OLEH Duski Samad (Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang)
Judul artikel seperti di atas adalah konklusi penulis setelah mendengar,mencermati dan menganalisis berita yang begitu deras di media mainstrem dan media sosial dalam menyampai kan kasus operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota DPR RI dan dua orang pejabat Kanwil Kemenag Jawa Timur dan Kemenag Gresik.
Pencincangan kasus OTT Romi dan dikaitkan dengan Kemenag dijadikan judul pada talkshow paling banyak diminati, ILC TV ONE, Selasa, 19 Maret 2019, telah membuka tabir, membuka aib, mengunyah keburukan, menguliti berbagai keadaan yang terkait dengan pelaksanaan amanah jabatan di lembaga negara yang menyandang nama sakral, agama.
Konsep
kunci yang begitu kuat dan banyak dibicarakan adalah berkaitan dengan istilah
jual beli jabatan. Ketersambungan jual beli jabatan dengan birokrasi di Kemenag
RI, keterlibatan Menag dan pejabat yang berkaitan dengan urusan kepegawaian
menjadi menu pengamat dan juga cerita di ruang publik. Pengeledahan ruang kerja
Menteri Agama dan Sekjen, ditambah lagi ada temuan uang ratusan juta adalah
bola panas yang tak tahu persis siapa saja yang akan dibakarnya.
Perguliran
kasus OTT Ketum Partai Islam, terus meluber pada dunia kampus Perguruan Tinggi
Islam yang ditengarai juga punya silsilah jual beli jabatan dalam memilih rektor
dan atau mengangkatnya. Demo mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menuntut
pembatalan jabatan rektor yang baru dilantik awal Januari 2019 adalah
dikarenakan adanya dugaan jual beli jabatan antara rektor dengan pihak yang
berpengaruh menerbitkan SK pengakatannya menjadikan kasus ini meluber jauh
melampaui ranah hukum. Banyak ulasan segala kasus yang berpotensi punya kaitan
diharapkan diusut oleh KPK.
Beli
dan jual jabatan itu bermula saat pemegang jabatan untuk mendapatkan jabatan
itu merongoh kantong dengan uang banyak atau biaya mahal, tak ubahnya jual beli
barang berharga. Dalam YouTube yang dikirimkan pada penulis dengan foto diri
tersangka jual beli jabatan kasus Jawa Timur yang lagi viral itu, bahwa sistem
sekarang mengharuskan orang mengeluarkan uang untuk satu jabatan. Itu sama
artinya membeli jabatan, kemudian dijual lagi untuk kembali modal dan beroleh
keuntungan sendiri.
Percakapan
informal dengan banyak pejabat dalam berbagai level dan institusi, melihat
gelagat caleg, cakada, timses pilpres, dan pileg mudah sekali menyimpulkan
bahwa beli, dan jual jabatan itu niscaya adanya. Tidak sulit menunjukkan bahwa
penetapan pejabat birokrasi yang sudah diatur dengan sistem berbasis IT, uji
kompetensi, dan pengawasan ketat ternyata tidak bebas dari praktik beli jabatan
dan kemudian dijual lagi ke tingkat bawahannya. Lebih lagi sistem demokrasi
pemilihan langsung, katanya daulat rakyat, justru lebih dahsyat lagi harga
jabatan yang hanya sekadar anggota DPR, DPRD atau wakil rakyat yang harus
mereka beli dengan harga tanpa tarif. Sekali, beli jabatan untuk kemudian
dijual pula jabatan lain kepada mereka yang mau beli jabatan itu, lingkaran
setan, membuat orang menjadi kesetanan.
Naif
dan sulit menjelaskan dengan akal cerdas, mengapa orang penting, anak bangsa
terdidik, peminpin yang dihargai saat menjadi pejabat begitu bermartabat, dalam
hitungan jam berubah status menjadi penjahat bermental jahat. Pertanyaan yang
perlu dijawab, Salah siapa? Salah sistemkah, salah syahwat, dan siapa lagi yang
akan dijadikan tempat tumpukan salah?
Mencermati
penjelasan KPK tentang OTT RY di Surabaya, Jumat, 15 Maret 2019 dengan dugaan
menerima suap untuk jabatan tinggi di Kementrian Agama RI, diperkuat pula
dengan dugaan jual beli jabatan, rasanya sendi-sendi dan tonggak moralitas di
kalangan "orang penting" di negeri benar-benar kropos dimakan ngegat
materialisme.
Istilah
jual beli jabatan yang beberapa kali disebut juru bicara dan komisioner komisi
antirusuah dalam jumpa pers, Sabtu, 16 Maret 2019 menusuk perasaan orang yang
mengerti apa makna jabatan. Jabatan dalam sambutan dan pengarahan pemimpin di
negeri ini selalu dikatakan amanah. Amanah kok diperjualbelikan? Diperjualbelikan
kok amanah? Sungguh miris melihat orang yang lagi menerima risiko perbuatannya,
malu diri, keluarga, kolega dan institusi yang membesarkannya.
Drakula Amanah
Drakula
adalah sebutan untuk monster penghisap darah yang tak kenal lawan, kawan dan
bahkan saudaranya sendiri. Penisbahan drakula bagi mereka yang tega dan
tenang-tenang saja jual beli amanah berupa jabatan rasanya tidak berlebihan,
karena memang korban jual beli jabatan adalah orang yang satu korps, satu
institusi, satu almamater, bahkan satu iman dan banyak kesatuan lainnya.
Faktanya
sulit membantah bahwa perasaan insan lazimnya akan miris, prihatin, malu dan
sekaligus kesal, ngurundel, melihat
orang hebat, pintar, dan terhormat dulunya, diborgol, ditutupi wajah, digiring
polisi dan segera menghindar dari kejaran wartawan, ya itulah satu di antara effek
jual beli jabatan, dan pengaruh langsung dari kinerja KPK yang harus
diapresiasi atas keberhasilannya menangkap drakula amanah, penjual dan pembeli
jabatan dan tindakan tercela lainnya.
Mendengar
ulasan dan ragam komentar, renungan batin melintas sesaat, pernahkah mereka
yang terlibat jual beli jabatan itu menyampaikan bahwa amanah itu haram dan
tercela bila dijual atau dibeli?. Amanah itu kepercayaan yang diberikan oleh
pemiliknya kepada mereka yang memenuhi syarat untuk memikul amanah itu. Berikut
dalil, norma dan nash yang dijadikan penguat arahan, kita yakin seringkali
mereka sampaikan, pertanyaan mengapa kok sepertinya tidak ada sentuhan untuk
diri mereka sendiri?.
Mata Batin
Sungguh,
amanah itu awalnya kalimat sakral, mulia dan akan diterima orang dengan
hati-hati, kemudian amanah menjadi seperti habis energi saat ia dipegang oleh
mereka yang "mati batin". Musibah kematian batin sudah menengelamkan
akal sehat, mengotori hati bersih dan akhirnya mereka menjadi drakula menghisap
darah saudara sendiri.
Akal
sehat, dan pikiran simpel dalam satu waktu, pasti akan menginggatkan para
drakula amanah, bahwa menghisap darah saudara, menciderai saudara, mencabut hak
orang lain, dan menberikannya pada yang tak berhak adalah pasti akan membawa
akibat buruk bagi moral, risiko pelanggaran hukum dan lebih dahsyat lagi
mematikan karier saudara sendiri yang orang baik dan pantas untuk jabatan itu.
Nalar
sehat, jiwa bersih, pikiran normal sejatinya, tidak akan mengizinkan orang
terpelajar, pemimpin tinggi, sekelas pimpinan nasional, mengorbankan saudaranya
sendiri. Sungguh, anomali pikiran dan pertimbangan sesat apa yang merasuki
mereka yang tega jual beli jabatan di lingkungan saudaranya sendiri, nauzubillah.
Membangun
terus menerus akal sehat, kesadaran batin, keteguhan hati, dan pengawalannya
dengan penegakan hukum yang tegas adalah tugas kolektif untuk menyelamatkan
bangsa dari praktik jahat jual beli jabatan, beli jual jabatan, korupsi, pungli
dan virus kejahatan lainnya. Guru paling hebat adalah pengalaman. Sudah puluhan
korban penjual dan pembeli jabatan, koruptor di jeruji besikan, kok sepertinya tidak ada efek jera.
Wahai
orang yang sedang memegang jabatan, berhentilah jual beli jabatan yang jelas-jelas
haram, sogok namanya, ruswah nama lainnya, kutukkan Allah untuk pemberi,
penerima, calo dan siapa saja yang terlibat dalam sogok menyongok untuk satu
jabatan. Menerima uang atau natura dengan kompensasi pembelian jabatan adalah
bentuk nyata sogok-menyogok yang dilaknati Allah. Ya Allah, hentikan, jauhkan
di hati dan dipraktikkan oleh saudara kami yang sedang berjuang menerima amanah
rakyat pada pilpres dan pileg 17 April 2019 mendatang, sogok menyogok untuk
mendapatkan jabatan. Bukankah, jabatan itu amanah yang akan Engkau audit kelak.
Patut
diingatkan bahwa drakula amanah dapat dihancurkan dan paling tidak sulit
hidupnya bila pemegang mandat kuasa di jajaran birokrasi diisi oleh orang
memiliki ikatan moral, spiritual dan intelektual dengan institusi yang
dipimpinnya. Sejarah pemegang kuasa di Kementerian Agama ketika dipegang oleh
profesional, cendekiawan dan ulama aman dan drakula amanah tidak menganas. Saat
kuasa beralih di bawah payung kuasa politik, sudah menelan korban jamak dan
sepertinya jual beli amanah dianggap biasa, dan tanpa dosa.*
Pernah
dimuat di Harian Khazanah, 22 Maret
2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar