menganut Islam. Tetapi dengan harmonis, umat Katolik, Protestan, Budha dan Hindu dapat hidup berdampingan dengan rukun.

Menurut Pastor  Yohanes saat dijumpai di Gereja St Petrus Apostolus usai peribadatan Minggu, 24 Februari 2019 menyatakan bahwa ia dan jemaatnya tidak merasa terganggu dengan gema azan Zuhur dari Masjid Muhammadiyah tetangga mereka.

"Biasa saja, saudara-saudara Muslim menjalankan ibadah salat Zuhur, kami selesai melaksanakan ibadah minggu. Kerukunan ini sudah terjadi lama, sebelum saya jadi pengurus lima tahun terakhir,” kata Yohanes.

Epi, salah seorang jemaat gereja itu bahkan mengatakan bahwa bangunan Gereja St Petrus Apostolus sebenarnya sudah lama mestinya direhabilitasi.

"Tetapi kami tidak  mau pula mendesak-desak agar pemerintah kota memberi izin buat pemugarannya. Permohonannya sudah kami ajukan," ujar Epi dan dibenarkan oleh Pastor Yohanes.

Keharmonisan kehidupan beragama di Kota Serambi Makkah ini menurut Thomas yang menjadi Sekretaris Himbunan Bersatu Teguh Padang Panjang, adalah lantaran satu sama lain saling memahami posisinya. Saling menghargai keyakinan dan saling menghormati keturunan.

"Kami warga keturunan Tionghoa di sini tidak pernah merasa tertekan dan merasa tidak ada yang menekan. Semua hidup saling tolong menolong antara warga keturunan dengan warga pribumi," ujarnya.

Ia bahkan  mengaku hidup di Serambi Makkah jauh lebih nyaman dan aman dibandingkan daerah provinsi-provinsi lain. Ini harus dijadikan contoh kerukunan yang dibangun dengan baik.

"Makanya saya selalu katakan di luar Padang Panjang, kalau mau lihat kerukunan di sini, datang dan lihat kerukunan yang terjalin, kami baik-baik saja," tegasnya.

Hal senada juga diakui oleh Epi Cino, 58 tahun, salah seorang  komunitas Tionghoa anggota HBT (Himpunan Bersatu Teguh)  Kota Padang Panjang.

Menurutnya, bicara toleransi dan tatanan kehidupan sosial etnis Tionghoa di Padang Panjang berjalan mulus.

"Tidak ada rintangan kami dalam melaksanakan ritual ibadah kami, tidak ada gangguan," imbuh Epi Cino pangilan akrabnya yang memang kental dalam kesehariannya bergaul dengan pribumi Serambi Makkah Padang Panjang.

Indonesia Mini Bernama Padang Panjang

Padang Panjang hanyalah kota kecil, luasnya 23 Km2, tetapi karena letaknya di persimpangan, membuat banyak pemukim dari luar yang datang ke sini. Sejak permulaan abad lalu, arus pendatang ke Padang Panjang lebih banyak disebabkan karena banyaknya lembaga pendidikan keagamaan di situ. Selain itu juga di sinilah persimpangan tiga jalur kereta api.

Menurut Erizal, Kadis BPBD dan Kesbangpol Padang Panjang, kerukunan itu justru dimulai saaat terjadinya asimilasi pendatang-pribumi seabad lalu tersebut.

"Ini kita rawat terus dari waktu ke waktu. Keharmonisan dan kerukunan hidup beragama di Padang Panjang dikoordinasikan dengan baik oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Memelihara kerukunan sebagaimana diamanatkan Peraturan Bersama Menag-Mendagri No 9 dan 8 Tahun 2006 adalah bagian dari kewajiban pemerintah di daerah.

Ketua FKUB Padang Panjang H. Sahbudin menuturkan, bahwa salah satu keunikan Serambi Makkah Padang Panjang ini adalah harmonisasi itu.

Kerukunan umat beragama menurutnya adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara didalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD tahun 1945.

Terkait peranan Kemenag, Gusmal Piliang selaku Kakan Kemenag Padang Panjang mengatakan Padang Panjang adalah Indonesia mini sebenarnya karena ada berbagai suku dan agama yang hidup di sini.

Secara berkala memang ada pertemuan antarumat beragama terutama tokoh-tokohnya yang difasilitasi oleh Kementerian Agama dan FKUB serta Kabang Kesbangpol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...