OLEH Agus Taher
(Budayawan)
Pak Agus, makin hari, makin tapikia dek ambo isi buku
Global Paradox. Makin lamo, makin taraso, kito salapiak lain rasian. Gamawan Fauzi
Saya katakan pada Pak GF, bahwa saya belum membaca
utuh buku Global Paradox, karya hebat
Jhon Naisbitt itu. Meskipun tak membaca
utuh, beberapa sinopsis dan tulisan tentang buku Global Paradox yang sangat populer itu telah saya baca. Jhon
Naisbitt adalah seorang profesor, penerima 15 gelar doktor kehormatan dalam bidang
teknologi, humaniora dan ilmu pengetahuan. Banyak karyanya yang fenomenal,
seperti Megatrens 2000, termasuk China's Megatrends, yang sudah saya
miliki bukunya.
Inti sari dari buku Global Paradox yang terkenal itu adalah
bahwa perkembangan telekomunikasi yang luas telah memicu terciptanya ekonomi global raksasa. Sementara pada saat yang sama, konsep negara-bangsa, seperti
Uni Sovyet dan Indonesia menjadi usang. Paradoksnya, unit organisasi kecil
mendapatkan kekuatan yang lebih besar karena batas-batas nasional semakin
terbuka oleh teknologi komunikasi dan informasi. Disebut juga, bahwa definisi global paradox itu dalam sebuah kalimat: "Semakin besar ekonomi dunia,
semakin kuat para pemain terkecilnya".
Unit-unit yang lebih kecil, akan mengarah pada globalisasi ekonomi yang
lebih efektif. Statemen itu dibuktikan
oleh Jhon Naisbitt dengan fakta, bahwa saat ini 50 persen ekspor AS dan Jerman
dilakukan oleh perusahaan dengan 19 karyawan atau lebih sedikit. Artinya,
perusahaan kecil semakin hebat perannya.
Naisbitt juga menyebut, bahwa
kemajuan teknologi dalam komunikasi elektronik, juga menciptakan megatrend baru, yakni universalisme dan tribalisme. Universalisme
itu lebih terkait dengan ekonomi global, sementara tribalisme lebih berhubungan
dengan wawasan kebangsaan.
By definition tribalisme adalah kesadaran dan kesetiaan yang tinggi terhadap
rasa kesukuan atau etnik. Disebutkan,
bahwa ketika dunia semakin berkembang menjadi satu kesatuan ekonomi global,
maka negara-bangsa tradisional akan menjadi lemah. Batas-batas nasional tidak
lagi penting. Dia memperkirakan bahwa perbedaan budaya dan etnis tradisional
akan muncul kembali sebagai kekuatan yang akan melemahkan negara bangsa, yang
ada. Kepemimpinan politik yang ada diperkirakan tidak memadai untuk era ekonomi
baru. Kuncinya, Naisbitt mengkhawatirkan, negara-negara berbasis kesatuan
etnik, akan pecah, meskipun tidak semua.
Saya pun ingin mengkaitkan
intisari Global Paradox ini dengan teori lain.
Pertama, bahwa tak pernah ada teori/konsepsi yang betul-betul
sempurna. Itu sebabnya para filosuf dan
pemikir (baca filsafat, mazhab, iptek),
mereka saling melengkapi. Bahkan, teori baru menggugat teori yang sudah
melegenda. Konsepsi berubah sesuai zamannya. Teori ekonomi pun berubah, mulai
ekonomi agraris, ekonomi berbasis industri, kapitalis, hingga neo liberal dan
lainnya.
Seorang sosiolog pun pernah bilang,
bahwa semakin banyak positifnya sebuah konsepsi, maka akan semakin banyak pula
negatifnya. Hukum alam itu berimbang.
Dan, kedua, adanya fenomena siklus pengulangan, sesuai firman Allah: "Dunia ini Aku pergilirkan". Firman ini pun di WA kan pak GF pada saya. Beliau,
sejak pensiun memang lebih mencurahkan dirinya dalam memperkuat ilmu agama dan
ibadah.
Bagi saya, dalam politik dan
bernegara, sepertinya siklus pengulangan itu mewarnai teori Naisbitt. Dulu, Nusantara punya banyak kerajaan, kemudan
disatukan oleh Gajah Mada dan Hayam Wuruk dibawah
kekuasaan Majapahit, mirip format "negara bangsa" menurut Naisbitt. Artinya, negara yang dibangun dari beragam
etnik, sama halnya dengan Uni Sovyet, yang terdiri dari 15 etnik besar. Kemudian Majapahit pecah, berantakan akibat
pergolakan kerajaan etnik. Ini yang
disebut Naisbitt sebagai tribalisme.
Dalam perjalanannya, ketika kerajaan
kerajaan etnik nusantara ini berhadapan
dengan penjajah, mereka bersatu lagi
menjadi "negara bangsa", yang disebut Indonesia, diawali tekadnya melalui Sumpah Pemuda tahun
1928. Kita tak bisa membayangkan, apakah
teori "pergiliran" tadi akan muncul lagi. Menurut Naissbitt, prakiraan
"global paradox" ini, akan menjadi trend baru dunia, di mana kekuatan ekonomi global dan
teknologi akan memperlemah ikatan "negara bangsa tradisional" (multi
etnik).
Kelompok orang dengan warisan etnis dan budaya yang sama, cenderung
memperkuat kembali identitas bersama mereka. Akibatnya, gagasan bahwa pemerintah
pusat sebagai bagian terpenting dari pemerintahan tidak menarik lagi. Menurut saya,
barangkali gagal paham, kebijakan otonomi daerah yang kita gulirkan sejak 2001, makin memicu potensi terjadinya "tribalisme-nya
Naisbitt" itu.
Indikasinya, sejak otoda, tercatat ada 10 propinsi yang menghendaki lepas dari NKRI. Itu pun
masih tak aneh. Di awal merdeka saja,
NKRI sudah mulai retak, yang ditandai dengan munculnya gerakan RMS, DI/TII,
PRRI, dan terus berlanjut dengan kehadiran GAM, OPM, termasuk gerakan Riau
Merdeka sekitar tahun 1999.
Dari berbagai referensi, disebutkan bahwa kebangkrutan ekonomi, korupsi,
berontaknya negara bagian, termasuk program Perestroika dan Glasnost yang diiniasiasi Gorbachev menjadi penyebab bubarnya Uni Sovyet. Era keterbukaan yang digagas Gorbachev itu mempercepat
Uni Sovyet runtuh. Glasnost membuat rakyat terbuka matanya, bahwa sama-sama dibawah Uni Sovyet, akan
tetapi kesejahteraan berbeda antarnegara bagian. Mirip kondisinya dengan
"salapiak lain rasian"-nya Pak GF. Kita sama-sama anak bangsa dan setanah air,
akan tetapi kesejahteraan berbeda. Keadilan sosial, ekonomi dan politik pun tak
sama. Perbedaan dan ketidak setaraan
posisi ini adalah bom waktu, yang tak cukup diatasi dengan "optimisme elite" yang
tidak operasional.
Jadi, utuh atau bubarnya suatu negara itu sifatnya kondisional. Naisbitt pun mengatakan seperti itu. Dari referensi lain pun, saya catat statemen
bagus: bahwa negara tak kan pernah ambruk, apabila bangsa itu makmur. Itu
alasannya, AS tetap utuh, karena mereka makmur.
Cina dan Uni Sovyet sama sama negara luas dan multi etnik, akan tetapi Uni
Sovyet bubar, Cina tidak. Cina tetap
utuh, karena mereka sudah ribuan tahun berpengalaman dalam mengelola kekuatan politik,
meskipun dalam format dinasti. Satu
dinasti, seperti Dinasti Zhou, mampu berkuasa selama 790 tahun. Ketika masih
miskin di era Mao Tse Tung, Cina pun menggunakan kekuatan komunis untuk meredam
setiap gejolak sosial politik dalam negerinya. Ingat tragedi Tiananmen 1989?
Ribuan mahasiswa
mati ditembak dan digilas tank militer. Cina cerdik, tidak mau meniru
Gorbachev, yang diindikasikan dengan sikap: NO keterbukaan, YES Tirai
Bambu. Di era Deng Xio Phing, Tirai
Bambu dibuka seiring dengan revolusi industri yang betul-betul dilakukan secara
cermat dan cepat.
Dalam waktu 20 tahun, Cina berubah menjadi bangsa yang makmur, yang makin
berdaulat di bidang pangan, energi, ekonomi, industri, dan pertahanan. Nah,
Cina seperti saat ini yang disebut Naisbitt sebagai negara sosialis berjubah
kapitalis. Cina milenial bukan hanya mampu menguasai dan meredam sebesar apa
pun gejolak internalnya, akan tetapi Cina pun semakin tak sulit menguasai dunia!
Dan, kita tak seperti China. Kita tak sekuat Cina, kita pun mayoritas beragama,
sehingga tidak mungkin otoriter dan brutal! Kita lebih mirip Uni Sovyet
menjelang bubar, di mana sebagian wilayahnya tertinggal dan miskin, senjang ekonomi semakin
lebar, keadilan politik tak ada. Lagi lagi "salapiak lain rasiannya pak GF
mengemuka. Sementara, megatrend dunia dalam
bentuk "tribalisme-nya Jhon Naisbitt" makin menggejala, yang
dikemukakan GF dalam ungkapan halus khas Minang: "Global Paradox, makin lamo, makin taraso." ***
Pernah dimuat di Harian Khazanah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar