OLEH Nurmatias (Peneliti)
Tanggal 17 April 2019 merupakan akhir dari pesta demokrasi Indonesia yang (mungkin) paling brutal dalam sejarah yang ada. Meskipun sudah masuk dalam sistem yang sangat modern tapi terasa begitu tidak nyaman dalam kehidupan sehari-hari. Sesama elemen masyarakat, kita saling mencurigai. Rasa kekeluargaan bahkan menjadi longgar akibat perbedaan pilihan. Mudah-mudahan ini berakhir dengan baik dan menghasilkan pemimpin kurun waktu 2019-2024 yang dipilih oleh rakyat dengan suara dukungan yang tertinggi. Dahulu kita punya sebuah sistem pemilihan pemimpin yang baik. Pada massa lalu banyak negara mempunyai pemimpin dengan ketokohan yang mendunia. Rusia dengan Stalin dan Lenin, Amerika Serikat dengan George Wasihinton dan Abrahan Lincoln, Gandhi dan Nehru dari India. Tidak ketinggalan, Indonesia dengan Soekarno–Hatta, serta deretan nama tokoh dunia lainnya yang bermunculan.
Kecenderungan yang terjadi hari ini adalah bahwa mencari sosok pemimpin atau tokoh merupakan hal yang sangat sulit dicari. Gandhi, Soekarno dan Hatta misalnya merupakan tokoh-tokoh yang tak terlupakan dalam khazanah kesejarahan bangsanya. Tokoh-tokoh tersebut tidak muncul begitu saja. Masing-masingnya ditempa dalam suatu proses yang panjang, sehingga lahir menjadi tokoh kharismatik dan panutan bagi generasinya dan generasi sesudahnya. Setiap Negara punya pemimpin yang hebat dan karismatik. Negara India kita kenal Mahatma Gandhi menjadi tokoh dengan perjuangan yang bercirikan Ahimsa (dilarang membunuh- yaitu gerakan anti peperangan), hartal (pergerakan rakyat India dalam bentuk aksi tidak berbuat apa-apa), satrya graha (gerakan rakyat India untuk tidak bekerja sama dengan pemerintah kolonial) serta swadesi (gerakan rakyat India untuk memakai bahan-bahan buatan negeri sendiri). Adapun tokoh-tokoh panutan yang berasal dari Indonesia begitu banyak, akan tetapi yang seringa dikedepankan adalah Dwi Tunggal Soekarno dan Hatta. Perjuangan mereka untuk rakyatnya seakan-akan melekat dalam jiwa seluruh rakyatnya. Hampir dari setiap pemimpin kharismatik tersebut memiliki daya tarik yang disukai oleh rakyatnya.
Dalam perspektif kebudayaan, masyarakat Jawa mensyaratkan pemimpin harus dilihat bibit, bobot dan bebet-nya. Sedangkan dalam masyarakat Minangkabau juga dikenal dengan konsep takah (bentuk), tokoh (Kepemimpinan), tageh (Kekuatan). Dalam khazanah budaya, penulis menganalisa ada beberapa syarat menjadi pemimpin Minangkabau yang mengerti akan nasib rakyatnya. Syarat tersebut akan kita jelaskan dalam bahasan selanjutnya.
Pertama, seorang
Pemimpin harus mendengar (mandanga).
Hal ini berarti bahwa seorang pimimpin harus peka terhadap komponen yang
dipimpinnya. Dalam temuan arkeologis kita mengenal Medan nan Bapaneh dan Rumah
Gadang sebagai tempat pembentukan karakter masyarakat Minangkabau. Banyak
Cagar Budaya yang bisa memberi inspirasi dalam pembentukan jiwa seorang
pemimpin. Kepemimpinan hendaklah memperlihatkan adanya suatu proses interaksi
yang bersifat aktif antara seorang pemimpin dengan anggota masyarakatnya.
Interaksi yang bersifat aktif tersebut akan memperlihatkan hubungan yang
bersifat harmonis antara keduanya. Komunikasi yang bersifat interaktif antara seseorang
dengan masyarakat bisa dijadikan referensi untuk menyimpulkan siapa orang yang patut
kita jadikan pemimpin. Kebiasaan berinteraksi memperlihatkan bahwa seorang calon
pemimpin dapat memberikan masukan dan bisa menerima pendapat orang lain (mandanga). Sikap penghormatan
diperlukan, mengingat bahwa karena dengan adanya penghormatan terhadap pemimpin
tersebut justru akan membuat eksistensinya dalam masyarakat semakin kuat.
Kedua, seorang
pemimpin punya daya tarik komunikasi (mangecek).
Seorang pemimpin akan mempunyai daya
tarik tersendiri bagi masyarakatnya. Walaupun daya tarik yang diperlihatkan
oleh pemimpin tersebut dalam hal tertentu dapat berasal dari kemampuannya
memusatkan dan menyalurkan rasa ketidakpuasan dan kepentingan yang saling
berbeda ke arah pendekatan bersama, mempersatukan penduduk yang terpecah belah
dalam mengejar suatu sasaran yang sama, sehingga dalam kondisi yang demikian;
selain seorang pemimpin dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat yang
dipimpin, juga membuat pemimpintersebut dapat mempertahankan
kharisma atau wibawanya di hadapan masyarakat yang dia pimpin. Hal ini berbeda
dengan pandai maota yang konotasinya
lebih identik dengan kepandaian berbohong.
Ketiga,
seorang pemimpin mempunyai sikap-sikap positif
seperti tingkah lakunya (patuik dicontoh).
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang pemimpin akan diacu, ditiru dan pedoman
dalam bersikap. Karakter positif akan menjadi sangat berguna untuk menjadikan
dirinya sebagai seorang tokoh kharismatik bagi genarasi yang akan datang maupun
generasi pada saat itu. Pola tingkah laku tersebut merupakan pola yang murni
dan alamiah bukan terbias dengan berbagai-macam bias apalagi bias-bias politik
yang menguntungkan pribadi atau kelompoknya, namun harus memperlihatkan suatu
sikap yang jelas-jelas memperjuangkan kehidupan masyarakatnya.
Keempat, inspirasi dan semangat. Seorang pemimpin harus
mampu membangkitkan
dan menyamakan dirinya dengan segala macam lambang-lambang suci dari kebudayaan
masyarakatnya. Lambang-lambang suci dari kebudayaan masyarakatnya merupakan
suatu bentuk “aspirasi” yang ada dalam masyarakat. Punya energi posistif yang
tinggi dan membuat masyarakat termotivasi. Bukan pemimpin yang harus direstui
dua alam yang sering minta kekuatan memelalui dunia alam ghaib.
Seorang pemimpin dalam perspektif Ki Hajar Dewantara adalah Ing
Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Arti
dari semboyan ini dapat dijabarkan sebagai berikut: Ing Madya Mangun Karsa berarti ada di tengah atau di antara murid,
guru harus menciptakan prakarsa dan ide. Selanjutnya Ing Ngarsa Sung Tulada, hal ini berarti berada di depan, seorang
pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik. Adapun penggalan
terakhir yaitu Tut Wuri Handayani
yang diartikan bahwa dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan
dan arahan. Dalam budaya pengangkatan pemimpin di Minangkabau, penghulu atau datuk dipilih berdasarkan banyak kriteria antara lain dapat
menyampaikan kepada pengikut-pengikutnya sesuatu rasa kelangsungan antara dia
sendiri dengan misinya dalam masyarakat. Dengan demikian, calon pemimpin disyaratkan
harus mempunyai pengetahuan yang luas dan dan interaktif dengan masyarakat.
Hari ini, pertanyaan reflektif yang perlu kita ajukan sebagai bangsa
Indonesia adalah apakah masih ada sosok pemimpin yang dekat dengan rakyatnya sekelas
Soekarno dan Hatta serta sederetan tokoh kharismatik lainnya yang berasal dari tokoh-tokoh lokal di
Indonesia. Susah kita mendapatkan pemimpin yang diharapkan meskipun tiap daerah
punya kearifan lokal dalam memilih pemimpinnya. Fenomena yang berkembang adalah
bahwa pemimpin diproduksi dalam suasana yang sangat nepotism. Dengan demikian, pemimpin-pemimpin kontemporer lebih
banyak terbentuk atas dasar jabatan yang berasal dari kedekatan personal dengan
pemimpin yang lebih tinggi. Dalam fase ini tidak tertutup kemungkinan bahwa
jabatan tersebut didapat karena adanya permainan uang. Dengan demikian, pemimpin yang dilahirkan
tidak melalui proses yang matang dan tidak melalui seleksi alam menurut
kearifan lokal.
Hari ini, mencari sosok pemimpin kharismatik adalah hal yang agak sulit
mengingat bahwa seorang pemimpin kharismatik terbentuk oleh kebudayaan
masyarakat dimana ia berada. Jika sebuah kebudayaan berkembang positif, proses
suksesi kepemimpinan dalam masyarakat pendukung kebudayaan itu akan berlangsung
secara positif dan semakin selektif. Jika dibuat perbandingan, seorang pemimpin
atau tokoh pada masa lalu sangat disegani oleh masyarakatnya. Hal itu
dilatarbelakangi faktor kebudayaan yang membuat mereka harus bersikap sebagai
pemimpin, bukan pejabat sebagaimana dapat dipahami dalam falsafah “didahulukan salangkah, ditinggikan
sarantiang”. Dengan demikian, seorang pemimpin tidak bersikap semena-mena
melainkan sebatas amanat yang diembankan kepadanya. Selain itu, pemimpin pada
masa lalu begitu dihormati karena niat mereka
memang murni mengurus sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakatnya.
Kecenderungan hari ini berlaku sebaliknya dari apa yang telah dibahas di
atas. Penghargaan terhadap pemimpin cenderung kurang. Kepemimpinan akan sangat terkait dengan
berbagai kaedah-kaedah yang berlaku dalam masyarakatnya. Kaedah-kaedah tersebut
akan membentuk seseorang menjadi pemimpin atau tokoh yang kharismatik tersebut.
Pejabat-pejabat kita saat ini berpeluang besar untuk menjadi seorang tokoh yang
kharismatik. Akan tetapi kita tidak dapat berbuat banyak karena kesadaran dari para
pejabat kita yang kurang memahami tentang apa yang ia harus lakukan untuk
mencapai derajat sebagai tokoh kharismatik tersebut. Ketidaksesuaian antara
kehendak rakyat dengan kebijakan yang diambil membuat ia telah menjadi tidak
kharismatik dalam masyarakat terutama yang tidak mendukungnya. Sebaliknya,
kebijakan apa pun yang diambil oleh seorang pejabat hari ini, bagi para
pendukungnya, dianggap sebagai sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan. Jika
direnungkan kembali, pejabat identik dengan pemimpin, dan kepemimpinan itu
seharusnya tidak membeda-bedakan. Bukankah esensi dari kepemimpinan itu
menyatukan?
Dalam khazanah budaya
Minangkabau dikenal tiga institusi sosialisasi yang berperan dalam membentuk sumber
daya komunitasnya yang juga berarti sebagai tempat latihan kepemimpinan yaitu rumah gadang, surau dan kedai. Paradigma ini kemudian mulai
luntur seiring dengan percaturan dan pergumulan masyarakat Minangkabau dengan
masyarakat luar yang identik dengan modernitas. Institusi yang ada mulai
berubah mengikuti pola perkembangan zaman dengan diperkenalkannya institusi
baru yaitu memilih pemimpin dengan
metode kekayaan dan jabatan sebagaimana kita rasakan saat ini. Menurut analisis
penulis, tiga institusi di atas membuat komunitas masyarakat Minangkabau
dikenal masyarakat luar sebagai lumbung pemimpin. Para cendikia yang lahir, ditempa
dengan alam yang demokratis dan egaliter dengan mengadopsi 3 pola institusi tersebut.
Pada saat ini tiga institusi yang sudah mapan ini ditinggalkan oleh komunitas
budaya Minangkabau untuk menciptakan seorang pemimpin. Belum tentu institusi
baru ini sesuai dengan budaya yang ada dan sudah mapan, atau strategi bangsa
Belanda yang melihat gejala kemapanan institusi yang ada akan membuat hegemoni
mereka akan rusak serta akan kalah oleh pola yang ada di masyarakat
Minangkabau. Mudahan-mudahan kita mengevaluasi sistem pembentukan seorang
pemimpin dan kita berharap sistem kearifan lokal kita masih relevan dalam
mencari pemimpin karismatik. Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar