OLEH Muhammad Nasir (Dosen UIN Imam Bonjol Padang)
Ada beberapa istilah yang tersedia dalam sejarah peradaban manusia untuk menyebut Bumi tempat bermukimnya atau wilayah geografisnya. Ada yang menggunakan istilah tanah (land). Dengan istilah ini terciptalah frasa Tanah Jawa, Tanah atau Tano Batak. Tanah Gayo-Alas (Dataran Tinggi Gayo, Aceh), Tanah Jawa, Tanah Pasundan, Tanah Rencong (Pesisir Barat Aceh). Tanah Rencong dalam pemahaman sementara penulis adalah julukan yang berangkat dari kekhasan yang iconic, yaitu rencong sebagai senjata tradisional Aceh.
Ada juga yang menggunakan istilah Bumi. Misalnya Bumi Sriwijaya dan Bumi Sikerei (Mentawai). Bumi Sikerei sebagaimana penyebutan Tanah Rencong di Aceh bukanlah mengandung makna tanah secara langsung, namun sebuah julukan yang diberikan berdasarkan kekhasan yang iconic, yaitu Sikerei, dukun, penguasa magi dan tokoh spiritual masyarakat suku Mentawai.
Di negeri-negeri Eropa juga tersedia
istilah father land atau mother land. Dengan demikian, tanah
menjadi satu petunjuk ke arah ciri kebudayaan yang meletakkan penguasaan dan
pengelolaan atas tanah sebagai sesuatu yang penting baik dalam status sebagai
tanah asal,'tanah tempat kembali dan pusat supremasi kebudayaan.
Orang Minangkabau memopulerkan
penyebutan alam untuk menyebut
wilayah geografisnya. Selain itu, alam dalam tradisi Minangkabau juga terbaca sebagai sebuah
konsepsi yang tidak hanya sebatas geografis dan wilayah teritorial. Lalu,
bagaimana konsepsi Alam Minangkabau menurut
pengetahuan yang diwariskan melalui tuturan adat dan percakapan harian masyarakat
Minangkabau serta pengetahuan yang bersumber dari kepustakaan yang menulis tentang Minangkabau?
Konsepsi Alam
Pengertian “alam” dalam kamus umum
bahasa Indonesia (W.J.S. Poerwadarminta), mengemukakan alam dalam pengertian
dunia, misalnya: alam semesta, syah alam. Selain itu alam juga dapat diartikan
sebagai pengertian geografis yaitu daerah atau negeri, misalnya Alam
Minangkabau.
Dalam pemahaman umum sekarang ini
(terutama orang luar Minangkabau), kata Minangkabau sering diidentikkan dengan
kata Sumatera Barat. Padahal secara subtantif keduanya mempunyai makna yang
berbeda. Daerah geografis Minangkabau tidak sepenuhnya merupakan bagian daerah
propinsi Sumatera Barat (Mansoer,1970). Sedangkan Minangkabau adalah teritorial
menurut kultur Minangkabau yang daerahnya jauh lebih luas dari Sumatra Barat
sebagai salah satu propinsi (Hakimy,1994).
Lalu, apa makna alam bagi masyarakat Minangkabau? kemungkinan jawabannya
paling tidak dapat diperiksa dari pengetahuan-pengetahuan yang diwariskan
melalui pergaulan harian yang berbasis tuturan lisan, baik tuturan yang dikutip
dari tambo yang diselipkan melalui percakapan harian mereka, maupun dari kosa
kata dan makna konteks si penutur ketika menggunakan diksi alam ini.
Alam dalam pengertian pertama adalah
pengertian non materi, yaitu mengandung makna pandangan hidup, cara pandang
tentang dunia (worldview, weltanschauung) ide, gagasan, wawasan, ajaran,
adat, hukum, peraturan-peraturan dan sebagainya. Untuk kategori makna yang ini,
A.A. Navis (1984) menyebutnya sebagai pengertian filosofis.
Dalam percakapan harian sering
digunakan istilah baalam laweh (ber-alam luas). Istilah ini sama sekali
tidak berbau geografis dan teritori. Misalnya, Pangulu baalam laweh –
bapadang data. Dalam versi lain bapadang leba. Artinya, seorang
penghulu, pimpinan adat itu harus berpikiran, berwawasan luas dan berpadang
atau berhati lapang. Penghulu merupakan pantulan dari masyarakat (anak
kamanakan) yang dipimpinnya. Oleh sebab itu frasa baalam laweh juga berlaku untuk seluruh orang-orang Minangkabau.
Buku “Alam Pikiran Yunani” adalah
salah satu contoh pengguanaan kata alam dalam makna pemikiran. Buku ini ditulis
oleh Mohammad Hatta (Bung Hatta) pria Minangkabau yang menjadi Proklamator
Kemerdekan Republik Indonesia sekaligus menjadi Wakil Presiden Indonesia
pertama saat ia dibuang ke Digoel
tahun 1934. Dapat diduga diksi alam pikiran merupakan jejak tradisi Minangkabau dalam sosok
Hatta.
Selanjutnya, secara bergantian, kata
alam juga sering digunakan oleh penutur asli Minangkabau untuk berbagai
keperluan. Misalnya,ungkapan itulah hukum alam Minangkabau (itulah hukum
[adat] Minangkabau).
Alam dalam pengertian kedua adalah
pengertian wilayah geografis dan teritorial. Alam dalam pengertian wilayah
adalah wilayah tempat bermukimnya suku bangsa Minangkabau. Wilayah ini dibagi
kepada tiga kawasan yang menunjukkan asal hunian, daerah pengembangan dan
daerah batas pengaruh. Untuk semua kategori wilayah ini, orang Minangkabau
menyebut wilayahnya dengan alam
Minangkabau.
Kawasan pertama adalah asal hunian
dapat ditemukan dalam tuturan adat berbentuk pantun yang populer di dalam buku
ajar Minangkabau di sekolah-sekolah Sumatera Barat kontemporer. Orang
Minangkabau menyebut Gunuang Marapi sebagai daerah asalnya. Dari mano titiak palito, dari telong nan
batali, dari mano asa niniak muyang kito, dari puncak Gunuang Marapi
Selanjutnya kawasan kedua sebagai
pengembangan hunian. Kawasan ini disebut dengan Luhak atau Luak. Luhak secara
bergantian sering dipadankan dengan kata Darek (darat) yang merujuk kepada struktur hunian yang
merupakan daratan di dataran tinggi dengan struktur tanah yang berbukit yang
dibelah oleh lembah-lembah yang dialiri sungai-sungai kecil. Kebanyakan sungai
ini tak dapat dialiri kapal penumpang, kecuali hanya sampan kecil yang kerap
disebut biduak. Namun secara umum, biduak
bukanlah moda transportasi pengangkut orang, Selain itu Luhak juga disebut
dengan ranah. Secara serampangan kata ranah digunakan oleh orang Minangkabau
kontemporer untuk seluruh wilayah Minangkabau. mereka menyebutnya Ranah Minang.
Penulis asing kerap menyebut Luhak
dengan sebutan Pedalaman Minangkabau.
Hal ini terlihat dalam literatur yang membahas revolusi Paderi di Minangkabau
sepanjang akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 hingga berhenti di tahun 1838.
Disebut pedalaman karena ditulis dari perspektif penulis yang meletakkan
gerbang laut Sumatera (pantai Timur dan pantai barat) sebagai pintu masuk dan
titik luar Minangkabau. Lebih khusus, di era kolonialisme Belanda, hampir
keseluruhan wilayah luhak disebut sebagai Padangsche Bovenlanden (Padang
Darat).
Selanjutnya Luhak sebagai kawasan
pengembangan pemukiman ini dibagi kepada tiga luhak, yaitu Pertama Luhak Tanah
Datar disebut juga Luhak nan Tuo. Kedua
Luhak Agam atau Luhak nan Tangah, Ketiga Luhak Limapuluahkoto
atau Luhak nan Bungsu. Ketiga Luhak ini disebut dengan Luhak Nan Tigo.
Oleh Elizabeth E. Graves (1981) disebut sebagai daerah inti atau pusat
Minangkabau (core region/center of Minangkabau)
Kawasan terakhir adalah kawasan
batasan pengaruh yang disebut dengan daerah rantau. Secara umum, semua daerah
yang di luar wilayah luhak adalah rantau. Namun, pengertian ini terasa ambisius
dan tidak memberikan batasan yang jelas sebagai wilayah geografis. Disebut daerah
batas pengaruh karena daerah ini meskipun menarik garis asal usul dari Luhak,
namun praktik bermasyarakat dan perkembangan asal penduduk dalam taraf tertentu
amat berbeda. Oleh Graves, rantau disebut
sebagai front landen, daerah batas
pengaruh kebudayaan Minangkabau. Oleh Belanda sebagian besar rantau di pesisir
barat disebut dengan Padangsche Benedenlanden (Padang laut/pesisir pantai).
Dalam Tambo Alam, Datoek Toeah
(1969) menuliskan bahwa daerah pengaruh Minangkabau mencakup wilayah huniah
suku Talang Mamak di sehiliran sungai Indragiri Riau, Kerinci Sungai Ngiang dan
beberapa daerah di Jambi. Selain daerah pengaruh, ia juga menyebut daerah
taklukkan yaitu Kampar Kiri, Kampar Kanan, Rokan, Batanghari, Sungai Pagu,
Pasaman, Rao, Siak dan Pakanbaru.
Namun beberapa kategori daerah yang
disebut Dt. Toeah di atas, secara administrasi wilayah oleh banyak penulis
dikategorikan berdasarkan arah mata angin, yaitu Rantau Timur dan Rantau Barat.
Ada juga yang menggunakan istilah rantau hilir dan rantau mudiak. Satu kawasan
lagi yag sering disebut adalah daerah ikua
darek kapalo rantau (ekor darat kepala rantau, perbatasan daerah luhak dan
rantau). Sejatinya meski ini merupakan kategori yang dipertahankan sebagai
wilayah ketiga oleh beberapa penulis Minangkabau, wilayah ini lebih
berorientasi kepada kekhususan penerapan hukum adat.
Kesatuan Konstruksional
Berdasarkan uraian di atas, bahwa
Alam Minangkabau itu merupakan kesatuan konstruksional antara gagasan dan
kesadaran atas wilayah. Kesatuan ini diikat dalam kredo Alam Takambang Jadi
Guru. Alam geografis merupakan sumber belajar (learning resources). Alam
geografis inilah pusako (warisan budaya bendawi) orang Minangkabau. Alam pikir merupakan alam yang sebenarnya. Dan ianya adalah sako
alias warisan budaya tak benda (WBTB), software
yang menggerakkan kebudayaan Minangkabau..
Tambo, sebagai salahsatu sumber pengetahuan kebudayaan Minangkabau dibagi menjadi dua bagian berdasarkan konsepsi tentang alam yang dua ini. Bagian pertama adalah tambo alam yang berisi wawasan geografis dan tambo adat yang berisi landasan filosofis, landasan operasional dan landasan kontinuitas adat Minangkabau.
Jika ada yang patut dicemasi
kehilangannya oleh orang Minangkabau, maka itu adalah kehilangan ide (hilang
aka) dan hilangya wilayah (dalam skala kecil, hilangnya ulayat). Sako tagak di
ateh pusako.[*]
Pernah
dimuat di Harian Khazanah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar