OLEH Emeraldy Chatra Dosen
FISIP Universitas Andalas
Daerah
Istimewa Minangkabau (DIM) menjadikan Minangkabau ‘bertampuk’. Dengan ‘tampuk’
itu kekuatan sel-sel Minangkabau akan mudah dikendalikan.Paham matrilineal yang
terbukti dapat menjadi benteng bagi orang Minangkabau dalam mempertahankan tanahnya
suatu ketika akan hilang. Demikian penggalan diskusi Komunitas Kato Balega,
Padang, Kamis (28/2/2019)di Ladang Nan Jombang Padang.
Diskusi
tiga jam lebih yang mengusung tema “Politik di Minangkabau” dengan pembicara Asraferi
Sabri sebenarnya membahas banyak isu politik di Minangkabau sejak awal abad
Masehi. Isu Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) adalah salah satu bagian yang
penting dari diskusi tersebut.
Ide
DIM dicetuskan oleh Dr Mochtar Naim sekitar 4 tahun silam. Sejak mula DIM sudah
kontroversial karena tidak sedikit orang Minangkabau yang tinggal di Sumatera
Barat menolaknya. Berbagai argumen telah dikedepankan untuk menyanggah. Di sisi
lain tampaknya orang Minangkabau perantauan memberikan dukungan. Kontroversi menyebabkan
perjalanan DIM jadi tidak menentu.
Dalam
tahun politik ini gagasan DIM mencuat kembali. Kali ini tampaknya akan lebih
‘panas’ karena ternyata para pendukung DIM telah mempersiapkan RUU DIM. Naskah
Akademiknya juga sudah beredar melalui berbagai grup WhatsApp.
Beberapa
tulisan saya yang menyuarakan penolakan kelompok resisten juga sudah beredar di
grup-grup WA. Namun argumentasinya masih harus dilengkapi. Dalam tulisan
sebelumnya saya tidak menyinggung masalah matrilineal dan penguasaan tanah oleh
orang Minangkabau di Sumatra Barat. Setelah mengikuti diskusi Kato Balega, saya
merasa masalah matrilineal itu harus ditambahkan.
Matrilineal
atau pola pewarisan harato pusako tinggi (HPT) melalui jalur ibu/perempuan
merupakan kearifan lokal Minangkabau yang unik. Tidak akan kita temukan di
tempat lain di muka bumi. HPT adalah milik nenek moyang orang Minangkabau yang
dititipkan kepada anak cucu mereka yang perempuan. HPT bisa berbentuk tanah perumahan,
ladang, sawah, kolam, hutan. Ada pula berupa perhiasan emas, tapi mungkin
sekarang sudah tidak ada lagi.
Pesan
dari nenek moyang kepada penerima titipan yang paling penting adalah jangan
menjual milik mereka. Larangan itu menandakan HPT tidak sama dengan warisan
orang tua (harato pusako randah/HPR)
yang menjadi milik pewaris setelah mereka meninggal. Sebagai pemilik baru,
pewaris HPR boleh menjual apa yang sudah jadi haknya. Larangan menjual HPT
menyebabkan kaum perempuan penerima waris hanya berperan sebagai pengelola,
bukan sebagai pemilik.
Sekalipun
hanya pengelola, kaum perempuan punya kewajiban mempertahankan HPT agar tidak
jatuh ke pihak lain yang tidak berhak. Kewajiban itu terkait dengan hajat hidup
keluarga mereka. Hasil pengelolaan HPT menjadi sumber pendapatan berkelanjutan
yang bersifat turun-temurun.
Apabila
HPT jatuh ke tangan pihak lain dengan sendirinya habislah gantungan hidup
mereka. Bukan hanya kesulitan ekonomi yang akan dihadapi, tapi juga akan
kehilangan identitas dan harga diri. Lebih parah lagi, mereka dapat terusir
dari kampung sendiri.
Apa
jadinya kalau matrilenal diganti dengan patrilineal atau bilineal? Tentu hak
adat kaum perempuan Minangkabau akan tercabut, beralih kepada kaum laki-laki.
Atau kepastian hak kaum perempuan menjadi hilang. Laki-laki dan perempuan
saling berebut kuasa.
Seandainya
DIM disahkan, maka Minangkabau jadi ‘bertampuk’. Dapat dikontrol dari jauh. Urusan
adat dengan sendirinya menjadi urusan pemerintah. Pemerintah provinsi, kota dan
kabupaten bersama DPRD mendapat mandat menetapkan peraturan-peraturan tentang
adat. Di sinilah titik rawan yang berpotensi mengancam keberlangsungan
matrilineal.
Usaha
mengubah matrilineal bukan isapanjempol atau fiksi belaka. Beberapa tahun lalu
kami ‘bertempur’ untuk menggagalkan Kongres Kebudayaan Minangkabau (KKM) yang
diinisiasi oleh seorang tokoh yang ingin sekali mengubah matrilineal menjadi
patrilineal. Alhamdulillah KKM itu berhasil digagalkan. Mungkin inisiatornya
tidak benar-benar akan menggunakan KKM sebagai alat untuk menghabisi
matrilineal, tapi stigma dan kecurigaan terhadap inisiator telah berkembang.
Penyerahan
mandat kepada pemerintah untuk mengurusi adat akan berhadapan dengan realitas
politik yang tidak membatasi etnis dari kebudayaan mana yang duduk di
pemerintahan. Orang Minangkabau tidak dapat mengatakan bahwa yang duduk di DPRD
hanya orang Minangkabau saja. DPRD itu institusi negara yang boleh diduduki
oleh etnis lain, bahkan yang beragama selain Islam, asal terpilih melalui
pemilu. Apakah layak urusan adat Minangkabau dicampuri oleh orang-orang yang
tidak berasal dari Minangkabau dan bukan pula beragama Islam? Dengan demikian
DIM sudah membuka pintu agar terjadi campur tangan pihak lain.
Kekuatiran
DPRD kelak membuat peraturan yang mengubah matrilineal menjadi patrilineal
sangat masuk akal. Matrilineal selama ini dicap sebagai penghambat pengalihan
hak atas tanah-tanah di Minangkabau kepada investor. Dengan menjadikan
Minangkabau patrilineal maka pengalihan hak itu menjadi lebih mudah, karena
semuanya selesai di tangan kaum laki-laki, tanpa
melibatkan kaum perempuan.
Dengan
jalan pikiran seperti itu, saya tidak heran ketika ada teman diskusi yang
mengatakan, “Jangan-jangan DIM ini disponsori pihak tertentu untuk menguasai
tanah Minangkabau”. Memang hanya sebuah kecurigaan. Tapi orang Minangkabau
didewasakan dengan ungkapan maminteh sabalun
anyuik. Artinya, musti hati-hati terhadap segala inisiatif yang berpotensi
mengancam keberlangsungan adat dan hak-hak kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar