Selasa, 16 Maret 2021

Waspadai Dehumanisasi dalam Nagari Mekar (Terbelah)

Bagian 1 dari 5 tulisan
OLEH  Yulizal Yunus Datuak Rajo Bagindo

Kebijakan “kembali ke nagari” sebagai strategi pelaksanaan otonomi daerah di Sumatera Barat mengundang pembicaraan hangat publik. Tidak saja pasalnya disebut-sebut implementasinya setengah hati, bahkan disebut sebagai “lebih parah”, paradoksal dan dehumanisasi. 
Parodoksal, teramati, dulu ketika pemerintahan desa melaksanakan UU 5/1979 dan Perda Sumar No.13/1983, nagari tidak pecah dan kelembagaan adat esksis, sekarang di era otonomi daerah melaksanakan UU 22/1999 diganti dengan UU 32/ 2004 plus UU 08/2005 dan Perda 09/2000 direvisi Perda 02/2007, dan kini Perda Nomor 7/2018 justru nagari lama menjadi pecah dan dibagi dalam beberapa nagari disebut dengan istilah pemekaran. 
Dehumanisasi, teramati, niat pemekaran nagari hendak memudahkan urusan dan pelayanan warga, justru menghadang bahaya besar, ibarat meninggalkan bom waktu untuk anak cucu di nagari dan bisa meledak 5-10 tahun yang akan datang.
Kembali ke nagari dan terjadi pemekaran nagari bagaimanapun ini sebuah kebijakan. Permasalahanya bukan pada kebijakan saja, tetapi meliputi sistem kebijakan itu yakni: kebijakan itu sendiri, lingkungan kebijakan dan pelaku kebijakan. Dapat digarisbawahi pandangan Dunn (2001:67) masalah kebijakan bukan saja eksis dalam fakta di balik kasus tetapi banyak terletak pada para pihak/ pelaku (stakeholder) kebijakan. Artinya pelaku kebijakan sering menjadi persoalan. Tak kecuali dalam pelaksanaan kembali ke nagari yang kemudian tak dapat dihindari tuntutan memecah nagari yang disebut pemekaran itu.  
Pelaku kebijakan (stakeholders) utama adalah pemerintah, masyarakat dan swasta. Masalah itu muncul ketika matrik stakeholder itu kabur dan tidak teraplikasikan sharing power ketiga stakeholders utama itu di nagari. Fenomena ini diikuti timbulnya pertanyaan besar, yakni lahirnya kebijakan, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, apakah kebijakan berposisi blamming the victims (ketidakadilan sosial)?
Fenomena ironis dan menjadi isu otoda di Sumatera Barat dengan sistem kembali ke nagari itu, fokusnya berada antara fakta - ideal geneologis dan teritorial nagari. Idealnya kembali ke nagari ketahanannya menjadi kuat terpleihara integritas, identitas dan keberlanjutan nagari itu, justru sebaliknya nagari digambarkan sebagai disintegrasi mengancam identitas dan keberlanjutannya terutama sebagai subkultur Minangkabaukabau terdesak dengan pilihan pemekaran yang diwadahi Perda.
LKAAM  sebagai bagian stakeholders utama dari unsur masyarakat adat, perlu menjelaskan kembali “pemahaman tentang nagari” dalam bebarapa dua silang pandang/ pendapat yang menjebak pro kontra. Pertama nagari faktor geneologis, kedua susunan masyarakat nagari sebagai subkultur dalam geneologis Minangkabau, ketiga sejarah pembentukan kampung baru dan nagari, keempat sistem pemerintahan nagari (struktur dan perkembangannya, sarana prasarana, dan aset nagar), kelima pro kontra pemekaran nagari era otoda dan banyak lagi hal penting tentang nagari yang menarik dibicarakan dalam upaya pemahamannya secara komprehensip. 
Sebelum LKAAM, pernah ada lembaga adapt bernama SAAM (Sarikat Adat Alam Minangkabaukabau) didirikan tahun 1911. Tahun 1927 SAAM dirubah menjadi MTKAAM (Majelis Tinggi KerapatanAdat Alam Minangkabaukabau) sarat muatan politik dan dilanjutkan LKAAM sekarang
Geneologis dan Teritorial Persekutuan Hukum Republik Kecil
Nagari Minangkabau dominan faktor geneologis (pertalian darah). Beda dengan desa Jawa, lebih dilihat dari faktor teritorial (wilayah). Suasana suku lebih terasa di nagari Minangkabau dibanding teritorial. Sungguh pun demikian nagari yang merupakan sub kultur (budaya khusus) Minangkabau tidak mengabaikan wilayah. Nagari memiliki batas-batas wilayah nagari  yang kuat ditetapkan dengan sumpah setia moyang-puyang ketika nagari baru dibuat. Dalam nagari itu tak setapak pun tanah tak bermilik: milik komunal mulai dari ulayat nagari/ rajo, ulayat suku/ kaum/ penghulu, sampai milik wakaf dan milik privat yakni ulayat pribadi/ berlaku hukum faraidh (Islam). 
Nagari merupakan persekutuan hukum. Persekutuan hukum yang dimaksud persekutuan warga yang terikat dengan satu kesatuan di mana warga antara satu sama lain memandang sama dalam seluruh aspek kehidupan. 
Sebagai satu persekutuan hukum, ada kekuasaan, ada pemimpin yang bertindak atas nama atau kepentingan kesatuan masyarakatnya. Karenanya nagari pernah disebut Belanda sebagai Republik Kecil, seperti negara kecil yang merdeka memiliki kesatuan negara dan kewarganegaraan.
Nagari sebagai pesekutuan hukum subkultur Minang tidak dapat mengabaikan faktor teritorial (wilayah). Penetapan wilayah nagari ini pun dahulu dengan sumpah satia moyang – puyang. Batas wilayah itu ditetapkan sejak nagari baru dibangun di atas lahan yang baru di luar nagari yang sudah ada (nagari lama). Dibatasi dengan alam, bukik nan badinding sailiran aliran sungai dan juga ada bendera pohon tua, seperti batang durian, batang jambu keling (duat) dan sebagainya.
Dapat dipahami nagari Minangkabau itu wilayah subkultur dan wilayah pemerintahan. Tumbuhnya nagari dari persepketif historisnya, tidak membagi wilayah pemerintahan yang luas, tetapi bermula dari keharusan pengadaan lahan baru, kemudian dilahan baru itu diproses menjadi nagari (terdiri banyak kampung dan sekurangnya 4 suku). 
Sebelum menjelaskan proses orang Minangkabaukabau membentuk kampung baru ke arah proses pembuatan nagari baru, dijelaskan susunan masyarakat Minangkabau.
Subkultur dalam geneologis Minangkabau  
Susunan (organisasi) masyarakat Minangkabau di nagari dapat dijelaskan dalam organ sebagai berikut:
1. Paruik, sudah mempunyai persekutuan hukum. Kelompok paruik ini merupakan satu keluarga besar (famili).
2. Jurai, berasal dari paruik yang sudah berkembang. Perkembangan paruik itu, memicu timbulnya keharusan membelah diri menjadi satu kesatuan yang berdiri sendiri, inilah disebut dengan jurai.
3. Suku, merupakan pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya setelah jurai. Organ masyarakat suku ini merupakan kesatuan-kesatuan matrilineal baru di samping paruik asalnya yang bertali darah dilihat dari garis ibu. Namun suku tidak merupakan satu persekutuan hukum, karena suku dapat berpencar di lain wilayah. Artinya suku tidak terikat dengan teritorial, tetapi diikat tali darah dari garis ibu. Karenanya di mana saja suku yang merasa satu kesatuan masyarakat yang sama merasa setali darah (badusanak).
4. Kampung, adalah kelanjutan dari paruik. Paruik berkembang menjadi jurai. Di samping paruik dan jurai berkembang lagi kesatuan matrilineal baru seperti tadi disebut suku. Mereka mendirikan rumah berdekatan. Kelompok rumah yang  se-paruik, se-jurai dan se-suku disebut kampung.
5. Nagari, adalah kelanjutan dari paruik, jurai, suku dan kampung. Bila di kampung lama sudah habis tanah mendirikan rumah, keluarga besar sawah dan lahan kering sempit, maka mereka mencari lahan baru. Lahan baru itu dibersihkan (ditatak) menjadi Taratak. Bagian dari anggota paruik atau jurai atau se suku dalam kampung lama ada yang ingin pindah ke wilayah baru itu. Taratak berkembang menjadi dusun. Dusun memiliki wilayah pusat bernama Koto. Mereka yang se paruik, sejurai atau sesuku mendirikan rumah pula berdekatan, lalu munculan perkampungan baru. Lama kelamaan kampung menjadi banyak. Ada disebut kampung kampai, kampung sikumbang, kampung panai, kampung caniago dsb. Akhirnya bersama-sama para tuo kampung mendirikan nagari. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...