PELUKIS TEMPO DULU MINANGKABAU
OLEH Alwi Karmena (Budayawan)
Foto Yeni Purnama |
Marah Agus Yunus terlalu pemalu. Dia hampir selalu tertinggal. Ia disisihkan kepentingan "proyek berkeseni-senian". Padahal, dia benar benar seniman profesional. Dalam arti orang yang hidupnya benar-benar bertumpu pada kerja kesenian. Sepanjang hidupnya dipertaruhkannya dengan melukis. Melukis dan melukis dan melukis sampai tua. Sampai di ujung usia Marah Agus Yunus melukis...
Lukisan lukisannya tergolong bagus. Lukisan beraliran reaalis naturalis. Alam dan budaya Minangkanbau dipindahkannya ke kanvas. Lukisan lukisan rumah gadang. Sawah, gunung- gunung, pedati, sungai, dan lukisan acara-acara perhelatan tradisi Minangkabua. Semua lukisannya tergolong bagus. Buktinya di hotel-hotel berbintang tergantung lukisannya.
Kata orang, lukisan Marah Agus Yunus itu berharga puluhan juta. Kata orang. Kata Agus kepada saya. “Entah...ndak tau ambo… Dulu, di awal tahun dua ribuan,” katanya.
Agus sempat dibantu oleh Nazif Lubuk, pejabat Kantor Gubernur Sumbar. Saya pernah beberapa kali melihat dia di ruang kerja Nazif Lubuk. Ketika itu terlihat dia sehat. Berkilat keningnya. Bersih bajunya. Basah bibirnya.
Tapi itu sudah lama. Belakangan ini saya melihat kehidupannya pahit. Kesan lukisannya berharga puluhan juta itu tak ada sama sekali. Kadang-kadang dia mengeluh kehabisan rokok. Tak ada ongkos oplet. Tak ada pembayar kopi. Saya tak tahu, apakah lukisannya yang di hotel berbintang itu sudah pernah dibayar orang? Apakah itu hanya mimpi atau angan-angannya. Lukisannya memang ada di hotel tersebut. Yang saya dengar, dia mengakui orang punya hotel itu suka pada karyanya.
Hidup sebagai seniman itu barangkali "pilihan yang keliru". Mestinya jadi pedagang, jadi pejabat. Pemborong atau penjual emas. Seniman seperti Agus menjual impian. Setahu saya, dia pahit berkepanjangan. Tapi, dia pantang meminta. Haram mengemis. Dia bisa tahan lapar, dahaga, dan tidak merokok daripada meninta beriba-iba.
Sekali, dia datang kepada saya membawa segulung lukisan belum berbingkai. Dia perlu uang pembeli obat. Katanya, keluarga (entah anak atau istrinya) sakit. Dia mau menjual lukisannya. Lukisan itu dibawanya ke Kantor PWI Sumbar. Dia kira wartawan-wartawan itu punya banyak uang dan butuh lukisan. Sekali lagi, dia keliru. Saya tanya, berapa lukisan ini akan Pak Agus jual?
“Ya. Berapa saja lah. Dua juta, satu juta...atau berapa saja. Ambo perlu “pitih," ucapnya setengah berbisik.
Bagi kami wartawan, kepahitan Marah Agus bisa dirasakan, tapi uang sejuta juta itu "luar biasa" besar. Karena prihatin saya bawa dia naik ke mobil saya mencari siapa kira-kira yang bisa membeli lukisan itu. Agus memang sangat butuh sekali karena kelihatan dari wajahnya. Saya bawalah dia ke sebuah "toko orang turunan" kaya yang saya kenal. Saya ceritakan kepada Koko itu kesulitan teman saya ini.
Koko itu menggeleng. Mengatakan dirinya sangat tidak mengerti lukisan. Namun saya berusaha memancing rasa simpati si Koko. "Dia mau beli obat istrinya. Dia perlu uang. Ucap saya agak memelas,” kata saya.
Si Koko tampaknya mengerti. Sambil mengeluarkan dua lembar uang kertas seratus ribu, dia berkata dengan datar. “Saya biar bantu saja. Lukisan ini saya tak mengerti, bawa sajalah..." jawab Koko.
Agus gembira dapat bantuan. Tapi dia tak mau menerima uang cuma-cuma. Lukisan karyanya itu ditinggakannya di meja kasir. “Terima kasih Koko...." ucap Agus dan kami berlalu. Agus saya antarkan ke Taman Budaya Sumatra Barat. Saya kembali ke Kantor PWI.
Hari masih hujan. Sudah hampir pukul lima sore. Saya diajak Rizal Munir minum kopi ke kawasan Pondok. Kami melewati toko si Koko. Di depannya ada warung kopi. Ketika akan berbelok turun, kami melihat tukang parkir memberi berteriak sambil memberi komando.
“Kiri, kiri, kiri..." Kepalanya ia tutup dengan "sesuatu" pengganti payung. Saya tersintak. Lhaaa? Barang yang ia jadikan payung itu, tak lain dan tak bukan lukisan Agus yang kami tinggalkan tadi di toko si Koko.
Apalah yang akan saya ucapkan? Dalam hati saya, kalau besok-besok ada uang, saya akan menjemput lukisan Agus itu ke toko si Koko, kalau masih ada.
Kehidupan berkesenian memang pahit. Apa lagi di kota-kota yang berkepedulian tipis seperti Padang ini. Agus tersesat lahir dan mengelana di sini, di kota ini. Agus agaknya "salah" memilih jalan hidup. Mestinya dia tidak jadi pelukis lokal. Kalau pelukis juga, seperti Afandi, Rusli dan pelukis-peluksi kaya di Jakarta itulah. Ini Padang Pak Agus. Kita (saya juga seniman) sejak dulu dimarjinalkan oleh kepentingan yang lebih populer.
Marah Agus Yunus belajar melukis secara otodidak. Setamat dari STM. Agus Marah sempat bekerja sebentar di Kanwil Departemen Penerangan Sumbar.
Sejak tahun 1970-an hingga akhir hidupnya, pelukis kelahiran Padang, 17 Agustus 1937, sudah melahirkan seribuan lukisan tersebar di sejumlah galeri, hingga Istana Negara, hotel-hotel mewah di Kota Padang, juga terpajang di dinding rumah sejumlah tokoh nasional seperti Amien Rais, Siswono Yudo Husodo, dan juga rumah almarhum Sutan Zaili Asril, wartawan senior.
Selain itu, lukisan yang rerata berlatar Minangkabau lama juga bersebaran di pelbagai mancanegara, seperti daratan Eropa, Amerika Serikat, Australia, Malaysia, dan Brunai Darussalam.
Selasa 6 Agustus 2019 pukul 22.00, Marah Agus Yunus berpulang: Engkau "pulang diam diam". Pulang ke negeri abadi. Negeri mana kepahitan hidup ditakar hanya dengan besar kecilnya amal. Marah Agus Yunus yang panggilan populernya Marah, pelukis tua yang berusia 82 tahun berkelana dengan kanvas, palet dan cat. Dia tidak akan pernah melukis lagi. Seniman yang diarak perasaian. Semoga diberikan ampunan dan husnul khatimah oleh Yang Maha Khalik.
Pekan lalu, Sumatera Barat juga kehilangan putra terbaiknya, sastrawan Darman Moenir. Selamat jalan Pak Agus....***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar