Rabu, 10 Februari 2021

Memahami Dunia Penerbitan dan Kepenulisan: Perbandingan antara Yogyakarta dan Sumatra Barat

OLEH  Prof. Dr. Damsar, MA (Guru Besar FISIP Unand)

Pendahuluan

Tidak mudah memang, untuk memperbandingkan antara dua komunitas yang berbeda dalam memahami dunia. Namun suatu perbandingan diperlukan dalam memahami suatu kenyataan.

Didasari bahwa perbandingan bukan merupakan satu-satunya jalan untuk memahami kenyataan, tetapi ia dimengerti sebagai salah satu jalan. Oleh karena itu, dengan keterbatasan yang ada, dibuatlah perbandingan dalam memahami kenyataan.

Dunia penerbitan dan kepenulisan itu sendiri bukanlah realitas yang bisa dipahami secara sederhana. Dunia tersebut berjalin-berkulindan dengan dunia manusia secara keseluruhan. Dunia tersebut berkait-mait dengan struktur sosial, budaya, politik, dan eko-nomi masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, paling tidak, perlu ada gambaran singkat tentang struktur dua daerah tersebut. Selanjutnya diskusi akan dilakukan sekitar dunia penerbitan, pasar buku dan kepenulisan. Terakhir ditutup dengan gagasan masa depan dunia penerbitan dan kepenulisan Sumatra Barat.

Dua Kutup

Yogyakarta, secara teoretis kultural, merupakan ranah basis bagi budaya Jawa, sedangkan Sumatra Barat adalah ranah basis budaya Minangkabau. Kedua ranah budaya tersebut, menurut Mochtar Naim, berbeda da-lam inti kebudayaan. Budaya Jawa bersifat vertikal, hierarkis, dan sentripugal. Sementara budaya Minangkabau bersifat horizontal, egaliter, dan sentripetal. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, ia bergerak mengikuti irama dan ritma masyarakat. Irama dan ritma gerak masyarakat tidak bisa dilihat sebagai se-suatu yang monoton. Tetapi sebaliknya ia dilihat bagai pentas musik campur aliran: klasik, dangdut, jazz, pop, dan seterusnya. Perubahan kadang bisa diprediksi de-ngan tepat kadang tidak bisa diduga arahnya. Demikian juga budaya Jawa dan Minangkabau, ia telah berubah. Konsepsi ideal tersebut di atas dapat dijadikan sebagai rujukan kebudayaan ideal yang berbeda dengan kebudayaan praktik dan praktik kebudayaan.

Yogyakarta, dahulu dikenal dengan “Kota Sepeda”. Pada sebelum tahun 1990-an, jalan-jalan Yogyakarta dipenuhi oleh sepeda. Sesuai dengan gerak sepeda, pada masa itu terlihat pemandangan dari suatu masya-rakat kota yang bergerak perlahan dengan keramah-tamahan dan keharmonisan ala Jawa. Sekarang, Yogyakarta dipadati oleh sepeda motor. Hampir setiap jalan-jalan di kota terjadi kemacetan. Semua orang ingin lebih bergerak cepat, berlomba lebih dahulu dan berada di depan dibandingkan yang lain agar kereta bisa dipacu lebih kencang lagi. Gerak sepeda lamban, gerak sepeda motor kencang. Itulah gambaran kontra masyarakat Yogyakarta dahulu dan sekarang.

Berbeda dengan Yogyakarta, perubahan Sumatra Barat bagaikan perubahan dari “Honda Astuti” (“Astrea Tujuh Tiga”) ke “Honda Asdepul” (Astrea Delapan Puluh”). Perubahan yang tidak begitu signifikan. Gerak masyarakat Sumatra Barat tetap dinamis. Pergi dan pulang dari rantau tetap mengalir. Namun bila dibandingkan dengan perkembangan Yogyakarta terasa jauh ketertinggalannya. Akibatnya, kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat Yogyakarta lebih horizontal dan egaliter dari masyarakat Sumatra Barat dapat juga dipahami.

Antara Yogyakarta dan Sumatra Barat

Untuk memahami perbandingan dunia penerbitan dan kepenulisan antara Jogyakarta dan Sumatra Barat, maka akan didiskusikan tiga hal, yaitu tentang dunia percetakan, pasar buku dan dunia kepenulisan.

Pertumbuhan perusahaan penerbit di Jogyakarta bagaikan jamur tumbuh di musim hujan. Perubahan ter-sebut berjumlah dalam kisaran angka duapuluhan, yang antara lain penerbit Kanisius, Pustaka Pelajar, Insist, LkiS, IRCiSoD, Bentang, Qalam, Gadjah Mada University Press, UUI Press, FISIPOL UGM, Tiara Wacana, Interfidei, Mitra Pustaka, Sadasiva, Gama Media, Rake Sarasin, Read, Teplok Press, Kreasi Wacana dan Inspeal Press. Sebagian dari penerbit tersebut telah melakukan spesialisasi dalam naskah dan topik buku. Dengan kata lain, perusahaan penerbitan membatasi penerbitan hanya dalam bidang kajian tertentu misalnya penerbit Pustaka Pelajar menerbitkan topik ilmu-ilmu sosial, Mitra Pustaka tentang agama Islam, Read tentang pendidikan, Teplok Press tentang pergerakan sosialis.

Jumlah judul buku yang diterbitkan oleh berbagai penerbit Jogyakarta tersebut berkisar angka 300-an per tahun. Dari judul tersebut tidak hanya bervariasi dalam topik dan penulis tetapi juga dalam sajian kover. Di samping banyak buku teks dan ilmiah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, juga berbagai kumpulan karangan yang diikat menjadi suatu judul buku yang memikat. Tata letak kover buku juga dikemas secara profesional, sehingga menarik para pembaca, pa-ling tidak, untuk melirik kemudian melihat dan membelinya.

Sumatra Barat, berdasarkan data terbaru, hanya me-miliki sekitar sepuluh perusahaan penerbit, paling banyak, yang antara lain Pustaka Mimbar Minang, IAIN Imam Bonjol Press, KPPS, PPIM, CBI-GPKM Padang, MSI-DHN 45, Pustaka Indonesia, dan Universitas Andalas Press. Sedangkan buku yang diterbitkan berkisar dua puluh per tahun. Kalau dibandingkan dengan Yogyakarta, Sumatra Barat sangat ketinggalan. Tata letak kover serta penjilidan buku yang asal jadi membuat beberapa buku terbitan Sumatra Barat tidak menarik untuk dilirik. Kalau saja tata letak kover dan penjilidan dibuat tidak asal-asalan, mungkin saja buku-buku tersebut mendapat tempat di pasaran lokal dan regional.

Perusahaan penerbit tersebut bergerak berdasarkan ritma dan dinamika masyarakat Yogyakarta. Standar hidup yang murah berdampak pula pada biaya produksi menjadi lebih murah dibandingkan di kebanyakan kota lainnya di Indonesia. Biaya produksi yang murah tersebut membuat dunia penerbitan bergairah. Ke-adaan seperti ini tidak ditemukan di Sumatra Barat. Tidak ada insentif sosial budaya yang dapat menggairahkan penerbitan buku seperti Yogyakarta.

Pasar Buku

Daerah pemasaran utama bagi buku-buku terbitan Yogyakarta adalah Yogyakarta sendiri. Kapasitas Yogyakarta untuk menyerap penawaran buku terbitan Yogyakarta tersebut dimungkinkan karena kedudukan Yogyakarta sebagai Kota Pelajar. Kehadiran sekitar dua puluh perguruan tinggi di Yogyakarta menciptakan permintaan tinggi terhadap buku-buku teks dan ilmiah lainnya. Pangsa pasar seperti inilah yang dibidik oleh kebanyakan penerbit Yogyakarta.

Pasar buku Yogyakarta menjadi menarik karena para pedagang buku mengambil keuntungan dengan margin yang tipis. Ini bisa dilakukan, bukan hanya karena bi-aya hidup rendah tetapi juga sebagai strategi dengan melalui mengambil margin tipis per satuan namun total penjualan buku menjadi lebih besar. Sehingga total keseluruhan transaksi menjadi lebih banyak.

Pasar buku baru murah tersebar di banyak tempat seperti Shopping Centre dan Teban. Harga buku di lokasi ini memperoleh potongan sekitar 20% sampai 40%, tergantung pada tempat, tahun dan penerbit serta siapa penjualnya. Jika penjualnya adalah kelompok penerbit sendiri bisa malahan memberi diskon sebanyak 40%. Sementara di Sumatra Barat umumnya, khususnya Kota Padang, tidak terdapat pasar buku baru murah seperti yang terdapat di Yogyakarta tersebut. Memang terdapat toko buku bekas di Padang yang menjual buku baru dan bekas murah, namun sangat berbeda sekali dengan yang ada di Yogyakarta, baik dari segi harga mau pun jumlah buku yang tersedia.

Dunia Kepenulisan

Menjelaskan dunia kepenulisan ini tidak mudah bagi penulis sebab terkendala soal data dan fakta. Namun demikian dapat dijelaskan beberapa kecenderungan yang mungkin bisa kita jadikan bahan re-nungan bagi kita bersama untuk melihat fenomena dunia kepenulisan.

Secara umum, penulis dapat dibagi atas tiga kelompok: pertama, penulis fiksi; kedua, penulis teks ilmiah akademik; ketiga, penulis popular. Pe-nulis fiksi bervariasi dalam jenis dalam ragam fiksi. Untuk beberapa tulisan fiksi sangat diminati oleh peminat buku, sehingga buku atau tulisannya dicetak ulang, sedangkan yang lain jangankan dicetak ulang, untuk menghabiskan persediaan saja tidak mudah. Konskuensinya para penerbit tidak sembarangan me-nerbitkan fiksi tersebut, mereka selektif dalam memilih nama. Ini tidak hanya terjadi di Padang juga dialami penulis Yogyakarta.

Penulisan teks ilmiah akademik merupakan lahan yang sangat menjanjikan. Sebab pangsa pasarnya telah jelas, yaitu mahasiswa dan peminat buku lainnya, paling tidak mahasiswa yang sedang mengikuti perkuliahan penulis buku tersebut. Banyak teks ilmiah akademik yang telah diterbitkan di Yogyakarta. Buku tersebut sebenarnya merupakan bahan perkuliahan yang telah dikembangkan sebelum naik cetak. Bahkan sebagian buku merupakan kumpulan tulisan dari para akademisi. Beberapa perguruan tinggi di Sumatra Barat seperti IAIN Imam Bonjol telah menerbitkan paling tidak dua buah buku untuk tahun ini, dan Universitas Andalas akan meluncurkan 6 buku teks ilmiah akademik pada September 2003. Jika sekiranya ada penerbit yang mau mengikuti “cara Yogyakarta” yaitu menerbitkan dan menjual buku dengan harga “diskon” maka bukan tidak  mungkin akan banyak buku yang akan ke luar dari penerbit Sumatra Barat.

Penulisan buku popular telah dilakukan oleh bebe-rapa penulis, baik Yogyakarta dan Sumatra Barat. Persoalan Sumatra Barat adalah jaringan pemasaran dari penerbitan yang telah dilakukan. Bagi buku penulis Yogyakarta, terbitan mereka memiliki jaringan yang relatif luas ke banyak wilayah Nusantara. Sebenarnya ini bisa dilakukan oleh penerbit Sumatra Barat apabila mereka mau bekerja sama dengan pihak distributor buku.

Sesuatu yang paling dimengerti oleh banyak pe-nulis buku adalah menulis buku belum bisa dijadikan sebagai profesi. Sebab kalau buku tersebut laris, banyak peminatnya, secara teoritis akan banyak pemasukan bagi penulis. Namun tidak jarang pemasukan tersebut tidak mengalir ke penulis karena tertahan di tangan penerbit. Dengan kata lain ada persoalan moral di sana. Atau buku tersebut dibajak oleh para pembajak buku, sehingga harga buku jatuh dan baik penulis dan penerbit dirugikan.

Penutup

Dunia penerbitan, pasar buku, dan dunia kepenu-lisan merupakan rangkaian yang saling mempenga-ruhi satu sama lain. Beberapa hal yang terjadi di Yogya-karta mungkin bisa dijadikan bahan pelajaran bagi Sumatra Barat. Pelajaran tersebut bisa diambil sebagai contoh, bisa juga hanya sekadar pemahaman. Kesemua itu berpulang pada kita. Gagasan tentang masa depan bisa kita konstruksi bersama atau sendiri. Juga berpu-lang kepada kita.*

 

Disampaikan dalam seminar sehari “Membaca Dunia Penerbitan dan Kepenulisan Sumatra Barat” yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat, Senin, 25 Agustus 2003 di Gedung Abdullah Kamil Genta Budaya Padang

Disalin dari buku Menyulam Visi: DKSB dalam Catatan (Nasrul Azwar-Ed), Penerbit Dewan Kesenian Sumatra Barat, November 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...