Kamis, 18 Februari 2021

Sopan, Jalur Sejarah yang Merana

OLEH Yusriwal

SETIAP Minggu, di belakang pasar tradisional Kuamang—sebuah daerah yang jaraknya kira-kira 15 km sebelah timur Rao, Pasaman—dapat dilihat pemandangan yang sudah tidak biasa untuk saat ini. Ada sebuah rumah khusus yang berfungsi sebagai penginapan, tempat makan dan minum, yang di belakangnya ditambatkan sekitar 30 ekor kudo baban. Sepintas, suasana seperti itu mengingatkan kita akan suatu tempat dalam film-film koboi Amerika.

Orang yang menginap, makan, dan minum di rumah khusus tersebut adalah pemilik kudo baban tersebut, dan dipastikan mereka bukan penduduk Kuamang. Mereka berasal dari Sopan. Sopan merupakan daerah yang terletak di sebuah puncak bukit, yang masih dalam gugusan Bukit Barisan, sebelah timur Kuamang. Dari Kuamang ke Sopan, dengan berjalan kaki dapat ditempuh dalam waktu 3 jam. Tidak ada kendaraan. Untuk angkutan barang sampai saat ini masih digunakan kudo baban.

Setiap Sabtu, para “koboi” tersebut turun dari Sopan dengan kafilah kudo baban menuju Kuamang, membawa hasil bumi yang laku dijual, seperti karet, gambir, dan minyak nilam. Sampai di Kuamang, mereka menginap di sebuah rumah yang memang telah disediakn khusus oleh beberapa penduduk Kuamang. Hasil bumi yang dibawa kadang milik mereka, kadang milik orang lain, yang akan dijual di pasar Kuamang, hari Minggu. Kalau barang yang dibawa tersebut bukan miliknya, pagi Minggu mereka akan kembali ke Sopan membawa barang milik orang lain atau padagang. Artinya, mereka hanya penyedia jasa angkutan. Mereka yang membawa barang milik sendiri, terlebih dahulu menunggu barang terjual untuk mengganti dengan barang kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, dan kebutuhan pokok lainnya, serta berangkat kembali ke Sopan Senin pagi.

Kebanyakan dari mereka adalah penyedia jasa angkutan. Upah 1 kg barang dari Sopan ke Kuamang atau sebaliknya Rp 500. Satu kudo baban dapat membawa barang sebanyak 75-80 kg. Sekali jalan (dari Sopan ke Kuamang atau sebaliknya) mereka mendapat upah Rp37.500-Rp40.000. Dalam satu minggu, mereka dapat melakukan sekali perjalan Sopan-Kuamang pulang pergi. Artinya, dalam seminggu minimal mereka menerima upah 2 x Rp37.500, yaitu Rp75.000. Jika dalam sebulan, mereka dapat melakukan perjalan 4 kali, total upah dalam sebulan adalah Rp300 ribu.

Jumlah tersebut belum dikurangi dengan biaya penginapan dan makan selama di Kuamang. Taroklah Rp60.000 sebulan (satu kali ke Kuamang Rp 15.000), pendapatan bersih dalam sebulan menjadi Rp240.000. Apakah ini layak?

Layak atau tidak sifatnya sangat relatif. Sopan yang berpenduduk lebih kurang 150 jiwa atau 30 KK, tidak dapat dikatakan daerah kaya. Bagi para “koboi” dari Sopan ini, hal itu harus mereka terima. Mereka orang-orang sederhana, lugu, dan terbiasa hidup dengan keras. “Jika sakit, kami tahan saja, namun kalau sudah tidak tahan satu-satunya tempat berobat adalah ke dukun,”  kata Abadul Wahid St. Maharajo, Walinagari Sopan, salah seorang “koboi” dari Sopan, ketika ditemui di penginapan.

Untuk sekolah pun, anak-anak harus berjalan kaki ke Kuamang. Bangunan sekolah yang sudah ada, tidak berfungsi karena tidak ada guru yang mau mengajar. Kebanyakan dari anak Sopan yang sekolah di Kuamang menetap di sana, pulang seminggu sekali atau baiaya diantar oleh orang tua mereka seminggu sekali pula.

Jalur Sejarah

Hasil bumi Sopan tidak hanya karet, gambir, dan nilam seperti yang disebut di atas. Daerah ini kaya dengan hasil hutan seperti rotan, kemenyan, dan damar, namun ketiga komoditas tersebut mempunyai harga jual yang layak. Hal itu pula yang menyebabkan masyarakat sopan mulai beralih menanam karet, gambir, dan nilam. Ketiga komoditas ini masih baru bagi bagi masyarakat Sopan, sekitar tahun 70-an.

Rotan, damar, dan kemenyan adalah komoditas yang penting pada zaman dulu. Salah satu penyebab datangnya bangsa Eropa ke Nusantara adalah untuk mendapat komoditas tersebut secara langsung. Oleh sebab itu, Sopan, dulunya diperkirakan sebuah daerah yang mempunyai peranan penting.

Sisa-sisa kemegahan Sopan maungkin dapat ditelusuri melalui jalur yang dapat dicapai dari sini. Dulu, Sopan dapat dikatakan sebagai sentral. Arah ke barat melalui Kuamang, Tapus, Beringin, sampai di Rao. Arah ke timur ada tiga daerah utama yang dapat dicapai, yaitu Pangkalan Koto Baru (Kabupaten Lima Puluh Koto), Bangkinang (Riau), dan Payakumbuh. Ketiga jalur tersebut dimulai dari Muaro Sungai Lolo (perbatasan Kabupaten Pasaman dengan Lima Puluh Koto Koto) yang jaraknya kira 7 jam perjalanan dari Sopan, arah ke Timur. Dari Sopan melalaui Rumah Batu, Batang Sikombuang, Ronah Botuang, Tobang, Rotan Gotah, Pintuae, sampai di Muaro Sungai Lolo. Di Muaro Sungai Lolo jalur ini akan bercabang: (1) melalui Patamuan, akan sampai ke Rokan, Ujung Batu, akhirnya ke Bangkinang; (2) melalui Koto Tangah, akan sampai ke Gelugur, Sialang, Muaro Peti, akhirnya samapi di Pangkalan; (3) melalui Nenan, sampai ke Mahat, Suliki, Limbonang, Danguang-Danguang, sampai di Payakumbuh.

Jalur-jalur di atas sampai sekarang masih bisa ditempuh, namun sudah tidak efektif dari segi jarak dan waktu. Dulu, menurut Wali Nagari Sopan Abdul Wahid St. Maharajo, hasil hutan (seperti damar, rotan, kemenyan) tidak dijual di Kuamang seperti sekarang, tetapi dibawa ke Bangkinang atau Payakumbuh. Menurut Minan, tertua di antara para “koboi”, pemilihan Kuamang sekarang, sebagai tempat penjualan hasil bumi, atas pertibangan jarak yang lebih dekat. Itu pun baru dilakukan setelah adanya hubungan antara Rao dengan Kuamang. Sebelumnya tidak pernah. *

Sumber: Majalah Analisis dan Pemikiran SAGA, Nomor 2 Juli 2002

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...