Sabtu, 01 Mei 2021

Minangkabau Setelah Berotonomi

TANGGAPAN ATAS TULISAN AGUS TAHER


OLEH  Gamawan Fauzi (Mantan Menteri Dalam Negeri)

Membaca tulisan bapak Dr. Agus Taher, menstimulus ingatan saya tentang beberapa buku yang pernah saya baca. Ingatan itu sekaligus membuat saya merenung tentang Sumatera Barat, ranah tempat saya lahir, dibesarkan dan mudah mudahan juga tempat menutup mata.

Tahun 1957 lalu Sumatera Barat dan beberapa daerah lain di Indonesia protes kepada Pemerintah Pusat. protes itu akhirnya berujung kepada suatu gerakan yang disebut PRRI. Salah satu dari 3 tuntutan Sumatera Barat kala itu adalah otonomi daerah, karena "pusat" dipandang sangat sentralistik.

Setelah puluhan tahun berlalu, di awal era Reformasi, pemerintah menyadari perlunya otonomi daerah. Sejumlah kewenangan yang luas diserahan ke daerah dengan titik berat kepada Kabupaten/Kota. Bahkan undang Undang Otonomi Daerah menyebut tak ada hirarki antara kabupaten/kota dengan Provinsi.

Saya takkan bicara soal itu dengan segala persoalan yang kemudian timbul, apalagi berdebat soal posisi daerah dalam NKRI yang bisa berpanjang-panjang. Tapi intinya adalah semua Kepala Daerah  dan masyarakat perlu paham bahwa kewenangan dalam unitary state berbeda  dengan kewenangan dalam negara federal.

Yang satu 'diberikan' dan yang satu 'dimililiki' sejak awal. Hal itu diperkuat dengan kata-kata: 'Presiden Pemegang kekuasaan tertinggi dalam bidang Pemerintahan'. Hal ini ditulis secara tegas dalam konstitusi Indonesia, walaupun sudah beberapa kali diamandemen.

Lalu apa kaitannya dengan  judul tulisan ini?

Pertama, saya ingin sekedar mengungkapkan bahwa otonomi adalah tuntutan para tokoh Minang lebih dari 60 tahun lalu. Ini menjadi beban moral bagi Sumatera Barat untuk meraih "sukses lebih" ketika keran otonomi dibuka lebar.  Kedua, mampukah Sumatera Barat mengambil hikmah dari perubahan global seperti ditulis Jhon Neisbitt dalam Buku Global Paradox itu? Meskipun pemikiran dan riset Neisbitt itu lahir belasan tahun lalu, namun menurut hemat saya, dalam banyak hal nilai-nilainya masih aktual.

Seperti diungkap Dr. Agus Taher pada tulisan itu, bawa salah satu tren besar abad ini adalah munculnya apa yang disebut tribalisme dan universalisme. Menurut saya dua hal itu sudah lama menjadi ciri masyaakat Minangkabau.

Secara sosiologis, masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang sangat terbuka, jauh sebelum Gorbachev mengangkat konsep Perestroikanya. Petuah Minang mengatakan,  sakali aia gadang, sakali tapian berubah, tapiannyo itu juo. Yang berarti, jauh sebelum Gorby bicara perestroika, orang Minangkabau sudah mengonsepnya dalam penataan kehidupan komunal.

Selain itu, masyarakat Minangkaubau sejak lama menempatkan dirinya sebagai masyarakat dunia, masyarakat global yang sangat gemar merantau/hijrah bermiggrasi dan mudah menyesuaikan diri dimana dia berada. Sayang dikampuang ditinggakan, sayang ka anak dilacuiki. Dimana ada kehidupan, di situ ada orang Minangkabau, sejak lama punya pandangan Outward Looking .

Sewaktu menjabat Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan, saya bekesempatan keliling Indonesia menyilau berbagai kawasan perbatasan. Hampir tak ada wilayah di Nusantara ini yang tak ada orang Minang, dari Sabang sampai Maroke, dari Miangas sampai pulau Rote.

Kalau ada suku bangsa yang berani mati, maka orang Minang adalah etnik yang berani hidup.

H, Muhammad Rani Ismael, seorang pengusaha sukses Pasar Raya Padang dari kelompok "Demi Aka" mengatakan kapada saya, benih tak pernah besar di persemaian. Ungkapan yang  bijak agar bisa menjadi besar di rantau. Beliau tidak belajar dari teks book, tapi dari dunia nyata dan dari yang apa yang dilihat dan dialami. Mirip yang diajarkan Robert Kyosaki dalam buku Rich Dad and Poor Dad.

Pejuang-pejuang yang merintis usaha di rantau, yang memulai dari usaha sangat kecil sebagai pedagang kaki lima, tidak sedikit pula jumlahnya. Mereka mewarnai kehidupan usaha di kota kota-kota. "Tiga langkah di depan china", maksudnya, mereka menggelar dagangannya, tiga langkah di depan toko-toko orang Tionghoa. Itu hanya usaha bersifat sementara, menjelang melompat ke usaha lain yang lebih permanen. Saya banyak sekali ketemu orang Minang yang kemudian masuk ke usaha kelas menengah yang memulai dari usaha kaki lima itu di rantau.

Tapi kondisi kekinian, tak banyak pengusaha Minang yang bermetamorfosis menjadi konglomerat di tingkat nasional seperti  masa lalu. Sebutlah diantaranya Hasjim Ning, Rahman Tamin, Abdul Latief dan lain lain.

Ketika bisnis modern dalam dunia global yang makin memerlukan akses permodalan yang besar, sinergitas yang kuat, jaringan yang luas dan teknologi informasi yang canggih, sepertinya pengusaha pengusaha Minang tak banyak lagi yang berhasil, kecuali satu dua orang saja.

Kondisi ini mungkin perlu menjadi bahan kajian para terpelajar dan  akademisi untuk mencari tahu pokok persoalannya.

Beberapa ikhtiar pernah dilakukan, seperti pertemuan saudagar Minang sebagai agenda tahunan, seminar, diskusi dan kajian-kajian perguruan tinggi dengan menghadirkan tokoh sukses dan sebagainya, tapi sepertinya belum banyak membuahkan hasil.

Di tingkat daerah, Pemerintah Daerah pernah pula berusaha mengembangkan kawasan Padang Industrial Park, Padang TDC, menarik investasi para pemodal Minang untuk memperkuat Bank Nagari, program Outward looking, Gebu Minang, dan lain sebagainya.

Kini perantau Minang sedang giat dengan sejumlah rencananya melalui wadah "Minang Diaspora", salah satunya adalah menerbitkan kartu belanja di toko dan usaha orang Minang dengan jumlah discount tertentu. Apakah ini cikal bakal dari implementasi tribalisme yang disebut Neisbitt atau  sekedar partisipasi yang bersifat sementara? Waktu tentu akan menjawabnya.

Menurut hemat saya, perilaku dan sikap masyarakat Minang sepertinya benar-benar merepresentasikannya. Di satu sisi memandang dunia adalah satu kesatuan tanpa sekat negara dengan tradisi merantaunya (borderless), di lain sisi kecintaan yang dalam pada kampuang halaman seolah memperkuat tradisi etnik kesukuannya. Sepeprti petuah Minang, hujan ameh di nagari urang, hujan batu di nagari awak, nan kampuang indak kan lupo.

Namun spirit etnik bagi masyarakat Minang belum di ramu dalam bentuk kolaborasi bisnis. Karena karakter Minang cenderung berjalan sendiri-sendiri, beda dengan entik China yang cenderung berbisnis sesama mereka. Disinilah sepertinya  etnik Minang  keteteran menghadapi persaingn global. Asumsi ini tentu masih perlu di uji kebenarannya, karena mungkin banyak variabel lain yang perlu di kaji.

Dalam kaitan dengan otonomi daerah, sepertinya Sumatera Barat belum menemukan formula yang tepat untuk mensinergykan postensi kekuatan etnik  (ranah - rantau ) dalam kemajuan daerah. Meskipun Sumbar memiliki SDM yang kuat di rantau dan ranah, tapi kekuatan itu belum seperti orang orang Yahudi memajukan Israel. Lobby-lobby tokoh Minang di rantau belum memberikan kontribusi besar bagi kemajuan ranah. Pertemuan dan acara-acara organisasi perantau yang sangat banyak, masih sebatas pengungkapan rasa cinta kepada kampuang, pelepas rindu namun belum berefek banyak bagi Sumatera Barat. Saya sendiri  pernah membuat Biro Rantau di kantor Gubernur, yang dimaksudkan untuk membangun kerjasama ranah - rantau, tapi hasilnya juga belum terasa.

Sepertinya, perlu kajian lebih mendalam dan konkret mencari kiat agar Sumatera Barat bisa lebih berhasil mensejahterakan masyarakatnya setelah otonomi daerah bergulir, bukan hanya karena ada beban moril terkait tuntutan otonomi dari masyrakat dan tokoh Minang masa lalu, tapi karena sesungguhnya Sumatera Barat memiliki keunggulan lain yang bersifat khas, yaitu perantaunya, yang bisa disebut dengan comperation adventage. Disamping keunggulan lain yang sudah ada sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...