DAERAH
ISTIMEWA MINANGKABAU
Berawal dari surat terbuka yang ditulis Prof
Dr Mochtar Naim pada 13 Desember 2014.
Surat itu berisi ajakan untuk mendeklarasikan berdirinya Provinsi Daerah
Istimewa Minangkabau (DIM) sebagai pengganti Provinsi Sumatera Barat yang ada
sekarang.
Sosiolog dan salah seorang pendiri
Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas ini mengirimkan
secara digital ke pelbagai pihak di Sumatera Barat, termasuk ke Gubernur Irwan Prayitno.
Selain kepada Gubernur Sumatera Barat,
surat terbuka itu ditembuskan ke Bupati dan Wali Kota se-Sumatera Barat,
pimpinan dan anggota DPRD provinsi, kabupaten dan kota se-Sumatera Barat, pimpinan
dan anggota ormas-ormas se-ranah Minangkabau dan rantau.
Seterusnya, galibnya dunia maya, netizen
pun menyebarkan surat-surat itu di media-media sosial. Meluas tak terbendung. Lazimnya, setiap gagasan atau wacana yang
muncul terkait Minangkabau, Sumatera Barat, selalu memunculkan pro-kontra,
polemik.
Surat terbuka penulis buku Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau
pun tampaknya mendapat “dukungan” dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Lembaga
Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat, Bundo Kanduang Sumatera
Barat, dan Ketua Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM), dan tokoh-tokoh
lainnya.
“Nanti kita akan usulkan kepada
Pemerintah Pusat agar Sumatera Barat dijadikan Daerah Isimewa Minangkabau,” kata
Irwan Prayitno yang secara tersurat mendukung DIM, dalam panel diskusi LKAAM
Sumatera Barat di Padang, Sabtu (13/12/2015) tak lama setelah viral. Tapi,
hingga hari ini tindak lanjut dan progresivitas yang dilakukan Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat terhadap DIM ini tak terdengar lagi. Apa yang
dijanjikan untuk diusulkan ke Pemerintah Pusat tampaknya tak terealisasi.
Selanjutnya,
setelah surat terbuka dimakan publik, toh
perjalanan DIM bukan malah semakin kencang tapi sebaliknya terkesan lamban. Kendati
ada dialektika di internal para penggagas DIM ini tapi dinamikanya sangat
terbatas dan kecil. Nyaris tak terdengar.
Baru pada 20 Februari 2019 lalu, wacana pembentukan DIM ini mulai mencuat lagi. Setelah isunya “terbenam” selama 4 tahun, Badan Persiapan Provinsi (BP2) DIM menggelar diskusi kelompok terpumpun (DKT) atau Focus Grup Discussion (FGD) di Gedung Bagindo Aziz Chan Balaikota Padang.
Baru pada 20 Februari 2019 lalu, wacana pembentukan DIM ini mulai mencuat lagi. Setelah isunya “terbenam” selama 4 tahun, Badan Persiapan Provinsi (BP2) DIM menggelar diskusi kelompok terpumpun (DKT) atau Focus Grup Discussion (FGD) di Gedung Bagindo Aziz Chan Balaikota Padang.
Pemerintah
Kota Padang menyambut baik digelarnya DKT DIM ini yang dihadiri LKAAM, Bundo
Kanduang Sumatera Barat, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, MUI Sumatera Barat, elemen dan tokoh-tokoh
masyarakat.
DKT
DIM ini dibuka Mochtar Naim Ketua Badan Persiapan Provinsi (BP2) DIM dan Ketua
Pelaksana FGD Dr. Welya Roza, dengan tema bincangnya tentang naskah akademik
dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Provinsi Sumatera Barat
menjadi Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau (DIM).
Mochtar
Naim menuturkan dirinya bersama BP2 DIM telah tiga tahun lamanya menyiapkan
naskah akademik dari Provinsi DIM sebagai pengganti Provinsi Sumatera Barat.
“Semua
tentu bertanya, kenapa kita merasa perlu mengubah nama Provinsi Sumatera Barat
menjadi DIM. Selama ini Provinsi Sumatera Barat tidak memiliki masalah. Benar!
Tetapi juga benar sejak lebih setengah abad kemari ini, khususnya sejak peristiwa
PRRI di akhir 1950 an, daerah ini kelihatannya “maluncua” dari semua aspek. Menurut
statistik perkembangan kemajuan per provinsi di Indonesia, Sumbar belum lama
ini pernah berada di tingkat ke-32 dari 34 provinsi di negara ini,” kata
Mochtar Naim.
Welya
Roza mengatakan, DIM sejak digulirkan pada 16 Maret 2015 lalu mendapatkan
respons positif dari masyarakat dan pemerintah, termasuk legislatif.
Ia
katakan, ada 17 alasan mengapa perlu adanya DIM ini.
“Dari
kesemuanya itu yang paling mendasar adalah untuk membumikan Adat Basandi Syara’
Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) sebagai filosofi hidup orang Minangkabau.
Kemudian untuk mempertahankan asas hukum matrilineal. Masyarakat Minangkabau
adalah masyarakat matrilineal terbesar di dunia," kata Welya Roza.
Ide DIM juga banyak mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan, terutama akademisi. Tidak sedikit orang Minangkabau yang tinggal di Sumatera Barat menolak wacana DIM ini dengan beragam argumentasi.
Ide DIM juga banyak mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan, terutama akademisi. Tidak sedikit orang Minangkabau yang tinggal di Sumatera Barat menolak wacana DIM ini dengan beragam argumentasi.
Emeraldy
Chatra, dosen FISIP Unand dan juga seorang ninik mamak, menilai jika DIM diterapkan maka sistem
matrilineal Minangkabau bisa saja lenyap dari identitas utama etnis
Minangkabau.
“Seandainya DIM disahkan, maka
Minangkabau jadi ‘bertampuk’. Dapat dikontrol dari jauh. Urusan adat dengan
sendirinya menjadi urusan pemerintah. Pemerintah provinsi, kota dan kabupaten
bersama DPRD mendapat mandat menetapkan peraturan-peraturan tentang adat. Di
sinilah titik rawan yang berpotensi mengancam keberlangsungan matrilineal. Usaha
mengubah matrilineal bukan isapan jempol atau fiksi belaka,” kata Emeraldy
Chatra.
Hal yang senada juga disampaikan Yulizar
Yunus, pengajar di UIN IB dan juga seorang ninik mamak, mengatakan wacana DIM tetap menjadi pertanyaan soal
legitimasi gerakan di samping pertanyaan plus minus pembentukan DIM konversi
dari Provinsi Sumatera Barat.
“Beberapa pendapat pesimis di samping yang optimis, yang intinya
“hati-hati”. Sumatera Barat masih trauma, PRRI diklaim pemberontak,
“pemberontakan yang kalah”. Dengan dasar itu gerakan DIM, dalam banyak saran,
jangan ditinggalkan Pemerintahan Daerah (Pemprov dan DPRD). Gerakan DIM
membutuhkan legitimasi dan fasilitasi dari pemerintahan daerah dan dukungan
serta pengakuan masyarakat,” kata Yulizal Yunus.
Namun demikian, Prof Rusdi Muchtar, MA
APU, pensiunan Ahli Peneliti Utama Bidang Ilmu Komunikasi dan Budaya pada
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyetujui hadirnya Daerah Istimewa
Minangkabau (DIM).
“Daerah Istimewa Minangkabau seharusnya
memang bisa diwujudkan karena secara historis Minangkabau memiliki tempat dalam
sejarah Indonesia. Keinginan masyarakat Minangkabau untk membentuk DIM, saya
rasa mungkin merasa bahwa masyarakat Minangkabau kan juga bisa seperti Aceh, DI
Yogyakarta, dan Papua yang menjadi daerah istimewa. Karena adanya fenomena
sejarah seperti yang saya sebut di atas,” terang Rusdi Muchtar, yang kini
sebagai pengajar Ilmu Komunikasi dan Metode
Penelitian Komunikasi di Universitas Binus, Universitas Jayabaya dan
Universitas Muhammadiyah Jakarta. reportase
nasrul azwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar