OLEH Nasrul Azwar
KABAR duka menghinggapi dunia seni pertunjukan tradisi Minangkabau. Salah seorang maestro seni dendang saluang, Sawir Sutan Mudo, meninggal dunia dalam usia 78 tahun di rumahnya di Aua Tajungkang, Tangah Sawah, Guguk Panjang, Bukittinggi, Selasa 9 Juni 2020, pukul 06.00 karena usia lanjut.
Salah seorang kerabat istri almarhum, Nurlis mengatakan, Sawir Sutan Mudo meninggal di kediamannya di Aua Tajungkang, Tangah Sawah, Bukittinggi, pukul 06.00, Selasa ini.
“Ya, Mak Sawir Sutan Mudo
meninggal dunia pagi tadi, pukul 06.00 di kediamannya di Bukittinggi.
Sawir merupakan sumando rang Kunto Koto Malintang, Nagari Koto Tangah, Tilatag
Kamang, Agam. Istrinya Syakni Deliyarti, urang Kunto. Hari ini
dikebumikan di Kunto Koto Malintang di pandam pekuburan kaum Sikumbang Datuak
Parpatiah,” kata Nurlis, kepada sumbarsatu, Selasa 9 Juni 2020.
Edy Utama, pendiri Kelompok
Musik Talago Buni, mengaku kehilangan salah seorang maestro pendendang saluang
seni tradisi Minangkabau. Sawir Sutan Mudo salah seorang anggota Talago Buni
yang dua dekade terakhir telah melanglang buana di pelbagai festival musik
dunia,
“Sebuah “mata air” sastra
lisan pantun Minangkabau telah hilang. Tahun 1999, Mak Sawir bergabung dengan
Talago Buni untuk sebuah tur musik Talago Buni di Jerman. Mak Sawir
sangat piawai membuat pantun spontan ketika pertunjukan saluang dendang sedang
berlangsung. Beliau telah menciptakan sejumlah lagu untuk saluang
dendang. Almarhum adalah penerus tradisi budaya Minangkabau, terutama tradisi
lisan yang luar biasa. Semoga apa yang telah beliau kerjakan menjadi amal
saleh,” kata Edy Utama.
Edy Utama menjelaskan,
Sawir Sutan Mudo bergabung dengan Talago Buni sejak tahun 1999 dan menghasilkan
rekaman dalam bentuk video compact disc (VCD) yang dikerjakan selama tur di
Jerman. Pada 2001, Talago Buni melanjutkan tur musik di beberapa kota di
Prancis.
Sawir Sutan Mudo lahir di
Nagari Koto Kaciak, Tanjung Raya, Agam, pada tahun 1942. Ia menempuh pendidikan
sampai kelas IV Sekolah Rakyat. Dikaruniai 8 orang anak dan beberapa cucu.
Dalam perjalanan karier
sebagai seniman tradisi Minangkabau, Sawir Sutan Mudo telah melahirkan ribuan
pantun dendang saluang yang ia dendangkan dalam pelbagai kegiatan alek nagari,
bagurau, festival, dan acara resmi lainnya.
Mengutip narasi dari video
dokumenter maestro dendang saluang yang diproduksi Dewan Kesenian Sumatra Barat
pada tahu 2007, narasi yang ditulis Abel Tasman, Sawir Sutan Mudo mengaku tidak
dengan serta merta menjadi seorang pencipta dendang.
Ia belajar bermula dari
seorang anak randai (pemain teater tradisional Minangkabau) di Koto Kaciak,
pada usia 15 tahun. Saat itu, tugas yang diembannya adalah sebagai pendendang.
“Saya menyintai kesenian
tradisi randai dan saluang jo dendang, karena pantun-pantun atau syair-syair
dalam kesenian itu sangat menarik dan mengandung unsur pendidikan. Selain itu
saya tertantang untuk membuat pantun-pantun yang bisa membuat penikmat kesenian
tradisi itu puas dan terkesan,” kata Sawir Sutan Mudo dalam video itu.
Beberapa lagu dendang yang
diciptakan Sawir Sutan Mudo yang terkenal antara lain, “Suntiang Patah
Batikam”, “Banda Guntuang”, “Hujan Baribuik”, “Danau Mamukek”, “Talempong Anam
Koto”, Talago Biru”, “Sarasah Aia Badarun”, “Katangih Sudah Mimpi”, dan “Ratok
Kaki Limo”.
Sebagai seorang seniman
tradisi di ranah ini, ia menyimpan keprihatinan mendalam akan kondisi kekinian
kebudayaan, adat, dan tradisi Minangkabau. Ia menilai, Minangkabau dalam
pengertian luas mengalami kemerosotan luar biasa. Kekhawatirannya itu terungkap
lewat sampiran penuh peringatan; “Jaan sampai rusak kapa dek nangkhododoh,
binaso kayu dek tukang, rusak adat dek pangulu, jalan dialiah dek urang lalu.
(Jangan sampai rusak kapal disebabkan oleh nakhoda, hancur kayu karena tukang,
rusak adat karena penghulu, jalan digeser orang lewat).
Sebagai seorang pendendang,
Sawir pun resah dengan lagu-lagu dendang yang ada saat ini.
“Dendang saat ini telah
dirusak oleh lirik-lirik yang berbau pornografi yang semata-mata hanya mengedepankan
hiburan semata, namun terperangkap dalam selera rendahan. Lagu-lagu dengan
judul Kutang Barendo, Rok Baremot dan sejenisnya adalah ekspresi dari makin
merosotnya daya cipta seniman Minangkabau saat ini,” urai Sawir.
Kedua orangtua Sawir adalah
petani. Ibunya bernama Siti Saleah dan ayahnya Muhammad Isa. Sawir telah
ditinggal kedua orang tuanya sejak ia masih kanak-kanak. Ibunya meninggal dunia
tak lama setelah ia lahir. Sedangkan ayahnya berpulang ke rahmatullah saat
Sawir berusia enam tahun.
Bakat Sawir sebagai
pendendang sudah terasah sejak masih kanak-kanak. Ia bergabung dengan grup
randai yang ada di kampungnya sebagai penyanyi randai. Sejak itu pula Sawir
belajar pada seorang seniman alam bernama Angku Katik; ”Baguru mangko pandai
(berguru makanya pandai),” ungkap Sawir tentang proses belajar yang ia lalui.
Sawir Sutan Mudo tak
menolak mentah-mentah kesenian Minang kontemporer yang mencoba berkompromi
dengan arus budaya populer. Namun ia berharap, jangan terlalu jauh menyimpang.
“Etika dan prinsip-prinsip
adat dan budaya Minang mestinya tetap dijaga. Kalau tidak orang Minang sendiri
yang menjaganya, kesenian tradisi Minang akan musnah ditelan zaman yang makin
lama makin dikendalikan uang,” katanya.
Kesenian Minangkabau dalam
hal ini dendang, menurut Sawir punya bahasa tersendiri untuk menyampaikan
pesan. Dendang tak hanya berisikan kepiluan dan problem batin yang dialami
seseorang, masyarakat maupun etnik Minangkabau, tapi dendang juga punya idiom
dan bahasa tersendiri yang mengisahkan romantika asmara dan gejolak perasaan
yang dialami anak muda.
Bahasa dendang amat indah,
halus dan penuh dengan irama. Jauh dari kata-kata vulgar, kasar dan nuansa
pornografi yang menunjukkan kerendahan. Dendang juga punya ruang untuk
mengekspresikan kegembiraan yang biasa disebut bagurau. Dalam bagurau, ekspresi
keriangan, kelucuan dan kejenakaan disajikan, namun tetap dengan bahasa yang
santun, indah dan berpijak pada estetika yang kuat.
Baginya, dendang tak
ditentukan oleh kemerduan suara sang pendendang, tapi lebih ditentukan oleh
pemahaman yang kuat seorang pendendang tentang adat, budaya, agama dan
persoalan yang terjadi di tengah masyarakat yang kemudian disampaikan melalui
lirik dan irama dendang dengan penuh perasaan dan imajinasi yang amat tinggi.
“Dendang juga merupakan
tangisan seorang pendendang. Dalam konteks ini, seorang pendendang adalah
seorang cerdik cendikia atau intelektual yang mencoba mengingatkan masyarakat
dan lingkungannya,” terang Sawir Sutan Mudo, yang lima tahun terakhir ia lebih
banyak berjualan pakain bekas di Kota Bukittinggi dan Nagari Koto Kaciak setiap
hari pekan. Karena keterbatasan usia dan fisik, lima tahun terakhir itu Sawir
tak begitu banyak tampil sebagai pendendang.
Untuk itulah, bagi Sawir
seni tradisi harus tetap digali, dikembangkan, dipelahara dan diwariskan pada
generasi berikutnya. Adalah omong kosong, slogan baliak ka nagari, adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah terus digaungkan, tapi budaya dan seni
tradisi diabaikan.
Lembaga dan penanggung
jawab kesenian harus membantu, mendorong dan memfasilitasi perkembangan
kesenian tradisi. Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang bertanggung
jawab dalam bidang kesenian dan kebudayaan mesti diisi orang-orang yang
memunyai kompetensi yang memadai di bidang ini. Hampir tak bisa diharapkapkan,
seni dan budaya tradisi akan berjaya jika tetap dipimpin orang-orang yang salah
tempat dan tak memiliki tanggung jawab.
Selamat jalan Mak Sawir.
Sumber: sumbarsatu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar