OLEH Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie
Monumen Peristiwa Situjuah. (Foto/mp Zaimul Haq Elfan Habib)
Dua puluh satu tahun yang lalu, 15 Januari 1969, mantan Gubernur Militer Sumatera Barat dan salah seorang tokoh penting PDRI hadir di Situjuh Batur. Dia adalah Mr. Sutan Moh. Rasjid yang datang bersama putranya Iwan Rasjid. Dari Padang, mantan Gubernur Militer Sumatera Barat itu diantar oleh seorang sumando Ahmad Nurdin, SH. yang waktu itu menjabat Wali Kota Sawah Lunto. Rombongan lainnya, kami bersama A.I.Dt Bandaro Panjang yang waktu itu Kepala Kantor Veteran Sumatera Barat dan kebetulan juga putra Situjuh Batur.
Kedatangan Pak Rasjid di Situjuh dielu-elukan masyarakat yang sedang memperingati HUT Peristiwa Situjuh yang ke-20. Di antara para pejabat pemerintah yang menyambutnya antara lain Bupati 50 Kota A.Syahdin bersama Muspida setempat. Di samping itu, ia juga disambut oleh beberapa orang teman lamanya yang sempat hadir di Situjuh ketika itu. Antara lain nampak mantan Wedana Militer Payakumbuh Selatan, Makinuddin HS yang pada 15 Januari 1949 ditunjuk Gubernur Militer sebagai “tuan rumah” rapat Pemerintahan Militer di Lurah Kincir, Situjuh Batur, Kabupaten 50 Kota.
Teman
lainnya yang ketemu Pak Rasjid adalah H. Fachruddin HS Dt Majo Indo, mantan
Kepala Pejabat Penerangan Agama Sumatera Tengah yang pertama, seorang ulama
intelek yang mengarang tafsir Qur-an 30 Juz bersama K.H. Zainuddin Hamidy
(Alm).
Dalam
pidatonya di depan rapat umum memperingati HUT ke-20 “Peristiwa Situjuh”
tersebut yang diselenggarakan di bawah pohon Beringin di samping Balai Adat
Situjuh Batur, Pak Rasjid mengutip peribahasa Jerman, yang artinya: “Besarlah
suatu bangsa yang pandai menghargai para pahlawannya.”
Setelah
itu, Pak Rasjid nampak terharu dan masyarakat yang hadir pun ikut menundukkan
kepala. Pak Rasjid menangis dan berkali-kali menghapus air matanya. Ada sekitar
5 menit ia menghentikan pembicaraannya karena kerongkongannya tersekat.
Kemudian
dengan suara terbata-bata ia meneruskan pembi-caraannya, “Kita sungguh
berhutang budi kepada rakyat. Rakyatlah yang berjuang, rakyatlah yang memberi
kita makan. Rakyatlah yang patuh dan setia kepada pimpinan PDRI (Pemerintah
Darurat Republik Indonesia) untuk meneruskan perjuangan membela dan
memper-tahankan RI tercinta.
Di
samping itu, kita berhutang budi kepada para pahlawan kita yang gugur di medan
syahid, di Lurah Kincir Situjuh Batur ini. Kita berhutang budi kepada almarhum
Chatib Sulaiman, kepada Bupati Arisun St. Alamsyah, kepada Munir Latif yang
tentara dan seluruh pejuang yang gugur di Situjuh Gadang, Situjuh Bandar Dalam,
dan lain-lain.”
Kepada
pemerintah, ia minta jadikanlah tempat ini sebagai tempat kita bersumpah,
kepada cita-cita para pahlawan yang telah mengorbankan jiwanya untuk
kepentingan bangsa dan negara RI Proklamasi.
“Inilah
pladge (cagar) yang bersejarah bagi generasi kita yang akan datang untuk
meneruskan perjuangan mereka yang telah gugur sebagai pejuang di seantero
persada ini.”
Demikianlah
antara lain pesan Pak Rasjid, mantan Gubernur Militer Sumatera Barat tahun 1949
dulu dan salah seorang Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan,
dan Pemuda PDRI. Ia turun dari mimbar dengan kaki yang lunglai disalami oleh
Bupati A, Syahdin, Makinuddin HS, Dt P. Simulie, Bandaro Panjang, H. Azwar ZA,
salah seorang staf Gubernur Militer di Koto Tinggi.
Selesai
acara di bawah pohon beringin, dilanjutkan ziarah ke makam pahlawan di Lurah
Kincir, di tempat para syuhada itu terbaring sejak 15 Januari 1949 dulu.
Ketika
kami menuruni tangga yang ke-49 ke Lurah Kincir itu dalam jarak sekitar 25
meter dari makam, Pak Rasjid kembali mengulangi kata-katanya tadi. Katanya,
agar lokasi Lurah Kincir ini dijadikan “Pleij” (pledge/cagar) yang amat
bersejarah bagi generasi kita yang akan datang. Ini makam mereka, tapi ini juga
peleij (pldge), tempat kita bersumpah setia kepada cita-cita para pahlawan dan
pejuang kemerdekaan RI yang telah gugur di bumi pertiwi.
Sesampainya
di makam pahlawan Situjuh itu Pak Rasjid kembali menangis terisak-isak meski
pembawa acara telah memberikan aba-aba bahwa karangan bunga yang pertama akan
diletakkan oleh Pak Rasjid. Tapi tangannya tak mau menjangkau karangan bunga
yang dipersembahkan oleh seorang pelajar puteri.
Ia
menangis dan menangis terus. Saya dan Iwan Rasyid datang mendekatinya khawatir
kalau Pak Rasjid tak kuasa menahan sedihnya. Kami dan Iwan memapahnya. Peserta
upacara di makam itu terdiam penuh haru. Kemudian Pak Rasjid berkata kepada
saya.
“Datuk!”
katanya memanggil saya. “Ini saya lihat Mayor Munir Latif, Kapten Zainuddin
Tembuk, Letnan Tantawi sudah dinaikkan pangkatnya satu tingkat secara anumerta
menjadi letkol, mayor, dan kapten. Kenapa saya lupa menaikkan pangkat Bung
Khatib Sulaiman, Ketua MPRD yang pangkatnya bupati dan Saudara Bupati Arisun
St. Alamsyah, keduanya sudah harus jadi residen secara anumerta?
“Ini
kealpaan saya. Ini yang saya tangiskan,” kata Pak Rasjid sambil mundur ke
belakang. Kemudian setelah tangisnya agak reda, barulah petugas MC minta Pak
Rasjid meletakkan karangan bunga di makam pahlawan tersebut.
Demikianlah
secuil kisah 21 tahun yang lalu ketika Pak Rasjid hadir di Situjuh Batur
setelah ia tinggal di luar negeri selama lebih kurang 15 tahun. Kisah ini saya
tuliskan menyambut saran Bung Chairul Harun dalam Singgalang, Rabu 17
Januari 1989 yang lalu yang berjudul “Harapan Angkatan 45” memohon agar lokasi
“Peristiwa Situjuh” itu dijadikan “Cagar Sejarah”, kerena masyarakat kita cenderung
lupa akan sejarah.
Saran
Bung Chairul itu sesuai benar dengan apa yang saya dengar dari mulut Mr. Moh
Rasjid, tokoh PDRI dan mantan Gubernur Militer Sumatera Barat tahun 1949 dulu.
Semoga
niat baik ini dapat tercapai.*
Dimuat pada Harian Singgalang, 19 Januari 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar