Kamis, 05 Maret 2020

Fuji Astuti: “Sumbang Dua Baleh” Cermin Perilaku Perempuan

Dr Dra Fuji Astuti, M.Hum
Padang, mantagibaru.com--Dalam berperilaku, berpakaian dan berkata perempuan Minangkabau diatur dan diikat dengan “Sumbang Duo Baleh. “Sumbang Duo Baleh tersebut merupakan kearifan lokal dalam menjaga tingkah laku perempuan Minangkabau.

Tidak hanya diamalkan untuk kehidupan sosial masyarakat, “Sumbang Duo Baleh juga harus tercermin dalam perilaku dan karya (cipta) seni tari yang ditampilkan di depan publik. Dalam gerak tari yang berbasis Minangkabau, “Sumbang Duo Baleh adalah acuan yang mesti dipedomani perempuan Minangkabau dalam berperilaku dan tampil di depan masyarakat, baik tampil dalam kegiatan pesta perkawinan, maupun dalam acara seremonial.

Menurut Dr Dra Fuji Astuti, M.Hum, dosen Jurusan Pendidikan Sendratasik, Universitas Negeri Padang, seorang koreografer atau pencipta tari, baik tarian kreasi maupun kontemporer harus terkoneksi dengan “Sumbang Duo Baleh.

Saya mengaitkan “Sumbang Duo Baleh dalam tari, idealnya seseorang membuat tari itu mencermikan kepribadian, penari tersebut, dalam hal ini perempuan. Perempuan sudah tidak menunjukkan nilai-nilai “Sumbang Duo Baleh dalam karya tari, baik sebagai penari maupun koreografer," ungkap Fuji Astuti kepada media ini yang meraih gelar doktor dengan disertasi tentang Model Pemberlajaran Koreografi Berbasis Kearifan Lokal Sumbang Dua Baleh ini.

Saat ditemui di ruangannya di Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik Fuji Astuti mengungkapkan, tari merupakan cerminan dari latar belakang seseorang.

Ada seorang tokoh yang mengatakan: Menarilah Anda, saya akan tahu dari mana asal Anda.

“Gerak mencerminkan identitas orangnya. Gerak dan tari merupakan salah satu identitas  budaya Minangkabau,  tentu juga identitas perempuan Minangkabau.

Orang Minangkabau menari dengan gerakan lemah lembut dan memakai baju kurung. Gerakan tari merupakan cerminan dari nilai-nilai kolektif budaya Minangkabau. Nah kalau itu yang dilakukan perempuan Minangkabau menunjukkan nilai-nilai budaya lokal," kata perempuan pernah menjadi koreografer ini.

Menurutnya, jika ditilik ke belakang, perempuan di Minangkabau sebenarnya tidak diizinkan menari.  Sebab saat itu kesenian adalah milik laki-laki sebagai permainan anak nagari. Kalau dulu ada dikotomi antara laki-laki dan perempuan kesenian adalah milik laki-laki karena permainan anaka nagari. Tapi sekarang sudah berkembang. “Sekarang kesempatan perempuan sudah banyak dengan terbukanya pendidikan dan munculnya sekolah-sekolah seniTapi sekarang sudah melebihi dari kesetaraan gender itu, sekarang lebih banyak penari perempuan dan koreografer perempuan," jelasnya.

Menurutnya, di satu sisi bangga perempuan berkesenian tetapi di satu sisi jangan sampai menghilangkan identitasnya sebagai perempuan Minangkabau.

Kebebasan perempuan berkesenian hendaknya tidak menjadi eksploitasi terhadap tubuh perempuan tersebut.

"Sebetulnya tujuan utama “Sumbang Duo Balehadalah cara bagaimana adat Minangkabau melindungi kehormatan perempuan. Bagaimana agar perempuan bergerak dan berpakaian tidak mempertontonkan lekuk tubuhnya. Namun yang ada sekarang perempuan di pentas berpelukan. Langkah yang terlalu menyentak, ditambah lagi dengan pakaian yang tidak patut. Jatuhnya malah bukan kebebasan berekspresi, namun eksploitasi. Ini yang harus dipikirkan oleh penari dan koreografer," ungkap Fuji.

Fuji Astuti menilai dalam tari kreasi justru tidak terlihat lagi identitas perempuan Minangkabau.  Memang tidak semua aturan “Sumbang Duo Baleh diterapkan dalam tari tapi ada beberapa. Salah satunya yang paling penting adalah sumbang kurenah (perilaku).

Hal ini kemudian tidak tercermin dalam tari kreasi. Mereka (dalam menari) memakai pakain yang terawang dan terbuka, berjingkrak, berguling, menghentak, berpelukan, itu termasuk sumbang dalam budaya minangkabau," papar Fuji.

Pelanggaran “Sumbang Duo Baleh sekarang sudah melebihi dari kesetaraan gender itu, sekarang lebih banyak penari perempuan dan koreografer perempuan.

Menurutnya dalam tari ditemukan dalam sanggar-sanggar dari koreografer muda dalam menciptakan tari kreasi.

"Kita mengenal kebebasan bererkspresi dalam berkarya. Jika memang ingin menari kontemporer itu sah-sah saja. Namun kan kenyataannya mereka menari dengan musik dan musik Minangkabau, dan penarinya sendiri orang Minangkabau, akan tetapi menanggalkan nilai-nilai Minangkabau. Di suatu sisi (koreografer dan penari) ingin memepertahankan keminangkabauannya tetapi dalam karya tidak terlihat nilai-nilai tersebut. Jangan sampai mengaburkan nilai sebab tari adalah simbol dan identitas," ungkapnya

Tidak hanya itu pelanggaran “Sumbang Duo Baleh juga terlihat dalam kostum dan aksesoris yang digunakan oleh penari. Pelanggaran dalam kostum seperti memakai baju ketat, transparan, baju pendek, itu tidak cocok dan juga melanggar sumbang pakaian. Apalagi memakai suntiang pengantin dalam menari itu jelas tidak boleh. Suntiang merupakan pakaian tabu bagi mereka yang belum menikah atau ijab kabul," jelas Fuji panjang lebar.

Selera pasar kemudian mendorong koreografer bereksplorasi dalam menciptakan tari, dalam hal ini kemudian dualisme antara ingin modern dan tidak ingin juga melepaskan tradisi.

"Tidak masalah dengan  menciptakan tari kontemporer yang memang lepas dari nilai-nilai lokal dan boleh bebas berekspresi. Konsep  tari modern melepaskan dari ikatan yang mengatur. Kenyataan sekarang, tari kreasi dikatakan kontemporer tidak juga, sementara dikatakan tari tradisi, sudah tercabut dari akarnya.  Mengembang boleh, tetapi jangan sampai hilang hal-hal mendasar," urainya.

Fuji menilai bahwa koreografer dan penari bisa menciptakan pasar untuk karya tarinya.  Koreografer bisa mengejar pasar atau lebih tepatnya menciptakan pasar sendiri. Melalui tari bisa memperlihatkan keelokkan budaya Minangkabau dan perempuan Minangkabau. Kenapa kita tidak mengglobalkan hal itu dan menjual nilai-nilai budaya lokal."

Ketika diminta pandangannya sanggar-sanggar yang memperhatikan “Sumbang Duo Baleh, ia menyebutkan Sanggar Sofyani Tari dan Musik merupakan sanggar yang menerapkan “Sumbang Duo Baleh secara konsisten.

“Sanggar lain sepanjang saya amati belum konsisten dengan “Sumbang Duo Baleh. Pada Sanggar Sofyani Tari dan Musik, geraknya selalu membedakan antara gerak perempuan dan gerak laki-laki. Kostum yang digunakan juga wajar, tidak macam-macam, memakai baju kurung, dia mengikuti juga perkembangan sekarang namun tidak berlebihan. Contoh pemakaian manik-manik di baju, tetapi hanya sedikit. Sementara sanggar lain memakai manik-manik malah menjadi mirip baju adat Lampung atau Palembang," ungkap Fuji.

Kendati begitu, Fuji tidak kehilangan harapan untuk mempertahankan “Sumbang Duo Baleh dalam tari.

Dalam perbincangan saya dengan koreografer muda, mereka tetap memperhatikan aturan  “Sumbang Duo Baleh”. Saat saya tanya kenapa menyepaknya tidak ke depan, tetapi ke samping? Mereka jawab karena tidak patut dipandangkan, penari itu kan ditonton laki-laki juga. Mungkin mereka tidak sadar itu sebetulnya adalah aturan “Sumbang Duo Baleh," kisahnya. n sonia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...