Bagian 4 dari 5 Tulisan
OLEH Yulizal Yunus Datuak Rajo Bagindo
Nagari ketika berubah menjadi Desa tidak terpecah malah kukuh menjadi satu kesatuan wilayah adat. Ironisnya ketika kembali ke nagari sebagai sistem pelaksanaan otonomi daerah di Sumatera Barat justru nagari pecah dengan bahasa lainnya pemekaran atau pembuatan nagari tampa lahan baru dan pendistribusian suku.
Hanya
saja yang dapat dicatata ketika sistem pemerintahan desa, masyarakat adapt
nagari nyaris janji orang Minangkabau menjadi usang malah lupa. Janji itu
“syarak mangato adat mamakai” implementasi falasafah “Adat
Basandi Syarak Basandi Kitabullah” (ABS-SBK). Ketika itu tak cukup Perda Sumatera Barat
No.13/1983 menguatkan apalagi memenuhinya. Apakah otonomi daerah di Sumatera
Barat sekarang dengan sistem “kembali ke Nagari berbasis Surau” sebagai
implementasi UU No.22/ 1999 dan Perda Sumatera Barat No.9/ 2000 mampu mengisi
janji itu?. Malah justru nagari yang terbelah, karenanya diperlukan menggali
kearifan local dalam penguatan sistem pemerintahan nagari sekarang dengan
memfungsikan kelembagaan musyawarah nagari setangkup dengan kelembagaan
pemerintahan nagari.
Pemerintahan
nagari pada era pemerintahan desa merupakan pelaksanaan mengkombinasikan
paradigma kebijakan pemerintah yang bersumber UU 5/1979 diisi dengan Perda
Sumbar No.13/ 1983. Nagari pada era pemerintahan desa ini dapat digambarkan:
·
Nagari
tetap wilayah adat, pemerintahan desa setingakt jorong/ kampung di nagari.
·
Desa wilayah adm pemerintah terendah dalam NKRI
(perspektif politik)
·
Nagari menjadi ideal: lembaga persekutuan hukum adat
(perspektif subkultur)
·
KAN (Kerapatan Adat Nagari) dihormati tertinggi di nagari
berfungsi legislatif (lembaga demokrasi tempat bermusyawarah) dan yudikatif
(peradilan). Struktur (1) KAN di Nagari, (2) Tepatan KAN di tingkat desa
setingkat jorong/ kampong dan (3) penghulu kaum. Keanggotaan KAN 4 unsur: NM,
AU, CP, BK.
·
Kades diangkat pemerintah dan diberi honor.
·
Struktur: (1) Kades di tingkat Jorong/ Kampung, (2)
Penghulu Kaum dan (3) Rakyat.
Berbeda dengan nagari pasca Tahun 1999 (era reformasi
sekarang), di tengah arus kuat kembali ke nagari, tetapi justru nagari semakin
kehilangan identitas, bahkan semakin memperjarak ketidaksetangkupan sistem adat
dan sistem pemerintahan. Nagari, bahkan kemudian diobok-obok, dengan alasan
memudahkan pelayanan publik, nagari dimekarkan (bahasa lain bahasa terbelah dan
pecah), kalau tidak diwaspadai bisa menimbulkan kerusakan pada subkultur Minangkabau
yang diaplikasikan sistem adat budaya di nagari. Karena dengan terpecahnya
nagari, dimungkinkan/ berpotensi munculnya lembaga adat seperti KAN tandingan
di nagari yang pada gilirannya menimbulkan instabiliti dan menggoyahkan
ketahanan nagari dari perspektif masyarakat adat.
Aplikasi pemerintahan nagarai di era reformasi, mengacu
kepada sistem otonomi daerah yang terus mengalami perubahan baik kebijakan
maupun sistem. Secara umum di era ini sistem nagari dapat digambarkan sbb.:
1.
Nagari
dalam Pelakasnaan UU No. 22/1999 dioperasionalkan Perda 9/2000) dapat
digambarkan:
·
Otoda: sistem kembali ke nagari, nagari ganti
mantel desa
·
Otonomi setengah hati
·
Nagari disetingkatkan desa di provinsi lain di Indonesia,
akibatkan nagari terancam dipecah istilah politik pemekaran
dengan berbagai motivasi dan pardigma.
·
Struktur: (1) Wali Nagari (bertanggung jawab ke Bupati),
otonom seperti raja kecil, (2) Kepala Kampung (nama di tempat lain juga ada
Kepala Jorong), (3) Rakyat.
·
KAN pasilitasi kembali ke nagari dan pasilitasi
pembentukan DPN dan BMAS. Wali Nagari dipilih rakyat dilakukan dalam event
Pilwana dibentuk DPN, Wali Nagari terpilih dilatintik Bupati dalam siding pleno
DPN.
·
KAN masih dieksplisitkan tetapi kehilangan peran: sebab
(1) dualisme dengan BMAS yang memicu konflik nagari. Artinya fungsi legislatif
dan yudikatif KAN hilang. Apa mungkin KAN dan BMAS sebagai parelemen dua kamar
seperti Australia (majelis tinggi dan majelis rendah) juga belum
teridentifikasi, (2) menyamakan posisi KAN dengan lembaga unsur ulama, bundo
kandung, cadiak pandai dan pemuda, yang mengakibatkan posisinya dijatuhkan dan
tidak dihormati dalam pertarungan politik. Seharusnya KAN itu di dalamnya semua
unsur itu. Kalau pemilihan DPN dan BMAS, calon KAN justru yang dicalonkan 4
unsur lainnya itu.
2.
Nagari mengacu UU 32/2004+ UU
8/2005 + Perda Sumbar No.2/2007)
·
Keadaan tidak berubah, malah pemekaran nagari makin
memasuki kancah pro kontra
·
Kalau sebelumnya KAN kabur dengan DPN dan BMAS, sekarang
dikaburkan dengan Bamus (Badan Musyawarah Nagari) dan disejajarkan dengan
kelembagaan pemuda, alim ulama, Bundo Kandung dan Cadiak Pandai, berakibat
banyak memicu konflik dalam pemilihan Bamus bahkan pemuda (kapanakan) terjadi mandago
mamak/ melawan hokum adat.
·
Komitment nagari sebagai subkultur semakin kabur dan
mempercarak ketidaksetangkupan sistem adat dan sistem pemerintahan nagari.
Mencermati perjalan sejarah sistem pemerintahan nagari,
terlihat dua bentuk sistem. Pertama pemerintahan nagari perspektif kenegaraan
setangkup dengan pemerintahan adat, kedua pengaburan pernan kelembagaan adat
dalam pemerintahan nagari.
Pemerintahan nagari setangkup dengan adat, terlihat
dieksplisitkan kelembagaan adat yakni KN kemudian KAN dan jelas pendistribusian
kekuasaannya. Ada 6 periode sistem pemerintahan yang secara ekplisit memerankan
KN/ KAN, (a) peran ganda legislatif dan yudikatif yakni (1) era pemerintahan
nagari tradisi (masa Dt. Katumanggunan dan (2) era Dt. Perpatih nan Sabatang)
dan (3) era pemerintahan desa (UU 5/1979 + Perda 13/ 1983), (b) peran
legislatif saja pada era pemerintahan nagari ABS-SBK pasca perjanjian Marapalam
(771 H) dan era pelaksanaan Stb 774/1914 – Stb 667/ 1918,(c) kabur peran
kelembagaan KAN yang dieksplisitkan di era Otoda “kembali ke nagari”
pelaksanaan UU 22/ 1999 + Perda Sumbar 9/ 2000 karena legislatif diadakan DPN
dan yudikatif diadakan BMAS; (d) peluang berperan yudikatif, karena Bamus
diperankan sebagai legislatif di era pemerintahan nagari sekarang pelaksanaan
UU 32/2004 + UU 8/2005 + Perda 2/2007.
Pemerintahan nagari yang tidak setangkup dengan adat dan
kelembagaan KN tidak dieksplisitkan yakni era (1) sistem ditawarkan ulama Islam
dan adat inplisit dinyatakan Kapalo
Nagari terbitkan adat salingka nagari, (2) era revolusi – orla KN diganti DPN
sebagai legislatif dan Peradilan sebagai Yudikatif, (3) era Sumatera Tengah KN
diganti DPRW sebagai legislatif dan Peradilan sebagai Yudikatif, (4) era
Peperda o2.462.1963 + SK Gub 32/Desa/GSB/59 tidak ada KN diganti BMN bawahan
Muspika Kecamatan terasa intervensi militer, (5) Orla SK Gub 32/GSB/59 KN
dengan BMN dan BMN diganti DPRN bawahan dari Muspika dan era Orba SK.Gub 15/GSB/68 sama DPRN
bawahan Muspika. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar