mantagibaru.com—Pertahanan terakhir
Minangkabau ialah ““Sumbang Duo Baleh””, tapi kini nasibnya bak rumah gadang
ditinggal kaumnya, yang ringkih kian tergerus zaman dan menunggu roboh.
Satu=satu nilai-nilai etika, dan kesantunan Minangkabau, rebah. Yang merebahkannya
pemilik Minangkabau itu sendiri.Tari Padusi karya Tom Ibnur
“Sumbang Dua Baleh” hukum tatakrama dan sosial yang mengatur perilaku dan tindak tanduk perempuan Minangkabau, juga telah babak belur dihantam perilaku sosial perempuan yang terkesan sumbang.
Perkembangan seni
Minangkabau, terutama seni-seni kreasi yang tumbuh bersama dengan kehadiran
sanggar-sanggar seni dan juga hadirnya wedding
organizer (WO), event organizer
(EO), dua dasawarsa terakhir, hadir bak rumput liar tumbuh setelah hujan.
Dalam perjalanannya kehidupan sosial masyarakat,
sanggar-sanggar seni kreasi dan EO itu turut mewarnai bentuk perhetalan
(baralek) di ranah Minangkabau dan juga orang awak di rantau.
Kendati satu sisi perkembangan itu ikut mendongkrak perputaran
ekonomi masyarakat tetapi sisi lainnnya, tak sedikit pula yang mengeritik
karena menabrak norma-norma, nilai-nilai, etika, dan kepatutan sosial.
Sebagian besar sanggar-sanggar seni itu mengisi pelbagai
kegiatan baik seremonial acara pemerintah maupun pesta perhelatan perkawinan
dengan tarian kreasi berbasis Minangkabau.
Hadirnya sanggar-sanggar seni berbasis Minangkabau tentu
saja sebuah kegembiraan dan kebanggaan karena kesenian Minangkabau senantiasa
berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat sampai saat ini.
Walaupun dalam aspek ekonomi cukup penting, namun pada sisi
lain ada kecemasan melihat kenyataan yang sedang berkembang saat ini. Seni-seni
kreasi termasuk kostum yang dikenakan saat tampil, tak banyak pengelola
sanggar, WO/EO yang memperhatikan kearifan lokal yang telah jadi pakem di
Minangkabau. Kearifan lokal yang telah
jadi pegangan bagi masyarakat Minangkabau, terutama dalam perspektif perempuan,
yang terkenal dengan nama “Sumbang Duo Baleh”. “Sumbang Duo Baleh” merupakan
pakem tak tertulis yang mengatur etika dan sopan santun perempuan Minangkanbau.
Pada sisi gerak tari kreasi, misalnya, tarian dalam pesta
perkawinan ataupun dalam acara seremonial,
kebanyakan gerakan tari tidak mempertimbangkan pantangan dari “Sumbang
Duo Baleh”.
Gerakan membuka kaki terlalu lebar atau mengangkat tangan
terlalu tinggi dan membuka dengan lebar, serta gerakan spontan yang seringkali
menimbulkan pemandangan yang tidak enak untuk dilihat.
Pada aspek hiasan dan aksesori pakaian yang dikenakan penari
juga sering tidak pada tempatnya, terutama dalam pemakaian suntiang. Menurut
adat sabatang panjang, ada dua jenis suntiang bagi perempuan Minangkabau dan
ada pula aturan untuk memakainya.
Media daring mantagibaru,
secara terpisah merangkum hasil bincang-bincang dengan sejumlah sosok yang
berkompeten, antara lain Viveri Yudhi yang akrab disapa Mak Kari, seniman dan
budayawan Minangkabau, Indrayuda, S.Pd., M.Pd., Ph.D, pengajar di Jurusan
Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang yang juga
koreografer, Dra. Hj. Sastri Yunizarti Bakry, M.Si., Akt atau Sastri Bakry, sastrawan
dan perempuan aktivis, Sofyani Yusaf pendiri Sofyani Dance and Music Ensemble
Group, dan Marya Danche, pengelola Sanggar Sitampang Baniah Padang.
Harus Duduk Bersama
Menurut Mak Kari, dalam proses baralek orang awak saat kini
telah banyak yang janggal dilakukan. Mak Kari mencontohkan fenomena yang
terjadi di tengah masyarakat Minangkabau sekarang ini saat baralek.
“Tak sedikit kita lihat di tengah masyarakat, belum terjadi
helat nikah ijab-kabul, calon pengantin sudah dipersandingkan di surau/masjid
di mana keduanya akan melangsungkan pernikahan. Malah, keduanya sudah berada
dalam satu songkok salendang padahal akad nikah belum dilangsungkan,” kata Mak
Kari kepada sumbarsatu, Jumat (8/1/2021).
Yang lebih memprihatinkan lagi, tambahnya, saat baralek
kedua orang tua dijadikan pasumandan anak daro dan marapulai. Mereka duduk di
sebelah kanan-kiri pengantin. “Urang nan maundang alek datang duduak mangamek
di ateh pentas manjadi pasumandan. Alek nan datang disambuik dek kelurga nan
lain. Kondisi begini sudah masif,” urainya.
Selain kejanggalan dalam prosesi pernikahan, jelasnya lebih
jauh, kehadiran tari galombang dan tari pasambahan yang disusuhkan untuk
menyambut tamu seperti yang sering disaksikan sebenarnya itu adalah tari
kreasi.
Menurut Mak Kari, dalam khazanah kesenian Minangkabau, kita
mengenal silek galombang untuk menyambut tamu kehormatan (alek nan datang).
Unsur geraknya bersumber dari gerak (mancak/bungo) silek yang dimainkan oleh
laki-laki.
“Kini tari galombang dan tari pasambahan telah dianggap
sebagai 'tari wajib' untuk penyambutan tamu dalam peristiwa baralek. Tari ini
perlu disesuaikan dengan nilai-nilai (etika dan estetika) Minangkabau. Misalnya
dengan memperkuat dan menonjolkan gerakan penari laki-laki, dan menyesuaikan
pakaian dan aksesoris lainnya dengan nilai-nilai kepatutan kebudayaan
Minangkabau,” jelas Mak Kari.
Untuk itu, ia menyarankan agar prosesi baralek yang
berkembang beberara tahun terakhir ini perlu ditinjau dari sisi pandang
nilai-nilai yang dianut masyarakat Minangkabau, baik di rantau, apalagi di
ranah.
“Para pihak yang berkepentingan dengan urusan pelindungan
nilai-nilai kebudayaan Minangkabau perlu duduk bersama. 'Baiyo batido' antara
pengusaha/wedding organizer, event organizer (EO) sanggar-sanggar,
pemangku adaik, alim ulama, dan unsur pemerintah yang relevan untuk mencari
kato sapakaik,” harap Mak Kari.
Indrayuda juga memberikan contoh juga terkait dengan
pelabrakan “Sumbang Dua Baleh” ini.
Dicontohkannya ketika peristiwa baralek, nyaris setiap ada
baralek tabir (tabia) yang biasa digunakan untuk hiasan keliling ruangan
ataupun pelaminan juga kini tidak diperhatikan lagi, termasuk warna dan simbol
yang diisyaratkannya. Pemasangannya sembarangan saja,” urai Indrayuda.
Dinamis dan Konsisten
Sementara Sastri Bakry, menilai Sumbang Duo Beleh harus
dijaga dan dilestarikan tapi tidak bisa dipaksakan penerapannya di tengah
masyarakat.
“Harus disesuaikan dengan zamannya (waktu dan tempat). Hanya
adaik nan sabana adaik (sunatullah) yang tidak bisa berubah yang lain
dimungkinkan berubah. Jika “Sumbang Duo Baleh” direrapkan secara ketat,
misalnya saja sumbang bajalan, bagi perempuan-perempuan yang bekerja cepat
tidak mungkin berjalan lambat. Atau pergi sendiri kemana-mana, kan bukan
berarti tidak beradat,” urai Sastri Bakry.
Sanggar Sofyani Yusaf, pengelola Dance and Music Ensemble Group Padang yang
sudah melegenda sebagai sebuah sanggar yang didirikan suami-istri seniman
Sofyani Yusaf-Yusaf Rahman (alm) tahun 1953 masih tetap berkomitmen menjaga
etika dan tidak keluar dari “Sumbang Duo Baleh”.
Terikait dengan etika dan beberapa sanggar yang keluar dari “Sumbang
Duo Baleh” saat melakukan pertunjukan di depan publik, Sofyani pendiri Sofyani
Dance and Music Ensemble Group meminta agar para pemangku kepentingan untuk
ambil bagian dalam mentransformasi nilai dan aturan dalam “Sumbang Duo Baleh”
kepada koreografer yang sekarang didominasi oleh kaum muda.
"Dinas pariwisata dan dinas kebudayaan, serta elemen lainya harus mengambil peran dalam
memberikan arahan dan bimbingan sehingga gerak-gerak tari kreasi tidak
melanggar aturan (“Sumbang Duo Baleh”)," harap Sofyani.
Sofyani mengatakan, dalam pemakaian kostum dalam menari
Sofyani Dance and Music Ensemble Group tetap konsisten mempertimbangkan
estetika dan etika dalam “Sumbang Duo Baleh”.
"Sunting dalam tari mestinya sebagai pemanis saja.
Jelas suntiang tinggi tidak cocok untuk dipakai menari. Lalu memakai baju
kuruang yang berenda dan bermanik yang sewajarnya saja," jelas Sofyani.
Sementara itu, Marya Danche, generasi muda yang tertarik
mengembangkan seni kreasi berbasis Minangkabau mengatakan, dalam menciptakan
kreasi tari Minangkabau sanggarnya tetap mengacu pada etika, kesopansantunan,
dan ketepatan penggunaan pakaian yang tidak lepas dari Sumbang Duo Beleh.
"Orang-orang mengenal gerak tari Sitampang Baniah,
gerak yang dinamis dan energik. Saya suka dengan gerak yang cepat, tegas, dan
kuat. Itu menggambarkan pribadi saya yang juga dinamis," ungkap Marya.
Atas pilihan menggunakan sarawa galembong tersebut, Marya
pernah mendapatkan kritikan dari seorang budayawan.
“Menurut mereka itu melanggar kearifan lokal Sumbang Dua
Baleh. Tidak seharusnya penari perempuan menggenakan celana. Tapi ini adalah
upaya kami untuk menempatkan karya dan menjaga penari perempuan. Saya pikir
aturan adat bisa ditempatkan di situ," jelasnya.
“Sumbang Duo Baleh” mengemban nilai pendidikan, etika, dan
tata krama bagi perempuan Minangkabau, dan juga secara tak langsung ditujukan
kepada kaum lelaki.
Dalam tataran adat Minangkabau, “Sumbang Duo Baleh”, dua belas (duo baleh) butir sumbang, kejanggalan,
atau cando, bermakna segala sesuatu yang tidak pada tempatnya dilakukan para
perempuan. Ketidakpadatempatannya ini dapat dalam bentuk perbuatan, perkataan,
atau pemikiran. Muara dan tujuan dari duo baleh butir aturan adat adalah budi
pekerti, tata krama, etika dan sopan santun, serta bahasa.
“Sumbang Duo Baleh” yang harus dihindari perempuan Minangkabau adalah sumbang (1) duuok/duduk, (2) tagak/berdiri, (3) jalan, (4) kato/kata, (5) caliak/lihat, (6) makan, (7) pakai, (8) karajo/kerja, (9) tanyo/tanya, (10) jawek/jawab, (11) gaua/gaul, dan (12) kurenah/gaya. Kasumbangan dua belas poin itu biasanya diungkapkan dengan pituah-pituah dan analogi tertentu yang sarat makna dan perumpamaan. nasrul azwar/sonia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar