Senin, 02 Maret 2020

Marya Danche: Satampang Baniah Konsisten di Jalurnya

Sanggar Satampang Baniah
Padang-mantagibaruSanggar Satampang Baniah, Padang, yang didirikan pada 1985 ini kini dipimpin Sulastri Andras. Semenjak didirikan, sanggar ini sudah banyak memproduksi karya tari kreasi berbasis Minangkabau, antara lain tari  Dantiang  Balinduang, Pucuak Pisang, Lenggang Dara, tari Indang, tari Pasambahan dan tari Galombang.

Marya Danche, koreografer dan pengelola Sanggar Sitampang Baniah menguraikan, untuk mengantisipasi  perkembangan  zaman, dilakukan reproduksi kreatif terhadap tari dan busana.

“Tujuannya agar karya kreatif dan produksi tetap menarik untuk ditampilkan. Kami berusaha, setiap penampilan  sanggar  Satampang  Baniah  ada kebaruan.  Termasuk pada kostum yang  digunakan dimutakhirkan baik dari  segi  bentuk,  warna  dan  properti. Demikian juga dengan tarian  dan  musik,” kata Marya Danche.

Menurutnya, sebuah karya seni tidak pernah bisa lepas dari penciptanya. Karya merupakan cerminan dari pembuat karya. Ungkapan ini menggambarkan.

"Orang-orang mengenal gerak tari Sitampang Baniah, gerak yang dinamis dan energik. Saya suka dengan gerak yang cepat, tegas, dan kuat, itu menggambarkan pribadi saya yang juga dinamis," ungkap Marya Danche.

Atas pilihan menggunakan sarawa galembong tersebut, ia pernah mendapatkan kritikan dari seorang budayawan.

"Menurut mereka itu melanggar kearifan lokal. Tidak seharusnya penari perempuan menggunakan celana. Tapi ini adalah upaya kami untuk menempatkan karya dan menjaga penari perempuan, sayapikir aturan adat bisa ditempatkan di situ," jelasnya.

Dengan gerak tari yang dinamis dan energik itu, maka penari perempuan mengenakan celana galembong dalam penampilan tari menjadi pas dan tepat.

"Sengaja menggunakan sarawa galembong karena gerak tarinya yang kuat dan tujuannya untuk menjaga agar aurat penarinya tidak terbuka. Jika menari dengan kain, tentu auratnya terbuka," terang Marya Danche.

Dalam penciptaan gerak, dituturkan Maya Danche bahwa terinspirasi dengan gerak silat.

"Kalau untuk gerak terinspirasi oleh gerakan silat. Sementara gerakan untuk perempuan lebih halus dan lembut," terangnya.

Sementara itu dalam hal pilihan kostum, Sanggar Sitampang Baniah melakukan eksplorasi dalam warna.

"Untuk warna kami melakukan kreasi. Jika warna-warna pakaian adat ‘kan hitam, kuning, dan merah. Kami melakukan kreasi warna yang disesuaikan dengan warna yang diinginkan oleh pemesan. Sementara untuk baju tetap menggunakan baju kuruang. Kami menyesuaikan dengan perkembangan zaman tetapi tidak meninggalkan tradisi," ungkapnya.

Dalam hal aksesori yang digunakan penari Sanggar Sitampang Baniah memakai suntiang kecil.

"Tentu tidak menggunakan suntiang tinggi. Tidak cocoklah suntiang tinggi dipakai dalam menari. Kalau pameran iya ada menggunakan (suntiang tinggi), kalau untuk tari menggunakan sunting pasumandan, suntiang taram, dan sunting solok," jelasnya. 

Untuk menjaga keelokan tari Minangkabau, menurut Marya Danche ia berusah menghindari persentuhan antara penari laki-laki dengan perempuan.

“Saya sangat menjaga itu. Dalam tari yang diciptakan baik yang dikreasikan,  antara penari laki-laki dan perempuan harus berjarak. Jarak saja dijaga, apalagi sampai bersentuhan,” paparnya.

Dalam menciptakan tari kreasi, Marya Danche menuturkan memakai pijakan tradisi. “Untuk tari tradisi dalam salah satu contoh karya kreasi saya saya mencoba mengkolaborasikan antara tari piring dengan tari Payung. Sementara jika menciptakan tari kontemporer, benar-benar melepaskan dari tari tradisi. Saya pernah menggarap tari kontemporer dengan mengakat tema tentang HIV/AIDS, itu benar-benar lepas dari konsep tradisi,” jelas alumni Magister Penciptaan Tari ISI Padang Panjang ini.  sonia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...