Jumat, 23 Oktober 2020

Darman Moenir, "Berbako" kepada Kata-kata

OLEH Eko Yanche Edrie (Wartawan)

Seingat saya, pertemuan pertama dengan Darman Moenir adalah di Harian Singgalang, tak lama setelah galodo Bukit Tui 1987. Saya kebetulan mengantarkan berita dari Padang Panjang ke kantor redaksi di Jalan Veteran 17. Darman duduk di hadapan Bang Joesfik Helmy yang menjadi Wapemred Singgalang.

"Iko Darman Moenir, Bung, salami lah ciek," kata Bang Jimmy—sapaan akrab M. Joesfik Helmy—sambil mengamit saya.

Saya menyalaminya dan memperkenalkan diri. Lalu Darman memuji tulisan saya tentang 'Kipeh Sate' yang dimuat tiap Rabu di Harian Singgalang. Saya merasa tersanjung, karena saya sudah lama mengenal nama Darman Moenir. Tentu saja sebagai penikmat sastra, saya sudah baca juga novel Bako karyanya. Tapi, baru kali itulah saya bertemu Darman Moenir dan berkenalan.

Setelah itu baru saya bertemu lagi dengan Darman pada 1991—juga di Harian Singgalang. Darman mengantarkan naskah tulisan untuk dimuat. Saya menerimanya. Tapi kali ini, ia menegur saya karena saya menyapanya 'Bang Darman'.

"Jan pakai Bang, tapi pakai Uwan. Karano ambo Uwan dek Eko. Panggilan Uwan di Sawah Tangah adalah panggilan setara dengan Abang. Karena Eko lah jadi sumando urang Sawah Tangah, mako panggia ambo Uwan..."

Uwan memang sapaan untuk kakak laki-laki di wilayah seputaran lereng Marapi, termasuk di Sawah Tangah. Tentu saja di Aie Angek, kampung saya, sapaan Uwan juga tidak asing.

Maka sejak itu saya memang menyapa novelis dan budayawan itu dengan sapaan 'Uwan Darman'.

Entah karena hubungan perkampungan atau apalah, sejak itu setiap kali ia menulis untuk Singgalang, di amplop dicantumkan alamatnya kepada Add. Eko Yanche Edrie. Dan yang paling saya ingat di atas tulisannya dibubuhi tulisan tangan "Tolong jangan diubah setiap ejaan yang ada dalam tulisan ini". Oleh kawan-kawan redaktur di Harian Singgalang, tulisan tangan itu acap dianggap 'menggurui' para editor yang sudah 'kenyang' dengan ejaan. Agaknya ada yang kurang suka dengan pesan Uwan Darman seperti itu, maka ada tulisannya yang tidak kunjung dimuat.

Karena tidak dimuat juga, ia menelepon saya dan menanyakan kenapa tulisannya yang dikirim sepuluh hari yang lalu tak dimuat juga? Karena saya tidak tahu, maka saya jawab bahwa belum ada naskah Uwan Darman saya terima.

Darman memang sangat nyelimet soal ejaan. Maka setiap tulisannya yang dimuat, dia periksa lagi apakah sesuai dengan tindasan tulisan yang ada padanya (dulu masih dengan mesin ketik dan pakai tindasan menggunakan karbon). Seandainya ada yang berbeda, maka tunggulah Uwan Darman menelpon ke redaksi. Maklum, kadang saat diketik ulang di unit pracetak, yang mengetik tidak melakukan koreksi.

Soal ejaan itu acap kali ia mengajak saya berdiskusi, khususnya penulisan di media massa. Suatu hari ia mengatakan bahwa ia baru saja menemui Gubernur Hasan Basri Durin untuk menyampaikan protesnya pada penggunaan kata “West Sumatra” sebagai terjemahan bebas Sumatera Barat.

"Uwan lah sobok jo Pak Hasan dan meminta penggunaan kata “West Sumatra” untuk keperluan pariwisata, mestinya tetap pakai Sumatera Barat. Jadi jangan sampai ditulis “Welcome to West Sumatra, tulislah “Welcome to Sumatera Barat”. Agar orang sedunia ini kenal dengan Sumatera Barat, bukan West Sumatra," ujarnya seraya manarik dalam-dalam asap Gudang Garam merahnya—ketika itu DM perokok berat—ke paru-paru.

Ada dua penulis yang 'nyinyir' seperti itu. Selain Darman adalah AA.Navis. Keduanya selalu meminta agar sebelum tulisannya diturunkan dibaca ulang, agar disesuaikan dengan naskah asli. Kedengarannya 'sombong' sekali seolah tulisannya tanpa kesalahan ketik. tetapi setiap kali saya ulang-ulang membacanya, baik naskah Pak Navis maupun Uwan Darman memang merupakan naskah yang sudah dibaca ulang oleh penulisnya berulang-ulang, dan nyaris tanpa kesalahan.

Hari ini, banyak naskah dikirim ke redaksi apalagi dari para wartawan, tapi selalu saja membuat para redaktur kewalahan menukangi kembali lantaran banyak terdapat typo dan kesalahan ejaan.

Dalam pertemuan-pertemuan diskusi, seminar dan sejenisnya, Darman memang tipikal yang senantiasa memperhitungkan kata demi kata yang dia lontarkan. Terstruktur SPOK-nya dan kaya dengan kata yang sudah acap tak dipakai awam.

"Sentana gagasan Tan Sri ini diejawantahkan di sini, alangkah akan kayanya khazanah budaya Minangkabau," katanya satu ketika saat bersua dengan Menteri Senior Malaysia, Tan Sri Rais Yatim. Ketika itu Tan Sri Rais Yatim menggagas bagaimana kalau semua literatur tentang Minangkabau yang ada di Leiden itu dibikin salinannya dan dibawa ke Sumatera Barat. Jadi, untuk belajar tentang Minangkabau jangan lagi ke Leiden, melainkan ke tempat asalnya di Ranah Minang.

Perhatiannya pada kata-kata, juga membuat mantan redaktur Harian Haluan ini terusik dengan postingan saya di laman Facebook 28 Juli 2015 lalu. Ketika itu saya mempersoalkan penggunaan kata 'Ranah' yang acap diartikan sebagai 'kampung halaman' tatkala dipadankan dengan kata 'rantau'. Saya berpikir bahwa kata 'Ranah' tidak pas untuk imbangan dari kata 'Rantau', kecuali dilengkapi menjadi 'Ranah Minang'.

Darman pun memberi dukungan kepada saya seraya mengatakan pernah mempersoalkan hal yang sama di Universitas Andalas.

Maklum, Facebook memberi kesenangan berupa fitur 'kenangan Anda' dimana posting-posting beberapa tahun sebelumnya akan muncul di beranda kita pada tanggal yang sama. Maka posting 28 Juli 2015 mucul lagi pada 2019 ini lalu dikomentari lagi. Maka ada yang yang bertanya kepada saya, "Eh, kemarin baru saja Bang Darman Moenir mengomentari posting Eko," kata Indra Sakti Nauli, wartawan yang selalu hangat posting-postingnya. Setelah saya jelaskan bahwa DM mengomentari status saya itu pada empat tahun lalu, baru Indra mengangguk.

Sejak kemarin siang persisnya pukul 14.40 WIB tak akan kita dengar lagi celetukan atau komentar sarat kata-kata padat dari Uwan Darman. Setelah sebulan ini kondisi kesehatannya turun (drop) tajam, mengantarkannya ke ruang HCU di RSUP M. Djamil Padang, ia menyerah kepada ajal. Allah Azza Wajjala telah memanggil  sastrawan itu pulang kembali ke tempat kita semua jua akan pulang ke sana. Darman Moenir telah mendahului kita semua.

Darman Moenir lahir di Sawah Tangah, Pariangan, Tanah Datar, Sumatra Barat, 27 Juli 1952 – meninggal di Kota Padang, Sumatra Barat, 30 Juli 2019 pada umur 67 tahun. Darman Moenir pernah belajar di Sekolah Seni Rupa Indonesia, tetapi tidak tamat. Lalu, ia pernah kuliah di Sekolah Tinggi Bahasa Asing Prayoga, Jurusan Bahasa Inggris, Padang. Sejak 1981 ia sekolah di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Bung Hatta, Padang.

Mulai menulis di usia 18 tahun. Karya-karyanya dimuat pada majalah Horison, Titian, Panji Masyarakat, Pertiwi, Kartini, Ulumul Qur’an, Kalam, Kompas, Pelita, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Karya, Media Indonesia, Indonesia Raya, Republika, Berita Minggu (Singapura) dan surat kabar terbitan Padang.

Pernah mengikuti Hari Sastra di Ipoh, Malaysia (1980), Asian Writers Conference di Manila, Filipina (1981) dan pertemuan dunia Melayu ’82 di Malaysia (1982), International Writing Program di Iowa City, dan International Visitor Program di Amerika Serikat (10988). Selain bekerja di Museum Negeri Provinsi Sumatra Barat (Pensiun Agustus 2008), Padang, ia juga menjadi seorang Pengasuh dan Pemimpin Produksi di Bumi Teater.

Pada tahun 2010 ia menyerahkan rumah tua kepada Pemerintah Kabupaten Tanahdatar, Sumatra Barat. Rumah itu dihibahkan ke Pemkab untuk dijadikan rumah baca dan rumah diskusi warga setempat.

Beberapa sajaknya dimuat di dalam Tonggak 4 (1987), Antologi Puisi Indonesia Modern, Dari Negeri Poci 2(1994), Dari Negeri Poci 3. Cerpen-cerpennya dimuat dalam sebuah antologi Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991).

Novel Bako memenangkan Hadiah Utama Sayembara Mengarang Roman DKJ 1980.

Karya

Kumpulan Sajak

Kenapa Hari Panas Sekali (1975)

Tanpa Makna (1977)

Novel

Gumam (1976)

Bako (1983, Pemenang Hadiah Utama Sayembara Roman DKJ 1980)

Dendang (1988)

Aku, Keluargaku, dan Tetanggaku (1993)

Negeri Hujan (1999, Novel Terjemahan "Monsoon Country," Pira Sudham, Thailand)

Krit & Sena (2010)

Andika Cahaya (2012)

Novel Anak-anak

Surat dari Seorang Prajurit 45 kepada Cucunya

Di Lembah Situjuh Batur

Tiga Cerita Anak-anak

Ingin Jadi Pak Habibie

Adik Bertanya Tentang Laut

Dongeng Kisah dari Minangkabau

Puisi

Kenapa Hari Panas Sekali? (1975)

Tanpa Makna

Antologi Puisi

Tonggak 4: Antologi Puisi Indonesia Modern (1987)

Dari Negeri Poci 2

Dari Negeri Poci

Cerpen

Jelaga Pusaka Tinggi (1997)

Esai

Esainya dimuat dalam Asian Writers on Literature and Justice (1997)

Penghargaan

Hadiah Utama Sayembara Mengarang Roman DKJ (1980)

Pemenang Kedua Sayembara Novel Majalah Kartini (1987)

Hadiah Sastra dari Pemerintah Republik Indonesia (1992)

Jika ingin mengajari anak-anak kita tentang bagaimana mengenal bako, anjurkanlah mereka belajar pada Darman Moenir. Bacalah novelnya. Selamat pulang kembali, Uwan!

Sebelumnya dimuat di Harian Khazanah, edisi Rabu, 31 Juli 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...