OLEH Eko Yanche Edrie (Wartawan)
Seingat saya, pertemuan pertama dengan
Darman Moenir adalah di Harian Singgalang,
tak lama setelah galodo Bukit Tui 1987. Saya kebetulan mengantarkan berita dari
Padang Panjang ke kantor redaksi di Jalan Veteran 17. Darman duduk di hadapan
Bang Joesfik Helmy yang menjadi Wapemred Singgalang.
"Iko
Darman Moenir, Bung, salami lah ciek,"
kata Bang Jimmy—sapaan akrab M. Joesfik Helmy—sambil mengamit saya.
Saya menyalaminya dan memperkenalkan diri. Lalu Darman memuji tulisan saya tentang 'Kipeh Sate' yang dimuat tiap Rabu di Harian Singgalang. Saya merasa tersanjung, karena saya sudah lama mengenal nama Darman Moenir. Tentu saja sebagai penikmat sastra, saya sudah baca juga novel Bako karyanya. Tapi, baru kali itulah saya bertemu Darman Moenir dan berkenalan.
Setelah itu baru saya bertemu lagi dengan
Darman pada 1991—juga di Harian Singgalang.
Darman mengantarkan naskah tulisan untuk dimuat. Saya menerimanya. Tapi kali
ini, ia menegur saya karena saya menyapanya 'Bang Darman'.
"Jan pakai Bang, tapi pakai Uwan.
Karano ambo Uwan dek Eko. Panggilan Uwan di Sawah Tangah adalah panggilan
setara dengan Abang. Karena Eko lah jadi sumando urang Sawah Tangah, mako panggia
ambo Uwan..."
Uwan memang sapaan untuk kakak laki-laki
di wilayah seputaran lereng Marapi, termasuk di Sawah Tangah. Tentu saja di Aie
Angek, kampung saya, sapaan Uwan juga tidak asing.
Maka sejak itu saya memang menyapa
novelis dan budayawan itu dengan sapaan 'Uwan Darman'.
Entah karena hubungan perkampungan atau
apalah, sejak itu setiap kali ia menulis untuk Singgalang, di amplop dicantumkan alamatnya kepada Add. Eko Yanche
Edrie. Dan yang paling saya ingat di atas tulisannya dibubuhi tulisan tangan
"Tolong jangan diubah setiap ejaan yang ada dalam tulisan ini". Oleh
kawan-kawan redaktur di Harian Singgalang,
tulisan tangan itu acap dianggap 'menggurui' para editor yang sudah 'kenyang'
dengan ejaan. Agaknya ada yang kurang suka dengan pesan Uwan Darman seperti
itu, maka ada tulisannya yang tidak kunjung dimuat.
Karena tidak dimuat juga, ia menelepon
saya dan menanyakan kenapa tulisannya yang dikirim sepuluh hari yang lalu tak
dimuat juga? Karena saya tidak tahu, maka saya jawab bahwa belum ada naskah
Uwan Darman saya terima.
Darman memang sangat nyelimet soal ejaan.
Maka setiap tulisannya yang dimuat, dia periksa lagi apakah sesuai dengan
tindasan tulisan yang ada padanya (dulu masih dengan mesin ketik dan pakai
tindasan menggunakan karbon). Seandainya ada yang berbeda, maka tunggulah Uwan
Darman menelpon ke redaksi. Maklum, kadang saat diketik ulang di unit pracetak,
yang mengetik tidak melakukan koreksi.
Soal ejaan itu acap kali ia mengajak saya
berdiskusi, khususnya penulisan di media massa. Suatu hari ia mengatakan bahwa
ia baru saja menemui Gubernur Hasan Basri Durin untuk menyampaikan protesnya
pada penggunaan kata “West Sumatra” sebagai terjemahan bebas Sumatera Barat.
"Uwan lah sobok jo Pak Hasan dan
meminta penggunaan kata “West Sumatra” untuk keperluan pariwisata, mestinya
tetap pakai Sumatera Barat. Jadi jangan sampai ditulis “Welcome to West
Sumatra, tulislah “Welcome to Sumatera Barat”. Agar orang sedunia ini kenal
dengan Sumatera Barat, bukan West Sumatra," ujarnya seraya manarik dalam-dalam
asap Gudang Garam merahnya—ketika itu DM perokok berat—ke paru-paru.
Ada dua penulis yang 'nyinyir' seperti
itu. Selain Darman adalah AA.Navis. Keduanya selalu meminta agar sebelum
tulisannya diturunkan dibaca ulang, agar disesuaikan dengan naskah asli.
Kedengarannya 'sombong' sekali seolah tulisannya tanpa kesalahan ketik. tetapi
setiap kali saya ulang-ulang membacanya, baik naskah Pak Navis maupun Uwan
Darman memang merupakan naskah yang sudah dibaca ulang oleh penulisnya
berulang-ulang, dan nyaris tanpa kesalahan.
Hari ini, banyak naskah dikirim ke
redaksi apalagi dari para wartawan, tapi selalu saja membuat para redaktur
kewalahan menukangi kembali lantaran banyak terdapat typo dan kesalahan ejaan.
Dalam pertemuan-pertemuan diskusi,
seminar dan sejenisnya, Darman memang tipikal yang senantiasa memperhitungkan
kata demi kata yang dia lontarkan. Terstruktur SPOK-nya dan kaya dengan kata
yang sudah acap tak dipakai awam.
"Sentana gagasan Tan Sri ini
diejawantahkan di sini, alangkah akan kayanya khazanah budaya
Minangkabau," katanya satu ketika saat bersua dengan Menteri Senior
Malaysia, Tan Sri Rais Yatim. Ketika itu Tan Sri Rais Yatim menggagas bagaimana
kalau semua literatur tentang Minangkabau yang ada di Leiden itu dibikin
salinannya dan dibawa ke Sumatera Barat. Jadi, untuk belajar tentang
Minangkabau jangan lagi ke Leiden, melainkan ke tempat asalnya di Ranah Minang.
Perhatiannya pada kata-kata, juga membuat
mantan redaktur Harian Haluan ini
terusik dengan postingan saya di laman Facebook 28 Juli 2015 lalu. Ketika itu
saya mempersoalkan penggunaan kata 'Ranah' yang acap diartikan sebagai 'kampung
halaman' tatkala dipadankan dengan kata 'rantau'. Saya berpikir bahwa kata
'Ranah' tidak pas untuk imbangan dari kata 'Rantau', kecuali dilengkapi menjadi
'Ranah Minang'.
Darman pun memberi dukungan kepada saya
seraya mengatakan pernah mempersoalkan hal yang sama di Universitas Andalas.
Maklum, Facebook memberi kesenangan
berupa fitur 'kenangan Anda' dimana posting-posting
beberapa tahun sebelumnya akan muncul di beranda kita pada tanggal yang sama.
Maka posting 28 Juli 2015 mucul lagi
pada 2019 ini lalu dikomentari lagi. Maka ada yang yang bertanya kepada saya,
"Eh, kemarin baru saja Bang Darman Moenir mengomentari posting Eko,"
kata Indra Sakti Nauli, wartawan yang selalu hangat posting-postingnya. Setelah saya jelaskan bahwa DM mengomentari
status saya itu pada empat tahun lalu, baru Indra mengangguk.
Sejak kemarin siang persisnya pukul 14.40
WIB tak akan kita dengar lagi celetukan atau komentar sarat kata-kata padat
dari Uwan Darman. Setelah sebulan ini kondisi kesehatannya turun (drop) tajam, mengantarkannya ke ruang
HCU di RSUP M. Djamil Padang, ia menyerah kepada ajal. Allah Azza Wajjala telah
memanggil sastrawan itu pulang kembali
ke tempat kita semua jua akan pulang ke sana. Darman Moenir telah mendahului
kita semua.
Darman Moenir lahir di Sawah Tangah,
Pariangan, Tanah Datar, Sumatra Barat, 27 Juli 1952 – meninggal di Kota Padang,
Sumatra Barat, 30 Juli 2019 pada umur 67 tahun. Darman Moenir pernah belajar di
Sekolah Seni Rupa Indonesia, tetapi tidak tamat. Lalu, ia pernah kuliah di
Sekolah Tinggi Bahasa Asing Prayoga, Jurusan Bahasa Inggris, Padang. Sejak 1981
ia sekolah di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Bung Hatta, Padang.
Mulai menulis di usia 18 tahun.
Karya-karyanya dimuat pada majalah Horison,
Titian, Panji Masyarakat, Pertiwi,
Kartini, Ulumul Qur’an, Kalam, Kompas,
Pelita, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Karya, Media Indonesia, Indonesia
Raya, Republika, Berita Minggu (Singapura) dan surat kabar terbitan Padang.
Pernah mengikuti Hari Sastra di Ipoh,
Malaysia (1980), Asian Writers Conference di Manila, Filipina (1981) dan
pertemuan dunia Melayu ’82 di Malaysia (1982), International Writing Program di
Iowa City, dan International Visitor Program di Amerika Serikat (10988). Selain
bekerja di Museum Negeri Provinsi Sumatra Barat (Pensiun Agustus 2008), Padang,
ia juga menjadi seorang Pengasuh dan Pemimpin Produksi di Bumi Teater.
Pada tahun 2010 ia menyerahkan rumah tua
kepada Pemerintah Kabupaten Tanahdatar, Sumatra Barat. Rumah itu dihibahkan ke
Pemkab untuk dijadikan rumah baca dan rumah diskusi warga setempat.
Beberapa sajaknya dimuat di dalam Tonggak 4 (1987), Antologi Puisi Indonesia
Modern, Dari Negeri Poci 2(1994), Dari Negeri Poci 3. Cerpen-cerpennya
dimuat dalam sebuah antologi
Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991).
Novel Bako
memenangkan Hadiah Utama Sayembara Mengarang Roman DKJ 1980.
Karya
Kumpulan
Sajak
Kenapa
Hari Panas Sekali (1975)
Tanpa
Makna (1977)
Novel
Gumam
(1976)
Bako
(1983, Pemenang Hadiah Utama Sayembara Roman DKJ 1980)
Dendang
(1988)
Aku,
Keluargaku, dan Tetanggaku (1993)
Negeri
Hujan (1999, Novel Terjemahan "Monsoon Country," Pira Sudham,
Thailand)
Krit
& Sena (2010)
Andika
Cahaya (2012)
Novel
Anak-anak
Surat
dari Seorang Prajurit 45 kepada Cucunya
Di
Lembah Situjuh Batur
Tiga
Cerita Anak-anak
Ingin
Jadi Pak Habibie
Adik
Bertanya Tentang Laut
Dongeng
Kisah dari Minangkabau
Puisi
Kenapa
Hari Panas Sekali? (1975)
Tanpa
Makna
Antologi
Puisi
Tonggak
4: Antologi Puisi Indonesia Modern (1987)
Dari
Negeri Poci 2
Dari
Negeri Poci
Cerpen
Jelaga Pusaka Tinggi (1997)
Esai
Esainya dimuat dalam Asian Writers on
Literature and Justice (1997)
Penghargaan
Hadiah
Utama Sayembara Mengarang Roman DKJ (1980)
Pemenang
Kedua Sayembara Novel Majalah Kartini (1987)
Hadiah
Sastra dari Pemerintah Republik Indonesia (1992)
Jika ingin mengajari anak-anak kita
tentang bagaimana mengenal bako, anjurkanlah mereka belajar pada Darman Moenir.
Bacalah novelnya. Selamat pulang kembali, Uwan!
Sebelumnya dimuat di Harian Khazanah, edisi Rabu, 31 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar