Rabu, 04 Maret 2020

“Sumbang Duo Baleh”, Pertahanan Terakhir Minangkabau Tergerus

Tari Padusi karya Tom Ibnur
mantagibaru.com—Pertahanan terakhir Minangkabau ialah ““Sumbang Duo Baleh””, tapi kini nasibnya bak rumah gadang ditinggal kaumnya, yang ringkih kian tergerus zaman dan menunggu roboh. Satu=satu nilai-nilai etika, dan kesantunan Minangkabau, rebah. Yang merebahkannya pemilik Minangkabau itu sendiri.

“Sumbang Dua Baleh” hukum tatakrama dan sosial yang mengatur perilaku dan tindak tanduk perempuan Minangkabau, juga telah babak belur dihantam perilaku sosial perempuan yang terkesan sumbang.   

Perkembangan seni Minangkabau, terutama seni-seni kreasi yang tumbuh bersama dengan kehadiran sanggar-sanggar seni dan juga hadirnya wedding organizer (WO), event organizer (EO), dua dasawarsa terakhir, hadir bak rumput liar tumbuh setelah hujan.

Dalam perjalanannya kehidupan sosial masyarakat, sanggar-sanggar seni kreasi dan EO itu turut mewarnai bentuk perhetalan (baralek) di ranah Minangkabau dan juga orang awak di rantau.

Kendati satu sisi perkembangan itu ikut mendongkrak perputaran ekonomi masyarakat tetapi sisi lainnnya, tak sedikit pula yang mengeritik karena menabrak norma-norma, nilai-nilai, etika, dan kepatutan sosial.

Sebagian besar sanggar-sanggar seni itu mengisi pelbagai kegiatan baik seremonial acara pemerintah maupun pesta perhelatan perkawinan dengan tarian kreasi berbasis Minangkabau. 

Hadirnya sanggar-sanggar seni berbasis Minangkabau tentu saja sebuah kegembiraan dan kebanggaan karena kesenian Minangkabau senantiasa berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat sampai saat ini.

Walaupun dalam aspek ekonomi cukup penting, namun pada sisi lain ada kecemasan melihat kenyataan yang sedang berkembang saat ini. Seni-seni kreasi termasuk kostum yang dikenakan saat tampil, tak banyak pengelola sanggar, WO/EO yang memperhatikan kearifan lokal yang telah jadi pakem di Minangkabau. Kearifan lokal yang  telah jadi pegangan bagi masyarakat Minangkabau, terutama dalam perspektif perempuan, yang terkenal dengan nama “Sumbang Duo Baleh”. “Sumbang Duo Baleh” merupakan pakem tak tertulis yang mengatur etika dan sopan santun perempuan Minangkanbau.

Pada sisi gerak tari kreasi, misalnya, tarian dalam pesta perkawinan ataupun dalam acara seremonial,  kebanyakan gerakan tari tidak mempertimbangkan pantangan dari “Sumbang Duo Baleh”.

Gerakan membuka kaki terlalu lebar atau mengangkat tangan terlalu tinggi dan membuka dengan lebar, serta gerakan spontan yang seringkali menimbulkan pemandangan yang tidak enak untuk dilihat.

Pada aspek hiasan dan aksesori pakaian yang dikenakan penari juga sering tidak pada tempatnya, terutama dalam pemakaian suntiang. Menurut adat sabatang panjang, ada dua jenis suntiang bagi perempuan Minangkabau dan ada pula aturan untuk memakainya.

Media daring mantagibaru, secara terpisah merangkum hasil bincang-bincang dengan sejumlah sosok yang berkompeten, antara lain Viveri Yudhi yang akrab disapa Mak Kari, seniman dan budayawan Minangkabau, Indrayuda, S.Pd., M.Pd., Ph.D, pengajar di Jurusan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang yang juga koreografer, Dra. Hj. Sastri Yunizarti Bakry, M.Si., Akt atau Sastri Bakry, sastrawan dan perempuan aktivis, Sofyani Yusaf pendiri Sofyani Dance and Music Ensemble Group, dan Marya Danche, pengelola Sanggar Sitampang Baniah Padang.

Harus Duduk Bersama

Menurut Mak Kari, dalam proses baralek orang awak saat kini telah banyak yang janggal dilakukan. Mak Kari mencontohkan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat Minangkabau sekarang ini saat baralek.

“Tak sedikit kita lihat di tengah masyarakat, belum terjadi helat nikah ijab-kabul, calon pengantin sudah dipersandingkan di surau/masjid di mana keduanya akan melangsungkan pernikahan. Malah, keduanya sudah berada dalam satu songkok salendang padahal akad nikah belum dilangsungkan,” kata Mak Kari kepada sumbarsatu, Jumat (8/1/2021).

Yang lebih memprihatinkan lagi, tambahnya, saat baralek kedua orang tua dijadikan pasumandan anak daro dan marapulai. Mereka duduk di sebelah kanan-kiri pengantin. “Urang nan maundang alek datang duduak mangamek di ateh pentas manjadi pasumandan. Alek nan datang disambuik dek kelurga nan lain. Kondisi begini sudah masif,” urainya. 

Selain kejanggalan dalam prosesi pernikahan, jelasnya lebih jauh, kehadiran tari galombang dan tari pasambahan yang disusuhkan untuk menyambut tamu seperti yang sering disaksikan sebenarnya itu adalah tari kreasi.

Menurut Mak Kari, dalam khazanah kesenian Minangkabau, kita mengenal silek galombang untuk menyambut tamu kehormatan (alek nan datang). Unsur geraknya bersumber dari gerak (mancak/bungo) silek yang dimainkan oleh laki-laki.

“Kini tari galombang dan tari pasambahan telah dianggap sebagai 'tari wajib' untuk penyambutan tamu dalam peristiwa baralek. Tari ini perlu disesuaikan dengan nilai-nilai (etika dan estetika) Minangkabau. Misalnya dengan memperkuat dan menonjolkan gerakan penari laki-laki, dan menyesuaikan pakaian dan aksesoris lainnya dengan nilai-nilai kepatutan kebudayaan Minangkabau,” jelas Mak Kari.

Untuk itu, ia menyarankan agar prosesi baralek yang berkembang beberara tahun terakhir ini perlu ditinjau dari sisi pandang nilai-nilai yang dianut masyarakat Minangkabau, baik di rantau, apalagi di ranah.

“Para pihak yang berkepentingan dengan urusan pelindungan nilai-nilai kebudayaan Minangkabau perlu duduk bersama. 'Baiyo batido' antara pengusaha/wedding organizer, event organizer (EO) sanggar-sanggar, pemangku adaik, alim ulama, dan unsur pemerintah yang relevan untuk mencari kato sapakaik,” harap Mak Kari.

Indrayuda juga memberikan contoh juga terkait dengan pelabrakan “Sumbang Dua Baleh” ini.

Dicontohkannya ketika peristiwa baralek, nyaris setiap ada baralek tabir (tabia) yang biasa digunakan untuk hiasan keliling ruangan ataupun pelaminan juga kini tidak diperhatikan lagi, termasuk warna dan simbol yang diisyaratkannya. Pemasangannya sembarangan saja,” urai Indrayuda.

Dinamis dan Konsisten

Sementara Sastri Bakry, menilai Sumbang Duo Beleh harus dijaga dan dilestarikan tapi tidak bisa dipaksakan penerapannya di tengah masyarakat.

“Harus disesuaikan dengan zamannya (waktu dan tempat). Hanya adaik nan sabana adaik (sunatullah) yang tidak bisa berubah yang lain dimungkinkan berubah. Jika “Sumbang Duo Baleh” direrapkan secara ketat, misalnya saja sumbang bajalan, bagi perempuan-perempuan yang bekerja cepat tidak mungkin berjalan lambat. Atau pergi sendiri kemana-mana, kan bukan berarti tidak beradat,” urai Sastri Bakry.

Sanggar Sofyani Yusaf, pengelola  Dance and Music Ensemble Group Padang yang sudah melegenda sebagai sebuah sanggar yang didirikan suami-istri seniman Sofyani Yusaf-Yusaf Rahman (alm) tahun 1953 masih tetap berkomitmen menjaga etika dan tidak keluar dari “Sumbang Duo Baleh”.

Terikait dengan etika dan beberapa sanggar yang keluar dari “Sumbang Duo Baleh” saat melakukan pertunjukan di depan publik, Sofyani pendiri Sofyani Dance and Music Ensemble Group meminta agar para pemangku kepentingan untuk ambil bagian dalam mentransformasi nilai dan aturan dalam “Sumbang Duo Baleh” kepada koreografer yang sekarang didominasi oleh kaum muda.

"Dinas pariwisata dan dinas kebudayaan, serta  elemen lainya harus mengambil peran dalam memberikan arahan dan bimbingan sehingga gerak-gerak tari kreasi tidak melanggar aturan (“Sumbang Duo Baleh”)," harap Sofyani.

Sofyani mengatakan, dalam pemakaian kostum dalam menari Sofyani Dance and Music Ensemble Group tetap konsisten mempertimbangkan estetika dan etika dalam “Sumbang Duo Baleh”.

"Sunting dalam tari mestinya sebagai pemanis saja. Jelas suntiang tinggi tidak cocok untuk dipakai menari. Lalu memakai baju kuruang yang berenda dan bermanik yang sewajarnya saja," jelas Sofyani.

Sementara itu, Marya Danche, generasi muda yang tertarik mengembangkan seni kreasi berbasis Minangkabau mengatakan, dalam menciptakan kreasi tari Minangkabau sanggarnya tetap mengacu pada etika, kesopansantunan, dan ketepatan penggunaan pakaian yang tidak lepas dari Sumbang Duo Beleh.

"Orang-orang mengenal gerak tari Sitampang Baniah, gerak yang dinamis dan energik. Saya suka dengan gerak yang cepat, tegas, dan kuat. Itu menggambarkan pribadi saya yang juga dinamis," ungkap Marya.

Atas pilihan menggunakan sarawa galembong tersebut, Marya pernah mendapatkan kritikan dari seorang budayawan. 

“Menurut mereka itu melanggar kearifan lokal Sumbang Dua Baleh. Tidak seharusnya penari perempuan menggenakan celana. Tapi ini adalah upaya kami untuk menempatkan karya dan menjaga penari perempuan. Saya pikir aturan adat bisa ditempatkan di situ," jelasnya.

“Sumbang Duo Baleh” mengemban nilai pendidikan, etika, dan tata krama bagi perempuan Minangkabau, dan juga secara tak langsung ditujukan kepada kaum lelaki.

Dalam tataran adat Minangkabau, “Sumbang Duo Baleh”,  dua belas (duo baleh) butir sumbang, kejanggalan, atau cando, bermakna segala sesuatu yang tidak pada tempatnya dilakukan para perempuan. Ketidakpadatempatannya ini dapat dalam bentuk perbuatan, perkataan, atau pemikiran. Muara dan tujuan dari duo baleh butir aturan adat adalah budi pekerti, tata krama, etika dan sopan santun, serta bahasa.

“Sumbang Duo Baleh” yang harus dihindari perempuan Minangkabau adalah sumbang (1) duuok/duduk, (2) tagak/berdiri, (3) jalan, (4) kato/kata, (5) caliak/lihat, (6) makan, (7) pakai, (8) karajo/kerja, (9) tanyo/tanya, (10) jawek/jawab, (11) gaua/gaul, dan (12) kurenah/gaya. Kasumbangan dua belas poin itu biasanya diungkapkan dengan pituah-pituah dan analogi tertentu yang sarat makna dan perumpamaan. nasrul azwar/sonia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...