OLEH Nurmatias (Peneliti)
Kenapa perlu memahami cagar budaya bagi pembentukan karakter bangsa? Sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita kuak kembali melihat bingkai kondisi anak bangsa yang cenderung tak dinamis- kearah kemunduran dewasa ini. Bahkan persoalan mengenai karakter bangsa kini menjadi sorotan utama masyarakat. Betapa tidak? Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, mafia hukum, dan sebagainya seolah hadir tiada henti. Bahkan hal itu pun menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Setidaknya gambaran mengenai permaslahan tersebut menggelitik kita untuk bertanya kembali. Adakah yang salah dengan karakter bangsa ini?
Begitu pentingnya persoalan karakter bangsa ini,
Presiden Republik Indonesia pertama-Soekarno bahkan berupaya mengedepankan
istilah national character building–sebagai salah satu program
pembangunan yang dilaksanakan pemerintah di masa itu serta menjadi proses
integral yang melibatkan keanekaragaman unsur-unsur kebangsaan. Bahkan para
pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia bersepakat bahwa membangun
jati diri atau membangun karakter bangsa mesti dilaksanakan secara
berkesinambungan dari kemajemukan masyarakat Indonesia. Bingkai itu sendiri
tidak terlepas dari nilai sejarah dengan core nya masa lalu-yang merekat
antara unjung satu denga ujung yang lainnya.
Coba
kita renungkan dalam-dalam, ketika kita tidak punya masa lalu mungkin kita
meraba- meraba segala sesuatu yang akan kita kerjakan untuk masa depan. Bahkan,
ketika kita tidak punya masa lalu, maka kita, ekstrimnya akan menjadi orang
gila yang lupa ingatan; tidak tentu arah. Begitu permasalahan yang muncul, baik
pada skala individu maupun berbangsa dan bernegara. Kita tidak punya tempat
berpijak untuk memutuskan sesuatu karena tidak punya suatu pedoman yakni
pengalaman. Pengalaman yang semestinya merujuk kepada masa lalu sebagai bahan
pertimbangan untuk memutuskan suatu kebijakan atau keputusan.
Sebagai
sebuah peristiwa masa lalu, history as past actuality, maka cagar budaya memuat tentang pristiwa kehidupan manusia, baik
kehidupan manusia yang baik maupun yang
buruk. Ketika kehidupan manusia tersebut baik maka sejarah akan menceritakan
pada generasi berikutnya tentang semua kebaikan dari kehidupan seseorang
(tokoh), masyarakat, maupun tentang suatu Negara. Begitu juga
sebaliknya. Pada tingkat micro misalnya, seorang manusia akan mendapat
pujian dari perjalanan peradapan
bila ia baik dipandang
oleh kaum atau masyarakatnya. Sebut saja Gandhi yang melegenda sebagai pahlawan
bagi bangsa India karena kekuatan jiwanya yang sangat berani menentang
penjajahan Inggris. Sebaliknya sebut saja Hitler, dengan kekejamannya pada
rakyatnya, maka namanya menjadi “momok” dalam cerita sejarah. Bahkan,
tidak jarang dia dibuat sedemikian rupa sebagai orang yang benggis, kejam dan
tidak berprikemanusian. Apakah demikian yang terjadi, jawabnya tergantung
kepada cerita sejarah yang kita baca.
Lebih efektif lagi bahwa masa lalu yang mensyiratkan nilai sejarah itu sendiri
sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Itulah sebetulnya hakekat
nilai sejarah itu sendiri bila kita pahami dengan baik.
Berfondasikan
kepada hal tersebut, tulisan ini sesungguhnya ingin menyigi lebih jauh tentang
pentingnya memahami cagar
budaya bagi pembentukan karakter bangsa.
Cagar budaya
Tidak
jarang peristiwa sejarah mengandung berbagai macam nilai -“pelajaran”,“ajaran”
bahkan, pengalaman dari sisi kehidupan manusia. Cerita sejarah akan
mengambarkan kepada pengikutnya, yang membacanya dan akhirnya akan terikut arus
oleh rangsangan yang digambarkan oleh cerita sejarah serta berpengaruh terhadap
segala kegiatan manusia. Sejarah memang bukanlah seperti ilmu eksakta yang
mamakai hukum-hukum umum, melainkan memakai hukum yang lahir dari studi kasus.
Hal ini bukan berarti pula bahwa cerita sejarah bisa disusun seenaknya, sebab
kisah sejarah punya kaidah-kaidah tertentu yang menunjuk kepada fakta yang
benar dan fakta yang benar tersebut dibutuhkan dalam penulisan sejarah.
Tidak
semua orang paham dan tahu tentang Cagar Budaya. Cagar Budaya menurut
pengertian orang awam adalah benda kuno, purbakala, antik dan benda pusaka.
Semua arti tersebut benar tetapi dengan adanya Undang-Undang nomor 11 tahun
2010 Tentang Cagar Budaya, memberikan arti Cagar Budaya adalah warisan budaya
bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Banguan Cagar Budaya, struktur
Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan\atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya.
Karakter Bangsa
Istilah
“karakter” (character) dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Yunani
yang artinya “membentuk ke dalam tulisan” (to inscrib). Hal ini
mencerminkan bahwa karakter bukanlah sesuatu yang ada secara alamiah/dibawa
sejak lahir, melainkan suatu proses bentukan yang dipengaruhi oleh berbagai
masukan yang diterima seseorang dari lingkungannya, mulai dari keluarga,
lingkup pertemanan, sekolah, tempat pekerjaan, dan seterusnya. Kamus Webster”s
New World Dictionary (Third Collenge Edition) mengartikan karakter sebagai
watak yang kuat (moral strenght self discipline fortitude).
Keberhasilan
Jepang sebagai suatu kekuata ekonomi dunia yang bangkit pasca kehancuran Perang
Dunia II merupakan salah satu contoh yang mencolok mengenai pentingnya
pembangunan karakter bangsa. Sejak awal, bagsa Jepang menyadari pentingnya
identitas nasional yang kuat untuk menopang keberhaslan di bidang-bidang
pembangunan lainnya. Di Indonesia sendiri, pembangunan karakter bangsa
(nasional) merupakan suatu proses panjang yang dapat dilacak jejaknya
kebangkitan kesadaran nasional tahun 1908 (dengan berdirinya Budi Utomo),
Sumpah Pemuda 1928, dan selanjutnya berpuncak pada Proklamasi 1945.
Ditinjau
dari faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakter bangsa telah
diselidiki oleh sejumlah ahli. Montesquie, misalnya membahas masalah karakter
bangsa dengan mengunakan istilah esprit general, dimana dalam istilah
ini tercakup karakteristik-karakteristik moral dan kebiasaan-kebiasaan berfikir
dan berperlaku yang berasal dari suatu kombinasi unik antara lingkungan alam
atau ilkilm, agama, hukum, kebijaksanan pemerintah (maxims of government),
sejarah, nilai-nilai dan tata krama sopan santun sosial (more and manners).
Pentingnya nilai sejarah dalam pembentukan karakter bangsa bukanlah dalam tataran slogan saja, namun lebih menukik lagi sebagai modal dasar untuk merawat dan membentuk karakter bangsa ini. Sebab melalui pemahaman nilai sejarah kita dapat melakukan rekonstruksi peristiwa yang terjadi berikut latar belakang serta akibat-akibat yang ditimbulkan oleh adanya peristiwa tersebut (Krisna Akhbar Tanjung, 2010 : 283). Bahkan pendidikan sejarah dengan muatan nilai sejarah dalam upaya pelestarian dan pemberdayaan warisan budaya bukan sekedar melalui pendidikan formal semata, melainkan seumur hidup (long life education). Pendidikan sejarah perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya-upaya besara preservasi dan konservasi warisan budaya baik yang bersifat natural, tangible maupun yang intangible. . Sebab, pendidikan sejarah merupakan sarana penguatan dan pendalaman nation and character building, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Bung Karno yang terkenal dengan kata “Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah).
Pendidikan sejarah (historical
education) dalam arti tidak sekedar suatu proses transmisi pengetahuan secara
kognitif melainkan internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam pelajaran
sejarah sebagai bagian dari pembentukan karakter. Ditengarai kondisi sekarang ini
sekolah-sekolah kendur dalam pembentukan karakter, menumbuhkan kreativitas dan
inovasi, termasuk masalah kebangsaan seperti nasionalisme (Kompas, 23
Desember 2009). Kemudian kita tidak dapat menafikan bahwa pendidikan di
Indonesia saat ini lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan,
dan mengabaikan pendidikan karakter. Pengetahuan tentang kaidah moral yang
didapatkan dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini
semakin ditinggalkan.
Salah-satu usaha untuk
membentuk karakter bangsa ini adalah dengan memahami nilai sejarah. Dalam hal
ini persoalan pendidikan dan pelajaran sejarah sangat dipentingkan. Pendidikan
adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi
peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam
mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan
bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh
pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh
karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi
generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Jadi
pendidikan karkter bangsa ialah usaha terencana untuk mewriskan watak, tabiat,
akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi
berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan
untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Menurut Susanto Zuhdi
(2010 : 407), yang menempatkan mata pelaran sejarah ke dalam dua ranah
pembahasan. Sebagai ranah subjektif, sejarah begitu bermakna dan penting
bagi suatu komunitas karena nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Dalam ranah
ini, belajar sejarah berarti memperoleh pemahaman dan kesadaran tentang waktu,
yang bermanfaat untuk bersikap terhadap situasi yang berubah dan
berkesinambungan. Itulah pemahaman sejarah yang paling praktis bagi pembeljaran
sejarah. Dalam ranah objektif, sejarah bertujuan membekali anak didik
dengan pemikiran kritis, sejalan dengan adagium bahwa tidak ada sejarah
tanpa pertanyaan. Selain itu sejarah adalah ruang perdebatan.
Pembentukan peserta
didik memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air adalah tujuan pendidikan
sejarah. Sebab memang dari sejarah itulah bangkitnya nasionalisme sebagai antitesa
kolonialisme dan tumbuhnya cinta tanah air sebagai sikap patriotisme yang
terpanggil untuk membela dan menjaganya dari pengurasan sumber daya alam oleh
kolonial Belanda. Kegiatan eksploitasi ini dikenal dalam sejarah sebagai drainage
politiek. Praktik berjalan karena cultuurstelsel yang bersendikan kerja paksa yang memberi
keuntungan pada negara Belanda (Soekarno, 1989 : 37).
Pada dasarnya sejarah
memperlihatkan dua arah yang tidak terdapat dalam ilmu-ilmu sosial lainnya,
yakni untuk tujuan membangun pemikiran kritis dan memperoleh kesadaran dan
pemahaman yang akhirnya menjadi faktor terbentuknya karakter dan identitas.
Kekritisan dan kesadaran itu mendorong lahirnya sikap peserta didik yang mampu
menjadi pembelajar sejarah dalam dua ranah tersebut. Oleh sebab itu diperlukan
suatu kurikulum dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang merangkum kedua ranah tersebut.
Pengungkapan nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa perlu diangkat kembali
tetapi bukan melalui pelaksanaan yang bersifat indoktrinatif. Model kurikulum
sebagaimana dikemukakan Nana Supriatna khususnya mengenai “konstruksi
pembelajaran sejarah kritis” adalah sesuai untuk mendukung tujuan mata
pelajaran sejarah dalam konteks ilmu pengetahuan sosial (Nana Supriantna,
2007). Metoda orientasi kepada masalah (problem oriented) seperti yang
dikemukakannya sejalan dengan pendapat John Berger yang mengatakan bahwa munculnya kesadaran sejarah pengalaman
mencari makna untuk kehidupan kita dan mencoba memahami sejarah melalui upaya
kita menjadi agen aktif. Upaya untuk membangun kesadaran sejarah tidak cukup
dengan menguasai pengetahuan sejarah tetapi juga dengan cara dikonstruksi dan
direpresentasikan (Berger dalam Susanto Zuhdi, 2010 : 409).
Sejarah nasional yang
komprehensif akan lebih dapat dipahami jika didukung dan dilengkapai oleh
perspektif lokal dan tema sejarah sosial. Memang tidak semua sejarah lokal
terkait dengan sejarah nasional. Justru disinilah adanya peluang yang besar
untuk mengembangkan materi muatan lokal. Sedangkan sejarah sosial memberi
pencerahan kepada peserta didik bahwa bahwa sejarah tidak hanya mengenai orang
besar, raja, dan kaum elite, materi yang umunya dalam ranah sejarah politik,
tetapi menunjukkan bahwa kelompok sosial di dalam masyarakat seperti wong cilik
dan kaum “terpinggirkan” misalnya, yang juga berperan dalam dalam sejarah.
Di era otonomi daerah
sekarang ini, kekuatan paling dominan
dan domainnya untuk mengelola kekayaan kesejarahan dengan nilai
sejarahnya merupakan kewenangan pemerintah daerah. Penguatan akan hal ini di dasarkan pada
Undang-Undang nomor 32 tahun 2004
tentang pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun
2007 tentang pembagian urusan pemerintah bidang kebudayaan.[1] Kecendrungan yang terjadi selama ini kurangnya
pemahaman, apresiasi, dan komitmen pemerintah daerah di dalam pengelolaan
kekayaan kesejarahan. Akibatnya makin menurunnya kualitas pengelolaan kekayaan
kesejarahan. Pengelolaan kekayaan kesejarahan belum sepenuhnya menerapkan
prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) sebagai kegiatan
wajib sehingga kualitas layanannya kurang optimal, baik dalam pengelolaan
kekayaan budaya yang berwujud (tangible) maupun pengelolaan kekayaan
budaya yang bersifat tidak berwujud (intangible).
Salah-satu bentuk
pengelolaan kekayaan budaya yang bersifat tidak berwujud (intangible)
tersebut yakni pelestarian nilai-nilai sejarah. Disamping itu, pembangunan
dalam bidang kebudayaan umumnya dan kesejarahan khususnya sampai saat ini masih
menghadapi beberapa permasalahan sebagai akibat dari berbagai perubahan tatanan
kehidupan, termasuk tatanan sosial budaya yang berdampak pada terjadinya
pergeseran nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat khususnya generasi muda. Meskipun pembangunan dalam bidang kebudayaan
khususnya kesejarahan yang dilakukan melalui revitalisasi dan reaktualisasi
nilai budaya dan pranata sosial kemasyarakatan telah menunjukkan hasil yang
cukup menggembirakan yang ditandai dengan berkembangnya pemahaman terhadap pentingnya kesadaran multikultural
dan menurunnya eskalasi konflik horizontal yang marak pascareformasi, secara
umum masih dihadapi permasalahan dalam domain pengelolaan kebudayaan dan
kesejarahan, antara lain (1) rendahnya apresiasi dan kecintaan terhadap budaya
lokal, dan sejarah lokal; (2) semakin pudarnya nilai-nilai solidaritas sosial,
keramahtamahan sosial dan rasa cinta tanah air yang pernah dianggap sebagai
kekuatan pemersatu dan ciri khas bangsa Indonesia, serta semakin menguatnya nilai-nilai materialisme; dan (3) belum
memadainya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman budaya termasuk
pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya pada tingkat lokal.
Epilog
Sesungguhnya pada
hakaketnya karakter bangsa Indonesia berarti akhlak, budi pekerti, watak dan
kepribadian yang menjadi ciri-ciri bangsa Indonesia. Ciri-ciri itu didasarkan
pada nilai-nilai dan norma yang merupakan budaya bangsa Indonesia.
Salah-satunya terbingkai pada nilai sejarah. Sebuah nilai yang dapat dimaknai
dari akar masa lalu bangsa Indonesia sendiri. Memahami nilai sejarah dalam
pembentukan karakter bangsa sangat berperan sekali bagi masyarakat khususnya
generasi muda memeliki peran yang sangat vital, terutama dalam membangkitkan
kesedaran sejarah dan budaya serta menyamakan persepsi di kalangan generasi
muda dari berbagai keragaman budaya menjadi semangat persatuan untuk
memperkokoh ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menghidupkan ingatan
kolektif bangsa melalui penanaman nilai-nilai sejarah dan budaya kepada generasi
bangsa; membuka cakrawala yang luas kepada generasi bangsa tentang keragaman
budaya bangsa Indonesia dan simpul-simpul yang merajut keberagaman;
memperkenalkan obyek-obyek peninggalan sejarah dan budaya guna menumbuhkan
sikap gemar melestarikan, melindungi, dan memelihara peninggalan sejarah dan
tradisi. Ujung semua kegiatan yang dilakukan adalah pengenalan terhadap
generasi muda terhadap budaya dan sejarah mereka dalam rangka pembangunan
karakter pekerti bangsa
Semua itu tak akan
tercapai bila persoalan kebijakan terutama dalam kurikulum sekolah mengabaikan
unsur-unsur mata pelajaran kesejarahan. Faktanya jam pelajaran sejarah yaang
diajarkan di sekolah-sekolah dari tahun ketahun semakin berkurang. Sebuah
keironian bila kita ingin membentuk karakter bangsa melalui pemahaman
nilai-nilai kesejarahan. Maka tak salah rasanya melalui sebuah kebijakan yang
baik dalam dunia pendidikan agar menempatkan kurikulum dan jam pelajaran
sejarah yang lebih profersional dan dijadikan sebagai mata pelajaran strategis
dalam pembentukan karakter bangsa.
Akhirnya, dengan
semangat pemahaman nilai sejarah untuk membentuk karakter bangsa mari kita
bergerak lebih aktif dari segala elemen baik pemerintah, masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat dan sebagainya terutama bergerak labih aktif untuk melakukan
pelestarian nilai-nilai sejarah dalam
masyarakat terutama generasi muda. Hal ini tidak terlepas dari persoalan untuk
membangun masa depan yang lebih baik dari masa yang lalu, maka diperlukan
kegigihan dalam membentuk karakter bangsa. Wassalam.
[1] Persoalan ini secara jelas terdapat dalam UU Nomor 32 tahun 2004
pasal 22 berbunyi : dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah mempunyai
kewajiban (iii) melestarikan nilai sosial budaya. Kemudian di dalam PP nomor 38 tahun 2008, dijelaskan
secara terperinci tentang pembagian tugas pada tingkat daerah yakni untuk
bidang sejarah tugas dari pemerintah daerah yakni Penulisan sejarah lokal dan
sejarah kebudayaan daerah ; Pemahaman sejarah wilayah, sejarah lokal dan
sejarah kebudayaan daerah; Inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan
publikasi sejarah; Pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap
pengembangan sejarah; Peningkatan pemahaman sejarah
Daftar Pustaka
Adishakti, Laretna T, 2003, Teknik
Konservasi Kawasan Pusaka, Jurusan Arsitektur, Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Padang, 2009, Rencana Strategis tahun 2009-2014 Padang :
BPSNT press.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,
2009, Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun
2009-2014. Jakarta : Kemenbudpar.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,
2010, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta :
Kemenbudpar.
Kompas, 23 Desember 2009.
Nana Supriatna, 2007, Konstruksi Pembelajaran
Sejarah Kritis. Bandung : Historia Utama Press.
Sidharta, Eko Budihardjo, 1989, Konservasi
Lingkungan dan Bangunan Bersejarah di Surakarta, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Soekarno, 1989, Indonesia Menggugat : Pidato Pembelaan Bung
Karno di Depan Pengadilan Kolonial Bandung 1930. Jakarta : CV Haji
Masagung.
Susanto Zuhdi, 2010, ”Identitas Bangsa, Sejarah
dan Pendidikan Sejarah di Indonesia” dalam Endang Sri Hardiati dan Rr.
Triwurjani (Penyunting), Pentas Ilmu di Ranah Budaya : Sembilan Windu
Prof. Dr. Edi Sedyawati. Jakarta .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar