Senin, 14 Desember 2020

Opsi Multifungsi Melawan Banjir di Kota Padang

OLEH Agus Taher (Peneliti dan Seniman)


Dulu, sekitar tahun 2004 di Balitbang provinsi Sumbar, ketika mendiskusikan penanganan banjir di Kota Padang, ada gurauan diantara rekan-rekan akademisi bahwa UNP dan Unand ikut andil sebagai penyebab maraknya banjir Kota Padang. Yang satu bilang, lokasi Unand di pinggang bukit memicu hantaman banjir makin kuat, akibat sebagian wilayah pebukitan terbuka, sementara jarak antara bukit dan pantai sangat pendek, sekitar 15-20 km.  Yang lain bilang, UNP berlokasi di wilayah resepan air, daerah cekungan, sehingga genangan air cepat  terjadi.  Itu garah tingkat tinggi, yang kemudian lenyap ketika diskusi aktual tentang banjir berakhir.

Dan, tanggal 19 Februari 2019 yang lalu, ketika ngumpul bareng di Rumah Makan Mama Oki bersama pak Gamawan, Eko, Alwi Karmena, Kafrawi, Pak Fachrul Rasyid, wartawan senior yang memiliki banyak catatan tentang infrstruktur Kota Padang dengan tegas menyebut penyebab banjir Kota Padang bukan luapan sungai, akan tetapi genangan yang disebabkan drainase tak memadai.  Peta drainasenya pun tak ada, katanya lagi.

Nah, dua iven tadi yang menyebabkan tulisan ini hadir.  Refleksi pemikirannya ke kota Jakarta saat ini dan kota Padang ke depan.  Jakarta, meskipun jaraknya dengan wilayah Bogor atau Bandung relatif jauh, akan tetapi karena wilayah Jakarta yang kerendahan sudah dipenuhi oleh bangunan dan cemented areas (wilayah yang sudah di semen untuk jalan, bangunan dan lainnya),  ditambah lagi dengan kurangnya pepohonan, menyebabkan ibukota RI ini menjadi pelanggan banjir.  Banjir menjadi musuh ibukota yang belum tertandingi hingga saat ini.  Kawasan-kawasan  yang lebih rendah dari permukaan laut, yang dulunya berfungsi sebagai wilayah resepan air, sudah berkembang sebagai real estate, seperti kawasan Pantai Indah Kapok. 

Di kota Padang, wilayah kerendahan ini meliputi sebagian besar kawasan pinggir pantai kota Padang, termasuk wilayah sekitar Balai Kota Padang yang baru. Wilayah Parak Jambu dan Maransi, yang berdekatan dengan kampus UBH yang baru, malah merupakan kawasan gambut dengan kedalaman 1-2 meter.

Di masa datang, wilayah-wilayah  resapan di sekitar Balai Kota Padang Aie Pacah inilah yang akan berubah wajah menjadi semacam Pantai Indah Kapok Jakarta, karena daya tarik Aie Pacah sebagai pusat pertumbuhan baru, karena keberadaan Kantor Balai Kota Padang, pusat bisnis, serta Universitas dan RS Baiturrahmah, serta UBH.  Di lain pihak, isu gempa membuat kawasan timur kota Padang, mulai dari kawasan datar hingga berbukit, seperti Limau Manis, Parak Buruak, Rimbo Tarok dan lainnya semakin menjadi inceran developer untuk membangun perumahan, terutama perumahan bersubsidi, karena harga tanahnya masih murah.  Sekarang, rumah bersubsidi lakunya seperti kacang goreng. 

Ketika trend pembangunan perumahan di Kota Padang ini makin menggeliat ke kawasan timur kota Padang, maka laju deras air ketika hujan lebat juga akan semakin dahsyad.  Tentu, akan makin sempurna lah bencana banjir di kota Padang.  

Rapulai Menanam dan Pengembang Peduli

Solusi teknis terbaik memang normalisasi sungai dan pembenahan drainase.  Biasanya, normalisasi sungai dibiayai oleh APBN. APBD tak mampu membiayainya.  Perbaikan drainase biasanya dibiayai oleh APBD, seperti yang sedang gencar dilakukan Pemko Padang era Mahyeldi. Meskipun demikian, dengan besar PAD kota Padang sekitar 500-600 milyar setahun, maka pembenahan jaringan drainase cakupannya tetap akan terbatas.  Yang terjamah baru sekitar pusat kota, sebagian besar dalam kegiatan mengangkat sedimen dan sampah dari got. Got drainase kota Padang, ukurannya pun masih kecil, dan tak semuanya tersambung ke parit berukuran besar atau sungai. Itu sebabnya, banjir bandang belum teratasi.   Meskipun demikian, kerja keras Pemko Padang dalam pembenahan drainase sudah patut diapresiasi.

Apa tak ada solusi lain?       

Jawabannya ada. Malah bisa multi fungsi dan murah.  Di desa Kupang, sebelum nikah kedua mempelai wajib menanam 5 pohon.  Di desa Lepadi kecamatan Pajo, sejak 1996 ada Peraturan Desa, dimana kedua mempelai wajib menanam 2 pohon di sekitar kawasan aliran air ke persawahan penduduk.  Sementara, Bupati Kendal Jatim, membuat Perda tahun 2011 yang mewajibkan kedua mempelai menanam 2 pohon.  Petugas KUA disanksi, apabila menikahkan mempelai yang tidak menanam pohon.  Aturan ini yang saya sebut Rapulai Menanam.   

Tanaman yang biasa ditanam adalah buah2an, seperti mangga rambutan, pisang, atau lengkeng. Di Kendal,  juga bibit trambesi..  Hal yang sama juga sudah diterapkan di beberapa daerah, bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama.telah menanda-tangani Nota Kesepakatan, tanggal 16 Juni 2015 tentang gerakan Rapulai Menanam ini.

Nah, gerakan “rapulai menanam ini pun perlu juga diberlakukan kepada para developer, sebagai bentuk peningkatan kepedulian pengembang terhadap kelestarian lingkungan.  Meskipun, luas kapling perumahan kecil, terutama perumahan bersubsidi, akan tetapi setiap rumah pasti memiliki rolen, minimal 3 meter.  Pada luasan bagian rolen tersebut , yang biasanya berfungsi pekarangan, masih bisa ditanam 1 -2 tanaman.

Sesuai judul tulisan ini, multi fungsinya gerakan rapulai menanam ini mencakup: 1) meningkatkan resepan air ke tanah sebagai akibat perakaran tanaman, 2) memperkecil efek hantaman butiran hujan ke tanah, sehingga mengurangi erosi permukaan, 3) meningkatkan efek paru-paru kota; 4) mendukung gerakan Indonesia hijau, 5) penyedia buah dan meningkatkan gizi masyarakat, termasuk berpotensi ekonomi, dan 6) meningkatkan sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) dari Dinas Pertanian melalui penjualan bibit unggul.***

Pernah dimuat di Harian Khazanah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...