DR ASLINDA, M.HUM,
LINGUIS FIB UNAND
Seorang peneliti bahasa dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang menyebutkan,
pedagang di Kota Padang tidak ramah pada pembeli atau pengunjung saat
berinteraksi. Ketidaksantunan berkomunikasi ini ancaman pengembangan wisata di
Sumatera Barat.
Simpulan itu diperoleh dari riset yang
dilakukan terhadap perilaku dan bahasa pedagang terhadap pembeli dan
pengunjung, terutama di objek dan destinasi wisata di Kota Padang.
“Kesantunan berbahasa pedagang di objek
wisata di Kota Padang jadi objek penelitian saya. Hasil penelitian yang saya
lakukan menemukan pedagang kerap kali bersikap tidak ramah kepada pengunjung
dan pembeli,” kata Dr Aslinda, M.Hum, Selasa, 9 April 2019 di ruang kerjanya.
Perempuan yang kini menjabat Ketua
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya
(FIB) Unand ini menjelaskan, dalam penelitian yang dilakukannya ditemukan
bahwa ternyata pedagang tidak ramah saat berinteraksi dengan pengunjung.
“Saat menawarkan dagangannya, tapi jika
antara pedagang dan pembeli tidak ada kecocokkan harga, maka kerap muncul nada keras
dan kasar dari pedagang yang ditujukan kepada pembeli, misalnya, carilah ka sinan kalau lai dapek,” terang
Aslinda yang menyelesaikan S3-nya pada 5 November 2017 di Universiti Kebangsaan
Malaysia (UKM) dan S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2001.
Menurutnya, dalam penelitian itu,
komunikasi yang jauh dari kesantunan itu, bukan hanya terjadi dalam satu kasus
per kasus perorangan semata, tapi juga hal yang sama juga terjadi pada
pedagang-pedagang lainnya. Baginya, sikap tak santun berbabahasa itu tentu akan
mengganggu kenyamana pengunjung di detinasi wisata, yang dicanangkan dengan brand wisata halal.
“Ada juga yang serta merta pedagang menghardik
pengunjung. Geser ka muko. Takalam kadai
ambo (Lebih maju sedikit, menutup kedai saya). Ini kan tidak ramah sama
sekali,” jelasnya.
Sikap tidak ramah tidak hanya melalui
perkataan saja, tapi bahasa tubuh yang ditampilkan juga tidak menunjukkan
perilaku yang tidak santun.
“Tidak hanya melalui perkataan saja,
tapi juga gerak tubuh. Mereka meletakkan daftar menu lalu pergi saja. Apakah
memang begini orang Minang?” terang linguis bidang Sosiopragmatik Sapaan di
Minangkabau ini.
Aslinda menilai perilaku pedagan seperti
ini mencederai citra wisata halal yang dilekatkan kepada Sumatera Barat,
khususnya Kota Padang.
“Tentu kita ingin Kota Padang tidak
hanya menjadi kota wisata halal namun juga halal dan santun,” ungkapnya.
Kesan yang diterima oleh pengunjung
tentu akan berpengaruh terhadap penilaian mereka kepada orang Minangkabau.
“Mereka (wisatawan luar Sumbar) akan
mengingat kesan tersebut. Mereka akan menilai orang Minangkabau adalah orang
yang tidak ramah dan ketus,” analisisnya.
Aslinda menyayangkan sikap yang
ditampilkan oleh pelaku-pelaku usaha dan pedagang yang ada di objek wisata.
Seandainya saja pedagang yang kedainya terhalang mobil pengunjung tadi menegur
dengan bahasa yang halus. Tentu pengunjung tersebut terkesan, sehingga bisa
mendatangkan rezeki kepada pedagang tadi.
“Tapi ditegur dengan kasar begitu,
tentu orang akan malas dan kesal juga. Selain sarana dan prasarana, bahasa dan
kesantunan pelaku wisata juga berpengaruh terhadap perkembangan sebuah lokasi
wisata,” tutupnya.
Seperti diketahui bersama, Sumatera
Barat sudah menyatakan daerah ini sebagai daerah tujuan wisata dengan moto
wisata halal, termasuk Kota Padang dengan didukungan sarana dan prasarana yang
ditawarkan dengan branding halal, termasuk restoran halal, penginapan berbasis
syariah, serta membuka diri kepada investor untuk mengembangkan sektor wisata
halal.
Meskipun demikian, konsep wisata halal
ternyata belum beriringan dengan sikap yang santun dan ramah kepada wisatawan
oleh pedagang dan pengelola wisata. Pedagang kerap menunjukkan sikap yang tidak
bersahabat, seperti berkata dengan nada ketus.
Aslinda mengisahkan, dirinya memang
menaruh perhatian pada bahasa. Sebagai linguis, ia telah banyak melakukan
penelitian terkait dengan perilaku masyarakat.
“Tesis saya waktu master yaitu tentang
“Kato nan Ampek”. Lalu di Ph.D ini saya lanjutkan ke sapaan itu tapi
hubungannya juga dengan “Kato nan Ampek” juga terkait dengan kesantunan
berbahasa. Lalu saya di situ menggabungkan kesantunan berbahasa dari Brown
Levinson, dan “Kato nan Ampek bahasa Minangkabau”.
Untuk studi kasusnya sendiri, Aslinda
melakukannya di Universitas Andalas Padang karena banyak sekali keluhan dari
masyarakat mengapa anak muda sekarang kesantunannya sudah kurang.
“Lalu itu yang saya teliti dan saya
dapatkan hasil memang sebahagian memang kurang santun dan kesantunan itu
sepertinya tidak didasari oleh sapaan itu. Misalnya, Pak, Buk. Mereka pakai
Pak, Buk juga, seperti ketika saya meneliti membuat questioner di asrama mahasiswa. Pertanyaannya ketika tong sampah
tidak ada bagaimana Anda bertanya ke pimpinan. Lalu ia menjawab: ‘Sarancak iko kampus, tong sampah ciek se
indak ado do’, seperti itu. Sangat tidak santun mereka. Jadi memang
kadang-kadang kita lihat mereka menggunakan pak juga. ‘Sarancak iko Pak kampus, kama ka dibuang sampah ko Pak?’ Dia
menggunakan “Pak” juga sebagai penanda kesantunan tetapi kalimat yang mengikuti
sapaan “Pak” itu tidak sesuai sebetulnya dengan kesantunan orang Minangkabau,”
paparnya sambil memberi contoh datanya seperti dikutip dari https://fib.unand.ac.id.
Suka Bahasa
Indonesia
Selain itu, dari riset yang ia lakukan
terhadap perilaku berbahasa mahasiswa di Unand, khususnya yang ia teliti yaitu
lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan itu di dalam ragam nonformal.
Dalam ragam formal memang dipahami
katanya mereka harus menggunakan bahasa Indonesia.
“Dari temuan selanjutnya yang lebih
tidak setia menggunakan bahasa Minangkabau, bahasa Ibu, itu adalah perempuan.
Yang laki-laki masih setia menggunakan bahasa ibunya,” terang Aslinda.
“Perempuan walaupun SMA-nya berasal
dari kampung, sampai di universitas, di Fakultas Teknik waktu itu saya
mewawancarai. Mereka berbicara dengan kawan mereka menggunakan bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesianya juga bahasa Indonesia amburadul. Dia tidak mau do. Di situ tampak
berprestise. Di situ menganggap sudah pintar, sudah kuliah di Unand, sudah di
perguruan tinggi. Kalau dulu-dulu iyalah mereka menjadi orang kampung, masih
sekolah di kampung. Tapi saat ini mereka sudah menjadi mahasiswa Unand. Jadi
mereka lebih banyak berbangga diri. Dalam budaya Minang, berbangga diri itu
tidak baik,” paparnya lagi.
Sementara itu, Cici Wahyuni, salah
seorang mahasiswa pernah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari
pedagang di salah destinasi wisata Kota
Padang.
“Saya pernah ke Pantai Padang. Saya
menepikan kendaraan waktu itu. Saya berempat dengan teman. Lalu kami berhenti
di pinggir jalan, hendak berdiskusi mau duduk di mana (kafe). Kemudian datang
orang mungkin preman dengan sepeda motor meminta uang parkir,” kata Cici Wahyuni
sembari berusaha menjelaskan bahwa ia dan teman-temannya hanya berhenti
sebentar, namun orang tersebut memaki mereka.
“Dia tidak terima, memaki kami dengan
kata-kata kotor, lalu kami pergi saja,” cerita Cici. reportase sonia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar