OLEH Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie
Festval Sitti Nurbaya Padang (FOTO/Antara)
mengambil kata philanthropy
bagaikan hendak mencari kampak padahal beliung telah disandang atau hendak
mencari pisau sementara sakin sudah tersisip di pinggang.
Apa maksudnya?
Philanthropy artinya cinta mencintai dan punya jiwa keder-mawanan. Yang namanya orang Minangkabau itu diajarkan hidup penuh kasih sayang, cinta mencintai satu sama lian, kasih mengasihi, tolong-menolong, solidaritas yang tinggi, dan lain-lain.
Cukup banyak fatwa adat berupa pepatah,
bidal gurindam, pantun, andai-andai tentang kemanusiaan, tentang hidup berkasih
sayang, cinta mencintai, dan tolong menolong, misalnya:
Dakek jalang manjalang
jauah cinto mancinto
di kaba baiak baimbauan
di kaba buruak bahambauan
sakik silau manyilau
mati, janguak manjanguak
ka bukik samo mandaki
ka lurah samo manurun
tatilantang samo makan angin
tatungkuik samo makan tanah
hati tungau samo dicacah
hati gajah samo dilapah
mandapek samo balabo
kahilangan samo marugi
hanyuik samo dipinteh
tabanam samo disalami
singkek uleh mauleh
senteng bilai mambilai
sasakik sasanang, sahino samalu
raso dibawo naiak, pareso dibao turun.
Dengan mengemukakan dalil atau fatwa
adat di atas, kita tidak akan kehilangan kampak lagi, karena kita punya beliung
kita dan tidak gamang karena tidak punya pisau sebab kita punya sakin tajam.
Ini pulalah philanthropy kita.
Artinya, kita hidup dalam kasih sayang, cinta mencintai, tolong menolong, bantu
membantu. Jika seandainya hidup kita ditakdirkan Allah berkecukupan, harus kita
sumbangkan sebagai amal sosial atau proyek kemanusiaan untuk kepentingan umum.
Begitulah ajaran adat kita yang dipaturun-panaikkan, dari dahulu sampai
kini dan masa yang akan datang, sebaris berpantang hilang, setitik berpantang
lupa.
Sekarang timbul pertanyaan, masihkan
orang Minangkabau berpijak pada bumi dan terpecah belah sebagaimana diujarkan
oleh Jan Romein, seorang pakar sejarah dari negeri Belanda? Pendapat pakar
sejarah itu dikutip Bustanul Arifin, S.H, begini:”De Minangkabauer leeft in
een gespleten wereld”. (Orang Minangkabau itu berdiri dan budayanya yang
luhur dan tinggi, tapi dalam kenyataan sehari-hari mereka tidak hidup seperti
itu lagi. Mereka mengagungkan tari Mak Inang Pulau Kampai, tapi mereka
juga suka ke disko, dansa-dansi, dan lain-lain atau, sebagaimana diungkapkan
oleh sebuah pantun:
Payokumbuah Labuah Basilang
Lah rimbo jalan ka parak
Dek elok sapuah loyang urang
La lupo jo ameh urai awak
Mungkinkah begitu? Jawabnya
diserahkan kepada kita masing-masing. Barangkali juga hal inilah yang menjadi
kajian secara elaborasi sekaligus mencarikan pemecahannya atau solusinya.
Masyarakat Madani menurut Adat
Istilah “masyarakat madani” baru
beberapa tahun terakhir ini populer di negeri kita, Indonesia. Para pakar
politik bangsa kita nampaknya hampir sepakat menggunakan istilah ini sebagai
padanan dari kata-kata asing “civil society”. Terjemahannya secara
harfiah adalah “masyarakat kewargaan”. Tapi terasa kurang pas. Karena itu
ketika Anwar Ibrahim (tokoh negara tetangga kita, Malaysia) membawanya ke
Indonesia pada tahun 1996, DR. Nurcholis Majid mulai memakainya dalam
eksplikasinya yang berjudul “Menuju Masyarakat Madani” dalam Jurnal Ulumul
Qur’an, Edisi 2/VII/1996.
Masyarakat madani maksudnya masyarakat Madinah atau yang sering juga disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW setelah hijrah ke Madinah dari Mekah. Sebelumnya kota itu bernama Yatsrib. Sebelum berganti dengan nama Madinah. Kata madani diambil dari kata madaniyah yang berarti peradaban. Yang dituju oleh orang Minangkabau tercakup dalam bidal adat:
Bumi sanang, padi manjadi
Jaguang maupiah,
taranak bakambang biak
Anak kamanakan aman santoso.
Artinya buminya senang, rukun, seiya
sekata, seayun salangkah, ekonominya makmur karena padi menjadi, jagungnya meupih
dan ternaknya berkembang biak. Ujungnya adalah masyarakat (anak kemenakan)
dalam keadaan aman dan sentosa lahir dan batin. Masyarakat beradab (masyarakat
madani) adalah masyarakat yang tertib (bataratik), berkesopanan, berbudi,
berakhlak, dengan kehalusan bahasa.
Tertib artinya tidak centang perenang,
teratur. Untuak yang ditariak, baban nan dibao, bakeh nan diuni, kakok
karajo masiang-masing, dahulukan mano nan patuik dahulu, kudiankan mano nan
musti kudian, nan di ujuang jan ka pangka, nan patuik di tangah jan ka tapi.
Berkesopanan, berbudi, berakhlak,
kehalusan bahasa, itulah yang diungkapkan pantun di bawah ini:
nan kuriak kundi
nan sirah sago
nan baiak budi
nan indah ba (ha) so
Kebaikan budi dan keindahan bahasa
harus melekat pada diri anak Minangkabau dan harus terpakai terus, baik ketika
berada di kampung atau di rantau seperti lengketnya zat dengan sifat, dengan
makna keabadian seperti buah kundi dengan warna kuriak (bintik-bintik) dan buah
sago dengan warna merah yang abadi sejak dari putik sampai jatuh ke tanah.
Dalam masyarakat beradab, masyarakat
madani, menurut ajaran adat Minangkabau amat menonjol hukum taratik. Taratik
artinya adab. Indak bataratik artinya tidak beradab. Inilah yang
merusak peradaban (civilization), merusak masyarakat madani atau
masyarakat beradab. Karena itu ada adab (taratik) kepada orang tua (ibu bapak),
adab kepada guru, adab kepada mamak atau kepada orang dituakan, adab
berbako-berbaki, adab beripar-berbisan, adab berandam-pasumandan, dan adab di
tengah orang banyak atau sopan santun di tengah masyarakat.
Tegasnya civil society atau
masyarakat madani ditegakkan di atas keadilan (hati tungau samo dicacah,
hati gajah samo dilapah), ditegakkan dengan prinsip demokrasi (duduak
basamo balapang-lapang, duduak surang basampik-sampik, bulek aia ka pambuluah),
dan di atas supremasi hukum (anak dipangku dilungkehkan, baruak di rimbo
disusukan, nan bana barubah tido). Kemudian manimbang samo barek,
mabilai samo laweh), duduk samo randah, tagak samo tinggi (egaliter).
Harga Diri dan Solidaritas Sosial
Sekarang apa yang menjadi masalah kita?
Pertanyaan ini tentulah ditujukan kepada orang Minangkabau sebagai salah satu
etnis bangsa yang besar.
Betulkah harga diri orang Minangkabau
sudah luntur? Betulkah kita tidak solid lagi? Tidak punya solidaritas sosial
sebagai orang Minangkabau?
Ketiga pertanyaan itu saya kemukakan
karena ketiga pokok itulah yang dimintakan kepada saya. Saya ulangi pertanyaan
di atas: Betulkah harga diri oang Minangkabau itu sudah luntur? Dari mana kita
mengukurnya? Apa kriterianya? Dapatkah kita mengukur karena putra Minangkabau
tidak banyak lagi ikut duduk pada pemerintahan tingkat nasional?
Dalam kabinet Megawati sekarang hanya
Bachtiar Chamsyah saja yang duduk selaku menteri sosial. Bila dibanding dengan
dulu pada tahun-tahun awal kemerdekaan Republik Indonesia memang dominan tokoh
nasional kelahiran Minangkabau. Ada Wakil Presiden Hatta, PM Sjahrir, Menlu
Agus Salim, Menpen Mohd. Natsir, akting Presiden Republik Indonesia dalam RIS
Mr Assaat Datuk Mudo dengan Perdana Menterinya Dr. Abd. Halim. Ada tokoh besar
lainnya seperti Tan Malaka dan Mr. Mohd. Yamin. Karena itu tidaklah salah kalau
Ny. Audrey Kahin mengatakan bahwa pada tahun 1945-1949 itu di Yogya adalah
pemerintahan orang Minangkabau mengingat banyaknya tokoh bangsa asal
Minangkabau yang duduk di kabinet atau sebagai tokoh politik yang berpengaruh.
Setelah pemulihan kedaulatan, Moh.
Natsir jadi perdana menteri pertama Kabinet Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Mohd. Yamin yang pernah menjadi Menteri PPK (Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan). Yang lain: Dr. Abu Hanifah
(Menteri PKK), Menteri Veteran Dahlan Ibrahim, Menteri Dalam Negeri Prof. Dr.
Hazairin, Menteri PPK Prof. Dr. Bahder Djohan, Menteri Perhubungan Dr. A.K.
Gani, Menteri Penerangan Syamsuddin St. Makmur, Menteri Kesejahteraan Rakyat
K.H. Sirajuddin Abbas, dan Menteri Perhubungan Pemerintah dan Parlemen K.H.
Rusli Abdul Wahid.
Kemudia dalam masa Pemerintahan Orde
Baru, selama 32 tahun putra Minangkabau tetap ikut dalam kabinet Presidentil
Soeharto. Mulai Prof. Dr. Emil Salim, Bustanil Arifin, S.H, Prof. Harun Zain,
Ir. A.R. Soehoed, Ir. Azwar Anas, Prof. Dr. Awaluddin Djamin, dr. Tarmizi
Taher, Drs. Fahmi Idris, dan Drs. Abd. Laltif.
Setelah masa reformasi ada Bachtiar
Chamsyah, Rizal Ramli dan Drs. Hasan Basri Durin. Pada masa datang, misalnya,
pada tahun 2004 kita belum tahu, apakah ada orang Minang yang duduk dalam
kabinet?
Lalu yang tepat jawabnya, Wallahu
‘alam!
Saya berpendapat meskipun satu putra
Minangkabau yang duduk di dalam kabinet sekarang atau seandainya kelak tidak
ada seorang pun karena tidak dibasoi orang janganlah kita lantas kecewa
dan janganlah berpendapat bahwa harga diri kita sebagai orang Minang sudah
luntur.
Sesungguhnya harga diri itu (human
dignity) terletak pada diri kita masing-masing. Selama kita memegang teguh
adat dan budaya kita, adat sebagai norma, aturan-aturan yang berlaku bagi kita
anak Minangkabau dan budaya berupa tradisi asal jangan sebagaimana diingatkan
oleh Bundo Kanduang dalam kaba klasik Cindurmato.
Janganlah jadi urang-urang
Janganlah manakah-nakah urang
Janganlah bak janyo urang
Jadilah urang nan sabana urang
Urang-urang maksudnya, tua-tua atau juek-juek yang ditegakkan di tengah sawah yang sudah
berpadi. Biasanya terbuat dari baju atau celana usang dan kayu menakut-nakuti
burung atau binatang agar tidak memakan padi.
Manakah-nakah atau takah-takah urang maksudnya sama dengan
tong kosong nyaring bunyinya. Dia coba pula melagak seperti si Anu yang pintar
padahal kapalonyo tak barisi, kosong malompong.
Bak janyo urang maksudnya sama dengan kerbau, diatua hiduangnyo awak bak
janyo urang sajo, ditarik ke mana-mana. Kita jadi “Pak Turut” saja.
Kalau ketiga faktor itu yang terjadi,
maka handam karamlah Minangkabau beserta dengan orangnya. Kalau kita berada di
tubir jurang, maka hancurlah Minangkabau yang bertuah itu ke dalam jurang dan
tidak akan bangkit lagi.
Oleh karena itu harus menjadi urang
sabana urang yakni orang yang berilmu dan berpaham, arif serta bijak, jalan
di dunia, tahu di jalan akhirat, adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Adat Minangkabau adat
islami, istiqomah, berpendirian tidak seperti pimping di lereng, baling-baling
di atas bukit. Kok paham itu
jangan seperti getah cair, meleleh sajo.
Lalu tentang solidaritas atau
kesetiakawanan, kedermawanan atau dalam istilah ilmu sosial philanthropy,
saya kira tidak pernah luntur dalam masyarakat Minangkabau. Di nagari atau di
kampung-kampung yang namanya solidaritas sosial itu tetap hidup dan berjalan
terus. Kalau ada kerabat yang membangun rumah, apalagi rumah adat dengan
kontruksi bergonjong, maka anak pisang atau pihak bako, datang membawa sehelai
seng untuk membantu meringankan beban kerabat yang sedang membangun. Ini masih
berjalan di kampung atau nagari.
Kalau ada yang dapat musibah, seperti
ada yang kebakaran, galodo (longsor), kematian, maka masyarakat kita akan turun
tangan menolong, membantu, menjenguk (takziah) dan melihatkan muka yang sabak.
Bukankah kebaikan dan tradisi masayarakat kita seperti itu dalam adagium adat
kita, di kaba baiak bahimbauan, di kaba buruak bahambauan.
Kita sangat prihatin terjadinya musibah
kebakaran besar pasar Tanah Abang baru-baru ini. Pada musibah tersebut ternyata
melanda sebagian besar pedagang urang awak.
Saya melihat solidaritas sosial orang
Minangkabau tidak luntur. Saya baca koran dan saya lihat di layar kaca, betapa
terharunya orangtua kita Harun Zain yang sudah sakit-sakitan datang sendiri ke
Tanah Abang bersama Azwar Anas, Hasan Basri Durin, Fasli Djalal (Ketua Gebu
Minang), entah siapa lagi yang datang “berhambauan”. Tentu banyak lagi seperti
Gubernur Zainal Bakar. Ini adalah bentuk kepedulian yang didorong oleh philanthropy,
solidaritas sosial masyarakat kita. Barangkali banyak lagi contoh yang dapat
kita kemukakan tentang masih melekatnya rasa badunsanak, rasa
kekeluargaan yang tinggi dari orang Minangkabau.
Perubahan dan Pergeseran Nilai
Perkembangan peradaban manusia selalu
diikuti oleh perubahan tatanan sosial kemasyarakatan.Setiap bentuk perubahan
itu selalu mengalami pergeseran nilai, baik yang bersifat normatif, maupun
sosial. Saya tidak akan membantah pendapat itu. Kata para ahli hikmat, tidak
ada yang kekal di dunia, yang kekal adalah perubahan itu sendiri. Perubahan
demi perubahan akan kita alami. Tidak dapat tidak! Sudah banyak nilai bergeser.
Tentang perubahan itu nenek moyang kita
telah mengarifinya, “sakali aia gadang, sakali tapian barubah”. Yang
berubah itu apa? Yang berubah adalah lokasi tepian, namun yang tepian itu tetap
di tepi air. Jadi, ada yang berubah, ada yang tetap. Yang tetap adalah nilai
dasar, sedangkan nilai tambah atau nilai dukung boleh berubah. Karena itu sikap
kita tentang perubahan yang kita hadapi sekarang dan yang akan datang adalah berubahlah
apa yang seharusnya berubah, tapi ada yang tidak berubah.
Mari kita lihat pembagian adat yang
empat. Pertama, adat nan sabana adat,
kedua, adat nan diadatkan, ketiga, adat nan teradat,
dan keempat, adat istiadat. Adat nan sabana adat
adalah adat yang tetap dan tidak akan berubah. Adat nan sabana adat adalah
sunnatullah, hukum alam (natuurwet) atau natural law.
Misalnya, adat air membasahi, adat api menghanguskan, matahari terbit di timur
dan terbenam di barat.
Adat yang diadatkan adalah adat yang kita terima dari peletak dasar adat
Minangkabau. Parpatih nan Sabatang dan Katumang-gungan. Adat itu disebut adat
nan sabatang panjang sama dengan adat nan sabana adat di atas. Artinya sama
terpakai di seluruh Minangkabau oleh anak kemenakan Minangkabau di mana pun
mereka berada, di kampung atau di rantau. Kalau adat nan sabana adat adalah
adat yang tetap dan tak berubah. Maka, adat yang diadatkan adalah adat
yang harus kita pertahankan selamanya.
Misalnya, adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah merupakan filosofi atau pandangan hidup orang
Minangkabau. Adat Minangkabau adat Islami. Dulu nenek moyang kita beragama
Hindu dan Budha. Setelah Islam masuk ke Minangkabau, maka nenek moyang kita
memeluk agama Islam. Diyakininya bahwa dengan agama Islamlah hatinya tenang,
dunia dan akhirat. Kalau ada yang murtad berarti dia tidak orang Minangkabau
lagi. Tak ada haknya untuk menerima waris sako dan pusako menurut
adat.
Setelah perjanjian (Sumpah Satie) Bukik
Marapalam, adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah dirumuskan “Seminar
Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau” di Batusangkar, pada tahun 1970, yang
intinya sebagai berikut: Sia banakoh kito urang Minangkabau? Urang
Minangkabau adalah nenek moyangnya turun dari Gunung Merapi, kini
bersama-sama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berkiblat ke
Baitullah.
Seandainya ada yang tidak berkiblat ke
Baitullah artinya sudah murtad, maka dia tidak lagi orang Minangkabau. Rumusan
ini dibacakan oleh Buya Hamka di depan para cendikiawan Minangkabau terkemuka
seperti Bung Hatta, Prof. Dr. Bahder Djohan, Dr. Deliar Nur, Drs. M. Dahlan
Mansur, Drs. Moh. Rajab, Drs. Sidi Gazalba, Drs. Amrin Imran, dr. Yetty Zain,
Dra. Asmaniar Idris, Prof. Drs. Mawardi Yunus, Baharuddin Dt. Rangkayo Basa,
Dr. Muchtar Naim, Dr. Syafruddin Bahar, dan sejumlah pakar lainnya, dalam dan
luar negeri.
Kemudian sistem kekerabatan yang
berlaku (bersuku menurut suku ibu), nikah kawin di luar kerabat (suku) yang
disebut juga eksogami. Laki-laki pulang ke rumah perempuan (matrilokal). Dalam
istilah adat disebut, Sigai mancari anau, Sigai baranjak, anau tatap. Tapatan
tingga, pambawo kumbali. Suarang babagi, sakutu dibalah. Kabau tagak, kubangan
tingga, luluak di bawo nan lakek di badan sajo.
Banyak lagi contoh yang lain yang masuk
dalam kategori adat nan diadatkan. Tentang adat nan teradatkan adalah biasanya salingka
nagari, misalnya yang ditetapkan ninik mamak masa dahulu yang terpakai juga
sekarang. Kalau ada yang tidak sesuai lagi dengan situasi sekarang adat itu
boleh berubah dengan kesepakatan bersama. Terakhir adat istiadat merupakan
tatacara atau pelaksanaan atau penjabaran dari adat nan diadatkan, misalnya
langgam adat atau tambahan dari upacara batagak panghulu, dan lain-lain.
Dapat disimpulkan bahwa dari keempat
kategori adat di atas, dua yang di atas tetap dan tidak berubah, sedang dua
kategori yang di bawah pada dasarnya boleh berubah dengan kesepakatan bersama tungku
tigo sajarangan, tali tigo sapilin, Bundo Kanduang serta anak kemenakan
dalam negeri yang bersangkutan.
Demikianlah yang dapat saya kemukakan
dalam forum seminar ini. Jika ada yang merasa tidak puas, saya minta maaf
sebagaimana pantun berikut:
Banyak siriah di tangah balai
Sado iko nan masuak carano
Banyak ilmu di urang pandai
Sado iko nan dapek di ambo
Tambilang di tapi tabek
Tasanda di batang sungkai
Lah ambo bilang sado nan dapek
nan tingga untuak urang pandai
Hari siang ayam bakukuak
Ayam ketek di ateh ranggeh
Kok kurang tolonglah tukuak
Kok singkek tolonglah uleh.*
Jakarta, 8 Maret 2003
Disampaikan dalam Seminar Sehari “Minangkabau
di Tepi Jurang: Kajian Elaborasi dan Solusi” di Auditorium Perpustakaan
Nasional RI, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar