OLEH Khairul Jasmi
Seratus tujuh belas tahun silam,
Agus Salim lahir. Meski telah teramat lama, di Sumatera Barat, anak-anak
sekalipun tetap mengenal namanya. Betul juga kata orang bijak: harimau mati
meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.
Nama besarnya nyaris tidak tertandingi oleh siapapun,
kecuali oleh sejumlah orang di zamannya yang kemudian menjadi ‘bapak bangsa’
ini. Agus Salim adalah tipe orang Minang, yang dalam istilah Rosihan Anwar gilo-gilo
baso alias gendeng. Semua orang Minang yang pintar memang memiliki sikap
demikian.
Ia lahir di Nagari Koto Gadang pada 8 Oktober 1884. Nagari ini senantiasa dibalut
kabut. Anginnya semilir. Jika Anda
berada di Bukittinggi, masuklah ke Ngarai Sianok, menelusuri jalan beraspal
yang menurun tajam. Naik mobil Chevrolet keluaran tahun 1944 (kini
kendaraan itu telah ditukar dengan jenis lain-editor) atau berjalan
kaki. Sesampai di jorong Lambah, Nagari Sianok VI Suku, Anda berbelok ke kiri,
melintasi Nagari Sianok dan selanjutnya Anda akan sampai di Koto Gadang. Bisa
juga melalui Padang Lua dari simpang empat menuju jalan ke Maninjau, tapi
sesampai di Pakan Sinayan, belok kiri menuju Nagari “Emas” Guguak Randah, belok
kanan maka Anda masuk Nagari Koto Gadang.
Koto Gadang adalah satu dari 61 nagari di Kabupaten Agam
atau 517 nagari (setelah berlakunya Perda No 9 Tahun 2000) di Sumatera Barat.
Koto Gadang masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan IV Koto (baca: Ampek
Koto), yaitu nagari: Koto Tuo, Koto Panjang, Koto Gadang, Sungai Landia,
Balingka, Malalak, Guguak Tabek Sarojo,
Sianok IV Suku, dan Sungai Jariang
Di Koto Gadang, Anda akan disambut oleh ciri khas nagari
Minangkabau: rumah berjejer di sepanjang jalan, di belakang selapis atau dua
lapis rumah akan ada sawah. Rumah-rumah di sini banyak yang kosong. Pemiliknya
entah di mana kini. Mungkin di Jakarta, Sydney atau California, dan bisa juga
di Surabaya.
Banyak rumah yang didiami oleh orang upahan. Sebuah keluarga
digaji untuk mendiami rumah oleh keluarga Koto Gadang yang sedang berada di
rantau. Hal semacam ini banyak ditemukan di nagari-nagari lain di Minangkabau,
tapi di Koto Gadang jumlahnya teramat banyak.
Para gadis Koto Gadang yang menetap di kampung halaman,
selain sekolah di kampung sendiri juga di Bukittinggi dan Padang. Yang di
kampung, banyak yang melibatkan diri dalam kerajinan Amai Setia yang didirikan
lebih seabad silam. Hasil kerajinan anak Nagari Koto Gadang terkenal luas.
Tidak saja mengisi etalase pasar konveksi di Bukittinggi, tapi juga dipesan
oleh banyak orang dari berbagai kota.
Ketika wanita di daerah lain masih tidur, di Koto Gadang
sudah ada kerajinan Amai Setia. Tatkala wanita di daerah lain dipasung di
rumah, Rohana Kudus, gadis desa itu, sudah menjadi pemimpin redaksi surat kabar
Soenting Melajoe di Padang awal abad ini. Ia menjadi perintis perdebatan
gender dan hak-hak wanita Minang-kabau.
Nagari ini, kini, juga menjadi desa tujuan wisata. Para
wisatawan asing akan menuju Ngarai Sianok dan seterusnya berjalan menuju Koto
Gadang. Di sana mereka sepertinya memasuki bab demi bab buku tua milik kaum
intelektual bangsa ini.
Koto Gadang sama terkenalnya dengan Agus Salim atau cucunya,
Emil Salim. Nagari ini berhasil mengambil manfaat yang sempurna dari sistem
pendidikan kolonial yang diterapkan Belanda di Minangkabau. Tidak ada orang
Koto Gadang yang ketika itu tidak pandai berbahasa Belanda. Malah kini, orang
seangkatan Emil Salim atau satu generasi di bawahnya, biasa berbicara memakai
bahasa Belanda dengan kedua orangtuanya.
Dapat dibayangkan di zaman awal-awal politik etis saja orang
Koto Gadang sudah berbondong-bondong untuk sekolah, apalagi sekarang. Maka
jangan heran dengan kenyataan seperti ini: tiap rumah di Koto Gadang pasti
memiliki sarjana dari bidang ilmu apa saja.
Dari nagari ini muncul sejumlah menteri, jenderal, direktur
berbagai perusahaan, pakar, ahli politik, dan dokter. Di mana pula di Indonesia
tiap rumah memiliki sarjana? Dari segi prestasi, tidak ada desa di Indonesia,
bahkan mungkin di dunia yang bisa menandingi Koto Gadang.
Celakanya, mereka semua berada di rantau. Koto Gadang mereka
titipkan pada Gunung Singgalang dan Marapi. Mereka mencari hidup dan
penghidupan di rantau orang.
Biasanya saat Idul Fitri, Koto Gadang sangatlah ramai. Semua
perantau intelektual itu pulang kampung. Tidak ada yang congkak, merasa hebat
satu dari yang lainnya. Mereka patuh dan santun pada mamaknya yang tinggal di
kampung. Mereka hormat kepada kepala desa, meski ia sendiri seorang jenderal.
Segenap pangkat, atribut, mereka lepas. Maka jadilah mereka orang Koto Gadang
yang sesungguhnya.
Agus Salim, tidak meninggalkan apa-apa, kecuali spirit yang
kuat bagi warga Koto Gadang dan rakyat Minang-kabau. Orang Minang adalah orang
yang paling bangga di negeri ini, karena telah menyumbangkan Agus Salim, M
Hatta, Syahrir, M Yamin, M Natsir, As’aad, dan sejumlah nama lainnya bagi
Indonesia.
Di Koto Gadang, Agus Salim membuka HIS partikulir setelah
menamatkan pendidikannya pada akhir 20-an. Ia sekaligus pulang kampung untuk
menikah. Sejak itulah orang mengenalinya sebagai Haji Agus Salim atau Paatje
bagi kerabat keluarganya. Sekolah partikulir yang ia buka, ternyata mendayung
Koto Gadang ke laut pendidikan yang mahaluas.
Ia buka sekolah tanpa pamrih. Sifat tanpa pamrih itu terus
ia bawa sampai ia menjadi seorang intelektual terhormat. Ia sederhana dan
nyaris melarat.
Anekdot Agus Salim makan dengan tangan, sementara
orang-orang Eropa makan dengan sendok, sampai kini berkembang luas di
nagari-nagari Minangkabau.
“Sendok sudah masuk ke seribu mulut orang lain, tapi tangan
ini hanya ke mulut saya sendiri.” begitulah pembelaan Agus Salim. Dengan dalih
serupa, makan dengan tangan seolah mendapat pembenaran di Minang. ***
Padang, 27 Oktober 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar