Minggu, 15 Januari 2023

Makmur Hendrik, Pandeka dalam Fiksi dan Realitas





OLEH Ka’bati (Perempuan Jurnalis)

mantagisme.com--Banyak gelar yang bisa disematkan pada diri Makmur Hendrik. Namun cara paling cepat untuk mengingatnya adalah lewat novel-novel silat yang dia tulis: Tikam Samurai (1982) dan Giring-Girngi Perak (1983). Lewat karya fiksinya ini, nama Makmur Hendrik seolah abadi di ingatan kolektif masyarakat Indonesia. Si Bungsu, tokoh dalam novel tersebut menjadi inspirasi bagi kaum muda untuk kembali mencintai olah raga bela diri, silat. Siapa Makmur Hendrik sebenarnya?

Di kalangan anak muda zaman milenial, nama Makmur Hendrik mungkin hanya terdengar samar. Sosoknya hanya wujud dalam obrolan generasi 60-an sampai 80-an, terutama berkaitan dengan kehebatan sepak terjang Si Bungsu, tokoh dalam cerita silat.  Namun sejatinya, wartawan tua ini bukan hanya pandai menulis cerita silat, ia sejak lama memang sudah dikenal sebagai pendekar.

Ya, selain dikenal sebagai penulis novel-novel silat, Makmur Hendrik juga seorang pesilat dengan aliran silek tuo. Dia berguru pada seorang guru: almarhum Bustamam St. Makmur asal Lawang, Matur Agam. Kelincahannya bersilat dan kelincahan menulis menjadi satu padu.

“Guru saya almarhum Bustamam adalah ayah Sofyani Yusaf, koreografer tari terkenal Sumatera Barat, itu.

“Pasti banyak yang kenal anaknya, tetapi ayahnya mungkin tidak. Tetapi beliau pendekar yang kuat,” cerita Makmur Hendrik saat dihubungi Khazanah.

Kala itu beliau sedang berkunjung ke Kantor Harian Khazanah di Khatib Sulaiman 47F Padang, mengantar naskah (cerbung) yang selama 6 bulan hadir bersambung di harian ini dengan judul Di Langit Ada Saksi. Terlihat masih kuat dan prima, dalam usia 72 tahun.

Pengarang dan penulis cerita silat terkenal di era 1980-an ini  lahir di Buluhcina, Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau 7 Juni 1947. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Dia juga tercatat sebagai pendiri dan Guru Besar Perguruan Silat PatBanBu (Empat Banding Budi), sebuah perkumpulan silat yang didirikan pada tahun 1971 di Padang.

Makmur Hendrik memula karier kepenulisannya sewaktu masih berstatus pelajar di Sekolah Menengah Teknik (STM) Bukittinggi (1965).

Kala itu dia berhasil memenangkan sebuah lomba cerpen yang diadakan oleh Korem Sumbarut di Bukittinggi. Karier kepenulisannya semakin berkembang ketika dia mulai kuliah di Jurusan Mesin, Fakultas Teknik, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang.

Semasa kuliah dia aktif menulis dan mengikuti lomba menulis cerpen. Siul adalah satu judul cerpennya yang berhasil menang dalam sayembara nasional (1984). Selain itu dia juga tergolong sangat aktif menulis cerita bersambung dan novel. Sebagian novelnya sudah diangkat ke layar lebar. Di antaranya Melintas Badai, Buah Hati Mama, Di Langit Ada Saksi, Yang Kukuh yang Runtuh, dan Luka di Atas Luka.

Bagi kawan-kawan seangkatan yang mengenalnya, Makmur adalah pribadi yang menyenangkan dan punya karakter kepemimpinan yang kuat.

“Imajinasinya luar biasa. Sambil duduk di warung kopi bisa juga dia menyiapkan cerbung-cerbungnya,” aku Alwi Karmena, sahabatnya yang kerap berkumpul di Taman Budaya Sumatera Barat, wilayah yang menjadi base camp seniman Sumbar kala itu.

Cover novel Giring-giring Perak

Hidup yang Mengalir di Atas Riak dan Pencak

Novel silat yang ditulis Makmur Hendrik adalah Giring-giring Perak (2 Jilid), bertutur tentang berbagai aliran silat di Minangkabau. Sakai (2 jilid) bertutur tentang silat Riau dan silat Minangkabau. Dan Tikam Samurai (10 jilid) bertutur tentang silat Minangkabau menghadapi samurai, judo dan karate. Cerita-cerita di atas sempat dimuat sebagai cerita bersambung di surat kabar Singgalang.

Tahun 1980-1989 Makmur Hendrik tercatat sebagai Ketua Eksekutif Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI) Cabang Sumatera Barat. Selama 10 tahun menjabat, dia sempat menginisiasi Festival Silat Minang, Galanggang Siliah Baganti (GSB). Festival ini tercatat sebagai iven bergengsi mengingat banyaknya peserta yang terlibat. Paling tidak ada 12 provinsi dan 11 negara yang turut mengirimkan utusannya.

GSB tiap tahun diadakan bergilir di tiap kabupaten/kota. Masa itu, atas saran Makmur Hendrik untuk  memajukan silat Minangkabau, Gubernur Harun Zain menetapkan seluruh bupati dan wali kota di Sumatera Barat menjadi Ketua Umum IPSI Cabang bagi kabupaten/kota masing-masing. Dengan demikian, bergilirnya tuan rumah GSB setiap tahun di kabupaten/kota menjadi sangat mudah, karena tiap kabupaten/kota sudah menganggarkan dana pelaksanaannya.

“Untuk melacak asal usul silek Minangkabau, tahun 1984, bersamaan dengan diadakannya GSB di Kabupaten Agam diadakan seminar dengan tajuk "Melacak Asal Usul Silat Minangkabau". Selain seluruh Ketua IPSI Cabang di Sumatera Barat, seminar itu juga dihadiri Ketua Umum IPSI Pusat, Eddie Nalapraya dan belasan Ketua IPSI se- Indonesia yang selalu dibawa menghadiri GSB oleh Eddie Nalapraya.

Pertemuan tersebut kemudian membuahkan Kesepakatan Maninjau tentang asal-usul silat Minangkabau, di mana silek tuo dinyatakan sebagai silek yang pertama hadir di Minangkabau. Kesepakatan ini dinyatakan bersifat tentatif (sementara), menjelang ada penelitian yang lebih ilmiah. Kalimat pengunci ini amat diperlukan karena sampai tahun 1984 itu, bahkan sampai sekarang (2019), belum ada satupun penelitian tentang asal usul silat Minangkabau, maupun tentang silat paling awal di Minangkabau,” cerita Makmur panjang lebar.

Ketika tahun 1984, Makmur Hendrik dibawa oleh Eddie Nalapraya ikut dalam rombongan IPSI ke Kejuaraan Dunia Pencak Silat di Jerman dan Belanda. Pencak silat, menurut Makmur Hendrik,  memang sudah mulai berkembang di beberapa negara Eropa.

“Mereka mengakui ada "benang merah" antara silat yang mereka pelajari dari silat Indonesia dengan silat Minangkabau,” jelasnya.

Kesepakatan Maninjau itu kemudian dijadikan teraju dan pegangan oleh PB IPSI dan pimpinan-pimpinan Perguruan Pencak Silat se-Indonesia yang hadir saat itu. Secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan mereka bisa menarik benang merah antara "napas" silat Minangkabau dengan silat yang mereka pelajari selama ini.

Cerita tentang silat memang selalu membuatnya bersemangat. Namun dunia tulis menulis juga merupakan bagian lain yang tak terpisahkan dari aktivitas hidupnya.

Selain dikenal sebagai tokoh silat dan penulis novel silat, Makmur Hendrik juga seorang wartawan senior. Karier kewartawanannya dimulai ketika Makmur Hendrik pindah ke Padang dan kuliah di IKIP (sekarang bernama UNP). Dia pernah tercatat sebagai wartawan dan redaktur di Harian Singgalang (1970-1986), Kompas (1985-1987), Semangat (1988-1989), Media Indonesia (1990), Sumatera Exspress (1990-1991), Genta Pekanbaru (1993).

Di dunia akademis, Makmur Hendrik juga sempat menikam jejak sebagai Asisten Dosen IKIP Padang (1975-1986 ) dan  Dosen Akademi Publisistik Padang (1986-1989).

Pada saat reformasi, guru tuo silat di Perguruan Silat Patbandu ini tercatar sebagai  anggota Forum Reformasi Riau (1998-2000). Aktivitas yang kemudian membawanya terdaftar sebagai Komisioner KPU Riau dan Kepri (2003-2009 ) dan Komisioner KPU Pekanbaru  (2009-2011).

Selain itu, dia juga seorang organisatoris. Pernah tercatat sebagai Ketua KAPPI Sumatera Barat Utara di Bukittinggi (1966-1967), Ketua PII & Anggota HMI Bukittinggi (1967-1968), Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Padang (1970-1973),  Pendiri/Ketua Dewan Guru Perguruan Silat Empat Banding Budi (1971-sekarang), Ketua Eksekutif IPSI Sumatera Barat (1980-1990) dan sekarang dia termasuk sebagai salah seorang Anggota Majelis Kerapatan Adat Melayu Riau.

Di antara buku-buku nonfiksi yang dia tulis adalah Berjuang Memutus Belenggu Kemiskinan (2000), Pemilu Riau/Kepri (2006), Pilkada 9 Bupati di Riau (2009), Pilkada Rokan Hilir (2011), Fauzi Bahar: Mengabdi dalam Guncangan Bencana (2011) dan PDAM Padang Bangkit dari Kehancuran (2012).

Pada tahun 1992, setelah merantau lebih kurang 30 tahun di Sumatera Barat, Makmur Hendrik memutuskan pindah ke Pekanbaru dan bekerja di Mingguan Genta. Di Kota minyak tersebut, ayah empat anak ini tercatat pernah berkarier sebagai anggota komisioner KPU Riau, Ketua/Anggota KPU Pekanbaru dan Ketua Dewan Pengawas PDAM.

Bulan Mei tahun 2007, Makmur Hendrik sempat mengalami serangan stroke parah. Kaki dan tangannya lumpuh total. Dia sempat dirawat di Mount Elizabeth, Singapura, selama 10 hari. Namun penyakit itu bisa dia lawan.

Saat ini pendekar Makmur Hendrik menghabiskan masa tua bersama istrinya Yurni Hatta di Pekanbaru. Dia terus menulis, katanya untuk menjaga keseimbangan hidup.

Patbanbu, Mengasah Gerak dan Budi Pekerti

Manusia pergi meninggalkan nama, begitu kata pepatah. Itu juga yang disetiai oleh Makmur Hendrik. Setelah menetap lama di Sumatera Barat (lebih kurang 30 tahun), ayah 4 orang putri ini tidak begitu saja melenggang pergi. Selain kisah-kisah dunia persilatan hal penting yang ditinggalkan Makmur Hendrik di Padang adalah Patbanbu. Sebuah perkumpulan silat yang dia dirikan, berakar pada aliran silek tuo dan dikombinasi dengan gerakan judo.

Perguruan silat ini berdiri di Padang, 7 Juni 1971. Saat ini terdapat 15 cabang Patbandu yang menyebar di Nusantara bahkan sampai ke Eropa dengan anggota ribuan orang.

“Kehadiran Perkumpulan Silat Patbanbu ini diawali pada akhir tahun 1960, ketika munculnya berbagai perguruan beladiri asing, terutama dari Jepang seperti karate dan judo di kota-kota kabupaten di Indonesia, termasuk Padang dan Bukittinggi. Selalu menjadi pikiran saya, kenapa anak-anak muda tertarik dengan olah raga asing, padahal silat yang merupakan olahraga beladiri yang mengakar di sini, ditinggalkan,” ujarnya.

Selain banyak bermunculan perguruan beladiri asing, kondisi sosial masyarakat kala itu, menurut Makmur, juga diwarnai oleh kemunculan geng anak-anak muda yang perbuatannya sering destruktif seperti judi, minuman keras dan perkelahian berkelompok.

“Banyaknya generasi muda yang mempelajari bela diri asing serta melupakan pencaksilat sebagai beladiri warisan leluhur bangsa sendiri. Dekadensi moral di kalangan kelompok generasi muda, pengaruh judi, minuman keras dan perkelahian antargeng. Dua alasan di atas, mendorong saya dan kawan-kawannya untuk mendirikan sebuah perkumpulan bela diri yang berdasarkan pada tradisi lokal yaitu silat.

"Perkumpulan inilah yang kemudian diberi nama Patbanbu,” tambahnya.

Menurut cerita Makmur Hendrik, awal tahun 1970 di Kota Padang bermunculan belasan perguruan karate dan satu dua perguruan silat. Namun yang luar biasa peminatnya adalah karate seperti inkai, kyokusinkai, gokasi, black panther, dan lain-lain.

Sebagai seorang murid silat dia merasa heran melihat anak muda berbondong-bondong masuk perguruan karate. Di bumi Minangkabau yang terkenal dengan puluhan aliran silatnya, anak-anak muda justru belajar beladiri asing. Silat dianggap sebagai beladiri kuno.

Menurut Makmur, ada empat sebab mengapa anak-anak muda lebih suka belajar bela diri asing ketimbang silat: Pertama, persoalan metode dan sistem yang dipakai guru silek untuk mengajar anak sasiannya dianggap ‘kuno’. Karena serang bela (pukul, tendang, elak, tangkis, banting dan jatuh) dalam silat tidak diurai dan tidak terukur sebagaimana halnya karate dan judo, maka belajar silat tidak bisa secara massal seperti karate atau judo. Dalam karate, 100 atau 1.000 murid bisa membentuk barisan, dan dengan sebuah komando mereka melakukan latihan menendang atau memukul atau menangkis. Dalam silat metode ini belum pernah ada.

Kedua, silek juga tidak memakai ‘makiwara’, semacam alat bantu untuk memperkuat pukulan dam tendangan dalam karate. Alat bantu itu bisa berupa papan yang sebagian ditanam dalam tanah, dan sebagian yang di atas tanah dilapisi dengan sabut atau tali jerami, untuk kemudian dipukul atau ditendang berkali-kali guna memperkuat pukulan dan tendangan. Alat bantu itu bisa juga dalam bentuk sansak, goni/karung yang diisi pasir atau serbuk lalu digantung, kemudian dipukul dan ditendang saat latihan. Di judo alat bantu ini bisa berupa karet ban sepeda yang diikatkan ke dinding lalu ditarik berkali-kali dalam berbagai posisi. Gunanya untuk menguatkan tarikan tangan dan mengukuhkan kuda-kuda.

Ketiga, pakaian silat model galembong berwarna hitam dianggap anak-anak muda sudah ‘kuno’, tidak semodern pakaian karate atau judo yang seperti celana biasa dan berwarna putih-putih.

Keempat, silat tidak pernah memakai sistim sabuk (putih, kuning, hijau, biru, coklat dan hitam) yang menandai ‘kelas’ sebagaimana karate dan judo. Sehingga anak sasian di silat merasa tak pernah ‘naik kelas’.

Empat alasan itu kemudian dijadikan dasar untuk merevitalisasi sistem pengajaran agar pencak silat tidak mati dan bisa mendidik generasi muda yang berbudi, sekaligus untuk untuk mencegah anak-anak muda tidak terlibat premanisme.

Sistem beladiri yang diajarkan di perguruan Patbanbu tidak murni seperti gerakan silat tradisional umumnya.Mereka memiliki karakteristik yang unik, diantaranya bisa dilihat pada  sistem pukul dan tendang, gerakan pencak silat dan pakaian untuk berlatih.

Karena dalam pencak silat tidak diajarkan metode yang bisa dipakai untuk berlatih secara massal, maka di perkumpulan Padbanbu mereka mengadopsi pola karate yang mengurai sistem memukul dan menendang.Sehingga murid bisa berjejer sepuluh atau seratus orang, lalu melakukan gerak memukul atau menendang yang dikomandokan pelatih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...