TANGGAPAN ATAS TULISAN AGUS
TAHER
OLEH Gamawan Fauzi (Mantan Menteri Dalam Negeri)
Membaca tulisan bapak Dr. Agus Taher, menstimulus ingatan saya tentang beberapa buku yang pernah saya baca. Ingatan itu sekaligus membuat saya merenung tentang Sumatera Barat, ranah tempat saya lahir, dibesarkan dan mudah mudahan juga tempat menutup mata.
Tahun 1957 lalu Sumatera Barat dan beberapa daerah lain di Indonesia protes kepada Pemerintah Pusat. protes itu akhirnya berujung kepada suatu gerakan yang disebut PRRI. Salah satu dari 3 tuntutan Sumatera Barat kala itu adalah otonomi daerah, karena "pusat" dipandang sangat sentralistik.
Setelah puluhan tahun
berlalu, di awal era Reformasi, pemerintah menyadari perlunya otonomi daerah.
Sejumlah kewenangan yang luas diserahan ke daerah dengan titik berat kepada
Kabupaten/Kota. Bahkan undang Undang Otonomi Daerah menyebut tak ada hirarki
antara kabupaten/kota dengan Provinsi.
Saya takkan bicara soal
itu dengan segala persoalan yang kemudian timbul, apalagi berdebat soal posisi
daerah dalam NKRI yang bisa berpanjang-panjang. Tapi intinya adalah semua
Kepala Daerah dan masyarakat perlu paham
bahwa kewenangan dalam unitary state
berbeda dengan kewenangan dalam negara
federal.
Yang satu 'diberikan'
dan yang satu 'dimililiki' sejak awal. Hal itu diperkuat dengan kata-kata: 'Presiden Pemegang kekuasaan tertinggi dalam
bidang Pemerintahan'. Hal ini ditulis secara tegas dalam konstitusi
Indonesia, walaupun sudah beberapa kali diamandemen.
Lalu apa kaitannya
dengan judul tulisan ini?
Pertama, saya ingin
sekedar mengungkapkan bahwa otonomi adalah tuntutan para tokoh Minang lebih
dari 60 tahun lalu. Ini menjadi beban moral bagi Sumatera Barat untuk meraih
"sukses lebih" ketika keran otonomi dibuka lebar. Kedua, mampukah Sumatera Barat mengambil
hikmah dari perubahan global seperti ditulis Jhon Neisbitt dalam Buku Global Paradox itu? Meskipun
pemikiran dan riset Neisbitt itu lahir belasan tahun lalu, namun menurut hemat
saya, dalam banyak hal nilai-nilainya masih aktual.
Seperti diungkap Dr.
Agus Taher pada tulisan itu, bawa salah satu tren besar abad ini adalah
munculnya apa yang disebut tribalisme
dan universalisme. Menurut saya dua
hal itu sudah lama menjadi ciri masyaakat Minangkabau.
Secara sosiologis,
masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang sangat terbuka, jauh sebelum
Gorbachev mengangkat konsep Perestroikanya. Petuah Minang mengatakan, sakali
aia gadang, sakali tapian berubah, tapiannyo itu juo. Yang berarti, jauh
sebelum Gorby bicara perestroika, orang Minangkabau sudah mengonsepnya dalam
penataan kehidupan komunal.
Selain itu, masyarakat
Minangkaubau sejak lama menempatkan dirinya sebagai masyarakat dunia,
masyarakat global yang sangat gemar merantau/hijrah bermiggrasi dan mudah
menyesuaikan diri dimana dia berada. Sayang
dikampuang ditinggakan, sayang ka anak dilacuiki. Dimana ada kehidupan, di
situ ada orang Minangkabau, sejak lama punya pandangan Outward Looking .
Sewaktu menjabat Kepala
Badan Nasional Pengelola Perbatasan, saya bekesempatan keliling Indonesia
menyilau berbagai kawasan perbatasan. Hampir tak ada wilayah di Nusantara ini
yang tak ada orang Minang, dari Sabang sampai Maroke, dari Miangas sampai pulau
Rote.
Kalau ada suku bangsa
yang berani mati, maka orang Minang adalah etnik yang berani hidup.
H, Muhammad Rani Ismael,
seorang pengusaha sukses Pasar Raya Padang dari kelompok "Demi Aka"
mengatakan kapada saya, benih tak pernah besar di persemaian. Ungkapan
yang bijak agar bisa menjadi besar di
rantau. Beliau tidak belajar dari teks book, tapi dari dunia nyata dan dari
yang apa yang dilihat dan dialami. Mirip yang diajarkan Robert Kyosaki dalam
buku Rich Dad and Poor Dad.
Pejuang-pejuang yang
merintis usaha di rantau, yang memulai dari usaha sangat kecil sebagai pedagang
kaki lima, tidak sedikit pula jumlahnya. Mereka mewarnai kehidupan usaha di
kota kota-kota. "Tiga langkah di depan china", maksudnya, mereka
menggelar dagangannya, tiga langkah di depan toko-toko orang Tionghoa. Itu
hanya usaha bersifat sementara, menjelang melompat ke usaha lain yang lebih
permanen. Saya banyak sekali ketemu orang Minang yang kemudian masuk ke usaha
kelas menengah yang memulai dari usaha kaki lima itu di rantau.
Tapi kondisi kekinian,
tak banyak pengusaha Minang yang bermetamorfosis menjadi konglomerat di tingkat
nasional seperti masa lalu. Sebutlah
diantaranya Hasjim Ning, Rahman Tamin, Abdul Latief dan lain lain.
Ketika bisnis modern
dalam dunia global yang makin memerlukan akses permodalan yang besar,
sinergitas yang kuat, jaringan yang luas dan teknologi informasi yang canggih,
sepertinya pengusaha pengusaha Minang tak banyak lagi yang berhasil, kecuali
satu dua orang saja.
Kondisi ini mungkin
perlu menjadi bahan kajian para terpelajar dan
akademisi untuk mencari tahu pokok persoalannya.
Beberapa ikhtiar pernah
dilakukan, seperti pertemuan saudagar Minang sebagai agenda tahunan, seminar,
diskusi dan kajian-kajian perguruan tinggi dengan menghadirkan tokoh sukses dan
sebagainya, tapi sepertinya belum banyak membuahkan hasil.
Di tingkat daerah,
Pemerintah Daerah pernah pula berusaha mengembangkan kawasan Padang Industrial
Park, Padang TDC, menarik investasi para pemodal Minang untuk memperkuat Bank
Nagari, program Outward looking, Gebu
Minang, dan lain sebagainya.
Kini perantau Minang
sedang giat dengan sejumlah rencananya melalui wadah "Minang
Diaspora", salah satunya adalah menerbitkan kartu belanja di toko dan
usaha orang Minang dengan jumlah discount
tertentu. Apakah ini cikal bakal dari implementasi tribalisme yang disebut Neisbitt atau sekedar partisipasi yang bersifat sementara?
Waktu tentu akan menjawabnya.
Menurut hemat saya,
perilaku dan sikap masyarakat Minang sepertinya benar-benar
merepresentasikannya. Di satu sisi memandang dunia adalah satu kesatuan tanpa
sekat negara dengan tradisi merantaunya (borderless),
di lain sisi kecintaan yang dalam pada kampuang halaman seolah memperkuat
tradisi etnik kesukuannya. Sepeprti petuah Minang, hujan ameh di nagari urang, hujan batu di nagari awak, nan kampuang
indak kan lupo.
Namun spirit etnik bagi
masyarakat Minang belum di ramu dalam bentuk kolaborasi bisnis. Karena karakter
Minang cenderung berjalan sendiri-sendiri, beda dengan entik China yang
cenderung berbisnis sesama mereka. Disinilah sepertinya etnik Minang
keteteran menghadapi persaingn global. Asumsi ini tentu masih perlu di
uji kebenarannya, karena mungkin banyak variabel lain yang perlu di kaji.
Dalam kaitan dengan
otonomi daerah, sepertinya Sumatera Barat belum menemukan formula yang tepat
untuk mensinergykan postensi kekuatan etnik
(ranah - rantau ) dalam kemajuan daerah. Meskipun Sumbar memiliki SDM
yang kuat di rantau dan ranah, tapi kekuatan itu belum seperti orang orang
Yahudi memajukan Israel. Lobby-lobby tokoh Minang di rantau belum memberikan
kontribusi besar bagi kemajuan ranah. Pertemuan dan acara-acara organisasi
perantau yang sangat banyak, masih sebatas pengungkapan rasa cinta kepada
kampuang, pelepas rindu namun belum berefek banyak bagi Sumatera Barat. Saya
sendiri pernah membuat Biro Rantau di
kantor Gubernur, yang dimaksudkan untuk membangun kerjasama ranah - rantau,
tapi hasilnya juga belum terasa.
Sepertinya, perlu kajian lebih mendalam dan konkret mencari kiat agar Sumatera Barat bisa lebih berhasil mensejahterakan masyarakatnya setelah otonomi daerah bergulir, bukan hanya karena ada beban moril terkait tuntutan otonomi dari masyrakat dan tokoh Minang masa lalu, tapi karena sesungguhnya Sumatera Barat memiliki keunggulan lain yang bersifat khas, yaitu perantaunya, yang bisa disebut dengan comperation adventage. Disamping keunggulan lain yang sudah ada sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar