OLEH YusriwalSETIAP
Minggu, di belakang pasar tradisional Kuamang—sebuah daerah yang jaraknya
kira-kira 15 km sebelah timur Rao, Pasaman—dapat dilihat pemandangan yang sudah
tidak biasa untuk saat ini. Ada sebuah rumah khusus yang berfungsi sebagai
penginapan, tempat makan dan minum, yang di belakangnya ditambatkan sekitar 30
ekor kudo baban. Sepintas, suasana seperti itu mengingatkan kita akan
suatu tempat dalam film-film koboi Amerika.
Orang
yang menginap, makan, dan minum di rumah khusus tersebut adalah pemilik kudo
baban tersebut, dan dipastikan mereka bukan penduduk Kuamang. Mereka berasal
dari Sopan. Sopan merupakan daerah yang terletak di sebuah puncak bukit, yang
masih dalam gugusan Bukit Barisan, sebelah timur Kuamang. Dari Kuamang ke
Sopan, dengan berjalan kaki dapat ditempuh dalam waktu 3 jam. Tidak ada
kendaraan. Untuk angkutan barang sampai saat ini masih digunakan kudo baban.
Setiap
Sabtu, para “koboi” tersebut turun dari Sopan dengan kafilah kudo baban menuju
Kuamang, membawa hasil bumi yang laku dijual, seperti karet, gambir, dan minyak
nilam. Sampai di Kuamang, mereka menginap di sebuah rumah yang memang telah
disediakn khusus oleh beberapa penduduk Kuamang. Hasil bumi yang dibawa kadang
milik mereka, kadang milik orang lain, yang akan dijual di pasar Kuamang, hari
Minggu. Kalau barang yang dibawa tersebut bukan miliknya, pagi Minggu mereka
akan kembali ke Sopan membawa barang milik orang lain atau padagang. Artinya,
mereka hanya penyedia jasa angkutan. Mereka yang membawa barang milik sendiri,
terlebih dahulu menunggu barang terjual untuk mengganti dengan barang kebutuhan
sehari-hari seperti beras, gula, dan kebutuhan pokok lainnya, serta berangkat
kembali ke Sopan Senin pagi.
Kebanyakan
dari mereka adalah penyedia jasa angkutan. Upah 1 kg barang dari Sopan ke
Kuamang atau sebaliknya Rp 500. Satu kudo baban dapat membawa barang sebanyak
75-80 kg. Sekali jalan (dari Sopan ke Kuamang atau sebaliknya) mereka mendapat
upah Rp37.500-Rp40.000. Dalam satu minggu, mereka dapat melakukan sekali
perjalan Sopan-Kuamang pulang pergi. Artinya, dalam seminggu minimal mereka
menerima upah 2 x Rp37.500, yaitu Rp75.000. Jika dalam sebulan, mereka dapat
melakukan perjalan 4 kali, total upah dalam sebulan adalah Rp300 ribu.
Jumlah
tersebut belum dikurangi dengan biaya penginapan dan makan selama di Kuamang.
Taroklah Rp60.000 sebulan (satu kali ke Kuamang Rp 15.000), pendapatan bersih
dalam sebulan menjadi Rp240.000. Apakah ini layak?
Layak
atau tidak sifatnya sangat relatif. Sopan yang berpenduduk lebih kurang 150
jiwa atau 30 KK, tidak dapat dikatakan daerah kaya. Bagi para “koboi” dari
Sopan ini, hal itu harus mereka terima. Mereka orang-orang sederhana, lugu, dan
terbiasa hidup dengan keras. “Jika sakit, kami tahan saja, namun kalau sudah tidak
tahan satu-satunya tempat berobat adalah ke dukun,” kata Abadul Wahid St.
Maharajo, Walinagari Sopan, salah seorang “koboi” dari Sopan, ketika ditemui di
penginapan.
Untuk
sekolah pun, anak-anak harus berjalan kaki ke Kuamang. Bangunan sekolah yang sudah
ada, tidak berfungsi karena tidak ada guru yang mau mengajar. Kebanyakan dari
anak Sopan yang sekolah di Kuamang menetap di sana, pulang seminggu sekali atau
baiaya diantar oleh orang tua mereka seminggu sekali pula.
Jalur
Sejarah
Hasil
bumi Sopan tidak hanya karet, gambir, dan nilam seperti yang disebut di atas.
Daerah ini kaya dengan hasil hutan seperti rotan, kemenyan, dan damar, namun
ketiga komoditas tersebut mempunyai harga jual yang layak. Hal itu pula yang
menyebabkan masyarakat sopan mulai beralih menanam karet, gambir, dan nilam.
Ketiga komoditas ini masih baru bagi bagi masyarakat Sopan, sekitar tahun
70-an.
Rotan,
damar, dan kemenyan adalah komoditas yang penting pada zaman dulu. Salah satu
penyebab datangnya bangsa Eropa ke Nusantara adalah untuk mendapat komoditas
tersebut secara langsung. Oleh sebab itu, Sopan, dulunya diperkirakan sebuah
daerah yang mempunyai peranan penting.
Sisa-sisa
kemegahan Sopan maungkin dapat ditelusuri melalui jalur yang dapat dicapai dari
sini. Dulu, Sopan dapat dikatakan sebagai sentral. Arah ke barat melalui
Kuamang, Tapus, Beringin, sampai di Rao. Arah ke timur ada tiga daerah utama
yang dapat dicapai, yaitu Pangkalan Koto Baru (Kabupaten Lima Puluh Koto),
Bangkinang (Riau), dan Payakumbuh. Ketiga jalur tersebut dimulai dari Muaro
Sungai Lolo (perbatasan Kabupaten Pasaman dengan Lima Puluh Koto Koto) yang
jaraknya kira 7 jam perjalanan dari Sopan, arah ke Timur. Dari Sopan melalaui
Rumah Batu, Batang Sikombuang, Ronah Botuang, Tobang, Rotan Gotah, Pintuae,
sampai di Muaro Sungai Lolo. Di Muaro Sungai Lolo jalur ini akan bercabang: (1)
melalui Patamuan, akan sampai ke Rokan, Ujung Batu, akhirnya ke Bangkinang; (2)
melalui Koto Tangah, akan sampai ke Gelugur, Sialang, Muaro Peti, akhirnya
samapi di Pangkalan; (3) melalui Nenan, sampai ke Mahat, Suliki, Limbonang,
Danguang-Danguang, sampai di Payakumbuh.
Jalur-jalur
di atas sampai sekarang masih bisa ditempuh, namun sudah tidak efektif dari
segi jarak dan waktu. Dulu, menurut Wali Nagari Sopan Abdul Wahid St. Maharajo,
hasil hutan (seperti damar, rotan, kemenyan) tidak dijual di Kuamang seperti
sekarang, tetapi dibawa ke Bangkinang atau Payakumbuh. Menurut Minan, tertua di
antara para “koboi”, pemilihan Kuamang sekarang, sebagai tempat penjualan hasil
bumi, atas pertibangan jarak yang lebih dekat. Itu pun baru dilakukan setelah
adanya hubungan antara Rao dengan Kuamang. Sebelumnya tidak pernah. *
Sumber: Majalah
Analisis dan Pemikiran SAGA, Nomor 2
Juli 2002
SETIAP Minggu, di belakang pasar tradisional Kuamang—sebuah daerah yang jaraknya kira-kira 15 km sebelah timur Rao, Pasaman—dapat dilihat pemandangan yang sudah tidak biasa untuk saat ini. Ada sebuah rumah khusus yang berfungsi sebagai penginapan, tempat makan dan minum, yang di belakangnya ditambatkan sekitar 30 ekor kudo baban. Sepintas, suasana seperti itu mengingatkan kita akan suatu tempat dalam film-film koboi Amerika.
Orang yang menginap, makan, dan minum di rumah khusus tersebut adalah pemilik kudo baban tersebut, dan dipastikan mereka bukan penduduk Kuamang. Mereka berasal dari Sopan. Sopan merupakan daerah yang terletak di sebuah puncak bukit, yang masih dalam gugusan Bukit Barisan, sebelah timur Kuamang. Dari Kuamang ke Sopan, dengan berjalan kaki dapat ditempuh dalam waktu 3 jam. Tidak ada kendaraan. Untuk angkutan barang sampai saat ini masih digunakan kudo baban.
Setiap
Sabtu, para “koboi” tersebut turun dari Sopan dengan kafilah kudo baban menuju
Kuamang, membawa hasil bumi yang laku dijual, seperti karet, gambir, dan minyak
nilam. Sampai di Kuamang, mereka menginap di sebuah rumah yang memang telah
disediakn khusus oleh beberapa penduduk Kuamang. Hasil bumi yang dibawa kadang
milik mereka, kadang milik orang lain, yang akan dijual di pasar Kuamang, hari
Minggu. Kalau barang yang dibawa tersebut bukan miliknya, pagi Minggu mereka
akan kembali ke Sopan membawa barang milik orang lain atau padagang. Artinya,
mereka hanya penyedia jasa angkutan. Mereka yang membawa barang milik sendiri,
terlebih dahulu menunggu barang terjual untuk mengganti dengan barang kebutuhan
sehari-hari seperti beras, gula, dan kebutuhan pokok lainnya, serta berangkat
kembali ke Sopan Senin pagi.
Kebanyakan
dari mereka adalah penyedia jasa angkutan. Upah 1 kg barang dari Sopan ke
Kuamang atau sebaliknya Rp 500. Satu kudo baban dapat membawa barang sebanyak
75-80 kg. Sekali jalan (dari Sopan ke Kuamang atau sebaliknya) mereka mendapat
upah Rp37.500-Rp40.000. Dalam satu minggu, mereka dapat melakukan sekali
perjalan Sopan-Kuamang pulang pergi. Artinya, dalam seminggu minimal mereka
menerima upah 2 x Rp37.500, yaitu Rp75.000. Jika dalam sebulan, mereka dapat
melakukan perjalan 4 kali, total upah dalam sebulan adalah Rp300 ribu.
Jumlah
tersebut belum dikurangi dengan biaya penginapan dan makan selama di Kuamang.
Taroklah Rp60.000 sebulan (satu kali ke Kuamang Rp 15.000), pendapatan bersih
dalam sebulan menjadi Rp240.000. Apakah ini layak?
Layak
atau tidak sifatnya sangat relatif. Sopan yang berpenduduk lebih kurang 150
jiwa atau 30 KK, tidak dapat dikatakan daerah kaya. Bagi para “koboi” dari
Sopan ini, hal itu harus mereka terima. Mereka orang-orang sederhana, lugu, dan
terbiasa hidup dengan keras. “Jika sakit, kami tahan saja, namun kalau sudah tidak
tahan satu-satunya tempat berobat adalah ke dukun,” kata Abadul Wahid St.
Maharajo, Walinagari Sopan, salah seorang “koboi” dari Sopan, ketika ditemui di
penginapan.
Untuk
sekolah pun, anak-anak harus berjalan kaki ke Kuamang. Bangunan sekolah yang sudah
ada, tidak berfungsi karena tidak ada guru yang mau mengajar. Kebanyakan dari
anak Sopan yang sekolah di Kuamang menetap di sana, pulang seminggu sekali atau
baiaya diantar oleh orang tua mereka seminggu sekali pula.
Jalur
Sejarah
Hasil
bumi Sopan tidak hanya karet, gambir, dan nilam seperti yang disebut di atas.
Daerah ini kaya dengan hasil hutan seperti rotan, kemenyan, dan damar, namun
ketiga komoditas tersebut mempunyai harga jual yang layak. Hal itu pula yang
menyebabkan masyarakat sopan mulai beralih menanam karet, gambir, dan nilam.
Ketiga komoditas ini masih baru bagi bagi masyarakat Sopan, sekitar tahun
70-an.
Rotan,
damar, dan kemenyan adalah komoditas yang penting pada zaman dulu. Salah satu
penyebab datangnya bangsa Eropa ke Nusantara adalah untuk mendapat komoditas
tersebut secara langsung. Oleh sebab itu, Sopan, dulunya diperkirakan sebuah
daerah yang mempunyai peranan penting.
Sisa-sisa
kemegahan Sopan maungkin dapat ditelusuri melalui jalur yang dapat dicapai dari
sini. Dulu, Sopan dapat dikatakan sebagai sentral. Arah ke barat melalui
Kuamang, Tapus, Beringin, sampai di Rao. Arah ke timur ada tiga daerah utama
yang dapat dicapai, yaitu Pangkalan Koto Baru (Kabupaten Lima Puluh Koto),
Bangkinang (Riau), dan Payakumbuh. Ketiga jalur tersebut dimulai dari Muaro
Sungai Lolo (perbatasan Kabupaten Pasaman dengan Lima Puluh Koto Koto) yang
jaraknya kira 7 jam perjalanan dari Sopan, arah ke Timur. Dari Sopan melalaui
Rumah Batu, Batang Sikombuang, Ronah Botuang, Tobang, Rotan Gotah, Pintuae,
sampai di Muaro Sungai Lolo. Di Muaro Sungai Lolo jalur ini akan bercabang: (1)
melalui Patamuan, akan sampai ke Rokan, Ujung Batu, akhirnya ke Bangkinang; (2)
melalui Koto Tangah, akan sampai ke Gelugur, Sialang, Muaro Peti, akhirnya
samapi di Pangkalan; (3) melalui Nenan, sampai ke Mahat, Suliki, Limbonang,
Danguang-Danguang, sampai di Payakumbuh.
Jalur-jalur
di atas sampai sekarang masih bisa ditempuh, namun sudah tidak efektif dari
segi jarak dan waktu. Dulu, menurut Wali Nagari Sopan Abdul Wahid St. Maharajo,
hasil hutan (seperti damar, rotan, kemenyan) tidak dijual di Kuamang seperti
sekarang, tetapi dibawa ke Bangkinang atau Payakumbuh. Menurut Minan, tertua di
antara para “koboi”, pemilihan Kuamang sekarang, sebagai tempat penjualan hasil
bumi, atas pertibangan jarak yang lebih dekat. Itu pun baru dilakukan setelah
adanya hubungan antara Rao dengan Kuamang. Sebelumnya tidak pernah. *
Sumber: Majalah
Analisis dan Pemikiran SAGA, Nomor 2
Juli 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar