Rabu, 06 Januari 2021

Konsepsi Alam Minangkabau

OLEH Muhammad Nasir (Dosen UIN Imam Bonjol Padang)


Ada beberapa istilah yang tersedia dalam sejarah peradaban manusia untuk menyebut Bumi tempat bermukimnya atau wilayah geografisnya. Ada yang menggunakan istilah tanah (land). Dengan istilah ini terciptalah frasa Tanah Jawa, Tanah atau Tano Batak. Tanah Gayo-Alas (Dataran Tinggi Gayo, Aceh), Tanah Jawa, Tanah Pasundan, Tanah Rencong (Pesisir Barat Aceh). Tanah Rencong dalam pemahaman sementara penulis adalah julukan yang berangkat dari kekhasan yang iconic, yaitu rencong sebagai senjata tradisional Aceh.

Ada juga yang menggunakan istilah Bumi. Misalnya Bumi Sriwijaya dan Bumi Sikerei (Mentawai). Bumi Sikerei sebagaimana penyebutan Tanah Rencong di Aceh bukanlah mengandung makna tanah secara langsung, namun sebuah julukan yang diberikan berdasarkan kekhasan yang iconic, yaitu Sikerei, dukun, penguasa magi dan tokoh spiritual masyarakat suku Mentawai.

Di negeri-negeri Eropa juga tersedia istilah father land atau mother land. Dengan demikian, tanah menjadi satu petunjuk ke arah ciri kebudayaan yang meletakkan penguasaan dan pengelolaan atas tanah sebagai sesuatu yang penting baik dalam status sebagai tanah asal,'tanah tempat kembali dan pusat supremasi kebudayaan.

Orang Minangkabau memopulerkan penyebutan alam untuk menyebut wilayah geografisnya. Selain itu, alam dalam tradisi Minangkabau juga terbaca sebagai sebuah konsepsi yang tidak hanya sebatas geografis dan wilayah teritorial. Lalu, bagaimana konsepsi Alam Minangkabau menurut pengetahuan yang diwariskan melalui tuturan adat dan percakapan harian masyarakat Minangkabau serta pengetahuan yang bersumber dari kepustakaan yang menulis tentang Minangkabau?

Konsepsi Alam

Pengertian “alam” dalam kamus umum bahasa Indonesia (W.J.S. Poerwadarminta), mengemukakan alam dalam pengertian dunia, misalnya: alam semesta, syah alam. Selain itu alam juga dapat diartikan sebagai pengertian geografis yaitu daerah atau negeri, misalnya Alam Minangkabau.

Dalam pemahaman umum sekarang ini (terutama orang luar Minangkabau), kata Minangkabau sering diidentikkan dengan kata Sumatera Barat. Padahal secara subtantif keduanya mempunyai makna yang berbeda. Daerah geografis Minangkabau tidak sepenuhnya merupakan bagian daerah propinsi Sumatera Barat (Mansoer,1970). Sedangkan Minangkabau adalah teritorial menurut kultur Minangkabau yang daerahnya jauh lebih luas dari Sumatra Barat sebagai salah satu propinsi (Hakimy,1994).

Lalu, apa makna alam bagi masyarakat Minangkabau? kemungkinan jawabannya paling tidak dapat diperiksa dari pengetahuan-pengetahuan yang diwariskan melalui pergaulan harian yang berbasis tuturan lisan, baik tuturan yang dikutip dari tambo yang diselipkan melalui percakapan harian mereka, maupun dari kosa kata dan makna konteks si penutur ketika menggunakan diksi alam ini.

Alam dalam pengertian pertama adalah pengertian non materi, yaitu mengandung makna pandangan hidup, cara pandang tentang dunia (worldview, weltanschauung) ide, gagasan, wawasan, ajaran, adat, hukum, peraturan-peraturan dan sebagainya. Untuk kategori makna yang ini, A.A. Navis (1984) menyebutnya sebagai pengertian filosofis.

Dalam percakapan harian sering digunakan istilah baalam laweh (ber-alam luas). Istilah ini sama sekali tidak berbau geografis dan teritori. Misalnya, Pangulu baalam laweh – bapadang data. Dalam versi lain bapadang leba. Artinya, seorang penghulu, pimpinan adat itu harus berpikiran, berwawasan luas dan berpadang atau berhati lapang. Penghulu merupakan pantulan dari masyarakat (anak kamanakan) yang dipimpinnya. Oleh sebab itu frasa baalam laweh juga berlaku untuk seluruh orang-orang Minangkabau.

Buku “Alam Pikiran Yunani” adalah salah satu contoh pengguanaan kata alam dalam makna pemikiran. Buku ini ditulis oleh Mohammad Hatta (Bung Hatta) pria Minangkabau yang menjadi Proklamator Kemerdekan Republik Indonesia sekaligus menjadi Wakil Presiden Indonesia pertama saat ia dibuang ke Digoel tahun 1934. Dapat diduga diksi alam pikiran merupakan jejak tradisi Minangkabau dalam sosok Hatta.

Selanjutnya, secara bergantian, kata alam juga sering digunakan oleh penutur asli Minangkabau untuk berbagai keperluan. Misalnya,ungkapan itulah hukum alam Minangkabau (itulah hukum [adat] Minangkabau).

Alam dalam pengertian kedua adalah pengertian wilayah geografis dan teritorial. Alam dalam pengertian wilayah adalah wilayah tempat bermukimnya suku bangsa Minangkabau. Wilayah ini dibagi kepada tiga kawasan yang menunjukkan asal hunian, daerah pengembangan dan daerah batas pengaruh. Untuk semua kategori wilayah ini, orang Minangkabau menyebut wilayahnya dengan alam Minangkabau.

Kawasan pertama adalah asal hunian dapat ditemukan dalam tuturan adat berbentuk pantun yang populer di dalam buku ajar Minangkabau di sekolah-sekolah Sumatera Barat kontemporer. Orang Minangkabau menyebut Gunuang Marapi sebagai daerah asalnya. Dari mano titiak palito, dari telong nan batali, dari mano asa niniak muyang kito, dari puncak Gunuang Marapi

Selanjutnya kawasan kedua sebagai pengembangan hunian. Kawasan ini disebut dengan Luhak atau Luak. Luhak secara bergantian sering dipadankan dengan kata Darek (darat) yang merujuk kepada struktur hunian yang merupakan daratan di dataran tinggi dengan struktur tanah yang berbukit yang dibelah oleh lembah-lembah yang dialiri sungai-sungai kecil. Kebanyakan sungai ini tak dapat dialiri kapal penumpang, kecuali hanya sampan kecil yang kerap disebut biduak. Namun secara umum, biduak bukanlah moda transportasi pengangkut orang, Selain itu Luhak juga disebut dengan ranah. Secara serampangan kata ranah digunakan oleh orang Minangkabau kontemporer untuk seluruh wilayah Minangkabau. mereka menyebutnya Ranah Minang.

Penulis asing kerap menyebut Luhak dengan sebutan Pedalaman Minangkabau. Hal ini terlihat dalam literatur yang membahas revolusi Paderi di Minangkabau sepanjang akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 hingga berhenti di tahun 1838. Disebut pedalaman karena ditulis dari perspektif penulis yang meletakkan gerbang laut Sumatera (pantai Timur dan pantai barat) sebagai pintu masuk dan titik luar Minangkabau. Lebih khusus, di era kolonialisme Belanda, hampir keseluruhan wilayah luhak disebut sebagai Padangsche Bovenlanden (Padang Darat).

Selanjutnya Luhak sebagai kawasan pengembangan pemukiman ini dibagi kepada tiga luhak, yaitu Pertama Luhak Tanah Datar disebut juga Luhak nan Tuo. Kedua  Luhak Agam atau Luhak nan Tangah, Ketiga Luhak Limapuluahkoto atau Luhak nan Bungsu. Ketiga Luhak ini disebut dengan Luhak Nan Tigo. Oleh Elizabeth E. Graves (1981) disebut sebagai daerah inti atau pusat Minangkabau (core region/center of Minangkabau)

Kawasan terakhir adalah kawasan batasan pengaruh yang disebut dengan daerah rantau. Secara umum, semua daerah yang di luar wilayah luhak adalah rantau. Namun, pengertian ini terasa ambisius dan tidak memberikan batasan yang jelas sebagai wilayah geografis. Disebut daerah batas pengaruh karena daerah ini meskipun menarik garis asal usul dari Luhak, namun praktik bermasyarakat dan perkembangan asal penduduk dalam taraf tertentu amat berbeda. Oleh Graves, rantau disebut sebagai front landen, daerah batas pengaruh kebudayaan Minangkabau. Oleh Belanda sebagian besar rantau di pesisir barat disebut dengan Padangsche Benedenlanden (Padang laut/pesisir pantai).

Dalam Tambo Alam, Datoek Toeah (1969) menuliskan bahwa daerah pengaruh Minangkabau mencakup wilayah huniah suku Talang Mamak di sehiliran sungai Indragiri Riau, Kerinci Sungai Ngiang dan beberapa daerah di Jambi. Selain daerah pengaruh, ia juga menyebut daerah taklukkan yaitu Kampar Kiri, Kampar Kanan, Rokan, Batanghari, Sungai Pagu, Pasaman, Rao, Siak dan Pakanbaru.

Namun beberapa kategori daerah yang disebut Dt. Toeah di atas, secara administrasi wilayah oleh banyak penulis dikategorikan berdasarkan arah mata angin, yaitu Rantau Timur dan Rantau Barat. Ada juga yang menggunakan istilah rantau hilir dan rantau mudiak. Satu kawasan lagi yag sering disebut adalah daerah ikua darek kapalo rantau (ekor darat kepala rantau, perbatasan daerah luhak dan rantau). Sejatinya meski ini merupakan kategori yang dipertahankan sebagai wilayah ketiga oleh beberapa penulis Minangkabau, wilayah ini lebih berorientasi kepada kekhususan penerapan hukum adat.

Kesatuan Konstruksional

Berdasarkan uraian di atas, bahwa Alam Minangkabau itu merupakan kesatuan konstruksional antara gagasan dan kesadaran atas wilayah. Kesatuan ini diikat dalam kredo Alam Takambang Jadi Guru. Alam geografis merupakan sumber belajar (learning resources). Alam geografis inilah pusako (warisan budaya bendawi) orang Minangkabau. Alam pikir merupakan alam yang sebenarnya. Dan ianya adalah sako alias warisan budaya tak benda (WBTB), software yang menggerakkan kebudayaan Minangkabau..

Tambo, sebagai salahsatu sumber pengetahuan kebudayaan Minangkabau dibagi menjadi dua bagian berdasarkan konsepsi tentang alam yang dua ini. Bagian pertama adalah tambo alam yang berisi wawasan geografis dan tambo adat yang berisi landasan filosofis, landasan operasional dan landasan kontinuitas adat Minangkabau.

Jika ada yang patut dicemasi kehilangannya oleh orang Minangkabau, maka itu adalah kehilangan ide (hilang aka) dan hilangya wilayah (dalam skala kecil, hilangnya ulayat). Sako tagak di ateh pusako.[*]

Pernah dimuat di Harian Khazanah

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...