Padang-mantagibaru—Sanggar Satampang Baniah, Padang, yang didirikan pada
1985 ini kini dipimpin Sulastri Andras. Semenjak didirikan, sanggar ini sudah
banyak memproduksi karya tari kreasi berbasis Minangkabau, antara lain
tari Dantiang Balinduang, Pucuak Pisang, Lenggang Dara,
tari Indang, tari Pasambahan dan tari Galombang.Sanggar Satampang Baniah
Marya Danche, koreografer dan pengelola Sanggar Sitampang Baniah menguraikan, untuk mengantisipasi perkembangan zaman, dilakukan reproduksi kreatif terhadap tari dan busana.
“Tujuannya
agar karya kreatif dan produksi tetap menarik untuk ditampilkan. Kami berusaha,
setiap penampilan sanggar Satampang
Baniah ada kebaruan. Termasuk pada kostum yang digunakan dimutakhirkan baik dari segi
bentuk, warna dan
properti. Demikian juga dengan tarian
dan musik,” kata Marya Danche.
Menurutnya,
sebuah karya seni tidak pernah bisa lepas dari penciptanya. Karya merupakan
cerminan dari pembuat karya. Ungkapan ini menggambarkan.
"Orang-orang
mengenal gerak tari Sitampang Baniah, gerak yang dinamis dan energik. Saya suka
dengan gerak yang cepat, tegas, dan kuat, itu menggambarkan pribadi saya yang
juga dinamis," ungkap Marya Danche.
Atas
pilihan menggunakan sarawa galembong tersebut, ia pernah mendapatkan kritikan
dari seorang budayawan.
"Menurut
mereka itu melanggar kearifan lokal. Tidak seharusnya penari perempuan
menggunakan celana. Tapi ini adalah upaya kami untuk menempatkan karya dan
menjaga penari perempuan, sayapikir aturan adat bisa ditempatkan di situ,"
jelasnya.
Dengan gerak tari yang dinamis dan energik itu, maka
penari perempuan mengenakan celana galembong dalam penampilan tari menjadi pas
dan tepat.
"Sengaja
menggunakan sarawa galembong karena gerak tarinya yang kuat dan tujuannya untuk
menjaga agar aurat penarinya tidak terbuka. Jika menari dengan kain, tentu
auratnya terbuka," terang Marya Danche.
Dalam
penciptaan gerak, dituturkan Maya Danche bahwa terinspirasi dengan gerak silat.
"Kalau
untuk gerak terinspirasi oleh gerakan silat. Sementara gerakan untuk perempuan
lebih halus dan lembut," terangnya.
Sementara
itu dalam hal pilihan kostum, Sanggar Sitampang Baniah melakukan eksplorasi
dalam warna.
"Untuk
warna kami melakukan kreasi. Jika warna-warna pakaian adat ‘kan hitam, kuning,
dan merah. Kami melakukan kreasi warna yang disesuaikan dengan warna yang
diinginkan oleh pemesan. Sementara untuk baju tetap menggunakan baju kuruang.
Kami menyesuaikan dengan perkembangan zaman tetapi tidak meninggalkan
tradisi," ungkapnya.
Dalam
hal aksesori yang digunakan penari Sanggar Sitampang Baniah memakai suntiang
kecil.
"Tentu
tidak menggunakan suntiang tinggi. Tidak cocoklah suntiang tinggi dipakai dalam
menari. Kalau pameran iya ada menggunakan (suntiang tinggi), kalau untuk tari
menggunakan sunting pasumandan, suntiang taram, dan sunting solok,"
jelasnya.
Untuk
menjaga keelokan tari Minangkabau, menurut Marya Danche ia berusah menghindari
persentuhan antara penari laki-laki dengan perempuan.
“Saya
sangat menjaga itu. Dalam tari yang diciptakan baik yang dikreasikan, antara penari laki-laki dan perempuan harus
berjarak. Jarak saja dijaga, apalagi sampai bersentuhan,” paparnya.
Dalam menciptakan tari kreasi, Marya Danche menuturkan memakai pijakan tradisi. “Untuk tari tradisi dalam salah satu contoh karya kreasi saya saya mencoba mengkolaborasikan antara tari piring dengan tari Payung. Sementara jika menciptakan tari kontemporer, benar-benar melepaskan dari tari tradisi. Saya pernah menggarap tari kontemporer dengan mengakat tema tentang HIV/AIDS, itu benar-benar lepas dari konsep tradisi,” jelas alumni Magister Penciptaan Tari ISI Padang Panjang ini. sonia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar