OLEH Ka’bati (Perempuan Jurnalis)
mantagisme.com--Banyak gelar yang bisa disematkan pada diri Makmur Hendrik. Namun cara paling cepat untuk mengingatnya adalah lewat novel-novel silat yang dia tulis: Tikam Samurai (1982) dan Giring-Girngi Perak (1983). Lewat karya fiksinya ini, nama Makmur Hendrik seolah abadi di ingatan kolektif masyarakat Indonesia. Si Bungsu, tokoh dalam novel tersebut menjadi inspirasi bagi kaum muda untuk kembali mencintai olah raga bela diri, silat. Siapa Makmur Hendrik sebenarnya?
Di kalangan anak muda zaman milenial, nama Makmur Hendrik
mungkin hanya terdengar samar. Sosoknya hanya wujud dalam obrolan generasi
60-an sampai 80-an, terutama berkaitan dengan kehebatan sepak terjang Si
Bungsu, tokoh dalam cerita silat. Namun
sejatinya, wartawan tua ini bukan hanya pandai menulis cerita silat, ia sejak
lama memang sudah dikenal sebagai pendekar.
Ya, selain dikenal sebagai penulis novel-novel silat,
Makmur Hendrik juga seorang pesilat dengan aliran silek tuo. Dia berguru pada
seorang guru: almarhum Bustamam St. Makmur asal Lawang, Matur Agam. Kelincahannya
bersilat dan kelincahan menulis menjadi satu padu.
“Guru saya almarhum Bustamam adalah ayah Sofyani Yusaf,
koreografer tari terkenal Sumatera Barat, itu.
“Pasti banyak yang kenal anaknya, tetapi ayahnya mungkin
tidak. Tetapi beliau pendekar yang kuat,” cerita Makmur Hendrik saat dihubungi Khazanah.
Kala itu beliau sedang berkunjung ke Kantor Harian Khazanah di Khatib Sulaiman 47F Padang,
mengantar naskah (cerbung) yang selama 6 bulan hadir bersambung di harian ini
dengan judul Di Langit Ada Saksi.
Terlihat masih kuat dan prima, dalam usia 72 tahun.
Pengarang dan penulis cerita silat terkenal di era
1980-an ini lahir di Buluhcina, Siak
Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau 7 Juni 1947. Anak kedua dari tujuh
bersaudara. Dia juga tercatat sebagai pendiri dan Guru Besar Perguruan Silat
PatBanBu (Empat Banding Budi), sebuah perkumpulan silat yang didirikan pada tahun
1971 di Padang.
Makmur Hendrik memula karier kepenulisannya sewaktu masih
berstatus pelajar di Sekolah Menengah Teknik (STM) Bukittinggi (1965).
Kala itu dia berhasil memenangkan sebuah lomba cerpen
yang diadakan oleh Korem Sumbarut di Bukittinggi. Karier kepenulisannya semakin
berkembang ketika dia mulai kuliah di Jurusan Mesin, Fakultas Teknik, Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang.
Semasa kuliah dia aktif menulis dan mengikuti lomba
menulis cerpen. Siul adalah satu
judul cerpennya yang berhasil menang dalam sayembara nasional (1984). Selain itu
dia juga tergolong sangat aktif menulis cerita bersambung dan novel. Sebagian
novelnya sudah diangkat ke layar lebar. Di antaranya Melintas Badai, Buah Hati Mama, Di Langit Ada Saksi, Yang
Kukuh yang Runtuh, dan Luka di Atas Luka.
Bagi kawan-kawan seangkatan yang mengenalnya, Makmur
adalah pribadi yang menyenangkan dan punya karakter kepemimpinan yang kuat.
“Imajinasinya luar biasa. Sambil duduk di warung kopi
bisa juga dia menyiapkan cerbung-cerbungnya,” aku Alwi Karmena, sahabatnya yang kerap berkumpul di Taman
Budaya Sumatera
Barat, wilayah yang menjadi
base camp seniman
Sumbar kala itu.
Cover novel Giring-giring Perak
Hidup yang
Mengalir di Atas Riak dan Pencak
Novel silat yang ditulis Makmur Hendrik adalah Giring-giring Perak (2 Jilid), bertutur tentang berbagai aliran silat di
Minangkabau. Sakai (2 jilid) bertutur
tentang silat Riau dan silat Minangkabau.
Dan Tikam Samurai (10 jilid)
bertutur tentang silat Minangkabau menghadapi
samurai, judo dan karate. Cerita-cerita di atas sempat dimuat sebagai cerita
bersambung di surat kabar Singgalang.
Tahun 1980-1989 Makmur Hendrik tercatat sebagai Ketua
Eksekutif Ikatan Pencak Silat Seluruh
Indonesia (IPSI) Cabang
Sumatera Barat. Selama 10
tahun menjabat, dia sempat menginisiasi Festival Silat Minang, Galanggang
Siliah Baganti (GSB).
Festival ini tercatat sebagai iven bergengsi mengingat banyaknya peserta
yang terlibat. Paling tidak
ada 12 provinsi dan 11 negara yang turut mengirimkan utusannya.
GSB tiap tahun diadakan bergilir di tiap kabupaten/kota.
Masa itu, atas saran Makmur Hendrik untuk
memajukan silat Minangkabau, Gubernur
Harun Zain menetapkan seluruh bupati dan wali kota di
Sumatera Barat menjadi Ketua Umum IPSI Cabang bagi kabupaten/kota
masing-masing. Dengan
demikian, bergilirnya tuan rumah GSB setiap tahun di kabupaten/kota menjadi
sangat mudah, karena tiap kabupaten/kota sudah menganggarkan dana pelaksanaannya.
“Untuk melacak asal usul silek Minangkabau, tahun
1984, bersamaan dengan diadakannya GSB di Kabupaten Agam diadakan seminar
dengan tajuk "Melacak Asal Usul Silat Minangkabau". Selain seluruh Ketua IPSI
Cabang di Sumatera Barat, seminar itu juga dihadiri Ketua Umum IPSI Pusat,
Eddie Nalapraya dan belasan Ketua IPSI se- Indonesia yang selalu dibawa menghadiri GSB oleh Eddie Nalapraya.
Pertemuan tersebut kemudian membuahkan “Kesepakatan
Maninjau” tentang asal-usul silat
Minangkabau, di mana silek tuo
dinyatakan sebagai silek yang pertama hadir di Minangkabau. Kesepakatan
ini dinyatakan bersifat tentatif (sementara), menjelang ada penelitian yang lebih
ilmiah. Kalimat pengunci ini amat diperlukan karena sampai tahun 1984 itu,
bahkan sampai sekarang (2019), belum ada satupun penelitian tentang asal usul
silat Minangkabau, maupun
tentang silat paling awal di Minangkabau,” cerita Makmur panjang lebar.
Ketika tahun 1984, Makmur Hendrik dibawa oleh Eddie Nalapraya ikut dalam rombongan IPSI ke
Kejuaraan Dunia Pencak Silat di Jerman dan Belanda. Pencak silat,
menurut Makmur Hendrik, memang sudah
mulai berkembang di beberapa negara Eropa.
“Mereka mengakui ada "benang merah" antara
silat yang mereka
pelajari dari silat Indonesia dengan silat Minangkabau,” jelasnya.
“Kesepakatan
Maninjau” itu
kemudian dijadikan teraju dan pegangan oleh PB IPSI dan pimpinan-pimpinan
Perguruan Pencak Silat se-Indonesia yang hadir saat
itu. Secara jelas
dan dapat dipertanggungjawabkan mereka bisa menarik benang merah antara
"napas"
silat Minangkabau dengan
silat yang mereka
pelajari selama ini.
Cerita tentang silat memang selalu membuatnya
bersemangat. Namun dunia
tulis menulis juga merupakan bagian lain yang tak terpisahkan dari aktivitas
hidupnya.
Selain dikenal sebagai tokoh silat dan penulis novel
silat, Makmur Hendrik juga seorang wartawan senior. Karier
kewartawanannya dimulai ketika Makmur Hendrik pindah ke Padang dan kuliah di
IKIP (sekarang bernama UNP). Dia pernah tercatat sebagai wartawan dan redaktur
di Harian Singgalang (1970-1986), Kompas (1985-1987), Semangat (1988-1989), Media
Indonesia (1990), Sumatera Exspress
(1990-1991), Genta Pekanbaru (1993).
Di dunia akademis, Makmur Hendrik juga sempat menikam
jejak sebagai Asisten Dosen IKIP Padang (1975-1986 ) dan Dosen Akademi Publisistik Padang (1986-1989).
Pada saat reformasi, guru tuo silat di Perguruan Silat
Patbandu ini tercatar sebagai anggota Forum
Reformasi Riau (1998-2000). Aktivitas yang kemudian membawanya terdaftar sebagai Komisioner KPU
Riau dan Kepri (2003-2009 ) dan Komisioner KPU Pekanbaru (2009-2011).
Selain itu, dia juga seorang organisatoris. Pernah
tercatat sebagai Ketua KAPPI Sumatera Barat Utara di Bukittinggi (1966-1967),
Ketua PII & Anggota HMI Bukittinggi (1967-1968), Ketua Dewan Mahasiswa IKIP
Padang (1970-1973), Pendiri/Ketua Dewan
Guru Perguruan Silat Empat Banding Budi (1971-sekarang), Ketua Eksekutif IPSI
Sumatera Barat (1980-1990) dan sekarang dia termasuk sebagai salah seorang
Anggota Majelis Kerapatan Adat Melayu Riau.
Di antara buku-buku nonfiksi yang dia tulis adalah Berjuang Memutus Belenggu Kemiskinan (2000), Pemilu Riau/Kepri (2006), Pilkada
9 Bupati di Riau (2009), Pilkada
Rokan Hilir (2011), Fauzi Bahar:
Mengabdi dalam Guncangan Bencana (2011) dan PDAM Padang Bangkit dari Kehancuran (2012).
Pada tahun 1992, setelah merantau lebih kurang 30 tahun
di Sumatera Barat, Makmur Hendrik memutuskan pindah ke Pekanbaru dan
bekerja di Mingguan Genta. Di Kota
minyak tersebut, ayah empat anak ini tercatat pernah berkarier sebagai anggota
komisioner KPU Riau, Ketua/Anggota KPU Pekanbaru dan Ketua Dewan Pengawas PDAM.
Bulan Mei tahun 2007, Makmur Hendrik sempat mengalami
serangan stroke parah. Kaki dan tangannya lumpuh total. Dia sempat
dirawat di Mount Elizabeth, Singapura, selama 10 hari. Namun
penyakit itu bisa dia lawan.
Saat ini pendekar Makmur Hendrik menghabiskan masa tua
bersama istrinya Yurni Hatta di Pekanbaru. Dia terus
menulis, katanya untuk menjaga keseimbangan hidup.
Patbanbu,
Mengasah
Gerak dan Budi Pekerti
Manusia pergi meninggalkan nama, begitu kata pepatah. Itu
juga yang disetiai oleh Makmur Hendrik. Setelah menetap lama di Sumatera Barat
(lebih kurang 30 tahun), ayah 4 orang putri ini tidak begitu saja melenggang
pergi. Selain kisah-kisah dunia persilatan hal penting yang ditinggalkan Makmur
Hendrik di Padang adalah Patbanbu. Sebuah perkumpulan silat yang dia dirikan,
berakar pada aliran silek tuo dan
dikombinasi dengan gerakan judo.
Perguruan silat ini berdiri di Padang, 7 Juni 1971. Saat
ini terdapat 15 cabang Patbandu yang menyebar di Nusantara bahkan sampai ke
Eropa dengan anggota ribuan orang.
“Kehadiran Perkumpulan Silat Patbanbu ini diawali pada
akhir tahun 1960, ketika munculnya berbagai perguruan beladiri asing, terutama
dari Jepang seperti karate dan judo di kota-kota kabupaten di Indonesia,
termasuk Padang dan Bukittinggi. Selalu menjadi pikiran saya, kenapa anak-anak muda tertarik dengan olah
raga asing, padahal silat yang merupakan olahraga beladiri yang mengakar di
sini, ditinggalkan,” ujarnya.
Selain banyak bermunculan perguruan beladiri asing,
kondisi sosial masyarakat kala itu, menurut Makmur, juga diwarnai oleh
kemunculan geng anak-anak muda yang perbuatannya sering destruktif seperti
judi, minuman keras dan perkelahian berkelompok.
“Banyaknya generasi muda yang mempelajari bela diri asing
serta melupakan pencaksilat sebagai beladiri warisan leluhur bangsa sendiri. Dekadensi
moral di kalangan kelompok generasi muda, pengaruh judi, minuman keras dan
perkelahian antargeng. Dua alasan di atas, mendorong saya dan
kawan-kawannya untuk mendirikan sebuah perkumpulan bela diri yang berdasarkan
pada tradisi lokal yaitu silat.
"Perkumpulan inilah yang kemudian diberi nama Patbanbu,”
tambahnya.
Menurut cerita Makmur Hendrik, awal tahun 1970 di Kota Padang
bermunculan belasan perguruan karate dan satu dua perguruan silat. Namun yang
luar biasa peminatnya adalah karate seperti inkai, kyokusinkai, gokasi, black panther, dan
lain-lain.
Sebagai seorang murid silat dia merasa heran melihat anak
muda berbondong-bondong masuk perguruan karate. Di bumi Minangkabau yang
terkenal dengan puluhan aliran silatnya, anak-anak muda justru belajar beladiri
asing. Silat dianggap sebagai beladiri kuno.
Menurut Makmur, ada empat sebab mengapa anak-anak muda
lebih suka belajar bela diri asing ketimbang silat: Pertama, persoalan metode dan sistem yang dipakai guru silek untuk
mengajar anak sasiannya dianggap ‘kuno’. Karena serang bela (pukul, tendang,
elak, tangkis, banting dan jatuh) dalam silat tidak diurai dan tidak terukur
sebagaimana halnya karate dan judo, maka belajar silat tidak bisa secara massal
seperti karate atau judo. Dalam karate, 100 atau 1.000 murid bisa membentuk
barisan, dan dengan sebuah komando mereka melakukan latihan menendang atau
memukul atau menangkis. Dalam silat metode ini belum pernah ada.
Kedua, silek juga
tidak memakai ‘makiwara’, semacam alat bantu untuk memperkuat pukulan dam
tendangan dalam karate. Alat bantu itu bisa berupa papan yang sebagian ditanam
dalam tanah, dan sebagian yang di atas tanah dilapisi dengan sabut atau tali
jerami, untuk kemudian dipukul atau ditendang berkali-kali guna memperkuat
pukulan dan tendangan. Alat bantu itu bisa juga dalam bentuk sansak,
goni/karung yang diisi pasir atau serbuk lalu digantung, kemudian dipukul dan
ditendang saat latihan. Di judo alat bantu ini bisa berupa karet ban sepeda
yang diikatkan ke dinding lalu ditarik berkali-kali dalam berbagai posisi.
Gunanya untuk menguatkan tarikan tangan dan mengukuhkan kuda-kuda.
Ketiga, pakaian
silat model galembong berwarna hitam dianggap anak-anak muda sudah ‘kuno’,
tidak semodern pakaian karate atau judo yang seperti celana biasa dan berwarna
putih-putih.
Keempat, silat
tidak pernah memakai sistim sabuk (putih, kuning, hijau, biru, coklat dan
hitam) yang menandai ‘kelas’ sebagaimana karate dan judo. Sehingga anak sasian
di silat merasa tak pernah ‘naik kelas’.
Empat alasan itu kemudian dijadikan dasar untuk
merevitalisasi sistem pengajaran agar pencak silat tidak mati dan bisa mendidik
generasi muda yang berbudi, sekaligus untuk untuk mencegah anak-anak muda tidak
terlibat premanisme.
Sistem beladiri yang diajarkan di perguruan Patbanbu
tidak murni seperti gerakan silat tradisional umumnya.Mereka memiliki
karakteristik yang unik, diantaranya bisa dilihat pada sistem pukul dan tendang, gerakan pencak
silat dan pakaian untuk berlatih.
Karena dalam pencak silat tidak diajarkan metode yang
bisa dipakai untuk berlatih secara massal, maka di perkumpulan Padbanbu mereka
mengadopsi pola karate yang mengurai sistem memukul dan menendang.Sehingga
murid bisa berjejer sepuluh atau seratus orang, lalu melakukan gerak memukul atau menendang yang dikomandokan pelatih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar