OLEH Yusriwal
Sejauh yang dapat ditelusuri, dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan kata “essei”, yang ada hanya kata “esai”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayan, 1988) esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisanya.
Oleh sebab itu, esai digolongkan ke dalam
ragam sastra. Dalam Kamus Bahasa Inggris
(Echols,1989) “essay” adalah karangan, esai (sastra). Kemudian dalam Encyclopedia of Knowledge (Grolier)
dikatakan:
The essay, the most
flexible of all literary form, offers writers maximum freedom with respect to
choice of subject, length of composition, and style of expression. An essay can
be formal or informal, personal or impersonal, highly organized or rambling,
playful or didactic, serious or satirical.
Dalam Kamus
Istilah Sastra (Sudjiman,1984) diterangkan bahwa pada mulanya esai
diartikan karangan prosa dengan bahasa dan cara menarik. Dalam perkembangannya
dibedakan antara esai nonformal dan esai formal. Esai formal adalah karangan
yang membahas suatu tema atau topik secara panjang lebar dan mendalam, dengan
tujuan yang cukup obyektif. Esai
nonformal adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas
dari sudut pandangan penulisnya atau sama dengan pengertian awal esai.
Sudjiman menggunakan istilah “esei” bukan
“essei” atau “esai”. Dari segi baku atau tidaknya istilah tersebut, dapat
ditarik kesimpulan bahwa istilah yang baku adalah “esai”, karena terdapat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
dianggap kamus resmi untuk Bahasa Indonesia. Walaupun dalam Kamus Istilah Sastra, Sudjiman
menggunakan istilah “esei”, namun jika dibandingkan dengan istilah “esai” dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, jelas
“esai” lebih baku. Alasan lain Kamus
Besar Bahasa Indonesia lebih kemudian terbitnya dibanding Kamus Istilah Sastra.
Panitia lomba ini menggunakan istilah
“essei”: apa yang dimaksud dengan istilah tersebut? Jika dianggap salah tulis:
pengertian esai yang mana yang dimaksud? Apakah esai formal atau esai nonformal?
Oleh sebab itu, pada tulisan berikut akan
dikemukakan berapa aspek yang berhubungan dengan kepenulisan esai, baik esai
formal maupun esai nonformal.
Setelah reformasi, tidak berlaku lagi
undang-undang yang mengharuskan media massa memiliki SIUPP (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers). Akibatnya, siapa saja yang mempunyai keinginan dan memiliki
modal, dapat mendirikan surat kabar atau majalah. Maka, di mana-mana terbit
surat kabar dan majalah, baik harian, mingguan, bulanan, dari format koran,
tabloit, dan majalah.
Fenomena tersebut, juga terjadi di
Sumatra Barat. Dari empat surat kabar berkembang menjadi 20-an media (harian,
mingguan, tabloid, dan majalah).
Namun perkembangan surat kabar tersebut
tidak diiringi dengan pertambahan penulis. Penulis yang mengisi kolom-kolom
atau artikel-artikel, masih dapat dikatakan muka-muka lama. Kalau pun ada
penulis baru tidak sebanding dengan pertambahan media yang ada. Apa yang
menyebabkan ketimpangan tersebut? Ini sebuah persoalan yang patut dicermati.
Dunia internasional mengenal Soekarno,
Hatta, Sudjatmoko, Tan Malaka, A.A. Navis, dan banyak tokoh lainnya. Mereka
dikenal bukan karena jabatannya, tetapi karena tulisan-tulisan mereka. Soekarno
memang dikenal sebagai presiden RI yang pertama, namun ia lebih dikenal karena
menuliskan dan mempublikasikan pemikirannya. Bahkan, karena pemikirannya
tersebut Soekarno diberi gelar doktor oleh beberapa universitas di Amerika.
Plato, Aristoteles, Descartes, dan banyak
tokoh lain yang telah meninggal beberapa abad yang lalu masih dikenal sampai
sekarang, tidak lain karena mereka menulis. Bahkan Ferdinand de Saussure dan
Charles Sanders Peirce baru dikenal setelah dia meninggal karena
tulisan-tulisannya dibaca orang. Padahal semasa hidup mereka tidak dianggap
apa-apa.
Sebenarnya persoalan menulis adalah
persoalan sederhana yaitu bagaimana menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan. Ia
merupakan sebuah keterampilan atau skil. Setiap orang bisa menjadi penulis.
Namun pada akhirnya, terpulang kepada pribadi masing-masing: mau atau tidak?
Atau bisa jadi tidak mempunyai pikiran. Kalau tidak mau berpikir memang tidak
akan pernah bisa menulis.
Menulis merupakan sebuah proses yang
hasilnya adalah karya tulis. Proses ini berawal dari pemahaman terhadap sebuah
persoalan. Pemahaman akan memunculkan masalah dan masalah akan diselesaikan
dengan analisis. Dalam analisis dibutuhkan pengalaman, baik yang berasal dari
bacaan atau yang berasal dari pengalaman empiris. Analisis akan menghasilkan
sebauah solusi.
Beberapa contoh esai yang baik dapat
dikemukakan di sini, antara lain misalnya Catatan
Pinggir (Goenawan Mohamad), Mempertimbangkan
Tradisi (W.S. Rendra), Solilokui
(Budi Darma), Angin Musim (Mahbub
Djunaidi), dan Etika Pembebasan
(Soedjatmoko). *
Tulisan ini disampaikan
dalam acara Penyerahan Hadiah bagi Pemenang Lomba Penulisan Essei Antar
Mahasiswa se-Kodya Padang dan Dialog Kepenulisan Essei, Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Andalas, di Padang 9 April 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar