Padang, mantagibaru.com--Dalam berperilaku,
berpakaian dan berkata perempuan Minangkabau diatur dan diikat dengan “Sumbang Duo Baleh”. “Sumbang Duo Baleh”
tersebut merupakan kearifan lokal dalam menjaga tingkah laku perempuan Minangkabau.Dr Dra Fuji Astuti, M.Hum
Tidak hanya diamalkan untuk kehidupan
sosial masyarakat, “Sumbang Duo Baleh” juga harus tercermin dalam
perilaku dan karya (cipta) seni tari yang ditampilkan di depan publik. Dalam gerak tari yang berbasis Minangkabau, “Sumbang Duo Baleh” adalah acuan yang mesti dipedomani perempuan
Minangkabau
dalam berperilaku dan
tampil di depan masyarakat, baik tampil dalam kegiatan pesta perkawinan, maupun
dalam acara seremonial.
Menurut Dr Dra Fuji Astuti, M.Hum, dosen Jurusan Pendidikan Sendratasik, Universitas Negeri Padang, seorang koreografer atau pencipta tari, baik tarian kreasi maupun kontemporer harus terkoneksi dengan “Sumbang Duo Baleh”.
“Saya mengaitkan “Sumbang Duo Baleh” dalam
tari, idealnya seseorang membuat tari itu mencermikan kepribadian, penari
tersebut, dalam hal ini perempuan. Perempuan sudah tidak menunjukkan
nilai-nilai “Sumbang Duo Baleh” dalam karya tari, baik sebagai penari maupun
koreografer," ungkap Fuji Astuti kepada media ini yang meraih gelar doktor dengan
disertasi tentang Model Pemberlajaran
Koreografi Berbasis Kearifan Lokal Sumbang Dua Baleh ini.
Saat ditemui di ruangannya di Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik Fuji Astuti
mengungkapkan, tari merupakan cerminan dari latar belakang
seseorang.
Ada seorang tokoh yang mengatakan: Menarilah Anda,
saya akan tahu dari mana asal Anda.
“Gerak mencerminkan identitas orangnya. Gerak dan tari merupakan salah satu identitas
budaya Minangkabau, tentu juga identitas perempuan Minangkabau.
Orang Minangkabau menari dengan gerakan lemah lembut dan memakai baju
kurung. Gerakan tari merupakan cerminan dari nilai-nilai kolektif budaya
Minangkabau. Nah kalau itu yang dilakukan perempuan Minangkabau
menunjukkan nilai-nilai budaya lokal," kata perempuan pernah
menjadi koreografer ini.
Menurutnya,
jika ditilik ke belakang, perempuan di
Minangkabau sebenarnya tidak
diizinkan menari. Sebab saat itu kesenian
adalah milik laki-laki sebagai permainan anak nagari. Kalau dulu ada dikotomi antara laki-laki
dan perempuan kesenian adalah milik laki-laki karena permainan anaka nagari. Tapi sekarang sudah berkembang. “Sekarang
kesempatan perempuan sudah banyak dengan terbukanya pendidikan dan
munculnya sekolah-sekolah seni. Tapi sekarang sudah melebihi dari kesetaraan gender itu,
sekarang lebih banyak penari perempuan dan koreografer
perempuan," jelasnya.
Menurutnya,
di satu sisi bangga perempuan berkesenian
tetapi di satu sisi jangan sampai menghilangkan identitasnya sebagai perempuan Minangkabau.
Kebebasan perempuan berkesenian hendaknya
tidak menjadi eksploitasi terhadap tubuh perempuan tersebut.
"Sebetulnya tujuan
utama “Sumbang Duo Baleh”adalah cara bagaimana adat Minangkabau melindungi
kehormatan perempuan. Bagaimana agar perempuan bergerak dan berpakaian tidak
mempertontonkan lekuk tubuhnya. Namun yang ada sekarang perempuan di pentas berpelukan. Langkah yang terlalu menyentak, ditambah lagi
dengan pakaian yang tidak patut. Jatuhnya malah bukan kebebasan berekspresi, namun eksploitasi. Ini
yang harus dipikirkan oleh penari dan koreografer," ungkap Fuji.
Fuji Astuti menilai dalam tari kreasi justru
tidak terlihat lagi identitas perempuan Minangkabau. Memang tidak semua aturan “Sumbang Duo Baleh” diterapkan
dalam tari tapi ada beberapa. Salah satunya yang paling penting adalah sumbang kurenah (perilaku).
“Hal ini kemudian tidak tercermin dalam tari kreasi.
Mereka (dalam menari) memakai pakain yang terawang dan terbuka, berjingkrak,
berguling, menghentak, berpelukan, itu termasuk sumbang dalam budaya
minangkabau," papar Fuji.
Pelanggaran “Sumbang Duo Baleh”
sekarang sudah melebihi dari kesetaraan gender itu, sekarang lebih banyak
penari perempuan dan koreografer perempuan.
Menurutnya
dalam tari ditemukan dalam sanggar-sanggar
dari koreografer muda dalam menciptakan
tari kreasi.
"Kita mengenal kebebasan bererkspresi
dalam berkarya. Jika memang ingin menari kontemporer itu sah-sah saja. Namun
kan kenyataannya mereka menari dengan musik dan musik Minangkabau, dan penarinya
sendiri orang Minangkabau, akan tetapi menanggalkan nilai-nilai Minangkabau. Di
suatu sisi (koreografer dan penari) ingin memepertahankan keminangkabauannya
tetapi dalam karya tidak terlihat nilai-nilai tersebut. Jangan sampai
mengaburkan nilai sebab tari adalah simbol dan identitas," ungkapnya
Tidak hanya itu pelanggaran “Sumbang Duo Baleh” juga terlihat dalam kostum dan aksesoris yang digunakan oleh penari. Pelanggaran dalam kostum seperti memakai baju ketat,
transparan, baju pendek, itu tidak cocok dan juga melanggar sumbang pakaian. “Apalagi memakai suntiang pengantin dalam menari itu jelas
tidak boleh. Suntiang merupakan pakaian tabu bagi mereka yang belum menikah
atau ijab kabul," jelas Fuji panjang lebar.
Selera pasar kemudian mendorong koreografer
bereksplorasi dalam menciptakan tari, dalam hal ini kemudian dualisme antara
ingin modern dan tidak ingin juga melepaskan tradisi.
"Tidak masalah dengan menciptakan
tari kontemporer yang memang lepas dari nilai-nilai lokal dan boleh bebas
berekspresi. Konsep tari modern melepaskan dari ikatan yang mengatur.
Kenyataan sekarang, tari kreasi dikatakan kontemporer tidak juga, sementara dikatakan
tari tradisi, sudah tercabut dari akarnya. Mengembang boleh, tetapi
jangan sampai hilang hal-hal mendasar," urainya.
Fuji menilai bahwa koreografer dan penari
bisa menciptakan pasar untuk karya tarinya. Koreografer
bisa mengejar pasar atau lebih tepatnya
menciptakan pasar sendiri. Melalui tari bisa memperlihatkan keelokkan budaya
Minangkabau dan perempuan Minangkabau. “Kenapa kita tidak mengglobalkan hal itu dan menjual
nilai-nilai budaya lokal."
Ketika
diminta pandangannya sanggar-sanggar yang memperhatikan “Sumbang Duo Baleh”, ia
menyebutkan Sanggar Sofyani Tari dan
Musik merupakan sanggar yang menerapkan “Sumbang Duo Baleh” secara
konsisten.
“Sanggar
lain sepanjang saya amati belum konsisten dengan “Sumbang Duo Baleh”. Pada
Sanggar Sofyani Tari dan Musik, geraknya
selalu membedakan antara gerak perempuan dan gerak laki-laki. Kostum yang digunakan juga wajar, tidak macam-macam,
memakai baju kurung, dia mengikuti juga perkembangan sekarang namun tidak
berlebihan. Contoh pemakaian manik-manik di baju, tetapi hanya sedikit.
Sementara sanggar lain memakai manik-manik malah menjadi mirip baju adat
Lampung atau Palembang," ungkap Fuji.
Kendati
begitu, Fuji tidak kehilangan harapan untuk
mempertahankan “Sumbang Duo Baleh” dalam tari.
“Dalam perbincangan saya dengan koreografer muda, mereka tetap memperhatikan aturan “Sumbang Duo Baleh”. Saat saya tanya kenapa menyepaknya tidak ke depan, tetapi ke samping? Mereka jawab karena tidak patut dipandangkan, penari itu kan ditonton laki-laki juga. Mungkin mereka tidak sadar itu sebetulnya adalah aturan “Sumbang Duo Baleh”," kisahnya. n sonia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar