Kamis, 25 Maret 2021

Pro-Kontra Pemekaran Nagari Era Otoda Kembali ke Nagari

(Bagian 5 dari 5 tulisan-Habis)

OLEH  Yulizal Yunus Datuak Rajo Bagindo

Dari perspektif nagari di Minangkabau dan sistem pemerintahannya, sebenarnya pemekaran nagari dalam pengertian sekarang di era otoda - reformasi, ada yang boleh boleh dan ada yang tidak. Dibolehkan bila (1) nagari memanjang, tak sama asal usul, tak sama monografi, tak kuat lagi hubungan tali darah (paruik, jurai, suku), (2) wilayahnya jauh dari nagari induknya dan atau memanjang akses jalan melewati nagari lain seperti ambil contoh kawasan nasional “Mandeh Resort” Koto XI Tarusan Pesisir Selatan, yakni Kampung Mandeh dengan Nagari Nanggalo atau Mudik Ayia dengan Nagari Duku di Tarusan melewati Nagari Nanggalo dan Nagari Batu Ampa baru sampai ke nagari Duku.

Kalau sejarah punya nilai instruktif, maka dalam sejarah nagari, ada norm yang menginstruksikan yakni pemekaran nagari/ membuat nagari bari (pemerintah atau adat) dimulai dari pelayanan dengan pendistribusian suku dan penemuan lahan baru.. Artinya tidak ditemukan istilah pemekaran nagari Minangkabau yang pengertiannya memecah wilayah nagari yang luas (punya persekutuan hukum berdasarkan asal usul yang sama) dan masyarakatnya yang tersusun dalam kesatuan hubungan tali darah (paruik, jurai, suku) yang kaut, menjadi beberapa nagari baru. Yang ada dan boleh pendirian nagari baru dengan wilayah baru dan penduduknya dengan kemauan sendiri translok/ pindah ke sana dan wilayah itu berproses menjadi nagari baru. Membentuk nagari itu dulu dan mempertahankan persekutuan hukumnya dengan sumpah satia: “nagari diwariskan ke anak cucu sampai hari kiamat dan menjaga integritas, identitas dan keberlanjutannya, tak berubah sampai gagak putih”.

Namun peluang masih ada kampung yang terbengkalai berproses menjadi nagari, fenomena ini dimungkinkan boleh diproses menjadi nagari baru, dan ini bukan pemekaran namanya, tetapi dilanjutkan prosesnya menjadi nagari baru dengan sumpah satia yang baru. Misalnya Kampung Mandeh dalam Nagari Nanggalo,  Kampung Mudiak Ayia wilayahnya jauh dari Nagari Duku melewati Nagari Nanggalo dan Nagari Batu Ampa atau juga mungkin seperti Lagan dll.

Mekar nagari dalam pengertian memecah wilayah yang luas dengan mempersingkat jarak dan membagi penduduk seperti yang menjadi sebuah fenomena pro kontra, banyak mengahadang bahaya. Bom waktu bagi anak cucu di mana 5-10 tahun yad saja dimungkinkan bakal meledak. Hati-hati, kita bakal menjadi moyang dan puyang. Pemekaran nagari induk menjadi banyak nagari, lihat betul motivasi dan paradigmanya. Apakah karena keinginan sementara pihak menjadikan basis politik dan kekuasaan atau karena mau pembagian kue pembangun lebih banyak seperti desa dulu yang tanpa sadar melumpuh semangat goro yang selama ini menjadi roh nagari?. Jan rusak nan banyak karano nan saketek (sedikit). Jangan samapi rusak adat di nagari sebagai subkultur yang dominan faktor geneologis yang intinya adat. Kembali ke nagari yang ada saja (1 KAN:1 Wali Nagari) masih belum efektif pelaksanaannya karena tidak banyak tahu sejarahnya dan memang sudah lama pula tidak dipraktekan lagi kehidupan bernagari itu. Karenanya pula merevitalisasi sistem pemerintahan nagari lama saja masih sulit (ya SDM, ya manajemennya, ya kinerja aparaturnya) menjadi nagari mandiri, ditambah lagi dengan masalah nagari baru yang harus pula membangun hal-hal yang vital di nagarinya yang baru itu.

Taroklah dalam pemekaran itu lembaga adat tidak dipecah, hanya pemerintahan saja yang dipecah. Pertama sudah berulang sejarah memisahkan adat dan pemerintah berbeda dengan sistem nagari semula yakni pemerintahan adat dan negara setangkup. Kedua bahaya akan menghadang, wali nagari banyak pada satu nagari adat (1 KAN berbanding banyak Wali Nagari). Siapa yang menjadi komando, mungkinkah dengan 1 KAN memberi kemudahan (tidak mengalami konflik) bagi Wali Nagari yang banyak dalam pengambilan keputusan nagari yang intinya di nagari Minangkabau adalah musyawarah (rapek) dan hasil rapek itu yang dijalankan? Banyak hambatan, ujungnya konflik dan membahayakan ketahanan nagari (integritasnya, identitasnya bahkan keberlansungan hidupnya) baik dilihat dari perspektif sistem sosial, sistem politik maupun sistem ekonomi.

Dari perspektif sosial, pemekaran nagari induk besar kemungkinan akan memecah persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakat Minangkabau, adat akan semakin dimarginalkan bahkan akan kaburkan peranan lelaki Minangkabau terutama ninik mamak yang sebenarnya amat diharapkan pemerintah.

Dari perspektif politik, pemekaran nagari memicu konflik (1) antara lembaga nagari yang ada dan (2) antara lembaga nagari dan kelembagaan adat. Kini KAN satu, nagari baru mekar merasa sama besar dengan nagari induknya, lalu mendirikan KAN baru pula, ujungnya konflik. Sebelum dimekarkan saja, pendistribusian tupoksi antara KAN dan Bamus pun belum jelas. Kalau tidak saling dewasa atau masih saling sama merasa besar di nagari, akan menimbulkan perpecahan dan saling tak menghormati. Dalam satu persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakat 1 nagari adat (1 KAN) dimekarkan menjadi banyak nagari lambat laun memicuk lahirnya konflik perbatasan nagari. Soal batas nagari yang ada (induk) saja belum terselesaikan. Sebab dalam pespektif ilmu geopolitik, perbatasan rawan konflik dan berhadapan dengan sahwat perluasan wilayah seperti diberi peluang teori expansionisme Jellen.

Dari perspektif ekonomi, satu nagari memanjang, dibagimekarkan, sungai mengalir di sepanjang nagari induk dan nagari baru itu yang dulu satu. Nagari yang di mudik mau berladang kacang, pengairan ditiadakan tani kacang, nagari baru dihilir mau mengolah sawah, lalu bertabrakan kepentingan ladang kacang satu nagari dengan kepentingan sawah di nagari yang lain yang dulunya satu komando. Kapan itu sama-sama dapat air mengeloah sawah bersama dan ladang kacang bersama dalam 6-7 nagari pada 1 KAN. Saat itulah konflik terjadi.

Konflik tak terselesaikan oleh 6-7 Wali Nagari : 1 KAN dan safety valve konflik tak ditemukan, maka kesatuan ekonomi terancam dan dalam adat Minangkabau, fenomena ini disebut “tanda di nagari itu tak ado lai ba nan gadang” (tak ada yang dihormati) dan sudah banyak komando, siapa yang mau didengar. Mungkin akan lebih besar konflik misalnya ketika investor masuk dan berhubungan dengan tanah ulayat, sulit mengambil keputusan dengan 1 komando adat berbanding banyak wali nagari. Apalagi penafsiran tanah ulayat itu kabur antara hak komunal dan privat, yang bisa mengantarkan kepandangan yang salah menjual tanah ulayah ke investor dan amat tercela sebenarnya di Minangkabau. Tanah ulayat adalah investasi nagari tak boleh dijual dan digadaikan, ibarat batang kayu, buah manisnya boleh dimakan, batangnya tak boleh dijual/ digadaikan.

Moyang orang Minangkabau, cukup pintar menanta persekutuan hukum dan menata kesatuan kelompok sosial di samping faktor wilayah, ekonomi dan politik, dominan faktor geneologis (mulai dari kelompok paruik, jurai, suku, kampung dan nagari) serta arif dalam membentuk nagari dan melegitimasi serta menciptakan ketahanannya dalam semua aspek kehidupan masyarakatnya (ipoleksosbudhankam nagari) dengan sumpah satia: nagari diwariskan utuh sampai kiamat dan putiah gagak hitam nagari tidak akan berubah.

Artinya dari amanat sejarah, wilayah nagari yang luas, persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakatnya masih kuat tidak boleh dipecah dan dibagi menjadi banyak nagari seperti pengertian pemekaran nagari kini yang memasuki wilayah pro kontra anak Minangkabau. Yang boleh dimekarkan, adalah mengupayakan kampung yang jaraknya memanjang, akses jalan berbelit, tidak kuat lagi pertalian asal usulnya, tak satu monografinya karena puyangnya mencari lahan jauh dari nagari induk dan prosesnya jadi nagari dulu mungkin terbengkalai.

Disarankan, nagari yang masih kuat persekutuan hukumnya meski wilayah luas dan penduduk rapat, pertimbangkanlah untuk pemekaran. Silahkan dimekarkan kampung menjadi nagari yang posisinya memanjang, akses jalannya melewati nagari lain/ jalan sulit dan tak kuat lagi pertalian asal usulnya dibuktikan tidak ada keharusan secara eksplisit masyarakatnya bermamak berkapanakan kepada nagari induknya dalam berbagai pelayanan ulayat dan putus pelayanannya pada paruik, jurai dan suku di kampungnya itu. Artinya kampung itu dulu dimaksudkan menjadi wilayah baru menjadi nagari, tapi terbengkalai menjadi nagari, karena faktor hambatan kurang jumlah kampung dan jumlah suku.

Lebih penting lagi, disarankan melahirkan perda mengakomodasikan nilai adat, dengan proses memutuskan dan mengusulkan struktur pemerintahan terendah itu adalah kampung bukan nagari. Kalau mesti nagari juga, hindari kebijakan publik terperosok ke kancah blaming the victims (ketidakadilan sosial), sebab lahir/ diundangkannya sebuah kebijakan, pertanyaan penting yang muncul: “siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan”. Hindari Perda membuat tak berdaya kelembagaan adat. Perda nagari yang ada terasa memarjinalkan dan merugikan adat, kelembagaannya dibuat tak berdaya contohnya KAN disamabesarkan dengan 4 lembaga nagari termasuk dengan lembaga pemuda (kapanakan) di nagari. Perlu dijelaskan dalam adat, semua unsur di nagari (wali nagari, ketua Bamus, ketua LPM, ulama, bundo kandung, cadiak pandai, tentara, polisi, pns, anggota DPR/D dan semua fungsi dalam negara dan masyarakat termasuk datuk/ penghulu sendiri sebagai ketua ninik mamak, adalah kalau sudah “gadang” pasti berfungsi mamak, kalau masih “ketek” pasti “anak” atau “kapanakan”.   

Kalau disamakan KAN misalnya dengan organisasi pemuda di nagari, berarti memberi peluang pada anak kapanakan melanggar hukum adat yakni mandago mamak. Bacalah konflik pemilihan Bamus di nagari, KAN disamabesarkan dan terjebak bersaing dengan organisasi anak kapanakan (pemuda) dalam pemilihan Bamus atau caleg di nagarinya, akibatnya fatal, kepanakan tega memarjinalkan peran mamaknya dalam persaingan kepentingan sesaat itu. Tapi kalau pemimpin KAN-nya tahu dengan besarnya lalu dibuktikannya, KAN tak punya nama calon di kantongnya dan mengakomodasikan apa yang diusulkan dari 4 unsur di nagari: AU, BK, CP dan Pemuda lalu dikoordinasikannya, pasti aman dan KAN tetap besar. Yang susahnya saling merasa besar, kata pemuda lembaganya besar dan KAN tak sadar pula dengan posisi besarnya dan bersaing dengan lembaga 4 unsur lainnya di nagari yang sebenarnya mamak atau kapanakannya juga, berakibatnya gawat, kapanakan (pemuda) akan terperosok mandago mamak (KAN). Kalau KAN menjatuhkan posisinya sama dengan pemuda (kapanakan) lalu terjebak persaingan politik, dalam politik praktis seperti yang ditemukan secara empiris oleh Machiavelli, sah-sah saja saling menjatuhkan, meski kapanakan menjatuhkan mamak. Tetapi dalam etika politik Minangkabau tidak dibenarkan, fenomena itu mendago (mendaga) mamak, melanggar hukum adat. Demo saja tidak pernah ada berakar pada budaya Minangkabau. Siapa saja yang penyaluran aspirasi dengan tekanan demo, dari perspektif Minangkabau, ketika demo itu mereka keluar dari etika tak menjadi orang Minangkabau. Sebab di Minangkabau, tidak baik meneriakan malu kepada orang, ajaran nilai adat: suku tak dapek diasak, malu tak dapek diagiahkan.

Penyelesaian sengketa/ kasus di Minangkabau bertingkat dalam mekanisme informal adat, kasus privat diselesaikan mamak rumah/ paruik, penghulu andiko (mamak tertua di paruik), mamak jurai, mamak suku dan penghulu suku. Kasus komuninal diselesaikan tuo kampung (penghulu memimpin kampung yang dipilih dari penghulu andiko), mamak nagari dan KAN.  Diyakini di Minangkabau, tak ada kasus yang tidak bias selesai: tak ado kusuik tak akan salasai/ tak ado karuh nan tak kajaniah. Kalau tak jernih juga, masih ada tingkat mekanisme formal dengan hukum formal mulai dari peradilan pemerintahan nagari dengan penegak hukumnya polisi dan peradilan negeri. Karenanya perankanlah ninik mamak dan berdayakan kelembagaan adat dengan akomodasikan perda (sekarang di samping Bamus, diakui atau tidak KAN masih berpeluang menjadi lembaga yudikatif, menyelesaikan sengketa adat/ nagari dalam mekanisme informal adat). Kalau ninik mamak dan lembabaganya berperan, tidak bakal mau lagi lelaki dewasa Minangkabau (dalam semua fungsinya di pemerintah, masyarakat/ adat dan di swasta di kampung dan di rantau) yang meragukan peran ninik mamak. Karena sikap itu  berarti laki-laki dewasa Minangkabau itu sudah tak jelas lagi status kelaki-lakiannya di Minangkabau, berarti ia sudah menggugat perannya sendiri sebagai lelaki Minangkabau, karena ia sendiri lelaki, kalau sudah dewasa ia adalah mamak, meskipun tidak datuk. Tegasnya Datuk/ Penghulu itu ialah ketua Ninik Mamak dipilih ninik mamak kaumnya dan forum persidangan ninik mamak kaumnya, kemudian dibawa ke nagari untuk duduk sama rendah dan tegak sama tinggi (dalam kelarasan bodi caniago) lalu berhimpun di KAN sebagai lembaga kerapatan/ musaywarah adat yang punya historis panjang dan penting di nagari-nagari Minangkabaukabau.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...