Rabu, 03 Maret 2021

Nenek-nenek Pelanjut Tradisi “Sagalo Bagandang”

OLEH Yusriwal

Jorong Galogandang masih berselimut kabut, sisa embun yang turun setiap malam, masih terlihat sebagai bintik-bintik bening di dedaunan dan rerumputan. Mentari tidak memperlihatkan wajahnya yang garang, bersembunyi di balik bukit yang mengitari Jorong Galogandang. Jangan berharap dapat melihat matahari pagi di sini. Di samping terhalang oleh perbukitan di utara, kabut dan embun pagi tidak memberi ruang pemandangan kepada siapa pun untuk dapat mengintip matahari pagi. Suasana seperti ini cukup memberikan hawa dingin.

Jorong Galogandang terletak di lereng Gunung Sago, di bagian utara, dalam Kanagarian Andaleh, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluah Koto. Letaknya lebih kurang 15 km dari Kota Payakumbuh arah ke timur. Sebelah utaranya terdapat hamparan bukit-bukit, sehingga Galogandang seperti terkurung.

Kata “Galogandang” berasal dari kata “sagalo bagandang” disebabkan oleh cara membuat gerabah dengan memukul-mukul tanah liat, seperti orang memukul gendang.

Dalam sergapan suasana pagi, jalan-jalan jorong sudah mulai ditapaki para petani menuju sawah atau empang mereka dan perempuan-perempuan tua yang pulang dari masjid atau surau. Salah seorang di antara mereka adalah Nurhayati (barangkali lebih tepat disebut Nek Nurhayati). Usianya 68 tahun.

Garis-garis di wajah, lipatan-lipatan kulit di lengan dan betisnya yang tidak tertutup kain, seolah bercerita kalau pemiliknya sudah cukup lama menapak hidup dan sudah kenyang dengan asam garamnya kehidupan. Dengan linggis di tangan kanan dan buntalan karung di tangan kiri, tanpa alas kaki, Nek Nurhayati menapaki jalan jorong menuju sawah, tempat mengambil locah (tanah liat).

Nek Nurhayati mulai menggali kira-kira setengah meter dari tanah sawah paling atas, sampai locah didapat. Setelah locah dimasukkan ke dalam 3 atau 4 karung, Nek Nurhayati harus bolak balik 3 atau 4 kali menelusuri jalan jorong dengan sekarung locah di pundak, menuju rumahnya, untuk mengangkut 3 atau 4 karung locah yang sudah diambil. Jarak antara rumah dan tempat mengambil locah kira-kira 2 km. 

Sesampai di rumah, setelah semua locah terkumpul, Nek Nurhayati mencampurnya dengan pasir halus sampai menjadi adonan yang siap dibentuk menjadi gerabah. Membuat gerabah dilakukan dari Senin sampai Jumat. Sepanjang Sabtu sampai malam Minggu, semua gerabah yang sudah dibentuk dibakar untuk dipasarkan hari Minggu. Begitulah kegiatan keseharian Nek Nurhayati dan 6 nenek-nenek lainnya di Galogandang.

Gerabah yang dihasilkan oleh nenek-nenek di Galogandang berupa: pot bunga, celengan berbentuk manggis dan pepaya, periuk yang biasa digunakan untuk tempat ari-ari (tembuni atau plasenta) yang kemudian ditanam atau dilarungkan. Produk mereka tidak hanya terbatas pada ketiga jenis di atas, namun mereka tidak mau membuat yang lain karena tidak ada permintaan. Dulu, mereka pernah membuat guci, vas bunga, asbak dengan berbagai motif buah-buahan dan binatang, tapi tidak laku di pasaran. 

Dari segi kemampuan teknis, tidak diragukan. Maklum, mereka sudah memiliki ‘jam terbang’ yang lebih, rata-rata sudah bekerja di atas 50 tahun. Nek Nurhayati misalnya, sudah membuat gerabah sejak usia 15 tahun, sedangkan usianya sekarang 68 tahun. Begitu juga dengan Nek Radias (biasa dipanggil Mak Abiang), mulai membuat gerabah sejak kelas 4 Sekolah Rakyat, usianya sekarang 65 tahun. Nenek-nenek ini sudah sangat terampil. Untuk membuat bentuk bulat, dilakukan dengan menaruh batu bundar sebesar tinju pada tempat yang diperkirakan akan menjadi bagian dalam dan sebelah luarnya dipukul menggunakan kayu pipih. Tidak sampai lima menit, sudah jadi bentuk bola yang kedua kutupnya masih bolong. Kalau akan dijadikan periuk tinggal menambal kutub bagian bawah dan menambah bibir berbentuk lingkaran pada bagian atas. Itu mereka lakukan sambil bercakap-cakap.

Feelling mereka sangat tajam,” bisik Adirozal, salah seorang dosen pada Jurusan Kriya, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang (kini ISI-ed), yang juga salah seorang peneliti dan pemerhati gerabah.

“Untuk membuat bulatan seperti itu, seniman gerabah sekalipun biasanya menggunakan alat putar,” lanjutnya.

Begitulah rutinitas yang dijalani nenek-nenek Galogandang, dari hari ke hari, minggu ke minggu, tahun ke tahun. Berbilang tahun, sudah lebih dari lima puluh tahun mereka sebagai pengrajin gerabah, namun nasib mereka tidak pernah berubah. Persoalannya adalah pada harga jual yang terlalu murah. Jika mereka sampai sekarang tetap bertahan dengan kerajinan gerabah, lebih disebabkan ingin mempertahankan tradisi yang sudah lama mereka geluti dan merupakan ciri khas Jorong Galogandang. Setidaknya, begitulah yang mereka yakini sampai sekarang. Galogandang bukanlah Galogandang kalau tidak menghasilkan gerabah.

Galogandang Penghasil Gerabah

Jorong Galogandang mungkin termasuk salah satu jorong tua di Sumatera  Barat (Minangkabau) karena di dalam Kaba Cindua Mato (kisah yang bercerita tentang Kerajaan Pagaruyung di bawah kepemimpinan Bundo Kanduang) disebutkan bahwa Cindua Mato pernah mengunjungi jorong ini dan salat di salah satu surau yang terdapat Galogandang. Artinya, jorong ini sudah dikenal pada zaman Bundo Kanduang berkuasa.

Nama Galogandang berasal dari kata “sagalo bagandang” (segala bergendang). Pemberian nama demikian berkaitan dengan proses pembuatan gerabah di sana yang dilakukan dengan cara memukul-memukul tanah liat yang akan dibentuk. Karena semua penduduk Galogandang pada awalnya adalah pembuat gerabah, di mana-mana orang memukul-memukul tanah liat, nama Galogandang identik dengan suara gendang pembuat gerabah. Jika di jorong ini tidak ada lagi orang yeng membuat gerabah, jorong ini akan berganti nama menjadi Galolagang dari kata sagalo langang (segala lengang).

Oleh sebab itulah, nenek-nenek yang seharusnya sudah memasuki masa pensiun, masih tetap bertahan membuat gerabah. Jadi, kalau pun mereka membuat gerabah sampai sekarang bukan semata untuk mendapatkan penghasilan, namun lebih disebabkan oleh ikatan batin sebagai orang Galogandang yang identik dengan gerabah. Tanpa gerabah Galogandang akan hilang. Itu adalah keyakinan yang meresap dan mereka sangat sadar akan hal itu.

Jorong Galogandang termasuk ke dalam kanagarian Andaleh. Di sebelah bawah Andaleh terdapat Kanagarian Mungo. Agak ke atas, mendekati pinggang Gunung Sago terdapat Jorong Biaro. Ketiga daerah tersebut, secara historis mempunyai keterkaitan yang erat. Masyarakat di sana percaya bahwa mereka sama berasal dari Pariangan. Sebuah daerah yang dianggap sebagai daerah tertua dan tempat menetap pertama orang Minangkabau.

Menurut cerita, nenek moyang yang berasal dari Pariangan tersebut setelah sampai di satu tempat menanam sebatang pohon yaitu pohon andaleh. Wilayah di sekitar tempat menanam pohon andaleh tersebut dinamai Dusun Andaleh. Pohon tersebut menjadi besar, ketika berbunga karena ditiup angin yang berhembus dari Gunung Sago, bunga bertebaran sanpai ke daerah yang berada di bawahnya. Daerah tempat sebaran bunga andaleh tersebut mereka namai dengan dusun Mungo (berasal dari kata ‘bungo’). Dengan perjalanan waktu, penduduk di kedua daerah ini bertambah banyak, dusun berkembang menjadi nagari, maka terbentuklah Nagari Andaleh dan Nagari Mongo.

Nama Biaro agaknya berasal dari kata vihara. Perubahan dari vihara menjadi “biaro”, secara lingusitis dapat dijelaskan sebagai berikut.Dalam bahasa Melayu, vihara berubah menjadi ‘biara’ dan dalam bahasa Minangkabau berubah menjadi ‘biaro’.

Diperkirakan, di jorong Biaro, dulunya terdapat sebuah vihara atau biaro. Sebagai tempat peribadatan, biaro membutuhkan barang-barang dari gerabah yang digunakan untuk upacara keagamaan maupun untuk keperluan sehari-hari. Karena di Jorong Biaro tidak terdapat tanah liat yang digunakan sebagai bahan dasar gerabah, dicarilah di tempat lain. Kebetulan di Kanagarian Andaleh ada suatu tempat yang mempunyai tanah liat yang bagus. Sejak itu mulailah gerabah dikerjakan di tempat tersebut, yang pembuatannya dilakukan dengan memukul-mukul. Sejak itu pula, tempat pembuatan gerabah tersebut dinamakan Galogandang. 

Nasib Gerabah

Secara kualitas, gerabah produksi nenek dari Galongandang, dapat bersaing dengan gerabah dari tempat lain. Buktinya, gerabah ini mendapat pasar yang baik di Batam, Singapura, Malaysia, dan India. Mutu bahan bakunya pun bagus, tidak kalah dengan tanah liat di Kasongan, Yogyakarta. Salah seorang tamatan D3 ITB yang pernah melakukan penelitian di Galogandang dan sekarang menjadi mantu salah satu keluarga di sini, menyatakan bahwa tanah liat Galogandang lebih baik mutunya dibanding tempat lain. Hal itu dapat pula dibuktikan dengan proses pembakaran. Hanya dengan pembakaran bersuhu rendah tanah liat Galogandang menghasilkan gerabah yang cukup baik.

Namun, kualitas yang baik tidak diikuti oleh harga yang baik pula. Sebuah periuk, celengan, atau pot bunga hanya dihargai oleh pedagang pengumpul senilai Rp600 (enam ratus rupiah). Jika dalam seminggu masing-masing mereka dapat menghasilkan 300 buah gerabah, berarti setiap mereka hanya berpenghasilan Rp180.000 per minggu. Padahal sesampai di Batam, Singapura, Malaysia, dan India harganya jauh tinggi. Di Batam, sebuah periuk yang digunakan untuk tempat ari-ari tersebut harganya bisa mencapai Rp150.000.

Persoalan sebenarnya adalah pada manajemen produksi dan pemasaran. Gerabah dari Galogandang yang dijual di Batam, Singapura, Malaysia, dan India, tidak dijual seperti aslinya. Sesampai di tempat tujuan, sebelum dijual, semua gerabah diberi warna dan motif tertentu. Untuk periuk ari-ari, jika ada pesanan agar di periuk dituliskan nama pemilik ari-ari, penjual akan mengerjakannya. Jadi, yang membuat nilai tambah adalah warna dan motif. Tidak usah jauh-jauh, di Bukittinggi, celengan asal Galogandang dijual seharga Rp5.000 setelah diberi warna dan motif.

Kalau dicermati lebih jauh, modal memberi warna dan motif untuk satu periuk, celengan, dan pot, mungkin tidak lebih dari Rp1.000. Berarti, jika dicat dan diberi motif langsung oleh pengrajin, modalnya hanya Rp1.600 dan mungkin dapat dijual Rp2.500-Rp3.000. Pengrajin mendapat tambahan penghasilan sekitar Rp1.100-Rp1.400. Jika masing-masing pengrajin dapat menyelesaikan 300 gerabah per minggu, mereka akan mendapat tambahan penghasilan sebesar 300 x Rp1.100Rp1.400, yaitu Rp330.000-Rp420.000 per minggu. Penghasilan masing-masing mereka keseluruhan dalam satu minggu akan menjadi Rp180.000 ditambah Rp330.000 atau Rp420.000, yaitu sebesar Rp 510.000-Rp600.000.

Tatapi kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu. Selain tidak punya modal untuk membeli pewarna, mereka tidak mempunyai keahlian dalam membuat motif yang bagus untuk gerabah. Membuat gerabah tidak memerlukan modal. Semua bahan disediakan oleh alam. Asal memiliki keterampilan, kemauan, dan punya waktu untuk mengerjakan, jadilah keramik seperti yang mereka produksi saat ini.

Siapa yang tidak ingin maju? Mereka menunggu uluran tangan dari siapa pun, yang mempunyai perhatian terhadap keadaan mereka. *

 

Sumber: Majalah Analisis dan Pemikiran SAGA, Nomor 2 Juli 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...