(Bagian
5 dari 5 tulisan-Habis)
OLEH Yulizal Yunus Datuak Rajo Bagindo
Dari perspektif nagari di Minangkabau dan sistem pemerintahannya, sebenarnya pemekaran nagari dalam pengertian sekarang di era otoda - reformasi, ada yang boleh boleh dan ada yang tidak. Dibolehkan bila (1) nagari memanjang, tak sama asal usul, tak sama monografi, tak kuat lagi hubungan tali darah (paruik, jurai, suku), (2) wilayahnya jauh dari nagari induknya dan atau memanjang akses jalan melewati nagari lain seperti ambil contoh kawasan nasional “Mandeh Resort” Koto XI Tarusan Pesisir Selatan, yakni Kampung Mandeh dengan Nagari Nanggalo atau Mudik Ayia dengan Nagari Duku di Tarusan melewati Nagari Nanggalo dan Nagari Batu Ampa baru sampai ke nagari Duku.
Kalau
sejarah punya nilai instruktif, maka dalam sejarah nagari, ada norm yang
menginstruksikan yakni pemekaran nagari/ membuat nagari bari (pemerintah atau
adat) dimulai dari pelayanan dengan pendistribusian suku dan penemuan lahan
baru.. Artinya tidak ditemukan istilah pemekaran nagari Minangkabau yang
pengertiannya memecah wilayah nagari yang luas (punya persekutuan hukum
berdasarkan asal usul yang sama) dan masyarakatnya yang tersusun dalam kesatuan
hubungan tali darah (paruik, jurai, suku) yang kaut, menjadi beberapa nagari
baru. Yang ada dan boleh
pendirian nagari baru dengan wilayah baru dan penduduknya dengan kemauan
sendiri translok/ pindah ke sana dan wilayah itu berproses menjadi nagari baru.
Membentuk nagari itu dulu dan mempertahankan persekutuan hukumnya dengan sumpah
satia: “nagari diwariskan ke anak cucu sampai hari kiamat dan menjaga
integritas, identitas dan keberlanjutannya, tak berubah sampai gagak putih”.
Namun peluang masih ada kampung yang terbengkalai
berproses menjadi nagari, fenomena ini dimungkinkan boleh diproses menjadi
nagari baru, dan ini bukan pemekaran namanya, tetapi dilanjutkan prosesnya
menjadi nagari baru dengan sumpah satia yang baru. Misalnya Kampung
Mandeh dalam Nagari Nanggalo, Kampung
Mudiak Ayia wilayahnya jauh dari Nagari Duku melewati Nagari Nanggalo dan
Nagari Batu Ampa atau juga mungkin seperti Lagan dll.
Mekar nagari dalam pengertian memecah wilayah yang luas
dengan mempersingkat jarak dan membagi penduduk seperti yang menjadi sebuah
fenomena pro kontra, banyak mengahadang bahaya. Bom waktu bagi anak cucu di
mana 5-10 tahun yad saja dimungkinkan bakal meledak. Hati-hati, kita bakal
menjadi moyang dan puyang. Pemekaran nagari induk menjadi banyak nagari, lihat
betul motivasi dan paradigmanya. Apakah karena keinginan sementara pihak
menjadikan basis politik dan kekuasaan atau karena mau pembagian kue pembangun
lebih banyak seperti desa dulu yang tanpa sadar melumpuh semangat goro yang
selama ini menjadi roh nagari?. Jan rusak nan banyak karano nan saketek
(sedikit). Jangan samapi rusak adat di nagari sebagai subkultur yang dominan
faktor geneologis yang intinya adat. Kembali ke nagari yang ada saja (1 KAN:1
Wali Nagari) masih belum efektif pelaksanaannya karena tidak banyak tahu
sejarahnya dan memang sudah lama pula tidak dipraktekan lagi kehidupan bernagari
itu. Karenanya pula merevitalisasi sistem pemerintahan nagari lama saja masih
sulit (ya SDM, ya manajemennya, ya kinerja aparaturnya) menjadi nagari mandiri,
ditambah lagi dengan masalah nagari baru yang harus pula membangun hal-hal yang
vital di nagarinya yang baru itu.
Taroklah dalam pemekaran itu lembaga adat tidak dipecah,
hanya pemerintahan saja yang dipecah. Pertama sudah berulang sejarah
memisahkan adat dan pemerintah berbeda dengan sistem nagari semula yakni
pemerintahan adat dan negara setangkup. Kedua bahaya akan menghadang,
wali nagari banyak pada satu nagari adat (1 KAN berbanding banyak Wali Nagari).
Siapa yang menjadi komando, mungkinkah dengan 1 KAN memberi kemudahan (tidak
mengalami konflik) bagi Wali Nagari yang banyak dalam pengambilan keputusan
nagari yang intinya di nagari Minangkabau adalah musyawarah (rapek) dan hasil
rapek itu yang dijalankan? Banyak hambatan, ujungnya konflik dan membahayakan
ketahanan nagari (integritasnya, identitasnya bahkan keberlansungan hidupnya)
baik dilihat dari perspektif sistem sosial, sistem politik maupun sistem
ekonomi.
Dari perspektif sosial, pemekaran nagari induk besar kemungkinan akan memecah persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakat Minangkabau, adat akan semakin dimarginalkan bahkan akan kaburkan peranan lelaki Minangkabau terutama ninik mamak yang sebenarnya amat diharapkan pemerintah.
Dari perspektif politik, pemekaran nagari memicu konflik
(1) antara lembaga nagari yang ada dan (2) antara lembaga nagari dan
kelembagaan adat. Kini KAN satu, nagari baru mekar merasa sama besar dengan
nagari induknya, lalu mendirikan KAN baru pula, ujungnya konflik. Sebelum
dimekarkan saja, pendistribusian tupoksi antara KAN dan Bamus pun belum jelas.
Kalau tidak saling dewasa atau masih saling sama merasa besar di nagari, akan
menimbulkan perpecahan dan saling tak menghormati. Dalam satu persekutuan hukum
dan kesatuan tata susun masyarakat 1 nagari adat (1 KAN) dimekarkan menjadi
banyak nagari lambat laun memicuk lahirnya konflik perbatasan nagari. Soal
batas nagari yang ada (induk) saja belum terselesaikan. Sebab dalam pespektif
ilmu geopolitik, perbatasan rawan konflik dan berhadapan dengan sahwat
perluasan wilayah seperti diberi peluang teori expansionisme Jellen.
Dari perspektif ekonomi, satu nagari memanjang,
dibagimekarkan, sungai mengalir di sepanjang nagari induk dan nagari baru itu
yang dulu satu. Nagari yang di mudik mau berladang kacang, pengairan ditiadakan
tani kacang, nagari baru dihilir mau mengolah sawah, lalu bertabrakan kepentingan
ladang kacang satu nagari dengan kepentingan sawah di nagari yang lain yang
dulunya satu komando. Kapan itu sama-sama dapat air mengeloah sawah bersama dan
ladang kacang bersama dalam 6-7 nagari pada 1 KAN. Saat itulah konflik terjadi.
Konflik tak terselesaikan oleh 6-7 Wali Nagari : 1
KAN dan safety valve konflik tak ditemukan, maka kesatuan ekonomi
terancam dan dalam adat Minangkabau, fenomena ini disebut “tanda di nagari
itu tak ado lai ba nan gadang” (tak ada yang dihormati) dan sudah banyak
komando, siapa yang mau didengar. Mungkin akan lebih besar konflik misalnya
ketika investor masuk dan berhubungan dengan tanah ulayat, sulit mengambil
keputusan dengan 1 komando adat berbanding banyak wali nagari. Apalagi
penafsiran tanah ulayat itu kabur antara hak komunal dan privat, yang bisa
mengantarkan kepandangan yang salah menjual tanah ulayah ke investor dan amat
tercela sebenarnya di Minangkabau. Tanah ulayat adalah investasi nagari tak
boleh dijual dan digadaikan, ibarat batang kayu, buah manisnya boleh dimakan,
batangnya tak boleh dijual/ digadaikan.
Moyang orang Minangkabau, cukup pintar menanta
persekutuan hukum dan menata kesatuan kelompok sosial di samping faktor
wilayah, ekonomi dan politik, dominan faktor geneologis (mulai dari kelompok
paruik, jurai, suku, kampung dan nagari) serta arif dalam membentuk nagari dan
melegitimasi serta menciptakan ketahanannya dalam semua aspek kehidupan
masyarakatnya (ipoleksosbudhankam nagari) dengan sumpah satia: nagari
diwariskan utuh sampai kiamat dan putiah gagak hitam nagari tidak akan berubah.
Artinya
dari amanat sejarah, wilayah nagari yang luas, persekutuan hukum dan kesatuan
tata susun masyarakatnya masih kuat tidak boleh dipecah dan dibagi
menjadi banyak nagari seperti pengertian pemekaran nagari kini yang memasuki
wilayah pro kontra anak Minangkabau. Yang boleh dimekarkan, adalah
mengupayakan kampung yang jaraknya memanjang, akses jalan berbelit, tidak kuat
lagi pertalian asal usulnya, tak satu monografinya karena puyangnya mencari
lahan jauh dari nagari induk dan prosesnya jadi nagari dulu mungkin
terbengkalai.
Disarankan, nagari yang masih
kuat persekutuan hukumnya meski wilayah luas dan penduduk rapat, pertimbangkanlah
untuk pemekaran. Silahkan dimekarkan kampung menjadi nagari yang posisinya
memanjang, akses jalannya melewati nagari lain/ jalan sulit dan tak kuat
lagi pertalian asal usulnya dibuktikan tidak ada keharusan secara eksplisit
masyarakatnya bermamak berkapanakan kepada nagari induknya dalam berbagai
pelayanan ulayat dan putus pelayanannya pada paruik, jurai dan suku di
kampungnya itu. Artinya kampung itu dulu dimaksudkan menjadi wilayah baru
menjadi nagari, tapi terbengkalai menjadi nagari, karena faktor hambatan kurang
jumlah kampung dan jumlah suku.
Lebih penting lagi, disarankan melahirkan perda mengakomodasikan nilai adat, dengan proses memutuskan dan mengusulkan struktur pemerintahan terendah itu adalah kampung bukan nagari. Kalau mesti nagari juga, hindari kebijakan publik terperosok ke kancah blaming the victims (ketidakadilan sosial), sebab lahir/ diundangkannya sebuah kebijakan, pertanyaan penting yang muncul: “siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan”. Hindari Perda membuat tak berdaya kelembagaan adat. Perda nagari yang ada terasa memarjinalkan dan merugikan adat, kelembagaannya dibuat tak berdaya contohnya KAN disamabesarkan dengan 4 lembaga nagari termasuk dengan lembaga pemuda (kapanakan) di nagari. Perlu dijelaskan dalam adat, semua unsur di nagari (wali nagari, ketua Bamus, ketua LPM, ulama, bundo kandung, cadiak pandai, tentara, polisi, pns, anggota DPR/D dan semua fungsi dalam negara dan masyarakat termasuk datuk/ penghulu sendiri sebagai ketua ninik mamak, adalah kalau sudah “gadang” pasti berfungsi mamak, kalau masih “ketek” pasti “anak” atau “kapanakan”.
Kalau disamakan KAN misalnya dengan organisasi pemuda di nagari, berarti memberi peluang pada anak kapanakan melanggar hukum adat yakni mandago mamak. Bacalah konflik pemilihan Bamus di nagari, KAN disamabesarkan dan terjebak bersaing dengan organisasi anak kapanakan (pemuda) dalam pemilihan Bamus atau caleg di nagarinya, akibatnya fatal, kepanakan tega memarjinalkan peran mamaknya dalam persaingan kepentingan sesaat itu. Tapi kalau pemimpin KAN-nya tahu dengan besarnya lalu dibuktikannya, KAN tak punya nama calon di kantongnya dan mengakomodasikan apa yang diusulkan dari 4 unsur di nagari: AU, BK, CP dan Pemuda lalu dikoordinasikannya, pasti aman dan KAN tetap besar. Yang susahnya saling merasa besar, kata pemuda lembaganya besar dan KAN tak sadar pula dengan posisi besarnya dan bersaing dengan lembaga 4 unsur lainnya di nagari yang sebenarnya mamak atau kapanakannya juga, berakibatnya gawat, kapanakan (pemuda) akan terperosok mandago mamak (KAN). Kalau KAN menjatuhkan posisinya sama dengan pemuda (kapanakan) lalu terjebak persaingan politik, dalam politik praktis seperti yang ditemukan secara empiris oleh Machiavelli, sah-sah saja saling menjatuhkan, meski kapanakan menjatuhkan mamak. Tetapi dalam etika politik Minangkabau tidak dibenarkan, fenomena itu mendago (mendaga) mamak, melanggar hukum adat. Demo saja tidak pernah ada berakar pada budaya Minangkabau. Siapa saja yang penyaluran aspirasi dengan tekanan demo, dari perspektif Minangkabau, ketika demo itu mereka keluar dari etika tak menjadi orang Minangkabau. Sebab di Minangkabau, tidak baik meneriakan malu kepada orang, ajaran nilai adat: suku tak dapek diasak, malu tak dapek diagiahkan.
Penyelesaian
sengketa/ kasus di Minangkabau bertingkat dalam mekanisme informal adat, kasus privat
diselesaikan mamak rumah/ paruik, penghulu andiko (mamak tertua di paruik),
mamak jurai, mamak suku dan penghulu suku. Kasus komuninal diselesaikan
tuo kampung (penghulu memimpin kampung yang dipilih dari penghulu andiko),
mamak nagari dan KAN. Diyakini di Minangkabau,
tak ada kasus yang tidak bias selesai: tak ado kusuik tak akan salasai/ tak
ado karuh nan tak kajaniah. Kalau tak jernih juga, masih ada tingkat
mekanisme formal dengan hukum formal mulai dari peradilan pemerintahan nagari
dengan penegak hukumnya polisi dan peradilan negeri. Karenanya perankanlah
ninik mamak dan berdayakan kelembagaan adat dengan akomodasikan perda (sekarang
di samping Bamus, diakui atau tidak KAN masih berpeluang menjadi lembaga
yudikatif, menyelesaikan sengketa adat/ nagari dalam mekanisme informal adat).
Kalau ninik mamak dan lembabaganya berperan, tidak bakal mau lagi lelaki dewasa
Minangkabau (dalam semua fungsinya di pemerintah, masyarakat/ adat dan di
swasta di kampung dan di rantau) yang meragukan peran ninik mamak. Karena sikap
itu berarti laki-laki dewasa Minangkabau
itu sudah tak jelas lagi status kelaki-lakiannya di Minangkabau, berarti ia
sudah menggugat perannya sendiri sebagai lelaki Minangkabau, karena ia sendiri
lelaki, kalau sudah dewasa ia adalah mamak, meskipun tidak datuk. Tegasnya Datuk/
Penghulu itu ialah ketua Ninik Mamak dipilih ninik mamak kaumnya dan forum
persidangan ninik mamak kaumnya, kemudian dibawa ke nagari untuk duduk sama
rendah dan tegak sama tinggi (dalam kelarasan bodi caniago) lalu berhimpun di
KAN sebagai lembaga kerapatan/ musaywarah adat yang punya historis panjang dan
penting di nagari-nagari Minangkabaukabau.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar