OLEH Agus Taher (Budayawan)
“Pak Agus, makin hari, makin tapikia dek ambo isi buku Global Paradox. Makin lamo, makin taraso, kito salapiak lain rasian” (Gamawan Fauzi)
Itu
isi WhatsApp (WA) Pak Gamawan Fauzi (GF)
pada saya, tanggal 1 Februari 2019. Memang, sejak Januari 2017, kami saling
berbincang, mulai dari aspek musik, ranah Minang, hingga politik.
Saya betul-betul menikmati WA ria ini, karena Pak GF saya posisikan sebagai guru untuk mengasah naluri politik saya dalam mencermati kehidupan berbangsa. Dan tulisan ini, merupakan cuplikan WA saya pada mantan Mendagri Sipil pertama ini.
Saya
katakan pada Pak GF, bahwa saya belum membaca utuh buku Global Paradox, karya
hebat Jhon Naisbitt itu. Meskipun tak membaca utuh, beberapa sinopsis dan
tulisan tentang buku Global Paradox yang sangat populer itu telah saya baca.
Jhon
Naisbitt adalah seorang profesor, penerima 15 gelar doktor kehormatan dalam
bidang teknologi, humaniora dan ilmu pengetahuan. Banyak karyanya yang
fenomenal, seperti Megatrens 2000, termasuk China's Megatrends, yang sudah saya
miliki bukunya.
Inti
sari dari buku Global Paradox yang terkenal itu adalah bahwa perkembangan
telekomunikasi yang luas telah memicu
terciptanya ekonomi global raksasa. Sementara pada saat yang sama, konsep negara-bangsa, seperti
Uni Sovyet dan Indonesia menjadi usang. Paradoksnya, unit organisasi kecil
mendapatkan kekuatan yang lebih besar karena batas-batas nasional semakin
terbuka oleh teknologi komunikasi dan informasi. Disebut juga, bahwa definisi Global Paradox
itu dalam sebuah kalimat: "semakin besar ekonomi dunia, semakin kuat para
pemain terkecilnya".
Unit-unit
yang lebih kecil, akan mengarah pada globalisasi ekonomi yang lebih efektif.
Statemen itu dibuktikan oleh Jhon Naisbitt dengan fakta, bahwa saat ini 50
persen ekspor AS dan Jerman dilakukan oleh perusahaan dengan 19 karyawan atau
lebih sedikit. Artinya, perusahaan kecil
semakin hebat perannya.
Naisbitt
juga menyebut, bahwa kemajuan teknologi dalam komunikasi elektronik, juga
menciptakan megatrend baru, yakni
universalisme dan tribalisme. Universalisme itu lebih terkait dengan
ekonomi global, sementara tribalisme lebih berhubungan dengan wawasan
kebangsaan. By definition, tribalisme adalah kesadaran dan kesetiaan yang
tinggi terhadap rasa kesukuan atau etnik.
Disebutkan,
bahwa ketika dunia semakin berkembang menjadi satu kesatuan ekonomi global,
maka negara-bangsa tradisional akan menjadi lemah. Batas-batas nasional tidak
lagi penting.
Dia
memperkirakan bahwa perbedaan budaya dan etnis tradisional akan muncul kembali
sebagai kekuatan yang akan melemahkan negara bangsa, yang ada. Kepemimpinan
politik yang ada diperkirakan tidak memadai untuk era ekonomi baru. Kuncinya,
Naisbitt mengkhawatirkan, negara-negara berbasis kesatuan etnik, akan pecah,
meskipun tidak semua.
Saya
pun ingin mengkaitkan intisari Global Paradox ini dengan teori lain. Pertama, bahwa tak pernah ada teori/konsepsi
yang betul-betul sempurna. Itu sebabnya
para filosuf dan pemikir (baca filsafat, mazhab, iptek), mereka saling
melengkapi. Bahkan, teori baru menggugat teori yang sudah melegenda. Konsepsi
berubah sesuai zamannya.
Teori
ekonomi pun berubah, mulai ekonomi agraris, ekonomi berbasis industri,
kapitalis, hingga neo liberal dan lainnya. Seorang sosiolog pun pernah bilang,
bahwa semakin banyak positifnya sebuah konsepsi, maka akan semakin banyak pula
negatifnya. Hukum alam itu berimbang. Dan, kedua, adanya fenomena siklus
pengulangan, sesuai firman Allah: "Dunia ini Aku pergilirkan". Firman ini pun di WA kan Pak GF pada saya.
Beliau, sejak pensiun memang lebih mencurahkan dirinya dalam memperkuat ilmu
agama dan ibadah.
Bagi
saya, dalam politik dan bernegara, sepertinya siklus pengulangan itu mewarnai
teori Naisbitt. Dulu, Nusantara punya banyak kerajaan, kemudan disatukan oleh
Gajah Mada dan Hayam Wuruk di bawah kekuasaan Majapahit, mirip format
"negara bangsa" menurut Naisbitt. Artinya, negara yang dibangun dari
beragam etnik, sama halnya dengan Uni Sovyet, yang terdiri dari 15 etnik besar.
Kemudian Majapahit pecah, berantakan akibat pergolakan kerajaan etnik. Ini yang
disebut Naisbitt sebagai tribalisme.
Dalam
perjalanannya, ketika kerajaan kerajaan etnik nusantara ini berhadapan dengan penjajah, mereka bersatu lagi menjadi "negara
bangsa", yang disebut Indonesia, diawali tekadnya melalui Sumpah Pemuda
tahun 1928. Kita tak bisa membayangkan, apakah teori "pergiliran"
tadi akan muncul lagi. Menurut Naissbitt, prakiraan "global paradox"
ini, akan menjadi tren baru dunia, di mana kekuatan ekonomi global dan
teknologi akan memperlemah ikatan "negara bangsa tradisional"
(multietnik).
Kelompok
orang dengan warisan etnis dan budaya yang sama, cenderung
memperkuat kembali identitas bersama mereka. Akibatnya, gagasan bahwa
pemerintah pusat sebagai bagian terpenting dari pemerintahan tidak menarik
lagi. Menurut saya, barangkali gagal
paham, kebijakan otonomi daerah yang kita gulirkan sejak 2001, makin memicu
potensi terjadinya "tribalisme-nya Naisbitt" itu. Indikasinya, sejak
otoda, tercatat ada 10 propinsi yang menghendaki lepas dari NKRI. Itu pun masih
tak aneh.
Di
awal merdeka saja, NKRI sudah mulai retak, yang ditandai dengan munculnya
gerakan RMS, DI/TII, PRRI, dan terus berlanjut dengan kehadiran GAM, OPM,
termasuk gerakan Riau Merdeka sekitar tahun 1999.
Dari
berbagai referensi, disebutkan bahwa kebangkrutan ekonomi, korupsi, berontaknya
negara bagian, termasuk program prestorika dan galasnot-nya Gorbachev menjadi
penyebab bubarnya Uni Sovyet. Era
keterbukaan yang digagas Gorbachev itu mempercepat Uni Sovyet runtuh.
Glasnot
membuat rakyat terbuka matanya, bahwa sama-sama dibawah Uni Sovyet, akan tetapi
kesejahteraan berbeda antar negara bagian. Mirip kondisinya dengan
"salapiak lain rasian"-nya Pak GF. Kita sama-sama anak bangsa dan
setanah air, akan tetapi kesejahteraan berbeda. Keadilan sosial, ekonomi dan
politik pun tak sama. Perbedaan dan
ketidak setaraan posisi ini adalah bom waktu, yang tak cukup diatasi dengan
"optimisme elit" yang tidak operasional. Jadi, utuh atau bubarnya
suatu negara itu sifatnya kondisional.
Naisbitt pun mengatakan seperti itu. Dari referensi lain pun, saya catat
statemen bagus: bahwa negara tak kan pernah ambruk, apabila bangsa itu makmur.
Itu
alasannya, AS tetap utuh, karena mereka makmur.
Cina dan Uni Sovyet sama sama negara luas dan multietnik, akan tetapi
Uni Sovyet bubar, Cina tidak. Cina tetap
utuh, karena mereka sudah ribuan tahun
berpengalaman dalam mengelola kekuatan politik, meskipun dalam format dinasti. Satu dinasti, seperti Dinasti Zhou, mampu
berkuasa selama 790 tahun.
Ketika
masih miskin di era Mao Tse Tung, Cina pun menggunakan kekuatan komunis untuk
meredam setiap gejolak sosial politik dalam negerinya. Ingat tragedi Tiananmen
1989 ? Ribuan mahasiswa mati ditembak dan digilas tank militer. Cina cerdik,
tidak mau meniru Gorbachev, yang diindikasikan dengan sikap: NO keterbukaan,
YES Tirai Bambu.
Di
era Deng Xio Phing, Tirai Bambu dibuka seiring dengan revolusi industri yang
betul-betul dilakukan secara cermat dan cepat.
Dalam waktu 20 tahun, Cina berubah menjadi bangsa yang makmur, yang
makin berdaulat di bidang pangan, energi, ekonomi, industri, dan pertahanan.
Nah, Cina seperti saat ini yang disebut Naisbitt sebagai negara sosialis
berjubah kapitalis. Cina milenial bukan hanya mampu menguasai dan meredam
sebesar apa pun gejolak internalnya, akan tetapi Cina pun semakin tak sulit
menguasai dunia!
Dan,
kita tak seperti China. Kita tak sekuat Cina, kita pun mayoritas beragama,
sehingga tidak mungkin otoriter dan brutal! Kita lebih mirip Uni Sovyet
menjelang bubar, dimana sebagian wilayahnya tertinggal dan miskin, senjang
ekonomi semakin lebar, keadilan politik tak ada. Lagi lagi "salapiak lain
rasiannya pak GF mengemuka.
Sementara,
megatrend dunia dalam bentuk "tribalisme-nya Jhon Naisbitt" makin menggejala, yang dikemukakan GF dalam
ungkapan halus khas Minang: "Global Paradox”, makin lamo, makin
taraso".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar