Minggu, 05 Januari 2020

Pedagang di Padang Cenderung Berbahasa Kasar


DR ASLINDA, M.HUM, LINGUIS FIB UNAND
Seorang peneliti bahasa dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang menyebutkan, pedagang di Kota Padang tidak ramah pada pembeli atau pengunjung saat berinteraksi. Ketidaksantunan berkomunikasi ini ancaman pengembangan wisata di Sumatera Barat.
Simpulan itu diperoleh dari riset yang dilakukan terhadap perilaku dan bahasa pedagang terhadap pembeli dan pengunjung, terutama di objek dan destinasi wisata di Kota Padang.
“Kesantunan berbahasa pedagang di objek wisata di Kota Padang jadi objek penelitian saya. Hasil penelitian yang saya lakukan menemukan pedagang kerap kali bersikap tidak ramah kepada pengunjung dan pembeli,” kata Dr Aslinda, M.Hum, Selasa, 9 April 2019 di ruang kerjanya.

Perempuan yang kini menjabat Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unand ini menjelaskan, dalam penelitian yang dilakukannya ditemukan bahwa ternyata pedagang tidak ramah saat berinteraksi dengan pengunjung.
“Saat menawarkan dagangannya, tapi jika antara pedagang dan pembeli tidak ada kecocokkan harga, maka kerap muncul nada keras dan kasar dari pedagang yang ditujukan kepada pembeli, misalnya, carilah ka sinan kalau lai dapek,” terang Aslinda yang menyelesaikan S3-nya pada 5 November 2017 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2001.  
Menurutnya, dalam penelitian itu, komunikasi yang jauh dari kesantunan itu, bukan hanya terjadi dalam satu kasus per kasus perorangan semata, tapi juga hal yang sama juga terjadi pada pedagang-pedagang lainnya. Baginya, sikap tak santun berbabahasa itu tentu akan mengganggu kenyamana pengunjung di detinasi wisata, yang dicanangkan dengan brand wisata halal.
“Ada juga yang serta merta pedagang menghardik pengunjung. Geser ka muko. Takalam kadai ambo (Lebih maju sedikit, menutup kedai saya). Ini kan tidak ramah sama sekali,” jelasnya.
Sikap tidak ramah tidak hanya melalui perkataan saja, tapi bahasa tubuh yang ditampilkan juga tidak menunjukkan perilaku yang tidak santun.
“Tidak hanya melalui perkataan saja, tapi juga gerak tubuh. Mereka meletakkan daftar menu lalu pergi saja. Apakah memang begini orang Minang?” terang linguis bidang Sosiopragmatik Sapaan di Minangkabau ini.
Aslinda menilai perilaku pedagan seperti ini mencederai citra wisata halal yang dilekatkan kepada Sumatera Barat, khususnya Kota Padang.
“Tentu kita ingin Kota Padang tidak hanya menjadi kota wisata halal namun juga halal dan santun,” ungkapnya.
Kesan yang diterima oleh pengunjung tentu akan berpengaruh terhadap penilaian mereka kepada orang Minangkabau.
“Mereka (wisatawan luar Sumbar) akan mengingat kesan tersebut. Mereka akan menilai orang Minangkabau adalah orang yang tidak ramah dan ketus,” analisisnya.
Aslinda menyayangkan sikap yang ditampilkan oleh pelaku-pelaku usaha dan pedagang yang ada di objek wisata. Seandainya saja pedagang yang kedainya terhalang mobil pengunjung tadi menegur dengan bahasa yang halus. Tentu pengunjung tersebut terkesan, sehingga bisa mendatangkan rezeki kepada pedagang tadi.
“Tapi ditegur dengan kasar begitu, tentu orang akan malas dan kesal juga. Selain sarana dan prasarana, bahasa dan kesantunan pelaku wisata juga berpengaruh terhadap perkembangan sebuah lokasi wisata,” tutupnya.
Seperti diketahui bersama, Sumatera Barat sudah menyatakan daerah ini sebagai daerah tujuan wisata dengan moto wisata halal, termasuk Kota Padang dengan didukungan sarana dan prasarana yang ditawarkan dengan branding halal, termasuk restoran halal, penginapan berbasis syariah, serta membuka diri kepada investor untuk mengembangkan sektor wisata halal.
Meskipun demikian, konsep wisata halal ternyata belum beriringan dengan sikap yang santun dan ramah kepada wisatawan oleh pedagang dan pengelola wisata. Pedagang kerap menunjukkan sikap yang tidak bersahabat, seperti berkata dengan nada ketus.
Aslinda mengisahkan, dirinya memang menaruh perhatian pada bahasa. Sebagai linguis, ia telah banyak melakukan penelitian terkait dengan perilaku masyarakat. 
“Tesis saya waktu master yaitu tentang “Kato nan Ampek”. Lalu di Ph.D ini saya lanjutkan ke sapaan itu tapi hubungannya juga dengan “Kato nan Ampek” juga terkait dengan kesantunan berbahasa. Lalu saya di situ menggabungkan kesantunan berbahasa dari Brown Levinson, dan “Kato nan Ampek bahasa Minangkabau”.
Untuk studi kasusnya sendiri, Aslinda melakukannya di Universitas Andalas Padang karena banyak sekali keluhan dari masyarakat mengapa anak muda sekarang kesantunannya sudah kurang.
“Lalu itu yang saya teliti dan saya dapatkan hasil memang sebahagian memang kurang santun dan kesantunan itu sepertinya tidak didasari oleh sapaan itu. Misalnya, Pak, Buk. Mereka pakai Pak, Buk juga, seperti ketika saya meneliti membuat questioner di asrama mahasiswa. Pertanyaannya ketika tong sampah tidak ada bagaimana Anda bertanya ke pimpinan. Lalu ia menjawab: ‘Sarancak iko kampus, tong sampah ciek se indak ado do’, seperti itu. Sangat tidak santun mereka. Jadi memang kadang-kadang kita lihat mereka menggunakan pak juga. ‘Sarancak iko Pak kampus, kama ka dibuang sampah ko Pak?’ Dia menggunakan “Pak” juga sebagai penanda kesantunan tetapi kalimat yang mengikuti sapaan “Pak” itu tidak sesuai sebetulnya dengan kesantunan orang Minangkabau,” paparnya sambil memberi contoh datanya seperti dikutip dari https://fib.unand.ac.id.
Suka Bahasa Indonesia
Selain itu, dari riset yang ia lakukan terhadap perilaku berbahasa mahasiswa di Unand, khususnya yang ia teliti yaitu lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan itu di dalam ragam nonformal.
Dalam ragam formal memang dipahami katanya mereka harus menggunakan bahasa Indonesia.
“Dari temuan selanjutnya yang lebih tidak setia menggunakan bahasa Minangkabau, bahasa Ibu, itu adalah perempuan. Yang laki-laki masih setia menggunakan bahasa ibunya,” terang Aslinda.
“Perempuan walaupun SMA-nya berasal dari kampung, sampai di universitas, di Fakultas Teknik waktu itu saya mewawancarai. Mereka berbicara dengan kawan mereka menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesianya juga bahasa Indonesia amburadul. Dia tidak mau do. Di situ tampak berprestise. Di situ menganggap sudah pintar, sudah kuliah di Unand, sudah di perguruan tinggi. Kalau dulu-dulu iyalah mereka menjadi orang kampung, masih sekolah di kampung. Tapi saat ini mereka sudah menjadi mahasiswa Unand. Jadi mereka lebih banyak berbangga diri. Dalam budaya Minang, berbangga diri itu tidak baik,” paparnya lagi.
Sementara itu, Cici Wahyuni, salah seorang mahasiswa pernah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari pedagang di salah destinasi  wisata Kota Padang.
“Saya pernah ke Pantai Padang. Saya menepikan kendaraan waktu itu. Saya berempat dengan teman. Lalu kami berhenti di pinggir jalan, hendak berdiskusi mau duduk di mana (kafe). Kemudian datang orang mungkin preman dengan sepeda motor meminta uang parkir,” kata Cici Wahyuni sembari berusaha menjelaskan bahwa ia dan teman-temannya hanya berhenti sebentar, namun orang tersebut memaki mereka.
“Dia tidak terima, memaki kami dengan kata-kata kotor, lalu kami pergi saja,” cerita Cici. reportase sonia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...