OLEH Prof. Dr. Damsar, MA (Guru Besar FISIP Unand)
Pendahuluan
Tidak mudah memang, untuk
memperbandingkan antara dua komunitas yang berbeda dalam memahami dunia. Namun
suatu perbandingan diperlukan dalam memahami suatu kenyataan.
Didasari bahwa perbandingan bukan merupakan satu-satunya jalan untuk memahami kenyataan, tetapi ia dimengerti sebagai salah satu jalan. Oleh karena itu, dengan keterbatasan yang ada, dibuatlah perbandingan dalam memahami kenyataan.
Dunia penerbitan dan kepenulisan itu sendiri bukanlah realitas yang bisa dipahami secara sederhana. Dunia tersebut
berjalin-berkulindan dengan dunia manusia secara keseluruhan. Dunia tersebut
berkait-mait dengan struktur sosial, budaya, politik, dan eko-nomi masyarakat
secara keseluruhan. Oleh karena itu, paling tidak, perlu ada gambaran singkat
tentang struktur dua daerah tersebut. Selanjutnya diskusi akan dilakukan
sekitar dunia penerbitan, pasar buku dan kepenulisan. Terakhir ditutup dengan
gagasan masa depan dunia penerbitan dan kepenulisan Sumatra Barat.
Dua Kutup
Yogyakarta, secara teoretis kultural, merupakan ranah basis bagi budaya
Jawa, sedangkan Sumatra Barat adalah ranah basis budaya Minangkabau. Kedua
ranah budaya tersebut, menurut Mochtar Naim, berbeda da-lam inti kebudayaan.
Budaya Jawa bersifat vertikal, hierarkis, dan sentripugal. Sementara budaya
Minangkabau bersifat horizontal, egaliter, dan sentripetal. Kebudayaan bukanlah
sesuatu yang statis, ia bergerak mengikuti irama dan ritma masyarakat. Irama
dan ritma gerak masyarakat tidak bisa dilihat sebagai se-suatu yang monoton.
Tetapi sebaliknya ia dilihat bagai pentas musik campur aliran: klasik, dangdut,
jazz, pop, dan seterusnya. Perubahan kadang bisa diprediksi de-ngan tepat
kadang tidak bisa diduga arahnya. Demikian juga budaya Jawa dan Minangkabau, ia
telah berubah. Konsepsi ideal tersebut di atas dapat dijadikan sebagai rujukan
kebudayaan ideal yang berbeda dengan kebudayaan praktik dan praktik kebudayaan.
Yogyakarta, dahulu dikenal dengan “Kota Sepeda”. Pada sebelum tahun
1990-an, jalan-jalan Yogyakarta dipenuhi oleh sepeda. Sesuai dengan gerak
sepeda, pada masa itu terlihat pemandangan dari suatu masya-rakat kota yang
bergerak perlahan dengan keramah-tamahan dan keharmonisan ala Jawa. Sekarang,
Yogyakarta dipadati oleh sepeda motor. Hampir setiap jalan-jalan di kota
terjadi kemacetan. Semua orang ingin lebih bergerak cepat, berlomba lebih
dahulu dan berada di depan dibandingkan yang lain agar kereta bisa dipacu lebih
kencang lagi. Gerak sepeda lamban, gerak sepeda motor kencang. Itulah gambaran
kontra masyarakat Yogyakarta dahulu dan sekarang.
Berbeda dengan Yogyakarta, perubahan Sumatra Barat bagaikan perubahan dari
“Honda Astuti” (“Astrea Tujuh Tiga”) ke “Honda Asdepul” (Astrea Delapan Puluh”).
Perubahan yang tidak begitu signifikan. Gerak masyarakat Sumatra Barat tetap
dinamis. Pergi dan pulang dari rantau tetap mengalir. Namun bila dibandingkan
dengan perkembangan Yogyakarta terasa jauh ketertinggalannya. Akibatnya, kalau
ada pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat Yogyakarta lebih horizontal dan
egaliter dari masyarakat Sumatra Barat dapat juga dipahami.
Antara Yogyakarta dan Sumatra Barat
Untuk memahami perbandingan dunia penerbitan dan kepenulisan antara
Jogyakarta dan Sumatra Barat, maka akan didiskusikan tiga hal, yaitu tentang
dunia percetakan, pasar buku dan dunia kepenulisan.
Pertumbuhan perusahaan penerbit di Jogyakarta bagaikan jamur tumbuh di
musim hujan. Perubahan ter-sebut berjumlah dalam kisaran angka duapuluhan, yang
antara lain penerbit Kanisius, Pustaka Pelajar, Insist, LkiS,
IRCiSoD, Bentang, Qalam, Gadjah Mada University Press, UUI Press,
FISIPOL UGM, Tiara Wacana, Interfidei, Mitra Pustaka, Sadasiva, Gama Media,
Rake Sarasin, Read, Teplok Press, Kreasi Wacana dan Inspeal Press.
Sebagian dari penerbit tersebut telah melakukan spesialisasi dalam naskah dan
topik buku. Dengan kata lain, perusahaan penerbitan membatasi penerbitan hanya
dalam bidang kajian tertentu misalnya penerbit Pustaka Pelajar
menerbitkan topik ilmu-ilmu sosial, Mitra Pustaka tentang agama Islam, Read
tentang pendidikan, Teplok Press tentang pergerakan sosialis.
Jumlah judul buku yang diterbitkan oleh berbagai penerbit Jogyakarta
tersebut berkisar angka 300-an per tahun. Dari judul tersebut tidak hanya
bervariasi dalam topik dan penulis tetapi juga dalam sajian kover. Di samping
banyak buku teks dan ilmiah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, juga
berbagai kumpulan karangan yang diikat menjadi suatu judul buku yang memikat.
Tata letak kover buku juga dikemas secara profesional, sehingga menarik para
pembaca, pa-ling tidak, untuk melirik kemudian melihat dan membelinya.
Sumatra Barat, berdasarkan data terbaru, hanya me-miliki sekitar sepuluh
perusahaan penerbit, paling banyak, yang antara lain Pustaka Mimbar Minang,
IAIN Imam Bonjol Press, KPPS, PPIM, CBI-GPKM Padang, MSI-DHN
45, Pustaka Indonesia, dan Universitas Andalas Press.
Sedangkan buku yang diterbitkan berkisar dua puluh per tahun. Kalau dibandingkan dengan
Yogyakarta, Sumatra Barat sangat ketinggalan. Tata letak kover serta penjilidan
buku yang asal jadi membuat beberapa buku terbitan Sumatra Barat tidak menarik
untuk dilirik. Kalau saja tata letak kover dan penjilidan dibuat tidak
asal-asalan, mungkin saja buku-buku tersebut mendapat tempat di pasaran lokal
dan regional.
Perusahaan penerbit tersebut bergerak berdasarkan ritma dan dinamika
masyarakat Yogyakarta. Standar hidup yang murah berdampak pula pada biaya
produksi menjadi lebih murah dibandingkan di kebanyakan kota lainnya di
Indonesia. Biaya produksi yang murah tersebut membuat dunia penerbitan
bergairah. Ke-adaan seperti ini tidak ditemukan di Sumatra Barat. Tidak ada
insentif sosial budaya yang dapat menggairahkan penerbitan buku seperti
Yogyakarta.
Pasar Buku
Daerah pemasaran utama bagi buku-buku terbitan Yogyakarta adalah Yogyakarta
sendiri. Kapasitas Yogyakarta untuk menyerap penawaran buku terbitan Yogyakarta tersebut dimungkinkan karena kedudukan Yogyakarta sebagai Kota Pelajar. Kehadiran sekitar dua puluh
perguruan tinggi di Yogyakarta menciptakan permintaan tinggi terhadap buku-buku
teks dan ilmiah lainnya. Pangsa pasar seperti inilah yang dibidik oleh
kebanyakan penerbit Yogyakarta.
Pasar buku Yogyakarta menjadi menarik karena para pedagang buku mengambil
keuntungan dengan margin yang tipis. Ini bisa dilakukan, bukan hanya
karena bi-aya hidup rendah tetapi juga sebagai strategi dengan melalui
mengambil margin tipis per satuan namun total penjualan buku menjadi
lebih besar. Sehingga total keseluruhan transaksi menjadi lebih banyak.
Pasar buku baru murah tersebar di banyak tempat seperti Shopping Centre
dan Teban. Harga buku di lokasi ini memperoleh potongan sekitar 20%
sampai 40%, tergantung pada tempat, tahun dan penerbit serta siapa penjualnya.
Jika penjualnya adalah kelompok penerbit sendiri bisa malahan memberi diskon
sebanyak 40%. Sementara di Sumatra Barat umumnya, khususnya Kota Padang, tidak
terdapat pasar buku baru murah seperti yang terdapat di Yogyakarta tersebut. Memang
terdapat toko buku bekas di Padang yang menjual buku baru dan bekas murah,
namun sangat berbeda sekali dengan yang ada di Yogyakarta, baik dari segi harga
mau pun jumlah buku yang tersedia.
Dunia Kepenulisan
Menjelaskan dunia kepenulisan ini tidak mudah bagi penulis sebab terkendala
soal data dan fakta. Namun demikian dapat dijelaskan beberapa kecenderungan
yang mungkin bisa kita jadikan bahan re-nungan bagi kita bersama untuk melihat
fenomena dunia kepenulisan.
Secara umum, penulis dapat dibagi atas tiga kelompok: pertama,
penulis fiksi; kedua, penulis teks ilmiah akademik; ketiga,
penulis popular. Pe-nulis fiksi bervariasi dalam jenis dalam ragam fiksi. Untuk
beberapa tulisan fiksi sangat diminati oleh peminat buku, sehingga buku atau
tulisannya dicetak ulang, sedangkan yang lain jangankan dicetak ulang, untuk
menghabiskan persediaan saja tidak mudah. Konskuensinya para penerbit tidak
sembarangan me-nerbitkan fiksi tersebut, mereka selektif dalam memilih nama.
Ini tidak hanya terjadi di Padang juga dialami penulis Yogyakarta.
Penulisan teks ilmiah akademik merupakan lahan yang sangat menjanjikan.
Sebab pangsa pasarnya telah jelas, yaitu mahasiswa dan peminat buku lainnya,
paling tidak mahasiswa yang sedang mengikuti perkuliahan penulis buku tersebut.
Banyak teks ilmiah akademik yang telah diterbitkan di Yogyakarta. Buku tersebut
sebenarnya merupakan bahan perkuliahan yang telah dikembangkan sebelum naik
cetak. Bahkan sebagian buku merupakan kumpulan tulisan dari para akademisi.
Beberapa perguruan tinggi di Sumatra Barat seperti IAIN Imam Bonjol telah
menerbitkan paling tidak dua buah buku untuk tahun ini, dan Universitas Andalas
akan meluncurkan 6 buku teks ilmiah akademik pada September 2003. Jika
sekiranya ada penerbit yang mau mengikuti “cara Yogyakarta” yaitu menerbitkan
dan menjual buku dengan harga “diskon” maka bukan tidak mungkin akan banyak buku yang akan ke luar
dari penerbit Sumatra Barat.
Penulisan buku popular telah dilakukan oleh bebe-rapa penulis, baik
Yogyakarta dan Sumatra Barat. Persoalan Sumatra Barat adalah jaringan pemasaran
dari penerbitan yang telah dilakukan. Bagi buku penulis Yogyakarta, terbitan
mereka memiliki jaringan yang relatif luas ke banyak wilayah Nusantara.
Sebenarnya ini bisa dilakukan oleh penerbit Sumatra Barat apabila mereka mau
bekerja sama dengan pihak distributor buku.
Sesuatu yang paling dimengerti oleh banyak pe-nulis buku adalah menulis
buku belum bisa dijadikan sebagai profesi. Sebab kalau buku tersebut laris,
banyak peminatnya, secara teoritis akan banyak pemasukan bagi penulis. Namun
tidak jarang pemasukan tersebut tidak mengalir ke penulis karena tertahan di
tangan penerbit. Dengan kata lain ada persoalan moral di sana. Atau buku
tersebut dibajak oleh para pembajak buku, sehingga harga buku jatuh dan baik
penulis dan penerbit dirugikan.
Penutup
Dunia penerbitan, pasar buku, dan dunia kepenu-lisan merupakan rangkaian
yang saling mempenga-ruhi satu sama lain. Beberapa hal yang terjadi di
Yogya-karta mungkin bisa dijadikan bahan pelajaran bagi Sumatra Barat.
Pelajaran tersebut bisa diambil sebagai contoh, bisa juga hanya sekadar
pemahaman. Kesemua itu berpulang pada kita. Gagasan tentang masa depan bisa
kita konstruksi bersama atau sendiri. Juga berpu-lang kepada kita.*
Disampaikan dalam seminar
sehari “Membaca Dunia Penerbitan dan Kepenulisan Sumatra Barat” yang
diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat, Senin, 25 Agustus 2003 di
Gedung Abdullah Kamil Genta Budaya Padang
Disalin dari buku Menyulam Visi: DKSB dalam Catatan
(Nasrul Azwar-Ed), Penerbit Dewan Kesenian Sumatra Barat, November 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar