OLEH Yulizal Yunus Datuak Rajo Bagindo (Dosen UIN IB
Padang)
Gerakan pendirian Daerah Istimewa
Minangkabau (DIM) kembali muncul
sejak 2014. Kita hargai orang tua Minang Mochtar Naim sebagai pelopor utamanya.
Tetapi gerakan itu sepertinya masih dominan dari rantau. Ranah termasuk
akademisi terkesan tidak peduli, meski sosialisasi sampai hari ini tiada henti.
Pemerintahan Daerah (Pemprov dan DPRD)
pun tidak ikut. Tidak dibawa atau tidak menyetujui? Belum lagi kekhatiran
kekuatan potensi ekonomi daerah, terasa sekali gerakan DIM ini seperti dalam filososfi
“patut (tak) mungkin”.
Pertanyaan banding DIM juga muncul,
kenapa tidak “nagari (pemerintahan) kembali ke adat” saja, versi “desa adat”
yang dijamin UU 6/2014 disambut Perdaprov 7/2018 tentang nagari adat dan
tinggal menunggu Perdakab/kota. Jaminan itu, dalam bentuk perlindungan hak
tradisional dan penganggaran APBN untuk menyelenggarakan kewenangan hak-hak
tradisionalnya itu di samping urusan pemerintahan. Artinya adat dan pemerintah
terintegarasi dijamin, tidak sepertinya nagari sekarang yang hanya urusan
pemerintah saja, sedangkan urusan adat tak menjadi kewenangan, hanya sebatas
kompetensi.